Minggu, 04 Oktober 2020

Dari Balik Tirai

        Di seberang sebuah hotel, saat matahari tertutup awan.
        Wanita itu bersimpuh pada jalanan yang becek. Tangannya mempermainkan sisa-sisa hujan tadi malam. Rambut kusutnya beriap diterpa angin pagi, hingga tampak jelaslah wajah rupawannya. Sebuah longdress kumal membalut tubuh sintalnya yang kotor. Namun sobekan di beberapa bagian membuat kulit putihnya jelas terlihat.
        Ia tampak tertegun takkalah seorang pejalan kaki melemparkan kepingan uang rece padanya. Ditatapnya oarang tersebut dengan bibir komat kamit layaknya sedang melafalkan do'a atau mantra. Mungkin mengucapkan terima kasih atau mungkin juga berusaha menyapa dan mengajak berbincang-bincang pada pejalan kaki tersebut, karena di hari sepagi itu belum ada seorang pun yang bisa ia ajak bicara kecuali tetesan-tetesan air hujan yang masih menggenang. Bahkan mataharipun seakan enggan untuk sedikit beramah-tamah dan menghangatkan alam. Ia tetap bersembunyi dibalik awan hitam yang sejak semalam menggayuti.
        "Bukan, Bukan" bisiknya sambil menatap pejalan kaki tersebut. Ia pun segera menundukkan wajah sambil terus mempermainkan genangan air dengan jari-jari tangannya.
        Sebuah mobil mewah berhenti di halaman parkir hotel tersebut, dan tampaklah seseorang pria dan wanita berjalan menuju pintu hotel.
        Ia mengangkat wajah dan memandang kedua insan tersebut. Namun kemudian ia mengelengkan kepala dengan dahi mengkerut.
        "Bukan, bukan" gumanya. Wajahnya kembali merunduk.
        Hari beranjak siang. Hotel mulai ramai oleh para pengunjung dan jalan dipenuhi oleh kendaraan dan para pejalan kaki. Menegakkan wajah dan matanya meneliti satu persatu dari setiap orang yang dilihatnya.
        "Ah, bukan. Tak ada satupun. Tak ada...,," ucapnya lesu. Wajahnya menampakkan kekecewaan namun matanya tetap meneliti. Ia sama sekali tak memperdulikan kepingan-kepingan uang rece yang berhamburan di hadapannya, yang dilemparkan oleh para pejalan kaki.
        Matahari semakin meninggi dan membakar kulit. aan hitam musna seketika. Kesibukan kota siang itu mulai terlihat seperti biasanya. Kendaraan berlalu lalang menebar asap yang menyesakkan. Deru bis kota bersahutan dengan teriakan pengamen yang menyuguhkan tembang-tembang. Para pedagang kaki lima dan kedai-kedai makanan di penuhi pembeli. Harum makanan menggelitik hidung, membuat perut keroncongan di siang hari bolong begitu.
        Namun wanita tersebut seperti tak terganggu oleh suasana yang ada. Kedua matanya tetap memandangi dan meneliti para tamu hotel dan setiap yang lewat di hadapannya, namun berkali-kali pula ia menggelengkan kepala. Bibirnya terus berkomat kamit dan sesekali tangannya menggaruk tubuh yang dihinggapi lalat dan nyamuk.
        Ketika matahari telah bergulir ke sebelah barat, wanita itu tetap dalam penantian. Raut mukanya terlihat resah. Desisan sesekali terdengar dari mulut yang kadang diselingi oleh cipratan ludah.
    Hingga warna jingga membayangi langit dan kemudian matahari perlahan mulai tenggelam, kedua matanya masih tetap meneliti dan mencari-cari. Ia tak beranjak dari tempat itu kecuali saat mengais sisa makanan dari tong sampah.
        "Dia...mana dia? mengapa tak datang juga? Kemanakah dia?" Bibir keringnya bergumam. Tangannya mengusap wajah pucatnya. Matanya dengan nanar memandang orang-orang yang masih tersisa di penghujung hari. Lesu, lelah, putus asa... Akhirnya dengan lemas ia merebahkan tubuh dan dengan segera matanya terpejam. Rambut kusamnya menutupi wajah dan bagian dada yang sedikit terbuka. Sisa-sisa makanan yang tadi ia dapat dari tong sampah berceceran di sampingnya. Namun ia tak peduli. Ia tertidur dalam rasa lelah dan penat, beralsakan bumi, beratapkan langit, dan berselimutkan uadara malam gemintang berkelip, mengucapkan selamat malam padanya.
****
        Dimalam itu, di sebuah kamar hotel yang temaram, dua jiwa berpadu rindu, dua raga bertautan dalam cumbu. Seperti malam-malam sebelumnya, malam itu pun mereka lewati dengan penuh gairah. Beberapa adegan percintaan dan beberapa kisah romantis tercipata dalam beberapa malam di kamar itu, dan terukir menjadi sekelumit sejarah dalam kehidupan mereka. Dan setiap suatu malam berujung, mereka mulai lagi malam yang baru, dengan kisah cinta yang baru, namun dengan gelora yang tetap membara. Seperti halnya malam ini, keduanya terbuai keindahan yang tak berujung.
        "Roy..," terdengar bisikan seorang wanita.
        "Hmmmm..?" gumam sang pria.
        "Apakah yang kita lakukan ini benar?" Tanya wanita tersebut lirih.
        "Tentu saja. Kita saling mencintai. Lantas apa lagi?" Jawab si pria
        "Tapi, benarkah kau akan bertanggung jawab dan menikahiku?" bisik wanita tersebut
        "Menikahimu? Tentu saja. Tapi sementara, kita nikmati saja yang ada. Kau mencintaiku, aku mencintaimu, itu sudah cukup bagi kita,"
        "Tapi... Aku ingin secepatnya. Aku ingin kau segera menikahiku," suara wanita itu terderdengar resah.
        "Kenapa?"
        "Karena... karena aku lelah berbadan dua. Benih yang telah kau semaikan di rahimku ini telah tumbuh,"
        "Apa?" Tanya pria itu dengan nada terkejut.
        "Ya, aku hamil dan aku sangat bahagia. Bukankah kau pun begitu? Bukankah kaypun bahagia?" di balik temaramnya lampu, sekilas terlihat wajah riang wanita tersebut.
        Pria itu diam. Pikirannya berkecamuk. Wajahnya berubah pucat dan jantungnya berdegup kencang. Keringat dingin perlahan membasahi dahi.
        "Kenapa diam? Bukankah kau pun bahagia?" ulang wanita tersebut sambil memeluknya erat
        "Ya.. ya, aku bahagia" ucap pria tersebut dengan suara bergetar. Wanita itu senyum senang. Namun ia tak menangkap getaran pada suara kekasihnya.
****
        Roy memarkirkan mobilnya di tempat biasa, di depan sebuah hotel dimna ia sering menghabiskan waktu. Tempat dimna ia menikmati dan menjalani hidup sebagaimana adanya tanpa banyak terbebani. Ia menikmati hidupnya sebagaimana ia menikmati berbagai tubuh indah yang berhasil masuk dalam pelukannya.
        Saat itu, dari sebrang sana, sepasang mata tampak memperhatikanya. Mata itu terbeliak dengan wajah tegang. Kemudian sesat menyipit dengan kening berkerut. Namun lagi, mata itu terbeliak, Hal itu terjadi berulang-ulang. Mimik wajah pun berubah-ubah mengiringi gerakan mata.
        Roy membuka pintu mobil dan tanganya menyambut tangan kekasihnya. Sebuah senyum yang memikat dilemparkan Roy saat membuka pintu mobil. Dengan sedikit membukuk dan seulas kecupan di tangan sang kekasih, Roy mempersilahkan kekasihnya turun.
        Sepasang mata itu kembali terbeliak. Digosoknya mata itu dengan tanganya untuk meyakinkan apa yang sedang dilihatnya. Tiba-tiba ia berdiri. Dengan tertatih-tatih, ia berjalan menyebari jalan yang ramai menuju halaman parkir hotel. Bibirnya meringis kesakitan takkala ia rasakan peut buncitnya bergerak.
        "Roy..Roy," bibir keringatnya berteriak.
        Roy, yang sedang menggandeng kekasihnya dengan penuh cinta, menghentikan langkah dan menoleh seketika. Dilihatnya seoarang wanita dengan langkah tertatih-tatih menghampirinya. Pakaianya kumal dan tubuhnya menebar bau busuk. Kedua tangan wanita itu memegangi perut buncitnya.
        "Siapa dia?" Tanya gadis di samping Roy sambil menutupi hidungnya dengan tangannya.
        "Tau! Orang gila kayaknya," jawab Roy.
        "Tapi, Kenapa dia tau namamu?" gadis itu bertanya lagi. Roy menggedikan bahu dan segera berbalik arah. Namun sebuah tangan meraihnya
        "Roy, aku Lina. Aku menunggumu lama sekali. Bayi kita akan segera lahir," ujar wanita itu dengan wajah memelas.
        "Aku tak mengenalimu, dasar orang gila! Pegi sana, badanmu bau busuk," Roy menepis tangan itu dengan jijik.
        "Satpam, tolong singkirkan orang gila ini,. Mengganggu saja," teriak pada satpam.
        "Hush... pergi sana. Dasar orang gila," usir satpam sambil memamerkan pentungannya. Wanita itu pergi dengan tubuh terseok-seok.
****
        Wanita itu menyandarkan tubuh pada sebuah pohon besar. Wajahnya kusam dan kotor dengan bibir kering pecah-pecah. sang bayu mempermainkan rambutnya panjangnya yang kusut dan sesekali membuat longdress kumalnya tersingkap. Kaki yang telanjang terlihat kotor dan pecah-pecah. Kulitnya nampak diselimuti debu dan daki yang tertumpuk yang semuanya itu menebar bau tidak sedap. 
        Bibirnya komat-kamit dan sesekali kepalanya menggeleng. Tangannya menunjuk-nujuk dan kadang membentak setiap orang yang lewat didepannya. Derai tawa kerap keluar dari mulutnya yang dipenuhi busa ludah.
        Langit gelap, kilat menyambar, halilintar menggelegar. Tak terelakan, air hujan mengucur denga derasnya, membasahi setiap benda yang berada dibawahnya.
        Wanita itu berdiri tegak dengan wajah menantang langit. Kedua tangannya terentang keatas. Rambut panjangnya beriap mengikuti arah sang bayu. Derai tawa, yang sebenarnya mirip lengkingan, keluar dari bibir mengiringi gemuruhnya air hujan.
        Di seberang sana, dari balik tirai pada sebuah kamar hotel yang hangat, sepasang mata memperhatikannya.
        "Tungguhlah seseorang akan segera menyusulmu dan kau tidak akan sendirian lagi" gumamnya sambil menoleh pada tubuh indah di atas ranjang yang sedang tertidur lelap. Kemudian ia tersenyum aneh, senyum penuh misteri.

Jumat, 02 Oktober 2020

Dara Di Batas Usia

        Dara berkulit gelap itu termenung dengan tangan kiri tertopang ke dagu. Mata lelahnya menerobos pekatnya malam dari balik gorden yang sedikit tersingkap. Desah kegundaan tak henti keluar dari mulutnya. Sesekali disekanya air mata yang menitik melintasi pipi yang memang tak mulus. Tak mulu memang. Namun pipi tersebut masih bisa merasakan kulit punggung tangannya yang kini mulai mengendur seiring dengan kerut penuaan yang menghiasi bagian wajah.
        Malam semakin larut. Semilir angin hinggap di pucuk-pucuk yang kemudian bergoyang pelan. Dingin udara malam terasa menusung hingga ke tulang. Sang dara meringis. Ada segaris rasa sakit mengiris seiring hembusan angin. Ada setangkup haru mengoyak kala udara malam mencengkram. Ringkih. Pilu
        Dalam nafas yang terhela setiap waktunya. ada doa yang selalu terpanjat, sebagaimana doa saat itu, akan datangnya seseorang pendamping hidup. Seperti menjadi rutinitas, jika alam mulai gelap, ia akan mengintip malam melalui celah gorden yang terbuka, menembus kepekatan diantara gigilnya alam. selalu ia berharap, ada rahasia alam yang terkuak di gelap malam, yang dapat memberinya jawaban tentang teka-teki atas penantiaannya tersebut. dan diantara gelapnya semesta, langit raya dan gemintangnya adalah hal yang paling ia rindukan.
        Ada banyak kerlipan bintang disana. Sebersit harapan terlintas: satu dari ribuan kerlip cahaya tersebut akan jatuh melesat dengan pijarnya cahayanya, yang kemudian muncul dihadapannya sebagai seorang pangeran yang datang dikhususkan untuknya. Datang sebagai seseorang yang kemudian akan menemani dan menjadi pengisi kekosongan hatinya, menjadi penenang jiwanya yang gundah.
        Namun sayang, bintang jatuh dan pangeran hanyalah dongeng belaka, hanya cerita khayal semata. Tak ada bintang jatuh, tak ada pangeran, dan tak ada pula pendamping baginya. Hingga kini, hingga batas usia bagi lazimnya perempuan dewasa untuk berumah tangga, belum juga ia mendapat belahan jiwa.
        Empat puluh lima tahun. Ya, di usianya tersebut belum juga Tuhan memberkahinya jodoh. Cukuplah usia setua itu bagi seorang perempuan untuk mempunyai suami dan menimang dua atau tiga orang anak. Sebagaimana kawan-kawannya, kerabatnya, dan bahkan dua adik perempuannya yang sudah menikah melangkahinya. Dan tadi siang, tepatnya di tengah hari yang menyengat, adik bungsunya dengan ragu-ragu memberitahu dan meminta izin untuk melangkahinya pula. Sejenak ia terdiam, menatap sang adik yang menunggu dengan kepala tertunduk. Akhirnya ia mengangguk juga. Sang adik bersuka ria yang kemudian  memeluknya penuh dengan kegembiaraan. Air mata merembes, membasahi kelopak dan sudut-sudut matanya. Sang adik melepaskan pelukan, mundur perlahan, dan menatapnya dengan haru biru. Namun kemudian ia berujar.
        "Tak perlu meminta maaf. Tangis ini adalah tangis bahagia untukmu, bukan tangis kesedihan" Ucapnya. Namun percayalah! Hatinya saat itu meleleh, seperti melelehnya es krim di tangan keponakannya yang terbakar matahari siang tadi.
        Sungguh pilu hidup tanpa seoarang pendamping. Tak ada tempat untuk mengadu, tak ada penghibur dikala sendu. Dan seperti kebiasaan wanita tanpa pendamping, ia pun sibuk digunjing, menjadi buah bibir orang sekeliling. Dilempar kesan kemari tak ada henti-hentinya. Dirinya seolah menjadi cerita menarik yang sepertinya tak akan pernah usai. Cerita tentang perempuan yang akan tetap menjadi perawan karena tak menikah.
        Dulu sewaktu umurnya masih belia dan pipinya masih ranum, beberapa pria ingin mempersuntinya. Mereka datang dengan berbagai macam janji dan buah tangan. Ada yang datang dengan gelar dan kedudukan. Pun ada yang datang dengan sebongka cinta yang konon katanya bongkahan tersebut bisa berkuasa atas segalanya. Janjipun terbuai dari mulut mereka. Ada yang menjanjikan gunung mas. Ada yang menjanjikan takhta dan kejayaan. Dan pula ada yang menjanjikan lautan cinta dengan romantisme buta di dalamnya.
        Namun tak satupun dari mereka mampu menggoyahkan apalagi meruntuhkan hatinya. Ia memandang mereka dengan mata terpicing. Sebuah keyakinan dipegangnya kuat bahwa ini zaman moderen dimana seorang wanita akan mampu hidup sendiri setidaknya sampai semua mimpi dan angannya terkejar. Semua pinangan pun terpental, tak sanggup menembus dinding baja yang melingkupi hatinya. Dan sang dara terus berlari mengejar puncak kehidupan yang sebenarnya tak lebih dari sebuah fatamorgana. Ia meninggalkan semua di bawahnya dan tersenyum penuh kemenangan saat mencapai puncak mimpi.
        Detik bergulir, masa berselang. Beberapa letusan pesta kembang api di pergantian tahun telah berulang-ulang berlalu melewatinya. Lambat laun kulitnya mulai mengendur dan pengelihatannya merabun. Saat ia sadar, ia mendapati tak seorangpun di sekelilingnya. Kawan-kawan dan kerabat telah menjauh dan sibuk dengan urusan keluarga masing-masing. Pria pun sepertinya tak ada lagi yang tertarik padanya. Tak ada apapun dan seorangpun ia miliki kecuali sepi yang menikam. Seperti sepinya ubun-ubun malam yang kini selalu ia lalui dalam sesal dan penantian.

Rabu, 30 September 2020

Atas Nama Cinta, Atas Nama Kesetiaan

        Atas nama cinta, atas nama kesetiaan dan kasih sayang. Demi tuhan, semua itu telah membelengguku begitu erat. Tanah basa itu perlahan mengering. Rumput dan pucuk-pucuk hijau menguning. Pohon-pohon meranggas dan alam mengerang setiap kali perputaran musim berganti. Namun aku tak bergeming, tetap mematung dalam belenggu cinta dan kesetiaan

    Tanah basah lagi, tanah kering lagi. rumput hijau lagi, rumput menguning lagi. Alam meradang. Perputaran waktu telah mencekik leher dan menyeretnya kedalam lingkaran ketuaan. Kulitnya semakin mengerut dan wajahnya kusam, Rumput dan pucuk-pucuk telah berganti beberapa generasi. 

        (Beberapa pinangan datang, namun semua berujung penolakan. Dan pinangan pun pulang sia-sia, namun tegar. Dengan senyum kemenangan: Atas nama cinta, atas nama kesetiaan)

        Atas nama cinta dan kesetiaan. Aku terbelenggu, tanganku terikat, dan kakiku terpasung dalam kesetiaan. Badanku semakin membesar dan tambun. Orok dalam rahimku menendang dan menerjang-nerjang. Sesaat dia menggeliat, kemudian dia. Aku menarik nafas lega.

        Aku teringat pada malam-malam terkutuk yang menyeretku pada kenistaan ini. Udara dingin, alam senyap, pekat memukat malam.

        "Rebahlah disampingku Dik. Aku akan menitipkan cinta ini padamu" ujarnya saat itu.

        "Tapi... apakah yang aku kita lakukan ini benar?" tanyaku ragu

        "Tentu saja. Kita saling mencintai. Lantas apa lagi?" ujarnya menenangkanku.

        Aku membenarkan perketaannya. Aku tak berkutik. Dan aku tak menolak saat tangannya melucuti kain yang kupakai satu persatu dan kemudian tubuh kekarnya menindihku. Semua itu, setaip gerakan tubuhnya dan juga penerimaanku, kujabarakan sebagai arti cintaku dan cintanya. Aku diam, atas nama cinta, atas nama kesetiaan.

        Malam yang ini itu berlalu. Kemudian kutemui malam-malam indah lainnya. Seperti sebelumnya, gulitanya alam pun terlewati dengan penuh gairah. Beberapa adegan percintaan dan kasih romantis tercipta dan terukir menjadi sekelumit sejarah dlam kehidupanku. Dan setiap suatu malam berujung, aku mulai lagi dengan malam yang baru, dengan adegan cinta yang baru, namun dengan gelora yang tetap membara. Lagi, lagi,lagi dan lagi

        Aku tak peduli pada malam yang mengingatkanku. Aku tak malu pada dinding yang menunduk sendu, pada tanah malam yang basah, pada udara yang meneteskan embun-embun pagi. Aku tak perduli, aku tak merasa malu. Atas nama cinta, atas nama kesetiaan

        Dan bahkan , saat mereka mengingatkanku, dengan lantang aku berteriak.

        "Persetan dengan petuah dan nasehat kalian. Matilah. Aku berada pada jalanku" ucapku penuh kemarahan. Semua atas nama cinta, atas nama kesetiaan.

        "Tunggulah aku, Dik. Aku akan kembali suatu saat. Telah kusematkan benih dirahimu, petanda aku akan kembali. Karena itu, setiahlah padaku, waktu akan menguji kesetiaanmu,"

        Dengan lugu, aku pun menggangguk. Sompret! Kenapa aku bisa sebego itu?

    Demi tuhan. Cinta itu telah mengekangku. Kesetiaan telah membelengguku. Dan kenistaan mengiringiku. Kecaman datang bertubi-tubi. Mulut-mulut nyinyir menusukku. Sinar mata penuh jijik menamparku berulang-ulang. Aku tertunduk. Rasa malu menggelayut. Perih mengiris-iris.

        "Hhhh..," desah penuh kebingungan keluar dari mulutku, Dadaku terasa sesak dan berat. Orok semakin gencar menendang-nendang perutku. Aku meringis. Atas nama cinta, atas nama kesetiaan. Shit!

        Demi malam yang kutaburi dengan kenistaan. Demi perbuatan terkutuk yang kulakukan. Demi cinta dan kesetiaan yang begitu kuagungkan. Lihatlah: aku terduduk lesu, terpuruk dalam belenggu cinta dan kesetiaan. Namun, kenapa cinta itu tak memperdulikanku sama sekali? Kenapa ia tak menoleh pada apa yang kusebut dengan pengorbanan? Pengorbanan yang memebelenggu dalam kata kesetiaan, hingga aku tak boleh berpaling; pengorbannan yang menggantungku pada kenistaan seumur hidup; pengorbanan yang membuat kecaman dan mulut nyinyir itu mencabikku. Apakah cinta dan kesetiaan itu adalah ayat-ayat yang harus selalu kuagungkan? Keparat!

        Tanah basa lagi, tanah kerng lagi. Aku masih tertunduk, merenda penyesalan. Kabar darinya tak kunjung datang, cintapun tak menyapa. Hanya aku yang terkubur dalam kubanggan keninaan dan keputusasaan. Aku menggigil kedinginan. Aku berteriak kepanasan.

      Tak ada yang peduli. Tidak juga dengan dirinya. Nadiku semakin melemah. Namun orok itu semakin menendang keras, petanda bahwa ia semakin kuat, dan tak lama lagi lahir.

        Atas nama cinta, atas nama kesetiaan. Ah.......

        


Minggu, 27 September 2020

Aku Memang Cantik

        Perkenalkan, Namaku Cantik. Orang tuaku menamakan begitu karena mereka menginginkanku menjadi anak cantik. Dan mujur, aku memang tumbuh menjadi wanita yang cantik.
        Aku memang cantik. semua orang yang mengenalku mengakui hal itu. Wajahku oval dengan hidung mancung dan mata yang indah. Bibirku merah segar meski tanpa pemoles. Kulitku putih halus dan nampak kemerah-merahan jika panas matahari menyengat.
        "Laksana buah ranum yang setiap lelaki ingin memetiknya" kata Om Naryo, salah satu fansku.
        Rambutku hitam bergelombang. Tubuhku sintal dengan dada membusung. Badanku akan terlihat gemulai jika aku berjalan.
        "Bak gitar atau biola yang setiap lelaki ingin memainkannya" ujar Om Deni, fansku yang lain.
        Aku memang cantik. Semua orang pasti mengakuinya. Jika ada yang tidak setuju dengan pendapat itu, maka orang itu biasanya iri dengan kecantikanku. Para lelaki hidung belang sangat memujaku. Mereka selalu mendekati dan berharap dapat menikmati tubuhku, membelai kulit putihku, dan merasakan segarnya bibir merahku.
        Tetapi banyak sekali wanita yang membenciku. Mereka tidak suka jika para suami atau ayah mereka mendekatiku.
****
        Suatu hari di rumah pak Nata
        "pantas saja beberapa hari ini nggak pulang. Rupanya ngebooking perempuan jalang itu lagi," teriak bu Ria, istri pak Nata
        "Sabar, Bu, sabar. mana ada aku pergi main perempuan? aku kan mencari uang untuk kamu. Nih...," jawab pak Nata tenang. Disodorkannya beberapa lembar uang lima puluh ribuan pasa istrinya. Masih dengan cemberut, bu Ria menerima uang itu.
        "Ya, sudah. Mandi dulu sana. Air hangatnya sudah siap," suara bu Ria melunak. Ia tak lagi sewot seperti sebelumnya.
        "Untung tak ketahuan," batin pak Nata sambil mengusap dada. Diingat lagi tadi malam saat ia menyalipkan beberapa lembar ratusan ribu pada belahan dada si Cantik.
****
        Aku memang cantik. Aku tak bosan mengatakan hal itu karena aku memang cantik. Banyak lelaki bertekuk lutut karena kecantikannku. Tetapi, sebenarnya modalku bukan hnya kecantikan wajah. Ada rahasia-rahasia lain yang kumiliki untuk membuat kaum adam tak berdaya. Ingin tahu rahasianya? Ssst.... ini antara kita saja. Orang lain tak usah tahu. Pertama, aku selalu bertutur kata halus dan lembut agar meraih simpati semua orang terutama para pria. Malahan, terkadang aku pun mengenakan kerudung gaul dan baju panjang. Bukan untuk aurat, melainkan untuk menutupi profesiku sebenarnya. Kedua, aku selalu memperlakukan lelaki sesuai dengan yang mereka inginkan. Aku tahu pasti dimana letak kelemahan mereka dan aku pun punya cara agar mereka bisa berpaling dari para istrinya. Dan yang ketiga, Sssst... ini yang paling rahasia, sebenarnya aku menggunakan sedikit pellet, susuk dan jampi-jampi dari mbah dukun kepercayaanku supaya profesiku ini laku keras.
****
        Dirumah pak Ryan 
        "Prang...," suara piring pecah membuka suasana pagi. Wajah pria intu terlihat  merah dan membesi. Piring yang barusan di lemparnya pecah berkeping-keping.
        "Aku tak suka setiap kali kamu menuduhku berbuat serong," teriaknya. Bu Novi, istrinya, terdiam dengan linangan air mata di pipi. Piring pecah dan sedikit tamparan dari sang suami cukup membuatnya ketakukan setengah mati.
        "Tapi... aku melihat kamu pergi dengan perempuan itu" ujar bu Novi, di sela isak tangis
        "Dengar! Aku pergi dengannya hanya urusan bisnis. Kamu dengar? Hanya untuk urusan bisnis. Tak lebih dari itu. Dasar perempuan tak tahu diuntung!" ujar gerang. Dibanting pintu dan kemudian ia pun pergi. Bayang si cantik menari-nari di pelupuk matanya. Ingin sekali hatinya untuk segerah memeluk boneka itu.
****
        Aku memang cantik. Aku takut dengan ketuaan yang menggerogoti karena aku telah memakai susuk dari mbah dukun. Aku pun tak takut dengan kearahan suamiku jika ia tahu keberadaanku dengan lelaki lain. Malahan, ia sangat mendukung profesiku karena ia tak perlu capek-capek cari uang. Anak-anakku pun, yang juga sama cantiknya sepertiku, mendukung pekerjaanku. Dan pada mereka, yang aku sendiri tak tahu lelaki mana yang menjadi bapak mereka, ku ajarkan bagaimana caranya menekuni bidang ini. Siapa tahu mereka tertarik dengan apa yang kulakukan. Karena mereka pun tahu bahwa profesiku ini sangat menjanjikan, hi..hi..hi..
        Mungkin ada sebagian yang heran kenapa keluargaku begitu kompak. Jawabannya adalah karena aku selalu menggunakan mantra penakluk dari mbah dukun kesayanganku. Selain itu, mungkin karena nasibku yang selalu mujur bahwa aku memiliki wajah cantik dan juga keluarga yang sangat mendukung.
****
        Di penghujung malam yang dingin
        Bu Dina masih bersimpu pada sajadahnya. Mulut komat-kamit dengan kedua tangan terangkat. Butiran air mata nenbasahi kelopak dan bulu-bulu matanya.
        "Ya Allah. Sadarkanlah suamiku dari apa yang selama ini diperbuatnya. Yang dia lakukan telah lebih dari sekedar menyakiti hamba sebagai istrinya, tetapi juga telah keluar dari jalan-Mu, yaitu selalu berzina dengan perempuan jalang. Kehidupan kami pun menjadi hancur setalah ia sering pergi pada perempuan itu. Hati ini terasa sangat sakit dan hamba yakin bahwa banyak wanita-wanita lain yang merasa sakit karena perselingkuhan suaminya. Karena itu, sdarkanlah mereka, suami hamba dan juga perempuan itu. Jika tidak, maka hamba serahkan semuanya pada-Mu, yang maha mengetahui dan menguasai"
****
        Kukatan sekali lagi, aku memang cantik. Aku tak bosan dan tak akan pernah bosan mengatakan kalimat itu, seperti halnya om Diki yang tak pernah bosan merayuku untuk menjadikan istri kesekiannya. Tapi aku tak mau sedikit pun untuk menjadi istri dari para penggemarkau. Yang kuinginkan dari mereka hanyalah uang, tak lebih dari itu. Masih kuingat kata-kata rayu om beristri tuju beranak sembilan ini.
        "Kamu begitu berbakat. Permainanmu lincah dan menggemaskan. Akan kuberi semua yang kamu minta jika bersedia menjadi istriku,"ujarnya.
        Tapi segala rayuan yang ia lontarkan bahwa aku cantik, bahwa aku hebat tak akan mempan bagiku. Aku tak perku rayuan itu, aku tak butuh kegombalan itu. Aku sudah merasa cukup puas jika berhasil membuat para pria bertekuk lutut, dan para wanita merasa sakit hati dan mengancamku. Ada kepuasan tersendiri jika aku melakukan hal itu. Dan selain itu, tentu karena uang. jika uang tersedia, maka si cantik dengan segala kehebatannya menjadi milikmu tak percaya?

Jumat, 25 September 2020

Akhir Sebuah Pagi

    Tubuhku masih tergolek diatas kasur empuk dengan mata terpejam seakan tak ingin mengakhiri sisa - sisa malam yang perlahan habis. Ingatanku dengan segar men-flash back kejadian menakjubkan di malam ini namun kurasakan dengan pasti sinar matahari telah mengintip, memaksa menerobos masuk melalui celah - celah jendela seakan ingin mengingatkan kalau hari tak lagi malam. dengkuran halus terdengar dari orang yang rebah di sampingku.
    Seulas senyum tersungging di bibirku. Masih dengan mata terpejam, kugerakkan tangan dan dengan lembut jari -jari halusku mulai menulusuri lekukan wajah di sampingku. Aku mengenal lengkukan wajah dan mengenal setiap bagian dari tubunhnya dengan baik dan bahkan sangat baik. Aku mengenali semua yang merupakan bagian dari dirinya seperti aku mengenali diriku.
    Kurasakan wajahku bersinar terang seterang matahari yang menyapa alam di luar sana. Dengan perasaan hangat dan lembut, ku-rewind rekaman tadi malam yang kusimpan rapat dalam memoriku dan kemudian ku putar lambat-lambat.
    Di sebuah kamar villa di kawasan Lembang yang sejuk, sebuah tempat yang jauh dari keramaian kota Bandung, sebuah tempat yang cukup nyaman untuk melepas semua lelah dengan segalah kepenatan, sebuah tempat yang cukup aman untuk melindungi diri dari peliknya problematika hidup, dan juga sebuah tempat yang mampu membawa beberapa tahun silam kembali dalam genggamanku.
    Tadi malam di tempat itu, ketika rembulan dengan malu-malu menampakan diri, ketika gemintang berkelip tajam tanpa terhalang mendung, ketika malam semakin pekat, ketika suara jangkrik dan binatang lainnya bersahutan jauh di luar sana, ketika angin berhembus lirih ketika tembok dan seluruh isi kamar itu diam membisu, aku dan dia terhanyut, larut dalam kerinduan yang makin berkarat.
    Kerinduan akana keindahan yang selama ini selalu kami inginkan, kerinduan akan saat-saat seperti itu, yang ternyata terjadi bahkan setelah bertahun-tahun perpisahan. Tak ada suara, tak ada kata-kata. Kebisuan kami menambah bisunya ruang itu. Hanya desahan nafas yang memburu, bertarung dengan gelapnya malam yang kian pekat.
    Seulas senyum tersunggih di bibirku. jari tanganku semakin lincah menelusuri tubuh yang rebah di sampingku. Mataku masih terpejam tanpa ada keinginan untuk membukanya.
    Sungguh, malam ini begitu berbaik hati kepadaku sehingga aku bisa bermimpi dengan indah. Aku bisa melewati malam ini dengan baik dan lancar tanpa harus terbebani dengan berbagai perasaan yang selalu menghinggapi setiap malamku: merasa jijik dengan bau keringat yang selalu terasa asing meski telah sering kucium bau itu, merasa risih mendengar deru nafas penuh birahi, merasa terganggu jika ada air ludah bercampur dengan air ludahku, juga merasa perih dan tertusuk hatiku hingga aku harus meneteskan air mata.
    Sungguh malam ini begitu menakjubkan. Ia mampu mengantarkan sebuah keindahan yang kuinginkan dari beribu malamku yang terenggut. Ia mampu mewujudkan mimpi dan kerinduan yang kian berkarat setiap detiknya. Ia mampu mengubah rasa jijik, risih, terganggu, atau rasa perih hati menjadi sebuah keinginan dan harapan untuk terus bisa merasakan damainya malam ini di malam-malam lainnya. Betapa keinginan itu terus membara, betapa hasrat itu tak pernah padam meski tahun-tahun telah aku lewati dengan berbagai dinamika kehidupan.
    Sentuhan jari-jari tanganku sepertinya tidak mengusik tidur lelepnya. Ia hanya menggeliat sejenak dan kemudian terlelap lagi. Akupun sama sekali tak berniat membangunkannya.
    Tiba-tiba bunyi nada polyphonic terdengar menggelitik telinga. Kuraih telpon genggam miliknya, dariman bunyi itu berasal. Dengan segerah aku mengetahui dari siapa panggilan tersebut. Pandanganku berpindah-pindah pada telpon genggam dan pada pria yang rebah disampingku. Haruskah aku membangunkannya? pikirku ragu. Namun bunyi tersebut tak pernah berhenti dan makin lama semakin kencang. Dengan hati-hati akhirnya ia kubangunkan dan kusodorkan benda itu padanya yang ia sambut dengan enggan.
    "Pagi....," sapanya dengan suara serak yang langsung mendapat jawaban dari sebrang,
    "Ya, Papa baru bangun. seminar kemarin sangat menguras energi sehingga terasa melelahkan," ujarnya.
    "Apa? Hp papa mati?O... ya, tadi malem sengaja dimatikan supaya tidak menggangu istirahat papa. Papa selalu capek hingga tertidur lelap dan tidak tahu lagi apa yang terjadi hingga mama membangunkanku," kulihat keningnya berkerut mendengar ocehan dari ujung sana.
    "Ya..ya, papa usahakan segera pulang. Mungkin sore atau malam ini akan tiba dirumah. Okay, baik-baik dirumah ya, bye-bye, mmuach....," katanya yang dengan segera mengakhiri pembicaraan tersebut dengan meletakkan kembali telpon genggam itu pada tempat semula. tanpa berkata apa-apa ia menarik selimut yang sedang kupakai dan kemudian membenamkan tubuhnya kedalam selimut tersebut.
    "Istrimu?" tanyaku dengan nada cemburu
    Ia tidak menjawab. Telunjuknya menempel di bibirku. jari-jari tangannya menyibakkan lembar-lembar rambut yang menutupi sebagian kening dan mataku. Kemudian dengan erat ia membenamkan wajahku di dada telanjangnya sehingga dapat kurasakan degup jantungnya.
    "Aku tak ingin pagi ini berakhir. Aku tak ingin lagi melewati malam-malam tanpamu. Aku ingin.... aku ingin selalu merasakan indahnya tadi malam," ucapku tersendat
    Ia membelai rambutku dan dengan lembut berkata.
    "kita tak ingin saat indah ini berakhir. Kita tak ingin mengakhiri malam, mengakhiri pagi dan mengakhiri segalanya. Dulu pun kita tak ingin mengakhiri kebersamaan kita meski kemudian semuanya berakhir."
    "Berjanjilah...," ucapku bergetar
    "Berjanjilah bahwa akan selalu ada hari lain, malam lain, dan kita akan selalu saling memiliki,"
    Ia melepaskan pelukannya dan terlentang dengan mata lurus menatap langit kamar. Dijadikan kedua tangan sebagai bantal. Desah nafas panjang terdengar darinya.
    "Aku tak menyangka kita akan bertemu lagi setalah bertahun-tahun perpisahan yang menyakitkan itu. Dan di sinilah kita sekarang, di sebuah tempat yang dulu selalu kita idam-idamkan. Apakah aku bermimpi?" desisnya
    "Tidak, kau tidak bermimpi, kita tidak sedang bermimpi. Kita sedang berusahan mewujudkan impian dan harapan kita dan aku yakin kita akan bisa melakukannya bersama-sama seperti apa yang kita inginkan dulu,"ujarku penuh semangat
    Ia terdiam. "Aku tahu kau terluka. Aku pun begitu. Kita sama-sama terluka. Hanya saja aku tidak bisa mencucurkan dan bersimbah air mata sepertimu..," Katanya tercekat. "Aku tak pernah berhenti mencintaimu. Tapi ingatlah kita masing-masing telah mempunyai keluarga dan tidak bisa meninggalkan mereka" lanjutnya kemudian.
    "Kau....kau tidak tahu betapa menderitanya aku melalui malam-malam menjijikan. mencium bau keringat orang yang telah tidak aku sukai, memperhatikannya, dan melahirkan anak untuknya. Kenapa aku tidak melahirkan anak untukmu? Kenapa? semua ini begitu menyakitkan" kataku disela isak tangis.
    Ia memejamkan mata. wajahnya menyeringai kesakitan: bibirnya bergetar. Perlahan dari sudut matanya kulihat butiran bening yang kemudian membasahi bulu-bulu matanya. Aku tertegub. Betapa ia pun merasakan sakit yang sama sepertiku.
    Begitulah, akhirnya pagi pun berakhir berlalu dalam kepedihan. Keindahan sekejap di malam itu tak mungkin lagi aku miliki. Dengan tegar namun hampa, kubuka gorden kamar; kubuka jendela. kubiarkan matahari menerobos langsung menerpa kulitku. Dan sepertinya bukan hanya matahari yang akan menerpaku, tapi akulah yang akan menyongsong dan menantangnya dengan segala ketegaran yang kumiliki.
    Kutatap hari dengan penuh kehampaan, kubiarkan rasa di hatiku hancur berkeping-keping hingga aku berharap tak akan ada lagi rasa dalam diriku. Biarlah rasa ini mati; biarlah gulita selalu menyelimuti hidupku karena bagiku bersinar atau tidaknya matahari tak berarti banyak.
    "Kapan seminarnya berakhir, Ma? cepat pulang ya, Nia kangen...," rengek suara dalam telpon genggamku. Aku tertegun. amataku menatap tajam, membela matahari yang kian memerah****

Minggu, 05 Februari 2017

Kenanganku dan Tentangnya

Lima belas tahun aku menyimpan rahasia ini. Bahwa aku mengalami masa kecil yang buruk. Kemurungan demi kemurungan pada semua hari yang kulalui. Aku tidak dapat menceritakannya ke siapapun.
Ya, aku mengalami pelecehan s*ksual semasa kecil. Oleh tetangga, dan teman-temanku sendiri. Orangtuaku yang masih menganggap s*ksual sebagai hal yang tabu dan tidak pantas untuk dibicarakan. Dan aku selalu mengurungkan niatku untuk menceritakan hal ini kepada mereka.
Aku lebih memilih untuk menutup rapat-rapat semua kenangan buruk itu. Meski sering dada ini terasa penuh dan air mata pasti tak dapat terbendung jika mengingatnya. Aku tau, hal ini berefek pada pola pertemananku. Aku takut dengan anak laki-laki, dan aku lebih memilih untuk menghindari mereka. Terlebih saat ada yang terlihat mulai mendekatiku, aku takut, kenangan itu pasti muncul.

Dimas namanya, teman kuliahku. Ia cukup tenar di antara teman-temanku. Kata mereka ia cukup tampan, dan banyak pula temanku yang mengidolakannya. Tapi aku? Aku lebih memilih diam saat mereka membicarakan mengenai laki-laki. Terkadang beberapa temanku seperti terheran, dengan sikapku saat mereka membicarakan dimas atau teman laki-laki yang lain. Dan memang kadangkala aku malah pergi jika mereka mulai memulai pembicaraan tentang laik-laki. Aku tak menjelaskan apapun disitu.

Diusia ini aku sadar, aku tidak akan bisa terus menerus menghindar dari teman laki-laki. Aku berusaha untuk berteman dengan mereka, meski dengan sangat terbatas. Aku berusaha selalu bersikap seolah aku tumbuh dengan normal. Meski kadang mungkin aku tidak dapat menutupi kemurungan. Ingatan demi ingatan itu masih sangat jelas. Terkadang keringat dingin yang akhirnya menetes saat aku menahan dan menolak untuk mengingat semuanya.
Sampai pada suatu ketika, dimas menghampiriku dan menanyakan beberapa hal terkait materi kuliah yang ia belum pahami. Dimas ternyata sangat sopan. Bahkan ia tidak seperti teman laki-laki yang lain saat bertanya. Ia memilih menggunakan kata-kata yang santun, dan lebih seperti meminta tolong namun jangan sampai membebani.

Awalnya aku agak canggung saat berbicara dengannya, namun tidak ada rasa takut sama sekali. Seiring intensitas kami berbicara, rasa canggung mulai hilang. Kesantunannyalah yang membuatku tidak merasa takut ataupun canggung. Bisa dikatakan ia adalah satu-satunya laki-laki yang bisa mengajakku berbicara untuk waktu yang cukup lama selain dari ayah dan kakakku. Aku dengan leluasa menjawab apa yang menjadi pertanyaannya. Tak jarang aku juga bertanya mengenai hal-hal yang belum aku pahami.
Teman-teman cewekku mulai mengatakan kalau aku ada peningkatan. Aku tidak lagi cupu seperti dulu. Mereka mengira aku dan dimas ada sesuatu, namun aku menyangkalnya. Hubungan kami hanyalah sebatas teman dan tidak lebih. Meski mereka tidak percaya, namun memang itulah yang terjadi sampai detik ini.

Setelah beberapa saat, aku dan Dimas mulai bertukar nomor hp. Obrolan kami melalui hp juga hanya sebatas tanya jawab masalah tugas dan materi kuliah, tidak lebih.
Namun pada suatu ketika, dimas mengirim pesan yang berisi ajakan untuk makan malam. Aku sedikit kaget. aku memang anak kos, tapi aku juga jarang keluar malam. Menjadi kebiasaanku seperti saat masih sekolah, tidak boleh keluar malam jika tidak ada alasan tepat.

Lima belas menit belum kujawab pesan itu. Aku lebih memilih ke kamar sahabatku, ira. Kami mengobrol tentang beberapa hal, hingga sampai pada pembicaraan mengenai dimas. Ira adalah sahabatku yang paling dekat diantara yang lain. Ia adalah teman kos sekaligus satu jurusan denganku. Dan benar saja aku tidak dapat menyembunyikan banyak hal dari dia, terkecuali masa laluku yang memang aku simpan rapat-rapat. Apalagi saat itu ada pesan masuk dari dimas yang menanyakan kembali kesediaanku.

Ira merebut hpku dan membaca pesan dari dimas. “What?? Dimas ngajakin kamu makan?” celotehnya
“Iya” jawabku
“Trus jawaban kamu?” tanyanya lagi
“Aku masih bingung” jawabku lagi

Ira sebenernya sudah mulai mencium gelagat dimas padaku, dan ia membujukku untuk mau memenuhi ajakan dimas dengan berbagai cara. Dan sampai pada kalimat yang membuat aku tersadar “Lel, harus ada orang yang kamu percaya untuk melindungi kamu”. Entah kenapa dia bisa berkata seperti itu, padahal aku tidak pernah menceritakan apapun tentang masa laluku. Akhirnya aku membalas pesan dimas dan menerima ajakannya.

Malam itu, dia menggunakan sepeda motor yang selalu ia pakai berangkat kuliah untuk menjempuku. Aku tau dimas orang berada, namun hal itu tidak pernah ia tampilkan dalam kesehariannya. Meski dikenal playboy, namun ia tetap berpenampilan sederhana.

Ia mengajakku makan malam di suatu rumah makan yang cukup nyaman. Seperti kedai namun nyaman jika dipergunakan untuk mengobrol. Aku memesan makanan sesuai sarannya. Kami mulai mengobrol dan kali ini bukan tentang tugas atau materi kuliah. Dia menceritakan keluarga, sekolah, dan aktifitas-aktifitasnya. Kali ini aku lebih banyak mendengarkan.
Dan sampai pada pertanyaan ini aku terdiam dan tak bisa berkata-kata “Lel, sebenarnya aku udah lama memperhatikan kamu. Maaf jika aku lancang, namun jika aku boleh tau apa penyebab yang membuat kamu sering murung?”
Ia menghela nafas dan melanjutkan, “Mungkin jika aku boleh menebaknya sepertinya kamu menyimpan sesuatu. Iya, benar begitu?”
Aku kembali tidak bisa berkata apa-apa. Keringat dinginku mulai mengucur, dan sepertinya dimas mengetahuinya. Ia melanjutkan “Tidak apa-apa kalau kamu tidak mau menjawabnya untuk saat ini dan kalau pada suatu ketika kamu ingin menceritakannya aku siap untuk mendengarnya kapanpun saat kamu membutuhkannya”.
Ia menatapku dalam namun tetap terasa sejuk. “Lel, maaf mungkin apa yang aku sampaikan akan membuatku kaget. Sudah lama aku menyimpan rasa sayang sama kamu, aku harap kamu tidak tersinggung atau marah”.
Aku akui, aku pun mulai ada rasa dengannya. Aku mulai mempercayai seorang laki-laki dalam hidupku. Meski ada sedikit rasa takut menyelimuti, namun entah kenapa aku juga tidak beranjak untuk meninggalkannya. Aku berpikir dan menata hatiku. Aku meminta ijin untuk menyelesaikan makan malamku sembari berpikir.

“Mas, untuk pertanyaanmu yang pertama aku tidak bisa menjawabnya. Jika memang pada suatu ketika harus aku ceritakan ke kamu maka akan aku ceritakan. Terus terang aku kaget dengan pernyataanmu tadi. Aku mulai mempercayaimu, aku bahagia atas ucapanmu tadi namun ada hal yang membuat aku tidak bisa menjawabnya sekarang. Tolong jangan jauhi aku, dan tetap seperti dimas yang kemarin karena aku bahagia mulai dapat percaya pada seseorang” jelasku.
Ia tersenyum hangat dan mengangguk tanda menyanggupinya. Selesai makan, ia mengantarkanku pulang ke kosku.

Setelah makan malam itu, dimas tidak berubah. Bahkan ia lebih melindungiku. Kehangatan dan kasih sayang selalu aku rasakan saat bersamanya. Meski begitu tidak pernah ia melebihi batas. Ia menggandengku hanya pada saat dimana aku membutuhkan bantuan, namun melepasnya kembali setelah aku dirasa tidak membutuhkan. Ia juga menjadi tempat keluh kesahku, saat aku mendapatkan kesulitan. Kedekatan kami mungkin lebih dari sekedar sahabat.

Dua bulan kami bersama dan ia meminta izin untuk pulang ke jakarta. Sampai pada suatu hari aku mendengar kabar kalau ia ditimpa musibah di sana. Ia terkena luka bakar saat ingin mematikan api dari wajan yang menyala karena terlalu panas. Aku lemas mendengarnya. Aku ingin menjenguk dan menemaninya, namun apa daya aku pasti tidak akan mendapat izin dari orangtuaku. Aku hanya bisa menanyakan kabarnya lewat sms. Jujur aku sangat merasa kehilangan. Ternyata aku mulai menyayanginya, dan perasaanku kepadanya telah sangat dalam aku yakin.

Dua bulan ia di Jakarta untuk menyembuhkan lukanya, sampai pada suatu hari ia pulang tanpa memberiku kabar terlebih dahulu. Ia datang ke kosku dengan tangan kanan dan kaki kanan masih berbalut perban.
“Dimas…” mataku berkaca-kaca saat melihatnya. Seolah aku masih tak percaya, ia hadir di depanku. Air mata ini tak terbendung lagi saat menyadari kondisinya yang masih penuh dengan balutan perban. Namun ia tetap tersenyum dengan hangat. “Hey lel… boleh duduk?”
Aku yang masih kaget, sampai-sampai lupa tidak mempersilakan ia duduk. Sontak aku membantunya untuk duduk karena ia masih terlihat sedikit kepayahan. “Nggak papa kok, aku bisa” ucapnya.
“Gimana kabar kamu?” ia mulai memecah keheningan.
“Baik… aku baik” agak tergopoh kujawab pertanyaannya.
Ia menceritakan peristiwa saat ia mendapat musibah itu. Dalam hatiku aku sangat bersedih, aku yang selama ini ia obati namun tak bisa berbuat apa-apa saat ia terluka. Tak sadar air mata ini tak terbendung saat ia menceritakan proses pengobatan yang ia jalani saat berada di Rumah Sakit.

“Hey… aku nggak papa kok” ia berseloroh.
Aku tersenyum. Apa yang bisa aku lakukan untuk sedikit meringankan rasa sakitmu? Dalam hati aku berkata.
Tak terasa obrolan kami hingga larut. Kami asyik berbicara seperti sedang melampiaskan rasa kangen satu sama lain. Karena memang itu yang kami rasakan.
Ia menggenggam tanganku erat, seolah berkata “kuatkan aku”. Dan entah kenapa genggaman itu tak kulepaskan.

Dinginnya malam membuat kami saling mendekatkan badan, mencari kehangatan. Ia mengelus pipiku, dan menatap wajahku dalam-dalam. Perlahan ia mendekatkan wajahnya. Ia menciumku, dengan sangat lembut. Ciuman pertama yang kualami, dan entah kenapa aku larut dalam ciuman itu.
Debar jantungku seolah terdengar sangat keras. Perasaan ini bercampur aduk, antara rasa rindu, dan sedikit ingatan-ingatan masa lalu yang muncul. Sedikit rasa yang meyakinkanku saat itu, aku ingin sedikit meringankan rasa sakitnya, itu saja.

Tentang ingatan-ingatan itu, sudah tidak terlalu terasa berat. Berkatmu aku rasa. Aku semakin yakin bersamamu, jika pada saatnya nanti kamu menjadi orang yang benar-benar aku percaya maka akan aku ceritakan semua tentang masa laluku. Dan aku yakin, melalui perantaramu semua kesakitanku dapat terobati.
Malam itu pula aku menerima cintanya.

Cerpen Karangan: Dinna L Fauzia
Facebook: dinna.fauzia[-at-]facebook.com


Sabtu, 04 Februari 2017

Jangan Bilang Lo Jatuh Cinta?

“pokoknya lo harus jadi cewek gue. Gue gak bakal tahan dengan semua cewek-cewek yang ngeganggu gue selama di sekolah nanti. Kau lo jadi cewek gue apapun mau lo bakal gue turutin deh, janji.”

Selama hampir tiga tahun aku tidak berpacaran hanya fokus untuk belajar dan sekolah. Beberapa orang memang mencoba untuk mendekatiku tapi, aku sepenuhnya menutup hatiku sejak terakhir kali dikhianati oleh mantan pacarku dan sekarang setahun lalu Andrew teman masa kecilku kembali dan bersekolah di tempat yang sama denganku. Dia langsung menjadi populer dan digoda oleh banyak cewek di sekolahku membuatnya risih dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dan saat ini kami membuat janji untuk menjauhkan dia dari hal-hal seperti itu jadi dia bisa fokus pada pelajarannya dan meluluskan sekolahnya tahun ini tanpa menambah tahun dan umur lagi. aku pikir aku harus menerimanya karena hanya dengan cara ini aku dapat memenuhi permintaan kedua orangtua Drew agar membantunya untuk lulus tahun ini.

“oke. Dan permintaan pertama gue. Gue pengen nilai lo bisa diatas gue minimal sama deh ama gue juga nilai semester lo. Buktiin kalau lo emang serius pengen nyelesaiin sekolah dan gak bikin onar lagi. lagian gue janji ama bokap nyokap lo untuk ngebuat lo lulus tahun ini.” Aku menaikkan satu alis sebagai tantangan apa dia bisa menerima permintaanku ini. Karena, aku tahu tidak ada cara lain lagi.
“oke. Deal” ucapnya menyerahkan tangannya mengajakku bersalaman untuk perjanjian ini.
“dan ini baru permintaan pertama.” Aku tersenyum kemenangan.

Hari pun berlalu aku bisa mengatasi semua penggemar Drew dan membuat mereka tidak mengganggu Drew lagi selama aku masih menjadi pacarnya. Tapi, satu hal yang sedikit sulit diatasi teman-temanku yang menudingku terus dengan pertanyaan kenapa tiba-tiba bisa pacaran dengan Drew dan bagaimana aku bisa secepat itu punya hubungan dengan Drew mereka benar-benar tidak percaya bahwa aku dan Drew berteman sejak kecil makanya sekarang kami mudah sekali dekat dan lagi orangtua kami saling mengenal kenapa gak mungkin bagi kami bisa berpacaran. Teman-temanku hanya tidak menyangka karena selama ini aku bersikukuh tidak ingin pacaran lalu tiba-tiba malah jadian dengan pangeran tampan sekolah. Pangeran tampan? Bagi gue gak ada tampan-tampannya sama sekali tuh.

Seperti permintaan Andrew agar aku selalu berada di dekatnya saat di sekolah, menemaninya latihan basket dan kegiatan sekolah lainnya. Seperti saat ini Drew latihan untuk pertandingan basket antar sekolah dan aku hanya duduk di bangku penonton sambil membaca buku karena besok ada ulangan sambil menunggu Andrew.

“hei Senior. Lagi nungguin pacar lo ya?” ini dia si J atau nama aslinya Junior, aku memanggilnya J.
“Hei J. Kok baru dateng lo udah latihan hampir setengah jam loh tu.”
“iya nih Senior, gue abis ngambil ulangan susulan karena kemaren ini sakit, tapi gue udah bilang pelatih bakal telat. Ya udah gue gabung latihan dulu ya.” Ucap J dan sebelum meninggalkanku dia berkata lagi “ternyata lo cocok juga ya sama cowok lo ini. Kalau gue tahu dari awal tipe lo cowok populer kayak dia, harusnya gue udah ngelakuin itu dari dulu.”
Dasar si J, gimanapun juga dia mau jadi populer dia tetap junior dan lagian bukan hanya namanya yang Junior umurnyapun lebih kecil dariku. Aku gak mungkin bisa suka sama brondong.

“akrab banget lo ama si Junior.” semua sudah selesai latihan dan menuju tempat istirahat tapi, Drew malah menemuiku.
“apaan sih Drew. Apa sekarang lo bakal ngelarang gue ngobrol sama Junior-junior gue sekarang. Ingat ya gue Cuma pacar lo yang ngebuat lo supaya gak digangguin cewek-cewek satu sekolah. Jadi gak ada hak cemburu-cemburuan deh”
“lagian siapa yang cemburu. Gue nanya doang.” Drew berlari lagi kelapangan setelah mengatakan hal seperti itu padaku. Aku gak yakin Drew cemburu karena, gak mungkin Drew suka padaku. Dan aku pun gak mungkin suka sama dia. Udahlah buat apa dipikirin.

Andrew dan aku memang pernah di sekolah dasar yang sama dan karena orangtua kami berteman Drew dan aku juga jadi dekat. Tapi, gak ada hal mengenakkan dalam hubungan masa kecil kita. Aku dan Drew selalu saja perang kalau berada di sekolah dan saat dengan orangtua kami, kami akan menjadi anak-anak yang sangat penurut. Hmm memang masa kecil yang penuh kepura-puraan.

Sudah tiga bulan dan hasil ujian tengah semester membuat Drew membuktikan bahwa dia telah menuruti permintaanku tentang nilai-nilainya yang sangat memuaskan bahkan dia lebih baik dariku. Bagaimanapun juga Drew harus lulus tahun ini.

“Ta, lo dipanggil wakil kepala sekolah tuh.” Hani memberitahuku, tapi ada apa dengan wakil kepala sekolah yang memanggilku. Apapun itu aku langsung menuju ruang wakil kepala sekolah. Dan di sana sudah ada wali kelasku juga. Pada intinnya pembicaraan ini tentang tes untuk masuk Universitas di Australia. Ada undangan khusus dari Universitas di Adeleide untuk sekolah kami. Dan walikelasku serta wakil kepala sekolah ingin aku mengikuti tes itu. Dan katanya bukan hanya aku saja dari Indonesia tapi, di sekolah ini mereka menganggap hanya akulah yang bisa melakukan tes ini. Mungkin nilaiku memang tidak selalu terbaik di sekolah tapi, kemampuanku di bidang jurnalistik membuat mereka yakin aku akan bisa lulus dalam tes ini. Karena jurusan yang mereka tawarkan ya memang untuk bidang jurnalistik saja. Aku menyanggupi keinginan wakil kepala sekolah dan wali kelasku itu lagian aku pikir ini hal yang bagus juga. Karena aku belum memikirkan kemana akan melanjutkan kuliahku setelah sekolah di sini.
“hei, sayang kantin bareng yuk.” Saat aku sedang memikirkan tentang tes kuliah di Australia itu Drew datang mengagetkanku seperti biasa mengajak makan siang di kantin. Aku gak akan bisa nolak. Jadi aku hanya tersenyum mengangguk dan berjalan bersamanya ke kantin. Dia selalu memanggilku sayang saat di sekolah.

“eh, ngapain pegang-pegang tangan gue. Kuman tau” aku langsung mengeluarkan semprotan pembersih tangan dari sakuku dan menyemprotkan ke tanganku.
“heh, dasar miss clean” Drew mengejekku. Aku gak tau sejak kapan tapi, waktu aku kecil dulu pernah ada kejadian yang sangat tidak mengenakkan untuk dikenang. Saat aku sedang belajar bersepeda aku tiba-tiba terjatuh tepat di kotoran sapi. Hal itu sangat jorok, menjijikan bau dan membuatku harus mandi berkali-kali untuk menghilangkan baunya dan menghilangkan rasa kotornya dari tubuhku. Sejak saat itu aku benci dengan hal yang kotor. Dan ingin selalu bersih itu menjadi kebiasaan hingga sekarang ini.

“gue ada permintaan.” Drew datang ke rumahku dan langsung menemuiku yang sedang berada di tepi kolam berenang rumahku sambil baca novel terbaru yang kubeli kemarin.
“apaan sih lo datang-datang nantang gue. Mau apa lo?”
“pergi jalan yuk.”
“gak ah, pergi sendiri.”
“eh, tapi lo kan cewek gue. Ayok pergi jalan sekarang.”
“emang gini cara lo ajak cewek lo pergi jalan.” Kataku dan aku sadar Bundaku geleng-geleng kepala memperhatikan kami berdebat.
“oke deh, pacarku ayo kita pergi jalan sayaaaanggg.” Ucapnya menekankan kata sayang.
“jangan panggil sayang, jijik gue dengernya. Ya udah gue ganti pakaian dulu. Gak usah ikut lo.” Aku merasa Drew akan mengikutiku ke kamarku.

Drew membawaku jalan-jalan ke taman dan bermain sepeda. Dan seperti biasa aku akan menyemprot sepeda ini karena sepeda ini pasti banyak kumannya. Tapi, kenapa pembersihku tidak ada di tas. Apa mungkin ketinggalan.
“kenapa? gak bisa nemuin pembersih lo miss clean? Nih pake punya gue.”
“loh lu kok??” Aku heran kenapa Drew juga memilikinya.
“gue beliin itu buat lo. Hmm, gue selalu tau kan tentang lo, liat aja merek dan aromanya sama.” Benar saja pembersih ini sama seperti yang selalu kubeli. Kenapa Drew bisa sedetail ini. Tapi ya sudahlah kami bersepeda bersama-sama mulai dari bersepeda santai dan akhirnya Drew mengajakku balapan dimana Drewlah yang menang. Karena dia yang menang aku harus mau diajak makan malam dengannya malam minggu besok. Walaupun gak mau tapi, yang namanya janji ya tetap janji.

Belakangan Drew makin perhatian padaku aku gak tau kenapa Drew jadi sering menemaniku walau kami jarang makan di kantin saat istirahat hanya duduk di kelas dan biasanya bagi dia itu membosankan. Sekarang kami jadi sering bercanda saat hanya duduk di kelas sambil menunggu waktu pelajaran berikutnya. Setelah pertandingan basket selesai Drew tidak lagi aktif dalam club jadinya dia sering menemaniku mencari ide baru untuk majalah sekolah ataupun yang berkaitan dengan jurnalis. Aku sedikit aneh dengan perlakuan Drew belakangan tapi, ya anggap aja dia benar-benar pengen nolongin.

“wah, anak Bunda cakep banget. Mau kemana nak?” akhirnya sampai juga malam minggu seperti janjiku aku akan makan malam dengan Drew.
“mau pergi sama Drew bentar Bun.” Kenapa Bunda bilang aku cantik malam ini? Padahal aku hanya berpakaian seperti biasanya dan ya aku memang sedikit berdandan suatu hal yang memang jarang aku lakukan. Karena Drew bilang gak harus formal aku hanya memakai jins, kaos dan sepatu kets dengan rambut yang digerai dan tas.

Beberapa menit kemudian Drew datang dengan motornya. Aku dan Drew pamitan pada Bunda dan Ayah yang sedang nonton tv. Drew pun hanya memakai kemeja dengan kaos dalam, jins serta kets dia memang bukan tipe yang suka memakai jas dengan dasi atau apalah yang formal. Untungnya satu hal ini yang menyamakan kita. Tapi hari ini di mataku Drew berbeda walau hanya memakai kemeja dia terlihat lebih gimana ya? aku gak tau gimana cara menggambarkannya bukan tampan tapi, menggoda. Astaga apa sih yang lo pikiran Talia? Menggoda kata-kata dari mana pula itu?.

“waw kafenya keren Drew. Jadi lo bawa gue ke sini.”
“hmmm, keren kan kafenya gue tau kalau lo suka tempat-tempat kayak gini. Yuk” Drew mengajak akau masuk ke dalam kafe. Kafe ini berbau klasik dengan segala barang-barang lama dan kayu-kayunya. Sangat nyaman berada di sini suasanya sangat-sangat klasik dengan suguhan live musik di panggung yang gak begitu besar. Tempatnya juga gak gede-gede amat tapi, rame banget.

“woi, makan. bukannya ngeliatin gue terus. Kenapa sih lo?”
“iya nih gue makan. Gak papa gue seneng aja bisa jalan sama lo. Kayaknya kita udah beneran kayak orang pacaran ya.” Aku sedikit tersedak dengan makananku karena kata-kata Drew barusan. “eh, hati-hati donk. Minum dulu nih.” Drew menyodorkan air padaku dan aku bisa sedikit menenangkan diri. Aku mengangguk berterima kasih atas perhatian Drew. 

Sepanjang malam di kafe itu kami banyak membicarakan hal-hal tanpa arah mulai dari tentang pertandingan basket karena aku bertanya kenapa kita bisa kalah, lalu bola, tentang politik bahkan waiters yang sedang lewat pun bisa jadi bahan pembicaraan. Aku jadi merasa nyaman dengan Drew, gak biasanya hal ini terjadi aku memang pacarnya tapi Cuma pacar bohongan. Hanya saja rasa nyaman ini beda dari rasa nyaman dengan sahabat. Drew tau banyak tentangku dan begitupun denganku segala perhatiannya padaku bukan hanya karena kami pernah dekat sewaktu kecil tapi, mungkinkah ada sesuatu di antara kami.

Drew telah sampai di depan rumahku dan aku langsung turun dari motornya. Setelah mengucapkan terima kasih aku langsung menuju ke rumah, tapi saat aku akan balik badan Drew menahan tanganku.
“tunggu.” Ucap Drew. “gue boleh minta sesuatu gak sama lo?” tanyanya. “sebagai pacar.” Lanjutnya lagi. apa-apaan dia yang harusnya boleh minta itu kan aku bukan dia.
“maksud lo? Emang lo mau apa?” tanyaku yang juga penasaran.
“boleh gue cium lo?” myGod kenapa dia tiba-tiba mau nyium gue. gak mungkin, ini ciuman pertama gue dan gue gak mau ngelakuinya di depan rumah. gila aja, orang-orang bisa liat seenggaknya ini bukan tempatnya kalau Bunda sama Ayah liat gimana. Gak-gak gak boleh sekarang.
“ngomong apaan sih lo, yang boleh minta itu kan Cuma gue kenapa jadi lo. gak ada tuh di perjanjian kita. Lagian ngapain juga gue mau dicium sama lo. Kita pacaran juga Cuma pura-pura supaya lo gak digangguin cewek satu sekolah kan.”
“gue gak minta dicium di bibir kok. Di kening doank, ya” ucapnya lagi dan aku gak bisa bilang apa-apa lagi. Dengan cepat Drew maju ke depan dan mencium keningku walau sebentar tapi, bekas bibirnya di keningku sangat terasa, dan aku langsung menuju rumah setelah itu.

Aku mengetuk-ngetukan kepalaku ke meja pagi ini, teringat ciuman yang diberikan Drew tadi malam. Aku benar-benar gak bisa tidur dibuatnya. Aku terus berpikir apa yang dia lakukan. Aku berjanji untuk tidak jatuh cinta dulu seenggaknya sampai selesai UN dan lagi pula aku akan pergi ke Australia. Tentang hal ini aku belum cerita ke siapapun kecuali Bunda dan Ayah. Kenapa aku jadi berdebar-debar mikirin tentang Drew, terlebih lagi tentang nilai Drew yang makin membaik aku sepertinya sudah bisa menepati janjiku pada orangtua Drew agar dia lulus tahun ini. Karena dia memang harus lulus tahun ini.

“hai senior.”
“hai juga Junior.” Lagi-lagi si J “lo tau gak? lo satu-satunya orang di sekolah ini yang panggil gue senior. Apa sama seluruh senior lo manggil kayak gini?”
“gak, lo doank. Itu kan karena lo manggil gue Junior terus wak masih MOS.”
“nama lo kan emang Junior. Trus salah gue manggil lo gitu?” junior lantas menggelengkan kepalanya dan aku tanpa sadar tertawa akan hal itu lalu J memotretku “J apa-apaan sih kok motret tanpa bilang ke gue sih, ntar hasilnya jelek.”
“ini namanya candid. Gak papa lo cantik kok sini.” Kami berdua langsung tertawa mendengar statement J barusan dan dia terus-terusan memotretku.
“kenapa fotoin gue mulu si J.”
“senior lo tau gak, gue seneng banget lo panggil J. Karena lo satu-satunya yang panggil gue gitu.”
“haha gak tau deh lucu aja manggil lo J. Dan lo juga terus-terusan panggil gue Senior. Tapi, gue seneng juga lo panggil kayak gitu.”
Aku dan J terus-terusan mengobrol dan bercanda dia bilang ingin banyak menghabiskan waktu denganku karena sebentar lagi aku akan meninggalkan sekolah ini makanya dia banyak memotoku dari tadi. Aku tau J pernah bilang kalau dia suka padaku tapi, aku menolaknya karena umur kami dan lagian aku memang tidak suka orang yang berumur lebih kecil dariku. 

Saat asik ngobrol dengan J seseorang datang dan menggenggam tanganku sangat erat. Ternyata dari tadi dia memang telah memperhatikanku dan J dengan muka masam dan terlihat sangat marah Drew berkata pada J “jangan pernah lo gangguin cewek gue lagi.” aku bingung dan mengisyaratkan pada J untuk tidak melawan lalu Drew menariku dan membaawaku ke atap sekolah. Aku gak pernah tahu kalau ada jalan untuk ke atap sekolah karena menurutku itu tempat yang tidak boleh dikunjungi oleh siswa tapi, Drew tau ada jalan yang bisa menuju ke sana tanpa ketahuan guru. Setelah Drew benar-benar melepas tanganku tapi, tanganku masih sakit karena kuatnya genggamannya.

“apa-apaan sih Drew. sakit tau. Kenapa lo bawa gue ke sini?” ucapku heran sekaligus marah padanya.
“apa-apaan apanya? Lo tu yang ngapain sama Junior. Bercanda-canda kayak gitu. Maksud lo apaan. Mau bikin gue cemburu? Sory ya gue gak bakal cemburu. Tapi, gue gak suka lo dekat-dekat sama dia. Emang lo gak tau dia tuh suka sama lo. Ya maksud gue dia itu modus dekatin lo.” Aku hanya memandang Drew yang terus berbicara. “kenapa diam lo?”
“ya, karena lo lagi ngomong gue diem. Sekarang udah selesai ngomongnya?” Drew mengangguk. “jadi lo cemburu” tanpa diduga Drew menganguk lagi dan dengan cepat berganti dengan gelengan lalu dia tersenyum sendiri memegang dahinya dan mengangguk sekali lagi hanya sekali tapi, itu membuatku gugup.
“gimana mungkin gue gak cemburu lo kan cewek gue”
“tapi gue kan Cuma cewek boongan lo. Apa jangan-jangan lo udah jatuh cinta ya sama gue?” Ucapku lagi dengan senyum menantang.
“sekarang dengan jujur lo bilang deh ke gue selama beberapa bulan ini jadi pacar boongan gue, lo gak pernah punya perasaan sama gue? Lo pikir waktu pertama kali gue minta lo jadi pacar boongan gue itu apa benar-benar Cuma boongan?” Drew berkata serius dan memaksaku memandang wajahnya. Alis mata yang tebal, mata yang sedikit sayu serta bibir yang begitu terbentuk sempurna sejenak aku sadar bahwa aku sudah jatuh cinta padanya. Hal yang selama ini kuhindarkan. Tapi, aku gak pernah tau bahwa aku memang sudah lama jatuh cinta padanya.
“gue, gak tau Drew.” Aku bohong.
“gak usah bohong lo. Gue tau perasaan lo yang sebenarnya. Itu tergambar jelas di wajah lo. Lo juga jatuh cinta kan sama gue?” Drew mengambil tanganku dan menggenggamnya erat, pasti dan tidak terlalu kuat. Aku merasa nyaman dengannya. Tapi, kalau aku bilang cinta sekarang. Setelah lulus aku harus ke Australia, Drew harus tau tentang ini. Saat aku akan berkata apa yang selama ini aku pikirkan tentangnya tiba-tiba penglihatanku jadi kabur dan aku mengedipkan mataku berkali-kali aku sedikit sempoyongan karena tiba-tiba ada sesuatu mennyentuh bibirku yaitu bibirnya Drew dan aku benar-benar terkejut dengan apa yang baru saja dilakukan drew. Karena masih kaget aku menutup mataku dan membiarkan Drew melakukan ciuman itu. Ciuman pertamaku terasa manis dan membuat kepalaku berputar. Apa ini yang namanya jatuh cinta.

Aku memang tidak tahu bagaimana jatuh cinta yang sebenarnya tapi aku tahu bahwa saat aku merasakan kehilangan itu sangat menyakitkan saat kita tidak bisa menggenggam tangan orang yang sangat kita sukai, saat kita melihat dia tertawa dengan orang lain itu sangat menyakitkan. Lebih baik kita memanfaatkan apa yang kita punya sekarang tanpa harus menghindar dan menepis rasa itu. Karena menyadari rasa suka dan cinta itu bukan suatu tindak kejahatan, untuk apa takut. Karena cinta dan rasa sakit berkaitan lalu apa gunanya perasaan kalau kita gak pernah bahagia karena cinta dan gak pernah sedih karena patah hati. Hati dan perasaan itu dibuat agar kita merasakan seluruh rasa di dunia apapun rasa itu akan sangat tidak berharganya hidup tanpa rasa

Setelah kejadian atap sekolah itu aku dan Drew masih bersama. Drew mengikutiku juga ke Australia tapi kita di jurusan yang berbeda. Dan hingga sekarang sudah dua tahun kami bersama. Banyak hal ternyata yang kami tau satu sama lain, kebiasaanku dan kebiasaan Drew kami saling memahami ada untungnya berpacaran dengan sahabat yang bahkan tau diri kita lebih dari kita sendiri.

Cerpen Karangan: Lee Ghin Fhae (ghinfai)
Blog: ghinafairuz.blogspot.com

Coba Lihat Langit Biru di Atas Sana

“Coba lihat langit biru di atas sana.”
Kata-kata itu selalu terngiang di otakku, berputar-putar dan diulang-ulang berkali-kali. Kata-kata sederhana tetapi begitu istimewa untukku.

“Setiap kali kamu sedih, coba lihat langit biru di atas sana. Mereka akan membuatku nyaman dan membuatmu melupakan kesedihanmu,” ujarnya setiap kali aku meneleponnya sambil menangis.
“Kalau kamu bahagia, coba lihat langit biru di atas sana. Berbagilah kebahagiaanmu kepada alam juga. Barangkali alam juga akan memberikan kebahagiaan yang sama untukmu,” ujarnya ketika kami bertemu disaat aku sangat bahagia.

“Kalau aku sedang pergi jauh, coba lihat langit biru di atas sana. Tataplah awan putih di atas sana dan bayangkan wajahku,” ujarnya mengingatkanku ketika aku mengantarkannya ke bandara untuk melepasnya menerbangkan pesawat.
“Intinya, apapun yang kamu rasakan coba lihat langit biru di atas sana, semoga langit biru akan membantumu untuk memperbaiki ataupun menambah kebahagiaanmu,” ujarnya sebelum ia terbang menuju Amerika untuk menyelesaikan tugasnya sebagai pilot. Waktu itu aku mengangguk dan menitikkan airmataku ketika tangannya menangkup pipiku.
“Hey, this isn’t the first time. Biasanya kamu gak nangis. Malah ketawa-ketawa. Kok tumben hari ini kamu menangis?” tanyanya yang langsung kujawab dengan gelengan kepala yang begitu cepat.
“Aku pergi dulu ya. Tunggu aku sampai aku pulang ya,” ujarnya kemudian berjalan menuju pintu keberangkatan dan meninggalkanku sendiri yang menatapnya dengan penuh airmata.

Tak seberapa lama aku meninggalkan bandara, aku mendengar berita jika ada pesawat menuju Amerika jatuh. Jantungku berdebar begitu cepat, ketakutan jika pesawat itu adalah pesawat yang dipiloti Ben.
Rasa takutku kemudian benar-benar menjadi kenyataan. Pesawat Ben jatuh. Saat itu juga di antara para pasien rumah sakit yang begitu terkejut menonton berita, aku menangis. Menangis begitu kencang. Tidak peduli lagi aku adalah seorang dokter atau bukan. Airmataku terus-terusan mengalir tanpa ada ujungnya.

Aku kemudian mengingat kata-kata Ben untuk selalu melihat langit biru ketika aku sedih. Aku kemudian menenangkan diriku terlebih dahulu dan berjalan dengan pasti menuju lantai paling atas untuk menatap langit biru yang selalu di bicarakan Ben. Tapi ketika aku tiba di lantai paling atas, aku mendapati langit berwarna abu dan tidak menyuguhkan kenyamanan untukku.
Aku kembali menangis, membiarkan kesedihan dan ketakutanku untuk terbebas bersama dengan tetesan airmata yang mengalir di pipiku. Setelah aku mengeluarkan airmataku, aku langsung menuju bandara untuk mencari tahu apakah Ben masih ada atau tidak.

Ternyata ketika aku tiba di bandara dan membaca nama-nama korban jiwa, nama Ben ada di urutan teratas. Aku tak dapat berkata apa-apa lagi. Bahkan ketika sang manager memanggil namaku untuk mengucapkan bela sungkawa, aku tidak mendengar sama sekali malah menangis begitu kencang hingga dadaku terasa sakit.
Hari ini, ketika aku menuju rumah sakit dan menatap langit biru berharap agar tidak terjadi apa-apa pada Ben, ternyata langit biru yang cerah itu sedang mengambil Ben secara paksa dari pelukanku.

Cerpen Karangan: Anindhita Almadevy
Blog: anindhitalma.weebly.com



Takdir Cinta Indah

Suasana kampung begitu tenang ketika mentari telah berlabuh di peraduannya. Angin malam selalu membawa kerinduan masa lalu serta cahaya purnama yang selalu tampak gagah di antara bintang-bintang. Aku selalu ingin suasana yang seperti ini sepanjang hidupku. Namun aku tak mungkin akan selalu di sini. Itu sama saja mengembalikanku dalam harapan yang tak pernah terwujud hingga hari ini. Dan harapan itu telah tergantikan olehnya yang kurasa lebih baik.

“Kau sudah kembali?”
Suara itu mengagetkanku saat menginjak anak tangga paling terakhir. suara yang masih tetap sama empat tahun silam. Dia duduk di sebuah kursi rotan menghadap ke timur sambil menatap cahaya rembulan, mengenakan jilbab warna putih, jaket tebal warna pink. Wajahnya. Wajahnya mengalami perubahan besar seperti memendam sesuatu, menunggu waktu yang entah sampai kapan untuk mengungkapkannya. Aku berhenti sejenak, berdiri beberapa meter darinya sekedar untuk menjawabnya.

“Iya. Tapi hanya beberapa hari saja. Kau untuk apa ke sini?”
“Mengapa kau bertanya itu? Apakah kau tidak tahu jika memang aku selalu di sini?”
“Tidak. Memangnya untuk apa kau kemari?”
“Aku hanya ingin di sini. Mengingat semuanya”
“Mengingat apa?”
“Mengingat diriku yang selalu kesepian. Kesepian dalam penantian selama empat tahun”
“Penantian? Kau menanti siapa?
“Dirimu”
“Diriku? Aku tak pernah berharap kau menantiku. Untuk apa?”.
“Lihatlah. Dirimu selalu saja sama. Tak pernah berubah. Aku selalu berharap kau tak kembali tapi aku tetap ingin dirimu. Dan kau sama sekali tak menyadarinya. Aku disesatkan oleh parasaanku sendiri dan kau tak pernah berusaha untuk menunjukkan jalan meski hanya setapak”.
Nada suaranya semakin berat, terdengar serak parau terbata-bata. Ah tidak, lagi-lagi dia menangis. Air matanya nampak warna keemasan diterpa cahaya lampu pijar lima watt. Angin dingin malam mengusap air mata di wajahnya.

Kembali kulangkahkan kaki meninggalkannya. Mungkin dia memang harus sendiri untuk saat ini, kesendirian yang terus mengeruk luka yang semakin dalam. Luka yang selalu ia paksakan untuk terus menganga.
“Sejak kapan ia sering ke sini Bu?” bisikku pelan kepada ibu.
“Ia selalu datang ke sini sejak kau pergi. Ia ingin tahu semua tentang dirimu. Menanyakan mengapa engkau pergi dan mengacuhkannya begitu saja. Sesekali ibu menemaninya sampai larut malam sambil ia terus bercerita akan dirinya. Bahkan ia lebih banyak menghabiskan waktu di sini dibandingkan rumahnya sendiri. Dia selau bilang jika ia berada di rumah ini, maka engkau serasa selalu ada bersamanya. Ibu sering merasa iba kepadanya. Nak, Bawakan teh ini untuknya!”
”Jangan aku. Ibu saja yang membawanya!”
“Baiklah. Tapi kau ikut ke teras juga! karena ibu tidak tahu sampai kapan ia akan di situ. Ia hanya ingin dirimu dan dia ke sini hanya untukmu. Temuilah dia meski hanya sesaat saja”

Hening seketika saat aku duduk. Gadis itu masih menyisahkan isakan dan air mata. Perlahan ibu mendekat lalu merangkulnya penuh kasih dan cinta seolah gadis itu seperti anak kandungnya sendiri.
Seperti bisa kurasakan raungan, perih dan rintihan hatinya yang seakan membentakku dengan penuh kebencian. Dia membuang muka tak sudi melihatku. Sementara aku hanya menatap segelas teh yang masih hangat dengan aroma yang menyeruak ke dalam hidung.

“Nak. Sampai kapan kau akan seperti ini? Hari ini Amran sudah kembali dari perantauannya. Katakanlah semua hal yang membuatmu seperti ini! Bukakankah kau selalu menanyakannya? Dia di sini hanya beberapa hari saja. Jadi ungkapkanlah semuanya”
Gadis itu terus terisak dalam pelukan ibu. Air mata terus meleleh. Bahkan mungkin hanya menelan ludahnya pun akan terasa sangat sakit.

“Amran. Apa kau tak pernah merasakan bagaimama hatiku lelah dalam penantian? Penantian yang entah akan berujung kemana. Apa aku tak boleh berharap? Apa aku tak pantas memiliki separuh dari hatimu? Apa yang membuatmu sulit untuk menerimaku? Apa yang memyumpal mulutmu dan memilih pergi?. Bang Amran, Apa salah jika aku yang seorang perempuan mengungkapkannya terlebih dahulu? Bukankah niatku itu suci? Aku merasa jika aku adalah wanita yang paling beruntung jika bisa bersamamu. Dan hari itu aku datang kepadamu dan mengatakan semuanya. Akan tetapi kau menggantungkan pertanyaanku dengan memilih untuk pergi dan menjauh”

Gadis itu menghujamku dengan setumpuk pertanyaan yang membuat dadaku semakin sesak. Aku tahu tak mudah menyapu bersih semua hal menyakitkan itu. Berat bagiku untuk membuka mulut dan memberinya jawaban. Namun sampai kapan ia akan seperti ini? Sampai kapan ia akan membunuh dirinya dengan kesedihan yang semestinya ia harus belajar untuk menerimanya?

“Aku tahu apa yang kau rasakan. Namun tak semestinya kau harus seperti ini. Aku menghargai apa yang telah kau perjuangkan demi bisa hidup bersamaku. Siapalah diriku ini? Setidaknya aku juga pernah melakukan hal yang sama denganmu”

“Melakukan hal yang sama? Kau tak melakukan apapun. Bahkan tak satu nada pun yang keluar dari mulutmu ketika aku datang mengatakan niatku untuk menjadi istrimu. Atau apa kau merasa harga dirimu terinjak lantas dilamar oleh seorang wanita terlebih dahulu?”

Nada suaranya semakin meninggi bercampur dengan udara angin malam yang semakin dingin menembus lapisan epidermis kulit. Tapi sepenuhnya ini bukan hanya karena kesalahanku. Dia yang membiarkan dirinya terombang-ambing di tengah lautan tanpa arah yang jelas. Untuk apa dia menantiku?

“Indah. Apa kau tahu jika aku lebih dulu melakukan hal yang sama sepertimu? Aku selalu resah jika membayangkan wajah dan nada suaramu sedangkan kau sendiri tak ada di sampingku. Dan hari itu kuputuskan untuk datang menemui ayah dan ibumu karena aku tak menemukan jalan untuk bersamamu selain menikah. Akan tetapi mereka menolakku, bahkan melemparkanku ke dalam jurang dengan kata-kata. Aku hanyalah pemuda miskin yang tak punya apa-apa, setiap hari berteman dengan cangkul dan caping, ayahku tak mempunyai kedudukan yang tinggi di mata penduduk kampung. Bahkan ibuku pun tidak tamat Sekolah Dasar, mereka tak mampu membawaku ke bangku kuliah dan hanya sampai Sekolah Menengah Akhir saja. Dan semua itu berbanding terbalik dengan dirimu. Wajarlah jika ayahmu yang seorang kepala desa menolak lamaranku. Dan untuk menghapus rasa kecewa, aku memilih untuk pergi jauh dan lebih jauh lagi. Berharap jarak dan waktu bisa menghapus semuanya dengan perlahan”

Aku menarik nafas dengan teramat berat. Tangisnya kembali pecah. Memecahkan keheningan malam yang menyelimuti kesedihannya. Aku hanya bisa menelan ludah. Ibu memeluk Indah dengan semakin erat.

“Indah. Aku minta maaf jika aku tak pernah memberitahumu yang sebenarnya sebelum pergi. Kukira ayah dan ibumu akan mengatakan hal itu karena engkau sedang tak berada di rumahmu saat aku datang untuk mengatakan niatku itu. Aku tak mungkin memaksa dirimu untuk denganku tanpa anggukan persetujuan dari orangtuamu. Karena pernikahan bukan hanya mengenai dua insan yang saling mencintai, melainkan akan melibatkan dua keluarga untuk menjadi satu. Maaf, sekali lagi maaf. Pekan depan aku harus kembali ke Kalimantan, membawa ibuku hidup bersamaku di sana. Dan aku telah dinanti oleh keluarga kecilku. Sudah ada bidadari dan pangeran mungil tampan yang menjadi pelengkap hidupku di Borneo sana dalam dua tahun terakhir ini.”

TAMAT

Cerpen Karangan: Goalijaya
Blog: goalijaya.blogspot.co.id


Diberdayakan oleh Blogger.

Blogroll

About