Minggu, 04 Oktober 2020
Jumat, 02 Oktober 2020
Dara Di Batas Usia
Rabu, 30 September 2020
Atas Nama Cinta, Atas Nama Kesetiaan
Atas nama cinta, atas nama kesetiaan dan kasih sayang. Demi tuhan, semua itu telah membelengguku begitu erat. Tanah basa itu perlahan mengering. Rumput dan pucuk-pucuk hijau menguning. Pohon-pohon meranggas dan alam mengerang setiap kali perputaran musim berganti. Namun aku tak bergeming, tetap mematung dalam belenggu cinta dan kesetiaan
Tanah basah lagi, tanah kering lagi. rumput hijau lagi, rumput menguning lagi. Alam meradang. Perputaran waktu telah mencekik leher dan menyeretnya kedalam lingkaran ketuaan. Kulitnya semakin mengerut dan wajahnya kusam, Rumput dan pucuk-pucuk telah berganti beberapa generasi.
(Beberapa pinangan datang, namun semua berujung penolakan. Dan pinangan pun pulang sia-sia, namun tegar. Dengan senyum kemenangan: Atas nama cinta, atas nama kesetiaan)
Atas nama cinta dan kesetiaan. Aku terbelenggu, tanganku terikat, dan kakiku terpasung dalam kesetiaan. Badanku semakin membesar dan tambun. Orok dalam rahimku menendang dan menerjang-nerjang. Sesaat dia menggeliat, kemudian dia. Aku menarik nafas lega.
Aku teringat pada malam-malam terkutuk yang menyeretku pada kenistaan ini. Udara dingin, alam senyap, pekat memukat malam.
"Rebahlah disampingku Dik. Aku akan menitipkan cinta ini padamu" ujarnya saat itu.
"Tapi... apakah yang aku kita lakukan ini benar?" tanyaku ragu
"Tentu saja. Kita saling mencintai. Lantas apa lagi?" ujarnya menenangkanku.
Aku membenarkan perketaannya. Aku tak berkutik. Dan aku tak menolak saat tangannya melucuti kain yang kupakai satu persatu dan kemudian tubuh kekarnya menindihku. Semua itu, setaip gerakan tubuhnya dan juga penerimaanku, kujabarakan sebagai arti cintaku dan cintanya. Aku diam, atas nama cinta, atas nama kesetiaan.
Malam yang ini itu berlalu. Kemudian kutemui malam-malam indah lainnya. Seperti sebelumnya, gulitanya alam pun terlewati dengan penuh gairah. Beberapa adegan percintaan dan kasih romantis tercipta dan terukir menjadi sekelumit sejarah dlam kehidupanku. Dan setiap suatu malam berujung, aku mulai lagi dengan malam yang baru, dengan adegan cinta yang baru, namun dengan gelora yang tetap membara. Lagi, lagi,lagi dan lagi
Aku tak peduli pada malam yang mengingatkanku. Aku tak malu pada dinding yang menunduk sendu, pada tanah malam yang basah, pada udara yang meneteskan embun-embun pagi. Aku tak perduli, aku tak merasa malu. Atas nama cinta, atas nama kesetiaan
Dan bahkan , saat mereka mengingatkanku, dengan lantang aku berteriak.
"Persetan dengan petuah dan nasehat kalian. Matilah. Aku berada pada jalanku" ucapku penuh kemarahan. Semua atas nama cinta, atas nama kesetiaan.
"Tunggulah aku, Dik. Aku akan kembali suatu saat. Telah kusematkan benih dirahimu, petanda aku akan kembali. Karena itu, setiahlah padaku, waktu akan menguji kesetiaanmu,"
Dengan lugu, aku pun menggangguk. Sompret! Kenapa aku bisa sebego itu?
Demi tuhan. Cinta itu telah mengekangku. Kesetiaan telah membelengguku. Dan kenistaan mengiringiku. Kecaman datang bertubi-tubi. Mulut-mulut nyinyir menusukku. Sinar mata penuh jijik menamparku berulang-ulang. Aku tertunduk. Rasa malu menggelayut. Perih mengiris-iris.
"Hhhh..," desah penuh kebingungan keluar dari mulutku, Dadaku terasa sesak dan berat. Orok semakin gencar menendang-nendang perutku. Aku meringis. Atas nama cinta, atas nama kesetiaan. Shit!
Demi malam yang kutaburi dengan kenistaan. Demi perbuatan terkutuk yang kulakukan. Demi cinta dan kesetiaan yang begitu kuagungkan. Lihatlah: aku terduduk lesu, terpuruk dalam belenggu cinta dan kesetiaan. Namun, kenapa cinta itu tak memperdulikanku sama sekali? Kenapa ia tak menoleh pada apa yang kusebut dengan pengorbanan? Pengorbanan yang memebelenggu dalam kata kesetiaan, hingga aku tak boleh berpaling; pengorbannan yang menggantungku pada kenistaan seumur hidup; pengorbanan yang membuat kecaman dan mulut nyinyir itu mencabikku. Apakah cinta dan kesetiaan itu adalah ayat-ayat yang harus selalu kuagungkan? Keparat!
Tanah basa lagi, tanah kerng lagi. Aku masih tertunduk, merenda penyesalan. Kabar darinya tak kunjung datang, cintapun tak menyapa. Hanya aku yang terkubur dalam kubanggan keninaan dan keputusasaan. Aku menggigil kedinginan. Aku berteriak kepanasan.
Tak ada yang peduli. Tidak juga dengan dirinya. Nadiku semakin melemah. Namun orok itu semakin menendang keras, petanda bahwa ia semakin kuat, dan tak lama lagi lahir.
Atas nama cinta, atas nama kesetiaan. Ah.......
Minggu, 27 September 2020
Aku Memang Cantik
Jumat, 25 September 2020
Akhir Sebuah Pagi
Minggu, 05 Februari 2017
Kenanganku dan Tentangnya
Ya, aku mengalami pelecehan s*ksual semasa kecil. Oleh tetangga, dan teman-temanku sendiri. Orangtuaku yang masih menganggap s*ksual sebagai hal yang tabu dan tidak pantas untuk dibicarakan. Dan aku selalu mengurungkan niatku untuk menceritakan hal ini kepada mereka.
Aku lebih memilih untuk menutup rapat-rapat semua kenangan buruk itu. Meski sering dada ini terasa penuh dan air mata pasti tak dapat terbendung jika mengingatnya. Aku tau, hal ini berefek pada pola pertemananku. Aku takut dengan anak laki-laki, dan aku lebih memilih untuk menghindari mereka. Terlebih saat ada yang terlihat mulai mendekatiku, aku takut, kenangan itu pasti muncul.
Dimas namanya, teman kuliahku. Ia cukup tenar di antara teman-temanku. Kata mereka ia cukup tampan, dan banyak pula temanku yang mengidolakannya. Tapi aku? Aku lebih memilih diam saat mereka membicarakan mengenai laki-laki. Terkadang beberapa temanku seperti terheran, dengan sikapku saat mereka membicarakan dimas atau teman laki-laki yang lain. Dan memang kadangkala aku malah pergi jika mereka mulai memulai pembicaraan tentang laik-laki. Aku tak menjelaskan apapun disitu.
Diusia ini aku sadar, aku tidak akan bisa terus menerus menghindar dari teman laki-laki. Aku berusaha untuk berteman dengan mereka, meski dengan sangat terbatas. Aku berusaha selalu bersikap seolah aku tumbuh dengan normal. Meski kadang mungkin aku tidak dapat menutupi kemurungan. Ingatan demi ingatan itu masih sangat jelas. Terkadang keringat dingin yang akhirnya menetes saat aku menahan dan menolak untuk mengingat semuanya.
Sampai pada suatu ketika, dimas menghampiriku dan menanyakan beberapa hal terkait materi kuliah yang ia belum pahami. Dimas ternyata sangat sopan. Bahkan ia tidak seperti teman laki-laki yang lain saat bertanya. Ia memilih menggunakan kata-kata yang santun, dan lebih seperti meminta tolong namun jangan sampai membebani.
Awalnya aku agak canggung saat berbicara dengannya, namun tidak ada rasa takut sama sekali. Seiring intensitas kami berbicara, rasa canggung mulai hilang. Kesantunannyalah yang membuatku tidak merasa takut ataupun canggung. Bisa dikatakan ia adalah satu-satunya laki-laki yang bisa mengajakku berbicara untuk waktu yang cukup lama selain dari ayah dan kakakku. Aku dengan leluasa menjawab apa yang menjadi pertanyaannya. Tak jarang aku juga bertanya mengenai hal-hal yang belum aku pahami.
Teman-teman cewekku mulai mengatakan kalau aku ada peningkatan. Aku tidak lagi cupu seperti dulu. Mereka mengira aku dan dimas ada sesuatu, namun aku menyangkalnya. Hubungan kami hanyalah sebatas teman dan tidak lebih. Meski mereka tidak percaya, namun memang itulah yang terjadi sampai detik ini.
Setelah beberapa saat, aku dan Dimas mulai bertukar nomor hp. Obrolan kami melalui hp juga hanya sebatas tanya jawab masalah tugas dan materi kuliah, tidak lebih.
Namun pada suatu ketika, dimas mengirim pesan yang berisi ajakan untuk makan malam. Aku sedikit kaget. aku memang anak kos, tapi aku juga jarang keluar malam. Menjadi kebiasaanku seperti saat masih sekolah, tidak boleh keluar malam jika tidak ada alasan tepat.
Lima belas menit belum kujawab pesan itu. Aku lebih memilih ke kamar sahabatku, ira. Kami mengobrol tentang beberapa hal, hingga sampai pada pembicaraan mengenai dimas. Ira adalah sahabatku yang paling dekat diantara yang lain. Ia adalah teman kos sekaligus satu jurusan denganku. Dan benar saja aku tidak dapat menyembunyikan banyak hal dari dia, terkecuali masa laluku yang memang aku simpan rapat-rapat. Apalagi saat itu ada pesan masuk dari dimas yang menanyakan kembali kesediaanku.
Ira merebut hpku dan membaca pesan dari dimas. “What?? Dimas ngajakin kamu makan?” celotehnya
“Iya” jawabku
“Trus jawaban kamu?” tanyanya lagi
“Aku masih bingung” jawabku lagi
Ira sebenernya sudah mulai mencium gelagat dimas padaku, dan ia membujukku untuk mau memenuhi ajakan dimas dengan berbagai cara. Dan sampai pada kalimat yang membuat aku tersadar “Lel, harus ada orang yang kamu percaya untuk melindungi kamu”. Entah kenapa dia bisa berkata seperti itu, padahal aku tidak pernah menceritakan apapun tentang masa laluku. Akhirnya aku membalas pesan dimas dan menerima ajakannya.
Malam itu, dia menggunakan sepeda motor yang selalu ia pakai berangkat kuliah untuk menjempuku. Aku tau dimas orang berada, namun hal itu tidak pernah ia tampilkan dalam kesehariannya. Meski dikenal playboy, namun ia tetap berpenampilan sederhana.
Ia mengajakku makan malam di suatu rumah makan yang cukup nyaman. Seperti kedai namun nyaman jika dipergunakan untuk mengobrol. Aku memesan makanan sesuai sarannya. Kami mulai mengobrol dan kali ini bukan tentang tugas atau materi kuliah. Dia menceritakan keluarga, sekolah, dan aktifitas-aktifitasnya. Kali ini aku lebih banyak mendengarkan.
Dan sampai pada pertanyaan ini aku terdiam dan tak bisa berkata-kata “Lel, sebenarnya aku udah lama memperhatikan kamu. Maaf jika aku lancang, namun jika aku boleh tau apa penyebab yang membuat kamu sering murung?”
Ia menghela nafas dan melanjutkan, “Mungkin jika aku boleh menebaknya sepertinya kamu menyimpan sesuatu. Iya, benar begitu?”
Aku kembali tidak bisa berkata apa-apa. Keringat dinginku mulai mengucur, dan sepertinya dimas mengetahuinya. Ia melanjutkan “Tidak apa-apa kalau kamu tidak mau menjawabnya untuk saat ini dan kalau pada suatu ketika kamu ingin menceritakannya aku siap untuk mendengarnya kapanpun saat kamu membutuhkannya”.
Ia menatapku dalam namun tetap terasa sejuk. “Lel, maaf mungkin apa yang aku sampaikan akan membuatku kaget. Sudah lama aku menyimpan rasa sayang sama kamu, aku harap kamu tidak tersinggung atau marah”.
Aku akui, aku pun mulai ada rasa dengannya. Aku mulai mempercayai seorang laki-laki dalam hidupku. Meski ada sedikit rasa takut menyelimuti, namun entah kenapa aku juga tidak beranjak untuk meninggalkannya. Aku berpikir dan menata hatiku. Aku meminta ijin untuk menyelesaikan makan malamku sembari berpikir.
“Mas, untuk pertanyaanmu yang pertama aku tidak bisa menjawabnya. Jika memang pada suatu ketika harus aku ceritakan ke kamu maka akan aku ceritakan. Terus terang aku kaget dengan pernyataanmu tadi. Aku mulai mempercayaimu, aku bahagia atas ucapanmu tadi namun ada hal yang membuat aku tidak bisa menjawabnya sekarang. Tolong jangan jauhi aku, dan tetap seperti dimas yang kemarin karena aku bahagia mulai dapat percaya pada seseorang” jelasku.
Ia tersenyum hangat dan mengangguk tanda menyanggupinya. Selesai makan, ia mengantarkanku pulang ke kosku.
Setelah makan malam itu, dimas tidak berubah. Bahkan ia lebih melindungiku. Kehangatan dan kasih sayang selalu aku rasakan saat bersamanya. Meski begitu tidak pernah ia melebihi batas. Ia menggandengku hanya pada saat dimana aku membutuhkan bantuan, namun melepasnya kembali setelah aku dirasa tidak membutuhkan. Ia juga menjadi tempat keluh kesahku, saat aku mendapatkan kesulitan. Kedekatan kami mungkin lebih dari sekedar sahabat.
Dua bulan kami bersama dan ia meminta izin untuk pulang ke jakarta. Sampai pada suatu hari aku mendengar kabar kalau ia ditimpa musibah di sana. Ia terkena luka bakar saat ingin mematikan api dari wajan yang menyala karena terlalu panas. Aku lemas mendengarnya. Aku ingin menjenguk dan menemaninya, namun apa daya aku pasti tidak akan mendapat izin dari orangtuaku. Aku hanya bisa menanyakan kabarnya lewat sms. Jujur aku sangat merasa kehilangan. Ternyata aku mulai menyayanginya, dan perasaanku kepadanya telah sangat dalam aku yakin.
Dua bulan ia di Jakarta untuk menyembuhkan lukanya, sampai pada suatu hari ia pulang tanpa memberiku kabar terlebih dahulu. Ia datang ke kosku dengan tangan kanan dan kaki kanan masih berbalut perban.
“Dimas…” mataku berkaca-kaca saat melihatnya. Seolah aku masih tak percaya, ia hadir di depanku. Air mata ini tak terbendung lagi saat menyadari kondisinya yang masih penuh dengan balutan perban. Namun ia tetap tersenyum dengan hangat. “Hey lel… boleh duduk?”
Aku yang masih kaget, sampai-sampai lupa tidak mempersilakan ia duduk. Sontak aku membantunya untuk duduk karena ia masih terlihat sedikit kepayahan. “Nggak papa kok, aku bisa” ucapnya.
“Gimana kabar kamu?” ia mulai memecah keheningan.
“Baik… aku baik” agak tergopoh kujawab pertanyaannya.
Ia menceritakan peristiwa saat ia mendapat musibah itu. Dalam hatiku aku sangat bersedih, aku yang selama ini ia obati namun tak bisa berbuat apa-apa saat ia terluka. Tak sadar air mata ini tak terbendung saat ia menceritakan proses pengobatan yang ia jalani saat berada di Rumah Sakit.
“Hey… aku nggak papa kok” ia berseloroh.
Aku tersenyum. Apa yang bisa aku lakukan untuk sedikit meringankan rasa sakitmu? Dalam hati aku berkata.
Tak terasa obrolan kami hingga larut. Kami asyik berbicara seperti sedang melampiaskan rasa kangen satu sama lain. Karena memang itu yang kami rasakan.
Ia menggenggam tanganku erat, seolah berkata “kuatkan aku”. Dan entah kenapa genggaman itu tak kulepaskan.
Dinginnya malam membuat kami saling mendekatkan badan, mencari kehangatan. Ia mengelus pipiku, dan menatap wajahku dalam-dalam. Perlahan ia mendekatkan wajahnya. Ia menciumku, dengan sangat lembut. Ciuman pertama yang kualami, dan entah kenapa aku larut dalam ciuman itu.
Debar jantungku seolah terdengar sangat keras. Perasaan ini bercampur aduk, antara rasa rindu, dan sedikit ingatan-ingatan masa lalu yang muncul. Sedikit rasa yang meyakinkanku saat itu, aku ingin sedikit meringankan rasa sakitnya, itu saja.
Tentang ingatan-ingatan itu, sudah tidak terlalu terasa berat. Berkatmu aku rasa. Aku semakin yakin bersamamu, jika pada saatnya nanti kamu menjadi orang yang benar-benar aku percaya maka akan aku ceritakan semua tentang masa laluku. Dan aku yakin, melalui perantaramu semua kesakitanku dapat terobati.
Malam itu pula aku menerima cintanya.
Cerpen Karangan: Dinna L Fauzia
Facebook: dinna.fauzia[-at-]facebook.com
Sabtu, 04 Februari 2017
Jangan Bilang Lo Jatuh Cinta?
Selama hampir tiga tahun aku tidak berpacaran hanya fokus untuk belajar dan sekolah. Beberapa orang memang mencoba untuk mendekatiku tapi, aku sepenuhnya menutup hatiku sejak terakhir kali dikhianati oleh mantan pacarku dan sekarang setahun lalu Andrew teman masa kecilku kembali dan bersekolah di tempat yang sama denganku. Dia langsung menjadi populer dan digoda oleh banyak cewek di sekolahku membuatnya risih dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dan saat ini kami membuat janji untuk menjauhkan dia dari hal-hal seperti itu jadi dia bisa fokus pada pelajarannya dan meluluskan sekolahnya tahun ini tanpa menambah tahun dan umur lagi. aku pikir aku harus menerimanya karena hanya dengan cara ini aku dapat memenuhi permintaan kedua orangtua Drew agar membantunya untuk lulus tahun ini.
“oke. Dan permintaan pertama gue. Gue pengen nilai lo bisa diatas gue minimal sama deh ama gue juga nilai semester lo. Buktiin kalau lo emang serius pengen nyelesaiin sekolah dan gak bikin onar lagi. lagian gue janji ama bokap nyokap lo untuk ngebuat lo lulus tahun ini.” Aku menaikkan satu alis sebagai tantangan apa dia bisa menerima permintaanku ini. Karena, aku tahu tidak ada cara lain lagi.
“oke. Deal” ucapnya menyerahkan tangannya mengajakku bersalaman untuk perjanjian ini.
“dan ini baru permintaan pertama.” Aku tersenyum kemenangan.
Hari pun berlalu aku bisa mengatasi semua penggemar Drew dan membuat mereka tidak mengganggu Drew lagi selama aku masih menjadi pacarnya. Tapi, satu hal yang sedikit sulit diatasi teman-temanku yang menudingku terus dengan pertanyaan kenapa tiba-tiba bisa pacaran dengan Drew dan bagaimana aku bisa secepat itu punya hubungan dengan Drew mereka benar-benar tidak percaya bahwa aku dan Drew berteman sejak kecil makanya sekarang kami mudah sekali dekat dan lagi orangtua kami saling mengenal kenapa gak mungkin bagi kami bisa berpacaran. Teman-temanku hanya tidak menyangka karena selama ini aku bersikukuh tidak ingin pacaran lalu tiba-tiba malah jadian dengan pangeran tampan sekolah. Pangeran tampan? Bagi gue gak ada tampan-tampannya sama sekali tuh.
Seperti permintaan Andrew agar aku selalu berada di dekatnya saat di sekolah, menemaninya latihan basket dan kegiatan sekolah lainnya. Seperti saat ini Drew latihan untuk pertandingan basket antar sekolah dan aku hanya duduk di bangku penonton sambil membaca buku karena besok ada ulangan sambil menunggu Andrew.
“hei Senior. Lagi nungguin pacar lo ya?” ini dia si J atau nama aslinya Junior, aku memanggilnya J.
“Hei J. Kok baru dateng lo udah latihan hampir setengah jam loh tu.”
“iya nih Senior, gue abis ngambil ulangan susulan karena kemaren ini sakit, tapi gue udah bilang pelatih bakal telat. Ya udah gue gabung latihan dulu ya.” Ucap J dan sebelum meninggalkanku dia berkata lagi “ternyata lo cocok juga ya sama cowok lo ini. Kalau gue tahu dari awal tipe lo cowok populer kayak dia, harusnya gue udah ngelakuin itu dari dulu.”
Dasar si J, gimanapun juga dia mau jadi populer dia tetap junior dan lagian bukan hanya namanya yang Junior umurnyapun lebih kecil dariku. Aku gak mungkin bisa suka sama brondong.
“akrab banget lo ama si Junior.” semua sudah selesai latihan dan menuju tempat istirahat tapi, Drew malah menemuiku.
“apaan sih Drew. Apa sekarang lo bakal ngelarang gue ngobrol sama Junior-junior gue sekarang. Ingat ya gue Cuma pacar lo yang ngebuat lo supaya gak digangguin cewek-cewek satu sekolah. Jadi gak ada hak cemburu-cemburuan deh”
“lagian siapa yang cemburu. Gue nanya doang.” Drew berlari lagi kelapangan setelah mengatakan hal seperti itu padaku. Aku gak yakin Drew cemburu karena, gak mungkin Drew suka padaku. Dan aku pun gak mungkin suka sama dia. Udahlah buat apa dipikirin.
Andrew dan aku memang pernah di sekolah dasar yang sama dan karena orangtua kami berteman Drew dan aku juga jadi dekat. Tapi, gak ada hal mengenakkan dalam hubungan masa kecil kita. Aku dan Drew selalu saja perang kalau berada di sekolah dan saat dengan orangtua kami, kami akan menjadi anak-anak yang sangat penurut. Hmm memang masa kecil yang penuh kepura-puraan.
Sudah tiga bulan dan hasil ujian tengah semester membuat Drew membuktikan bahwa dia telah menuruti permintaanku tentang nilai-nilainya yang sangat memuaskan bahkan dia lebih baik dariku. Bagaimanapun juga Drew harus lulus tahun ini.
“Ta, lo dipanggil wakil kepala sekolah tuh.” Hani memberitahuku, tapi ada apa dengan wakil kepala sekolah yang memanggilku. Apapun itu aku langsung menuju ruang wakil kepala sekolah. Dan di sana sudah ada wali kelasku juga. Pada intinnya pembicaraan ini tentang tes untuk masuk Universitas di Australia. Ada undangan khusus dari Universitas di Adeleide untuk sekolah kami. Dan walikelasku serta wakil kepala sekolah ingin aku mengikuti tes itu. Dan katanya bukan hanya aku saja dari Indonesia tapi, di sekolah ini mereka menganggap hanya akulah yang bisa melakukan tes ini. Mungkin nilaiku memang tidak selalu terbaik di sekolah tapi, kemampuanku di bidang jurnalistik membuat mereka yakin aku akan bisa lulus dalam tes ini. Karena jurusan yang mereka tawarkan ya memang untuk bidang jurnalistik saja. Aku menyanggupi keinginan wakil kepala sekolah dan wali kelasku itu lagian aku pikir ini hal yang bagus juga. Karena aku belum memikirkan kemana akan melanjutkan kuliahku setelah sekolah di sini.
“hei, sayang kantin bareng yuk.” Saat aku sedang memikirkan tentang tes kuliah di Australia itu Drew datang mengagetkanku seperti biasa mengajak makan siang di kantin. Aku gak akan bisa nolak. Jadi aku hanya tersenyum mengangguk dan berjalan bersamanya ke kantin. Dia selalu memanggilku sayang saat di sekolah.
“eh, ngapain pegang-pegang tangan gue. Kuman tau” aku langsung mengeluarkan semprotan pembersih tangan dari sakuku dan menyemprotkan ke tanganku.
“heh, dasar miss clean” Drew mengejekku. Aku gak tau sejak kapan tapi, waktu aku kecil dulu pernah ada kejadian yang sangat tidak mengenakkan untuk dikenang. Saat aku sedang belajar bersepeda aku tiba-tiba terjatuh tepat di kotoran sapi. Hal itu sangat jorok, menjijikan bau dan membuatku harus mandi berkali-kali untuk menghilangkan baunya dan menghilangkan rasa kotornya dari tubuhku. Sejak saat itu aku benci dengan hal yang kotor. Dan ingin selalu bersih itu menjadi kebiasaan hingga sekarang ini.
“gue ada permintaan.” Drew datang ke rumahku dan langsung menemuiku yang sedang berada di tepi kolam berenang rumahku sambil baca novel terbaru yang kubeli kemarin.
“apaan sih lo datang-datang nantang gue. Mau apa lo?”
“pergi jalan yuk.”
“gak ah, pergi sendiri.”
“eh, tapi lo kan cewek gue. Ayok pergi jalan sekarang.”
“emang gini cara lo ajak cewek lo pergi jalan.” Kataku dan aku sadar Bundaku geleng-geleng kepala memperhatikan kami berdebat.
“oke deh, pacarku ayo kita pergi jalan sayaaaanggg.” Ucapnya menekankan kata sayang.
“jangan panggil sayang, jijik gue dengernya. Ya udah gue ganti pakaian dulu. Gak usah ikut lo.” Aku merasa Drew akan mengikutiku ke kamarku.
Drew membawaku jalan-jalan ke taman dan bermain sepeda. Dan seperti biasa aku akan menyemprot sepeda ini karena sepeda ini pasti banyak kumannya. Tapi, kenapa pembersihku tidak ada di tas. Apa mungkin ketinggalan.
“kenapa? gak bisa nemuin pembersih lo miss clean? Nih pake punya gue.”
“loh lu kok??” Aku heran kenapa Drew juga memilikinya.
“gue beliin itu buat lo. Hmm, gue selalu tau kan tentang lo, liat aja merek dan aromanya sama.” Benar saja pembersih ini sama seperti yang selalu kubeli. Kenapa Drew bisa sedetail ini. Tapi ya sudahlah kami bersepeda bersama-sama mulai dari bersepeda santai dan akhirnya Drew mengajakku balapan dimana Drewlah yang menang. Karena dia yang menang aku harus mau diajak makan malam dengannya malam minggu besok. Walaupun gak mau tapi, yang namanya janji ya tetap janji.
Belakangan Drew makin perhatian padaku aku gak tau kenapa Drew jadi sering menemaniku walau kami jarang makan di kantin saat istirahat hanya duduk di kelas dan biasanya bagi dia itu membosankan. Sekarang kami jadi sering bercanda saat hanya duduk di kelas sambil menunggu waktu pelajaran berikutnya. Setelah pertandingan basket selesai Drew tidak lagi aktif dalam club jadinya dia sering menemaniku mencari ide baru untuk majalah sekolah ataupun yang berkaitan dengan jurnalis. Aku sedikit aneh dengan perlakuan Drew belakangan tapi, ya anggap aja dia benar-benar pengen nolongin.
“wah, anak Bunda cakep banget. Mau kemana nak?” akhirnya sampai juga malam minggu seperti janjiku aku akan makan malam dengan Drew.
“mau pergi sama Drew bentar Bun.” Kenapa Bunda bilang aku cantik malam ini? Padahal aku hanya berpakaian seperti biasanya dan ya aku memang sedikit berdandan suatu hal yang memang jarang aku lakukan. Karena Drew bilang gak harus formal aku hanya memakai jins, kaos dan sepatu kets dengan rambut yang digerai dan tas.
Beberapa menit kemudian Drew datang dengan motornya. Aku dan Drew pamitan pada Bunda dan Ayah yang sedang nonton tv. Drew pun hanya memakai kemeja dengan kaos dalam, jins serta kets dia memang bukan tipe yang suka memakai jas dengan dasi atau apalah yang formal. Untungnya satu hal ini yang menyamakan kita. Tapi hari ini di mataku Drew berbeda walau hanya memakai kemeja dia terlihat lebih gimana ya? aku gak tau gimana cara menggambarkannya bukan tampan tapi, menggoda. Astaga apa sih yang lo pikiran Talia? Menggoda kata-kata dari mana pula itu?.
“waw kafenya keren Drew. Jadi lo bawa gue ke sini.”
“hmmm, keren kan kafenya gue tau kalau lo suka tempat-tempat kayak gini. Yuk” Drew mengajak akau masuk ke dalam kafe. Kafe ini berbau klasik dengan segala barang-barang lama dan kayu-kayunya. Sangat nyaman berada di sini suasanya sangat-sangat klasik dengan suguhan live musik di panggung yang gak begitu besar. Tempatnya juga gak gede-gede amat tapi, rame banget.
“woi, makan. bukannya ngeliatin gue terus. Kenapa sih lo?”
“iya nih gue makan. Gak papa gue seneng aja bisa jalan sama lo. Kayaknya kita udah beneran kayak orang pacaran ya.” Aku sedikit tersedak dengan makananku karena kata-kata Drew barusan. “eh, hati-hati donk. Minum dulu nih.” Drew menyodorkan air padaku dan aku bisa sedikit menenangkan diri. Aku mengangguk berterima kasih atas perhatian Drew.
Sepanjang malam di kafe itu kami banyak membicarakan hal-hal tanpa arah mulai dari tentang pertandingan basket karena aku bertanya kenapa kita bisa kalah, lalu bola, tentang politik bahkan waiters yang sedang lewat pun bisa jadi bahan pembicaraan. Aku jadi merasa nyaman dengan Drew, gak biasanya hal ini terjadi aku memang pacarnya tapi Cuma pacar bohongan. Hanya saja rasa nyaman ini beda dari rasa nyaman dengan sahabat. Drew tau banyak tentangku dan begitupun denganku segala perhatiannya padaku bukan hanya karena kami pernah dekat sewaktu kecil tapi, mungkinkah ada sesuatu di antara kami.
Drew telah sampai di depan rumahku dan aku langsung turun dari motornya. Setelah mengucapkan terima kasih aku langsung menuju ke rumah, tapi saat aku akan balik badan Drew menahan tanganku.
“tunggu.” Ucap Drew. “gue boleh minta sesuatu gak sama lo?” tanyanya. “sebagai pacar.” Lanjutnya lagi. apa-apaan dia yang harusnya boleh minta itu kan aku bukan dia.
“maksud lo? Emang lo mau apa?” tanyaku yang juga penasaran.
“boleh gue cium lo?” myGod kenapa dia tiba-tiba mau nyium gue. gak mungkin, ini ciuman pertama gue dan gue gak mau ngelakuinya di depan rumah. gila aja, orang-orang bisa liat seenggaknya ini bukan tempatnya kalau Bunda sama Ayah liat gimana. Gak-gak gak boleh sekarang.
“ngomong apaan sih lo, yang boleh minta itu kan Cuma gue kenapa jadi lo. gak ada tuh di perjanjian kita. Lagian ngapain juga gue mau dicium sama lo. Kita pacaran juga Cuma pura-pura supaya lo gak digangguin cewek satu sekolah kan.”
“gue gak minta dicium di bibir kok. Di kening doank, ya” ucapnya lagi dan aku gak bisa bilang apa-apa lagi. Dengan cepat Drew maju ke depan dan mencium keningku walau sebentar tapi, bekas bibirnya di keningku sangat terasa, dan aku langsung menuju rumah setelah itu.
Aku mengetuk-ngetukan kepalaku ke meja pagi ini, teringat ciuman yang diberikan Drew tadi malam. Aku benar-benar gak bisa tidur dibuatnya. Aku terus berpikir apa yang dia lakukan. Aku berjanji untuk tidak jatuh cinta dulu seenggaknya sampai selesai UN dan lagi pula aku akan pergi ke Australia. Tentang hal ini aku belum cerita ke siapapun kecuali Bunda dan Ayah. Kenapa aku jadi berdebar-debar mikirin tentang Drew, terlebih lagi tentang nilai Drew yang makin membaik aku sepertinya sudah bisa menepati janjiku pada orangtua Drew agar dia lulus tahun ini. Karena dia memang harus lulus tahun ini.
“hai senior.”
“hai juga Junior.” Lagi-lagi si J “lo tau gak? lo satu-satunya orang di sekolah ini yang panggil gue senior. Apa sama seluruh senior lo manggil kayak gini?”
“gak, lo doank. Itu kan karena lo manggil gue Junior terus wak masih MOS.”
“nama lo kan emang Junior. Trus salah gue manggil lo gitu?” junior lantas menggelengkan kepalanya dan aku tanpa sadar tertawa akan hal itu lalu J memotretku “J apa-apaan sih kok motret tanpa bilang ke gue sih, ntar hasilnya jelek.”
“ini namanya candid. Gak papa lo cantik kok sini.” Kami berdua langsung tertawa mendengar statement J barusan dan dia terus-terusan memotretku.
“kenapa fotoin gue mulu si J.”
“senior lo tau gak, gue seneng banget lo panggil J. Karena lo satu-satunya yang panggil gue gitu.”
“haha gak tau deh lucu aja manggil lo J. Dan lo juga terus-terusan panggil gue Senior. Tapi, gue seneng juga lo panggil kayak gitu.”
Aku dan J terus-terusan mengobrol dan bercanda dia bilang ingin banyak menghabiskan waktu denganku karena sebentar lagi aku akan meninggalkan sekolah ini makanya dia banyak memotoku dari tadi. Aku tau J pernah bilang kalau dia suka padaku tapi, aku menolaknya karena umur kami dan lagian aku memang tidak suka orang yang berumur lebih kecil dariku.
Saat asik ngobrol dengan J seseorang datang dan menggenggam tanganku sangat erat. Ternyata dari tadi dia memang telah memperhatikanku dan J dengan muka masam dan terlihat sangat marah Drew berkata pada J “jangan pernah lo gangguin cewek gue lagi.” aku bingung dan mengisyaratkan pada J untuk tidak melawan lalu Drew menariku dan membaawaku ke atap sekolah. Aku gak pernah tahu kalau ada jalan untuk ke atap sekolah karena menurutku itu tempat yang tidak boleh dikunjungi oleh siswa tapi, Drew tau ada jalan yang bisa menuju ke sana tanpa ketahuan guru. Setelah Drew benar-benar melepas tanganku tapi, tanganku masih sakit karena kuatnya genggamannya.
“apa-apaan sih Drew. sakit tau. Kenapa lo bawa gue ke sini?” ucapku heran sekaligus marah padanya.
“apa-apaan apanya? Lo tu yang ngapain sama Junior. Bercanda-canda kayak gitu. Maksud lo apaan. Mau bikin gue cemburu? Sory ya gue gak bakal cemburu. Tapi, gue gak suka lo dekat-dekat sama dia. Emang lo gak tau dia tuh suka sama lo. Ya maksud gue dia itu modus dekatin lo.” Aku hanya memandang Drew yang terus berbicara. “kenapa diam lo?”
“ya, karena lo lagi ngomong gue diem. Sekarang udah selesai ngomongnya?” Drew mengangguk. “jadi lo cemburu” tanpa diduga Drew menganguk lagi dan dengan cepat berganti dengan gelengan lalu dia tersenyum sendiri memegang dahinya dan mengangguk sekali lagi hanya sekali tapi, itu membuatku gugup.
“gimana mungkin gue gak cemburu lo kan cewek gue”
“tapi gue kan Cuma cewek boongan lo. Apa jangan-jangan lo udah jatuh cinta ya sama gue?” Ucapku lagi dengan senyum menantang.
“sekarang dengan jujur lo bilang deh ke gue selama beberapa bulan ini jadi pacar boongan gue, lo gak pernah punya perasaan sama gue? Lo pikir waktu pertama kali gue minta lo jadi pacar boongan gue itu apa benar-benar Cuma boongan?” Drew berkata serius dan memaksaku memandang wajahnya. Alis mata yang tebal, mata yang sedikit sayu serta bibir yang begitu terbentuk sempurna sejenak aku sadar bahwa aku sudah jatuh cinta padanya. Hal yang selama ini kuhindarkan. Tapi, aku gak pernah tau bahwa aku memang sudah lama jatuh cinta padanya.
“gue, gak tau Drew.” Aku bohong.
“gak usah bohong lo. Gue tau perasaan lo yang sebenarnya. Itu tergambar jelas di wajah lo. Lo juga jatuh cinta kan sama gue?” Drew mengambil tanganku dan menggenggamnya erat, pasti dan tidak terlalu kuat. Aku merasa nyaman dengannya. Tapi, kalau aku bilang cinta sekarang. Setelah lulus aku harus ke Australia, Drew harus tau tentang ini. Saat aku akan berkata apa yang selama ini aku pikirkan tentangnya tiba-tiba penglihatanku jadi kabur dan aku mengedipkan mataku berkali-kali aku sedikit sempoyongan karena tiba-tiba ada sesuatu mennyentuh bibirku yaitu bibirnya Drew dan aku benar-benar terkejut dengan apa yang baru saja dilakukan drew. Karena masih kaget aku menutup mataku dan membiarkan Drew melakukan ciuman itu. Ciuman pertamaku terasa manis dan membuat kepalaku berputar. Apa ini yang namanya jatuh cinta.
Aku memang tidak tahu bagaimana jatuh cinta yang sebenarnya tapi aku tahu bahwa saat aku merasakan kehilangan itu sangat menyakitkan saat kita tidak bisa menggenggam tangan orang yang sangat kita sukai, saat kita melihat dia tertawa dengan orang lain itu sangat menyakitkan. Lebih baik kita memanfaatkan apa yang kita punya sekarang tanpa harus menghindar dan menepis rasa itu. Karena menyadari rasa suka dan cinta itu bukan suatu tindak kejahatan, untuk apa takut. Karena cinta dan rasa sakit berkaitan lalu apa gunanya perasaan kalau kita gak pernah bahagia karena cinta dan gak pernah sedih karena patah hati. Hati dan perasaan itu dibuat agar kita merasakan seluruh rasa di dunia apapun rasa itu akan sangat tidak berharganya hidup tanpa rasa
Setelah kejadian atap sekolah itu aku dan Drew masih bersama. Drew mengikutiku juga ke Australia tapi kita di jurusan yang berbeda. Dan hingga sekarang sudah dua tahun kami bersama. Banyak hal ternyata yang kami tau satu sama lain, kebiasaanku dan kebiasaan Drew kami saling memahami ada untungnya berpacaran dengan sahabat yang bahkan tau diri kita lebih dari kita sendiri.
Cerpen Karangan: Lee Ghin Fhae (ghinfai)
Blog: ghinafairuz.blogspot.com
Coba Lihat Langit Biru di Atas Sana
Kata-kata itu selalu terngiang di otakku, berputar-putar dan diulang-ulang berkali-kali. Kata-kata sederhana tetapi begitu istimewa untukku.
“Setiap kali kamu sedih, coba lihat langit biru di atas sana. Mereka akan membuatku nyaman dan membuatmu melupakan kesedihanmu,” ujarnya setiap kali aku meneleponnya sambil menangis.
“Kalau kamu bahagia, coba lihat langit biru di atas sana. Berbagilah kebahagiaanmu kepada alam juga. Barangkali alam juga akan memberikan kebahagiaan yang sama untukmu,” ujarnya ketika kami bertemu disaat aku sangat bahagia.
“Kalau aku sedang pergi jauh, coba lihat langit biru di atas sana. Tataplah awan putih di atas sana dan bayangkan wajahku,” ujarnya mengingatkanku ketika aku mengantarkannya ke bandara untuk melepasnya menerbangkan pesawat.
“Intinya, apapun yang kamu rasakan coba lihat langit biru di atas sana, semoga langit biru akan membantumu untuk memperbaiki ataupun menambah kebahagiaanmu,” ujarnya sebelum ia terbang menuju Amerika untuk menyelesaikan tugasnya sebagai pilot. Waktu itu aku mengangguk dan menitikkan airmataku ketika tangannya menangkup pipiku.
“Hey, this isn’t the first time. Biasanya kamu gak nangis. Malah ketawa-ketawa. Kok tumben hari ini kamu menangis?” tanyanya yang langsung kujawab dengan gelengan kepala yang begitu cepat.
“Aku pergi dulu ya. Tunggu aku sampai aku pulang ya,” ujarnya kemudian berjalan menuju pintu keberangkatan dan meninggalkanku sendiri yang menatapnya dengan penuh airmata.
Tak seberapa lama aku meninggalkan bandara, aku mendengar berita jika ada pesawat menuju Amerika jatuh. Jantungku berdebar begitu cepat, ketakutan jika pesawat itu adalah pesawat yang dipiloti Ben.
Rasa takutku kemudian benar-benar menjadi kenyataan. Pesawat Ben jatuh. Saat itu juga di antara para pasien rumah sakit yang begitu terkejut menonton berita, aku menangis. Menangis begitu kencang. Tidak peduli lagi aku adalah seorang dokter atau bukan. Airmataku terus-terusan mengalir tanpa ada ujungnya.
Aku kemudian mengingat kata-kata Ben untuk selalu melihat langit biru ketika aku sedih. Aku kemudian menenangkan diriku terlebih dahulu dan berjalan dengan pasti menuju lantai paling atas untuk menatap langit biru yang selalu di bicarakan Ben. Tapi ketika aku tiba di lantai paling atas, aku mendapati langit berwarna abu dan tidak menyuguhkan kenyamanan untukku.
Aku kembali menangis, membiarkan kesedihan dan ketakutanku untuk terbebas bersama dengan tetesan airmata yang mengalir di pipiku. Setelah aku mengeluarkan airmataku, aku langsung menuju bandara untuk mencari tahu apakah Ben masih ada atau tidak.
Ternyata ketika aku tiba di bandara dan membaca nama-nama korban jiwa, nama Ben ada di urutan teratas. Aku tak dapat berkata apa-apa lagi. Bahkan ketika sang manager memanggil namaku untuk mengucapkan bela sungkawa, aku tidak mendengar sama sekali malah menangis begitu kencang hingga dadaku terasa sakit.
Hari ini, ketika aku menuju rumah sakit dan menatap langit biru berharap agar tidak terjadi apa-apa pada Ben, ternyata langit biru yang cerah itu sedang mengambil Ben secara paksa dari pelukanku.
Cerpen Karangan: Anindhita Almadevy
Blog: anindhitalma.weebly.com
Takdir Cinta Indah
“Kau sudah kembali?”
Suara itu mengagetkanku saat menginjak anak tangga paling terakhir. suara yang masih tetap sama empat tahun silam. Dia duduk di sebuah kursi rotan menghadap ke timur sambil menatap cahaya rembulan, mengenakan jilbab warna putih, jaket tebal warna pink. Wajahnya. Wajahnya mengalami perubahan besar seperti memendam sesuatu, menunggu waktu yang entah sampai kapan untuk mengungkapkannya. Aku berhenti sejenak, berdiri beberapa meter darinya sekedar untuk menjawabnya.
“Iya. Tapi hanya beberapa hari saja. Kau untuk apa ke sini?”
“Mengapa kau bertanya itu? Apakah kau tidak tahu jika memang aku selalu di sini?”
“Tidak. Memangnya untuk apa kau kemari?”
“Aku hanya ingin di sini. Mengingat semuanya”
“Mengingat apa?”
“Mengingat diriku yang selalu kesepian. Kesepian dalam penantian selama empat tahun”
“Penantian? Kau menanti siapa?
“Dirimu”
“Diriku? Aku tak pernah berharap kau menantiku. Untuk apa?”.
“Lihatlah. Dirimu selalu saja sama. Tak pernah berubah. Aku selalu berharap kau tak kembali tapi aku tetap ingin dirimu. Dan kau sama sekali tak menyadarinya. Aku disesatkan oleh parasaanku sendiri dan kau tak pernah berusaha untuk menunjukkan jalan meski hanya setapak”.
Nada suaranya semakin berat, terdengar serak parau terbata-bata. Ah tidak, lagi-lagi dia menangis. Air matanya nampak warna keemasan diterpa cahaya lampu pijar lima watt. Angin dingin malam mengusap air mata di wajahnya.
Kembali kulangkahkan kaki meninggalkannya. Mungkin dia memang harus sendiri untuk saat ini, kesendirian yang terus mengeruk luka yang semakin dalam. Luka yang selalu ia paksakan untuk terus menganga.
“Sejak kapan ia sering ke sini Bu?” bisikku pelan kepada ibu.
“Ia selalu datang ke sini sejak kau pergi. Ia ingin tahu semua tentang dirimu. Menanyakan mengapa engkau pergi dan mengacuhkannya begitu saja. Sesekali ibu menemaninya sampai larut malam sambil ia terus bercerita akan dirinya. Bahkan ia lebih banyak menghabiskan waktu di sini dibandingkan rumahnya sendiri. Dia selau bilang jika ia berada di rumah ini, maka engkau serasa selalu ada bersamanya. Ibu sering merasa iba kepadanya. Nak, Bawakan teh ini untuknya!”
”Jangan aku. Ibu saja yang membawanya!”
“Baiklah. Tapi kau ikut ke teras juga! karena ibu tidak tahu sampai kapan ia akan di situ. Ia hanya ingin dirimu dan dia ke sini hanya untukmu. Temuilah dia meski hanya sesaat saja”
Hening seketika saat aku duduk. Gadis itu masih menyisahkan isakan dan air mata. Perlahan ibu mendekat lalu merangkulnya penuh kasih dan cinta seolah gadis itu seperti anak kandungnya sendiri.
Seperti bisa kurasakan raungan, perih dan rintihan hatinya yang seakan membentakku dengan penuh kebencian. Dia membuang muka tak sudi melihatku. Sementara aku hanya menatap segelas teh yang masih hangat dengan aroma yang menyeruak ke dalam hidung.
“Nak. Sampai kapan kau akan seperti ini? Hari ini Amran sudah kembali dari perantauannya. Katakanlah semua hal yang membuatmu seperti ini! Bukakankah kau selalu menanyakannya? Dia di sini hanya beberapa hari saja. Jadi ungkapkanlah semuanya”
Gadis itu terus terisak dalam pelukan ibu. Air mata terus meleleh. Bahkan mungkin hanya menelan ludahnya pun akan terasa sangat sakit.
“Amran. Apa kau tak pernah merasakan bagaimama hatiku lelah dalam penantian? Penantian yang entah akan berujung kemana. Apa aku tak boleh berharap? Apa aku tak pantas memiliki separuh dari hatimu? Apa yang membuatmu sulit untuk menerimaku? Apa yang memyumpal mulutmu dan memilih pergi?. Bang Amran, Apa salah jika aku yang seorang perempuan mengungkapkannya terlebih dahulu? Bukankah niatku itu suci? Aku merasa jika aku adalah wanita yang paling beruntung jika bisa bersamamu. Dan hari itu aku datang kepadamu dan mengatakan semuanya. Akan tetapi kau menggantungkan pertanyaanku dengan memilih untuk pergi dan menjauh”
Gadis itu menghujamku dengan setumpuk pertanyaan yang membuat dadaku semakin sesak. Aku tahu tak mudah menyapu bersih semua hal menyakitkan itu. Berat bagiku untuk membuka mulut dan memberinya jawaban. Namun sampai kapan ia akan seperti ini? Sampai kapan ia akan membunuh dirinya dengan kesedihan yang semestinya ia harus belajar untuk menerimanya?
“Aku tahu apa yang kau rasakan. Namun tak semestinya kau harus seperti ini. Aku menghargai apa yang telah kau perjuangkan demi bisa hidup bersamaku. Siapalah diriku ini? Setidaknya aku juga pernah melakukan hal yang sama denganmu”
“Melakukan hal yang sama? Kau tak melakukan apapun. Bahkan tak satu nada pun yang keluar dari mulutmu ketika aku datang mengatakan niatku untuk menjadi istrimu. Atau apa kau merasa harga dirimu terinjak lantas dilamar oleh seorang wanita terlebih dahulu?”
Nada suaranya semakin meninggi bercampur dengan udara angin malam yang semakin dingin menembus lapisan epidermis kulit. Tapi sepenuhnya ini bukan hanya karena kesalahanku. Dia yang membiarkan dirinya terombang-ambing di tengah lautan tanpa arah yang jelas. Untuk apa dia menantiku?
“Indah. Apa kau tahu jika aku lebih dulu melakukan hal yang sama sepertimu? Aku selalu resah jika membayangkan wajah dan nada suaramu sedangkan kau sendiri tak ada di sampingku. Dan hari itu kuputuskan untuk datang menemui ayah dan ibumu karena aku tak menemukan jalan untuk bersamamu selain menikah. Akan tetapi mereka menolakku, bahkan melemparkanku ke dalam jurang dengan kata-kata. Aku hanyalah pemuda miskin yang tak punya apa-apa, setiap hari berteman dengan cangkul dan caping, ayahku tak mempunyai kedudukan yang tinggi di mata penduduk kampung. Bahkan ibuku pun tidak tamat Sekolah Dasar, mereka tak mampu membawaku ke bangku kuliah dan hanya sampai Sekolah Menengah Akhir saja. Dan semua itu berbanding terbalik dengan dirimu. Wajarlah jika ayahmu yang seorang kepala desa menolak lamaranku. Dan untuk menghapus rasa kecewa, aku memilih untuk pergi jauh dan lebih jauh lagi. Berharap jarak dan waktu bisa menghapus semuanya dengan perlahan”
Aku menarik nafas dengan teramat berat. Tangisnya kembali pecah. Memecahkan keheningan malam yang menyelimuti kesedihannya. Aku hanya bisa menelan ludah. Ibu memeluk Indah dengan semakin erat.
“Indah. Aku minta maaf jika aku tak pernah memberitahumu yang sebenarnya sebelum pergi. Kukira ayah dan ibumu akan mengatakan hal itu karena engkau sedang tak berada di rumahmu saat aku datang untuk mengatakan niatku itu. Aku tak mungkin memaksa dirimu untuk denganku tanpa anggukan persetujuan dari orangtuamu. Karena pernikahan bukan hanya mengenai dua insan yang saling mencintai, melainkan akan melibatkan dua keluarga untuk menjadi satu. Maaf, sekali lagi maaf. Pekan depan aku harus kembali ke Kalimantan, membawa ibuku hidup bersamaku di sana. Dan aku telah dinanti oleh keluarga kecilku. Sudah ada bidadari dan pangeran mungil tampan yang menjadi pelengkap hidupku di Borneo sana dalam dua tahun terakhir ini.”
TAMAT
Cerpen Karangan: Goalijaya
Blog: goalijaya.blogspot.co.id