Jumat, 12 Oktober 2012

SAHABATKU PACARKU

Cerpen Annisa Ananda

Pagi yang cerah dan sayang untuk di lewatkan. Mentari pagi bersinar dengan terangnya. Udara segar pun berhembus. Hari ini hari pertama masuk sekolah semester kedua. Seteleh dua minggu libur puas. Ya, aku rindu sahabatku tercinta. Nazly, Vines, Nadya, dan semuanya. Mereka menungguku di sekolah. Mereka pasti marah-marah karena aku datang telat.
"Pak, ayo dong!! Aku terlambat nih??" teriakku dari dalam mobil. Sempatnya Pak Agung masih berbicara dengan Papa.
"Sebentar sayang, papa sedang bicara dengan Pak Agung!??" sambung Papa yang masih serius berbicara dengan Pak Agung.
"Udah deh, aku naik sepeda aja?" jawabku segera turun dan langsung pergi mendayung.

"Taura tunggu!!" aku mengacuhkan Papa. Kalau aku menunggu, bisa-bisa aku telat di hari pertama masuk sekolah.

Sampainya di sekolah, segera aku memarkin sepeda. Tepat sekali, saat masuk kedalam gerbang, bel telah berbunyi. Benar dugaanku, mereka menunggu di depan kelas dengan melipat kedua tangan mereka. Mereka pasti marah!!
"Maaf sobat, aku terlambat?" ucapku menyesal. Namun secara tiba-tiba mereka tersenyum lalu memelukku bersamaan.
"Aku merindukanmuuu,," mereka berteriak sekeras mungkin sampai kami menjadi bahan perhatian oleh semua siswa. Kami tertawa bersama. Di kelas kami masih saja membuat keributan, sampai akhirnya David si cowok termanis di persahabatan kami.
"Hai David,," sapa kami bersamaan dan melambai tangan padanya. "Oh yaya,, kalian terlalu menyukaiku."
"Benarkah?"
"Ya, kalian terlalu mencintaiku! Kalian tidak rindu padaku?"
"Rindu nggak yaaa???" kami kompak untuk membuatnya bingung. Tertawa melihat ekspresi wajahnya yang menggemaskan. "Aku rindu kok sama kamu!!" sambungku. Mereka tertawa, David cengar-cengir tertawa karena malu. "Eh eh, sstttss,, ada Ratu sejagat lewat!" kata Nadya melihat Angela. Ini cewek paling narsis di sekolah. Kami tau dia paling kaya di sekolahan dan apalagi dia itu saudara sepupunya anak kepala sekolah. Untung saja anak kepala sekolah tidak bersekolah di sini. Jadi kenarsisan dia itu bisa sedikit agak terkontrol. Sebenarnya Angela ini dulunya termasuk dalam bagian persahabatan kami. Tapi karena sifatnya yang buat kami menjadi jengkel dan sama sekali tidak menyukainya, kami tidak berteman lagi dengannya. Kami menjauhinya dan jadilah seperti ini. Ku pikir, kalau tidak ada dia di persahabatan kami, kami menjadi tenang. Dan itu benar. "Hai David, apa kabarmu?" kami kaget melihat Angela menyentuh pundak David lalu merangkulnya. Perasaanku sangat tidak enak melihat pemandangan ini. "Oh, aku baik Angela. Kamu apa kabar?"
"Baik sayang! Aku ingin mengajakmu ke kantin. Ayo,," sayang?? Dan David mau saja di ajak oleh nenek sihir itu? Oh tidak? Tidak mungkin! "David, kamu mau kemana?" Tanya Vines. "Kamu nggak dengar, dia ingin mengajakku ke kantin?" jawabnya enjoy dan sama sekali nggak merasa kalau kami nggak suka dia dekat dengan Angela. "Ya sudah, pergi sana! Dan jangan harap satu hari ini kamu bisa gabung sama kita!!??" ujar Nazly. Mereka langsung pergi. Ini membuatku sakit.
****      

Istirahat pertama aku tidak bergabung pada Nadya dan Vines. Mereka masih asyik makan di kelas. Aku dan Nazly duduk di koridor sekolah. Aku hanya melamun dan tak bisa berkata apa-apa. "Kamu kenapa Ra?"
"Kamu nggak liat tadi dia deket sama Angela?"
"Iya! Aku liat. Jangan sedih Taura. Si nenek sihir itu memang sangat gatal sekali?" ucap Nazly.
"Tapi??"

Tanpa kami ketahui, David datang dan berdiri di depan kami. Nazly meninggalkanku bersama David. Dia duduk di sebelahku dan memandangiku. "Jangan memandangiku??"
"Memang kenapa? Tidak boleh kalau memandangi wajah sahabatku?" ya, dia masih menganggapku sebagai sahabat. "Oh ya Taura, kamu tau nggak, sebenarnya Angela itu baik loh! Ternyata dia itu orangnya asik banget!!" ucapnya dengan mantap. "Oh, kamu suka sama dia? Kenapa nggak menyatakan cinta padanya?" tanyaku ketus dan melihatnya sembari menaikkan alisku. "Niatnya sih begitu. Maunya sih ntar malam aku mau nembak dia?"  rasanya seperti di tusuk. Cowok ini sama sekali tidak merasakan. Sudah enam tahun kita bersahabat David, tapi kenapa kamu nggak ada rasa sama aku?
"Kamu kenapa? Kok hidungmu merah? Kamu menangis?" dia menggenggam tanganku. Aku langsung menepisnya. "Mau tau saja?" jawabku menghusap air mataku yang belum sempat jatuh ke pipi. "Siapa yang menyakitimu?"
"Seseorang??"
"Siapa?"
"Cowok yang nggak tau apa isi perasaanku. Dan seenaknya saja dia lebih memilih cewek lain daripada aku." David terdiam melihatku. "Siapa dia?"
"Dia cowok yang nggak bisa ngerti perasaanku. Cowok bodoh yang enaknya aja deket ama cewek. Cowok playboy yang nggak tau malu??"
"Kamu bilangin siapa?"
"Tetangga aku yang nyebelin!" jawabku lalu pergi meninggalkannya. Air mataku akhirnya menetes. Sahabatku kaget karena aku datang-datang menangis terisak. Mereka memelukku lalu memberikanku segelas air. "Kamu kenapa?" Vines bertanya dengan penuh heran. "Dia menyukai Angela?"
"Apa? Nggak mungkin? Dia nggak mungkin menyukai Angela?" Nadya marah.
"Ya. Dia sendiri yang bilang padaku. Dan nanti malam dia akan menyatakannya pada Angela." Air mataku semakin menetes. Nazly berusaha untuk menghusapnya dan mengelus pundakku. "Nggak bisa di bairkan. Mana si nenek sihir itu?" Nazly berdiri dan ingin mencari Angela. Namun cewek itu muncul dari depan pintu. Nadya langsung menariknya. "He, apa yang kalian lakukan?"
"Dengar ya Angel, kamu nggak bakal bisa ngerebut David dari kita ataupun Taura. Dia itu sahabat kita dan jangan sekali-kali kau meracuni pikirannya." kata Nazly membentak. "Kalian sudah gila? Siapa yang meracuni otak David? Lagipula kenapa kalian melarangku untuk menyukainya? Dia menyukaiku? Kami sama-sama menyukai? Jadi apa salah. Kalian saja yang terlalu heboh dengan masalah ini."
"Oh, kamu pikir David suka denganmu?"
"Jelas dong! Dia lebih memilih aku dari pada teman kalian si Taura itu. Mana mau dia sama Taura? Dia lebih memilih aku daripada Taura?" air mataku seketika berhenti. Berhentilah menangis Taura, ini tidak menyelesaikan masalah. Lebih baik bicaralah dengan Angela dengan baik pula. "Maksudmu apa? Dia menyukaimu, Angel?" tanyaku. "Ya, jelas! Dia menyukaiku. Jadi jangan harap kamu bisa dapatkan David. Dia bilang padaku, kalau dia sudah bosan bersahabat dengan kalian, karena kalian terlalu cerewet!!" ujarnya. Spontan saja Nazly menamparnya. Aku tau kriteria sahabatku ini kalau dia sudah tidak mood dengan orang di depannya, dia langsung saja memukulnya. Di waktu bersamaan David datang dan marah-marah pada kami. "Apa yang kalian lakukan? Seenaknya saja kalian menampar Angela? Nazly kamu keterlaluan. Dan kalian semua tidak sopan pada Angela. Kalian kira tidak sakit di tampar?" tidak biasanya David marah-marah begini. Aku kaget dan tak berkedip melihatnya. "Lain kali kalau aku melihat kalian melukainya, kita bicara serius!!" ujar David lalu pergi sembari merangkul Angela. Makan hati. Aku tidak terima dengan semua ini. Ini tidak adil.
"Kalian dengar apa yang di katakannya barusan? Ini tidak bisa di biarkan? Otaknya sudah di cuci oleh nenek sihir itu. Nggak bisa di biarkan??" Vines marah-marah sendiri. Aku hanya bisa diam dan bertekad untuk tidak berbicara dengan David di beberapa hari kedepan. Jujur ini sangat sakit. Dia lebih memilih cewek nggak jelas dari pada kami sahabatnya yang sudah enam tahun selalu bersama. Ini sangat menyedihkan.

Malam ini aku hanya sendiri di rumah. Semuanya pergi dan belum pulang sampai jam delapan malam. Karena bete, aku pergi dengan mobil pribadi. Lebih baik ke toko buku, mencari buku pendidikan, novel ataupun komik. Kegiatan ini lebih baik kan daripada nggak tau mau lakuin apa di rumah sendirian.

Sampainya di toko buku, aku langsung mencari buku yang ku perlukan. Sebagian buku pendidikan dan novel. Selesai berbelanja buku, aku pergi ke toko roti dekat dengan toko buku. Memesan makanan dan duduk santai sambil membaca novel. Tidak lama aku membaca novel, mataku tertuju pada sesuatu yang membuat pemandangan sangat tidak menarik. David dan Angela datang bergandeng tangan dan duduk bersama. Angela sepertinya tau keberadaanku di sini, sebab itu dia terus tertawa dengan David. Oh, sangat menyebalkan. Secepat mungkin aku menyusun buku lalu pergi dari sini. Ini membuatku kesal dan tak bisa menyetir dengan baik. Namun sekuat tenaga menyetir dan akhirnya sampai kerumah. Ku rebahkan tubuhku dan berharap hari esok menyenangkan di sekolah. Dan semoga saja aku tidak bertemu dengan dua makhluk yang sekarang membuatku sangat kesal pada mereka.
****

Pagi ini di sekolah kami tidak lagi bergabung dengan David. Dia lebih asyik bersama dengan Angela. Beberapa hari ini batang hidung David tidak lagi nampak di depan ku ataupun sahabatku yang lain. Dia benar-benar menghilang? Aku takut kalau David rusak deket sama nenek sihir itu. Seharusnya dia tidak boleh menyukai Angela. Biarpun dia tidak menyukaiku, tapi dia harus menyukai gadis lain selain Angela. Aku akan sedikit memberika persetujuan padanya. Tapi kalau sama Angela, setengah saja pun aku tidak memberikan persetujuan.

Di koridor sekolah aku dan sahabatku berkumpul. Kami bersama-sama membaca komik milik kami masing-masing. Tapi sayangnya aku lagi nggak mood baca komik. Jujur, aku masih terus khawatir dengan keadaan David. Apa dia baik-baik saja? "Ra, kamu kenapa? Mikirin apa sih?" tanya Nadya. "Mikirin David pastinya," sambung Vines tanpa memalingkan wajahnya. "Kan udah aku bilang, jangan pikirin cowok kayak dia. Dia itu khianatin persahabatan kita. Dia lebih memilih nenek sihir itu daripada kita sahabatnya. Dan kamu jangan lagi deh punya rasa sama dia. Seumur hidup, dia cowok yang udah khianatin persahabatan kita." tutur Nazly dengan wajahnya yang kesal. "Ya, aku tau kalian membenci David sekarang ini? Tapi aku yakin dia pasti ada maksud tertentu."
"Tidak! Intinya dia itu udah jahat ke kita. Buktinya dia lebih memilih nenek sihir itu dari pada kita, sahabatnya sendiri??" Nazly sudah sangat kesal. "Iya, aku tau sobat! Tapi yakin deh, dia pasti ada maksud tertentu giniin kita semua??"

Kami semua terdiam. Tiba-tiba David datang dengan wajahnya yang masih imut-imut. "Ngapain kamu ke sini? Ada perlu ke kita?" tanya Nazly ketus. "Kamu kok gitu sih Naz? Aku nemuin kalian karena aku mau minta maaf. Selama ini aku salah udah ninggalin kalian! Maaf ya sobat, aku memang jahat." ucap David dengan wajahnya yang membuatku geli. "Oh, baru sadar! Baguslah!"
"Aku tau kalian marah padaku? Kalian boleh kok menghukumku? Aku akan ngelakuin apapun yang kalian minta, pasti aku turuti?"
"Nggak perlu David! Kita udah maafin kamu kok."
"Benarkah?"
"Iya! Lagian kenapa sih kamu deketin si nenek sihir itu?" tanya Vines penuh heran. "Aku deketin dia karena aku mau tau kenapa kalian para gadis jauhi dia. Sekarang aku tau, ternyata dia memang nggak baik. Dia itu playgirl ternyata. Malu-maluin banget, saat kami lagi makan sama, masa cowok-cowok datang rame-rame minta tanggungjawab dia? Wah, aku kaget dong? Untung aja bisa di selesaikan dengan kepala dingin? Kalau nggak??"
"Iya! Aku cuman nyumbang seribu buat kamu, nggak lebih!" sambung Nazly. Kami tertawa, Nazly pun tertawa mendengar kata-kata yang di ucapkannya barusan. "Jahat banget sih Nazly. Ya udah deh, kalian maafin aku kan?" kami mengangguk mantap. Tiba-tiba saja David memelukku. Aku kaget menerima respon darinya. Dan dia menggenggam kedua tanganku lalu menatapku penuh arti.
"Maaf, aku sudah menyakitimu. Selama ini aku berbohong. Aku mengujimu dengan berbicara kalau aku menyukai Angela. Ternyata respon mu kemarin cukup yakin membuktikan kalau kamu memang nggak suka aku menyukai Angela? Iya kan?" aku hanya mengangguk. "Dan sekarang aku sadar dan aku yakin, kalau aku suka sama kamu. Sebenarnya sih udah lama, tapi hari ini diriku punya nyali buat nyatainnya." aku tertawa mendengarnya. "Bagaimana?" sesaat aku terdiam. Melihatnya sembari tersenyum. Melirik sahabatku yang ikut cengar-cengir melihat kami. "Baiklah. Aku menerimamu." spontan dia langsung memelukku. Kami mulai beraksi. Membawanya pergi ke taman dan membasahinya. Ini kegiatan kami tiap kali kalau kami selalu berbuat kebohongan ataupun ada yang berbahagia. Sekarang aku senang, akhirnya David kembali padaku. Dugaanku salah kalau dia menyukai Angela. Sekarang kami tau, kalau Angela memang tidak cocok dengan persahabatan kami. Persahabatan kami lancar tanpa ada gangguan dari seorang pun.
HIDUP PERSAHABATAN.

Sabtu, 06 Oktober 2012

SAYAP BIDADARI

Sayap
Bidadari


Sebuah cerita fiksi yang ditulis oleh Bois, penulis copo
yang masih harus banyak belajar. Cerita ini hanyalah
sarana untuk mengilustrasikan makna di balik
kehidupan semu yang begitu penuh misteri. Perlu
anda ketahui, orang yang bijak itu adalah orang yang
tidak akan menilai kandungan sebuah cerita sebelum
ia tuntas membacanya.

e-book ini gratis, siapa saja dipersilakan untuk
menyebarluaskannya, dengan catatan tidak sedikitpun
mengubah bentuk aslinya.

Jika anda ingin membaca/mengunduh cerita lainnya
silakan kunjungi :

www.bangbois.blogspot.com
www.bangbois.co.cc

Salurkan donasi anda melalui:
Bank BCA, AN: ATIKAH, REC: 1281625336



SATU

Benih
Cinta


T
TTTT
in! Tin! Tin! Suara klakson bersautan di tengah
macetnya jalan yang melintasi pasar, angin
sepoi-sepoi pun terus bertiup dibawah naungan senja
yang teduh. Saat itu seorang gadis tampak
melangkah—menyusuri ramainya jalan yang melintasi
area pertokoan. Gadis itu tampak anggun, melangkah
dengan gaya bak seorang model di atas catwalk—
memperagakan u can see putih, berpadu jeans biru
ketat yang sangat serasi dan begitu pas melekat di
tubuhnya yang aduhai. Rambutnya pun tampak
bagus—panjang sebahu dan dibiarkan tergerai.
Sesekali gadis itu tersenyum, teringat akan kenangan
manis yang begitu indah. Kini gadis itu sedang
menaiki sebuah angkot yang akan mengantarnya
menemui seorang teman lama. Maklumlah, sudah
hampir setahun ini dia tak menjumpainya, dan semua
itu dikarenakan kesibukannya yang membosankan,


bahkan seringkali membuatnya marah, sedih, dan
tentu saja kesepian. Apa lagi kalau bukan rutinitasnya
sehari-hari yang bercampur dengan perkara cinta
yang tak kunjung ada kepastian.

Di dalam perjalanan, mata gadis itu sempat
menangkap kemesraan yang ditunjukkan oleh
sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta.
Sungguh tampak membahagiakan dan membuatnya
betul-betul iri, bahkan di benaknya terbayang sudah
bagaimana bahagianya jika dia yang dipeluk, dicium,
dan dibelai oleh sang Pujaan Hati. Lama gadis itu larut
dalam angan yang membuai hingga akhirnya dia tiba
di tempat tujuan. Kini gadis itu tampak turun dari
angkot dan langsung melangkah menuju rumah
temannya. Ketika melintasi sebuah warung, tiba-tiba
"Angel!" seru seorang pemuda memanggilnya.

Seketika gadis itu menoleh, bersamaan dengan itu
senyumnya pun mengembang, memperlihatkan gigi
putihnya yang bagaikan untaian mutiara. "Raka!"
pekiknya gembira seraya buru-buru menghampiri
pemuda yang dilihatnya tampak begitu santai, duduk


di depan warung yang lumayan sepi. "Apa kabar?"
tanya Angel seraya menjabat tangan pemuda itu.

"Baik?" jawab Raka singkat. “Eng… kau sendiri
bagaimana?” Raka balik bertanya.

"Masih sama seperti dulu, Kak. Bete…”

“Kau itu, masih saja tidak berubah. Eng... Kau
datang ke sini betul-betul mau belajar komputer kan?”
tanya Raka kemudian.

“Iya, Kak. Belakangan ini aku memang sedang
kursus komputer, dan masih ada pelajaran yang
belum aku mengerti. Maklumlah, gurunya terkadang
memang kurang jelas saat memberi pelajaran.” jawab
Angel.

“Eng… Kalau begitu, yuk langsung ke kamarku!"
ajak Raka kemudian.

“Ka-Kamar!” ucap Angel terbata, seketika itu
ingatannya langsung tertuju ke masa lalu--dimana di
kamar itu dia pernah dibuat menangis.

“Ayo, An! Apa yang kau tunggu?” tanya Raka
membuyarkan ingatan Angel.

“I-iya, Kak.!”


Lantas kedua muda-mudi itu segera melangkah
ke kamar yang dimaksud, dan tak lama kemudian
keduanya sudah tiba di tempat tujuan. Sejenak Angel
memperhatikan sekekeliling ruangan, dilihatnya
tempat tidur Raka yang senantiasa bersih, juga
berbagai pernak-pernik hiasan yang indah dan tidak
banyak berubah. Di atas sebuah meja belajar,
dilihatnya sebingkai foto yang tampak kosong. Lama
juga angel memperhatikan bingkai foto yang kosong
itu, hingga akhirnya Raka pun ikut memperhatikan
bingkai foto itu seraya berkata. “Tahukah kau? Hingga
saat kini aku belum menemukan gadis yang pantas
mengisi bingkai itu?” kata pemuda itu seraya duduk
ditepian tempat tidurnya.

“Eng… Sa-sabarlah Kak! Aku yakin, suatu hari
nanti Kakak pasti akan menemukannya,” ucap Angel
terbata.

“Entahlah… Aku tidak terlalu yakin. Eng… Biarlah
waktu yang akan menjawabnya. O ya, bagaimana
kalau kita mulai belajarnya sekarang!” ajak Raka
kemudian.


“Yuk, Kak.” Timpal Angel seraya duduk didepan
komputer.

Bersamaan dengan itu, Raka pun segera duduk
disebelahnya dan langsung terlibat didalam aktifitas
belajar mengajar. Namun, belum juga lima belas
menit berlalu, tiba-tiba "Kak, sudah dulu ya belajarnya!
Kepalaku mulai pusing nih. Eng… Bagaimana kalau
sekarang kita ngobrol saja!" ajak Angel kepada Raka.

"Lha...?" ucap Raka heran seraya mengerutkan
keningnya, kemudian dia pun cengar-cengir merasa
lucu sendiri. Sungguh pemuda itu tidak tahu kalau
tujuan Angel yang sebenarnya adalah bukan mau
belajar, melainkan mau curhat mengenai cinta
sejatinya.

Tak lama kemudian, keduanya sudah larut di
dalam perbincangan yang begitu hangat, hingga
akhirnya. "Kak, baca deh ceritaku ini! Terus terang,
aku mau tahu pendapat Kakak," pinta Angel seraya
memperlihatkan kisah nyatanya yang ditulis dengan
sepenuh hati.


"Wah, maaf ya, An! Terus terang, aku tidak punya
waktu. Maklumlah, cerita temanku saja belum sempat
kubaca," tolak Raka.

Saat itu Angel langsung kecewa, sungguh apa
yang diharapkan mengenai kisah nyatanya sama
sekali tidak terwujud. Namun kekecewaan itu tak
berlangsung lama, kini dia justru tertarik dengan cerita
yang dikatakan Raka tadi. "Eng... Ngomong-ngomong,
cerita temanmu itu tentang apa, Kak?" tanya Angel
penasaran seraya menutup buku catatannya.

"Mana aku tahu, aku kan belum sempat
membacanya. Tapi, sepertinya sih tentang cinta," jelas
Raka sambil memperhatikan Angel yang kini tampak
tertunduk dengan jemari yang menepuk-nepuk buku
catatannya.

"Eng, kisah nyata bukan?" tanya Angel lagi seraya
memandang Raka dengan pandangan yang membuat
pemuda itu langsung teringat kembali akan kenangan
indah yang pernah mereka alami.

"Mmm… Mungkin juga. Kalau begitu, sebentar
ya!" pinta Raka seraya beranjak mengambilkan


naskah temannya dan memberikannya pada Angel.
"Nih, kau lihat saja sendiri!" pinta pemuda itu
kemudian.

Angel pun segera menanggapi naskah itu dan
melihat bentuk fisiknya. "Hmm... Tebal juga," katanya
dalam hati seraya membaca judul yang ada di cover
muka. "Hmm... Demi Cinta Sejati, apa maksudnya
ya?" tanya Angel dalam hati seraya memperhatikan
gambar sepasang muda-mudi yang tampak menghiasi
cover, keduanya tampak begitu mesra—berbaring di
tempat tidur. "Hmm... Cover ini bagus juga," pujinya
dalam hati seraya membaca nama penulisnya.
"Hmm... Namanya Bobby. Eng... Ganteng tidak ya
orangnya?" tanya Angel lagi dalam hati seraya mulai
membaca sinopsisnya.

Tak lama kemudian, "Bagaimana, An?" tanya
Raka tiba-tiba.

"Sekilas, cerita ini tampak menarik Kak," kata
gadis itu mengomentari

"Eng... Apa kau mau membacanya?" tanya Raka
serius.


"Kalau boleh sih, tentu saja mau," jawab Angel tak
kalah serius.

"Baiklah… Kalau begitu, biar kau saja yang
membacanya!" kata Raka setuju.

"Benar nih?" tanya Angel hampir tak
mempercayainya. "Eng... Ngomong-ngomong, Kak
Bobby mengizinkan tidak?" tanyanya kemudian.

"Dia pasti mengizinkan. Sebab, sebelumnya dia
pernah bilang kalau siapa saja boleh membacanya."

"O ya, Kak. Ngomong-ngomong, siapa yang
membuat cover cerita ini?" tanya Angel lagi seraya
kembali memperhatikan cover yang menarik hatinya.

"Ya, dia sendiri," jawab Raka singkat.

Seketika Angel terdiam, "Hmm... Bagaimana ya
jika cover ceritaku dibuat sebagus ini?" tanya gadis itu
dalam hati seraya membayangkan cover ceritanya
yang tampak bagus. "O ya, Kak. Ngomong-ngomong,
mau tidak ya dia membuatkan cover untuk ceritaku
ini?" tanyanya kemudian.

"Wah, aku juga tidak tahu. Eng… Bagaimana
kalau kau tanyakan saja langsung pada orangnya!


Hmm... Bagaimana kalau sekarang kita ke rumahnya,
sekalian berkenalan dengan dia?"

"Eng... Oke deh. Tapi, sekalian antar aku pulang
ya!"

"Beres, Non. Ayo…!" ajak Raka seraya melangkah
menuju ke sepeda motornya.

Tak lama kemudian, keduanya sudah berangkat
menuju ke rumah Bobby. Sementara itu di sebuah
kamar yang agak berantakan, seorang pemuda baru
saja mengenakan pakaian seadanya. Maklumlah, dia
itu baru saja mandi dan memang tidak berniat ke
mana-mana. Kini pemuda itu sudah di depan TV
sambil menikmati segelas teh manis dan sepiring roti
sumbu. Saat itu dia tampak begitu santai, menikmati
kesendiriannya yang tengah asyik berhayal menjadi
tokoh utama di dalam kisah Butterfly Effect yang
disaksikannya.

"Assalamu’alaikum!" ucap seseorang di luar
rumah tiba-tiba.

Mendengar itu, Bobby segera mengintip lewat
jendela, "O... Si Raka. Mau apa ya dia datang malam



malam begini?" tanya pemuda itu seraya melangkah
menemuinya.

Tak lama kemudian, Bobby sudah bertatap muka
dengan Raka, bersamaan dengan itu dia pun
langsung diperkenalkan dengan Angel—seorang
gadis yang entah kenapa tiba-tiba membuatnya jadi
salah tingkah. Apa mungkin karena dia itu seorang
jomblo yang baru saja menemukan belahan jiwanya.
Pada saat yang sama, Angel tampak sedang
memikirkan pemuda itu. "Hmm... Ternyata dia
memang pemuda yang tampan."

"Yuk, masuk!" ajak Bobby tiba-tiba membuyarkan
pikiran Angel.

Lantas dengan agak terkejut, Angel pun segera
merespon, "Bi-biar di sini saja, Kak," ucapnya terbata.

"Ayolah, jangan malu-malu! Anggap saja rumah
sendiri," ajak Bobby lagi.

"Iya, An. Yuk, masuk!" ajak Raka menimpali.

Lantas dengan malu-malu, akhirnya Angel mau
juga melangkah masuk dan duduk di kursi teras. Kini
Bobby dan Angel sudah duduk berdampingan. Pada


saat yang sama, Raka langsung ke ruang tengah
guna menemui adik Bobby yang kebetulan baru
pulang dari luar negeri. Maklumlah, Raka memang
sudah lama tidak bertemu dan mau mengetahui
kabarnya, juga sekalian mau minta oleh-oleh.

Karena ditinggal berdua, Bobby pun semakin
salah tingkah. Saat itu, berbagai hal yang berkenaan
dengan Angel seketika kembali terlintas di benaknya,
"Aduh... Kenapa dengan diriku? Kenapa perasaanku
tiba-tiba jadi tidak karuan kayak gini. Hmm… Apa
mungkin aku telah mencintainya?" tanya Bobby dalam

hati.
"Kakak penulis, ya?" tanya Angel tiba-tiba
membuyarkan pikiran pemuda itu.
"Eng… Se-sebetulnya bukan. Menulis bagiku

hanyalah media untuk menumpahkan perasaan,
sedangkan profesiku sebenarnya adalah seorang
pengacara, alias pengangguran banyak acara.
Hehehe… Sebetulnya saat ini aku sedang belajar
menjadi seorang graphic designer, dan dengan
kemampuanku membuat program permainan, maka


aku pun berniat merintis sebuah studio kreatif
perangkat lunak yang islami."

"O, jadi benar kalau cover ini Kakak yang buat
sendiri."

"Iya, betul. Memang kenapa?"

"Terus terang, menurutku cover ini bagus sekali,
Kak."

"Benarkah bagus?” tanya Bobby seraya
tersenyum, “Padahal, aku sendiri tidak yakin kalau
cover itu betul-betul bagus. Sebab, aku memang tidak
sepenuh hati saat mengerjakannya,” sambungnya
kemudian.

"Wah, tidak sepenuh hati saja bisa sebagus itu.
Bagaimana jika Kakak mengerjakakannya dengan
sepenuh hati tentu akan jauh lebih bagus. Tapi jujur
saja, walaupun aku tidak mengerti akan makna yang
terkandung di dalamnya, namun menurut pandangan
mataku cover yang Kakak buat itu memang tampak
bagus. Eng, bukankah karya seni itu bersifat relatif,
dan bagus tidaknya sangatlah tergantung dari selera
dan sudut pandang orang yang melihatnya. "


"Eng, kalau begitu terima kasih atas penilaianmu,"
ucap Bobby tulus.

Angel pun tersenyum. “O ya, Kak. Kembali ke soal
tulis-menulis, sebetulnya aku ini juga suka menulis
loh. Ketahuilah! Ketika Raka memperlihatkan naskah
Kakak, lantas aku pun jadi tertarik. Karenanyalah kini
aku datang kemari agar bisa mengenal Kakak lebih
jauh. Barangkali saja Kakak mau mengajariku
bagaimana caranya menjadi menulis yang baik."

"Wah, sebetulnya aku pun masih belajar. Terus
terang, aku merasa belum pantas untuk itu. Selama
ini kan tulisanku belum diakui publik, dan karenanya
aku tidak tahu apakah tulisanku itu baik atau tidak.
Karenanyalah, apakah pantas jika aku
mengajarkannya padamu?"

"Kak, tadi aku sempat melihat-lihat naskah Kakak
sedikit, dan sepertinya tulisan kakak itu sudah bagus
dan pantas dinikmati sebagai sebuah karya sastra.
Menurut penilaianku, kakak itu sudah pastas untuk
mengajariku. Sebab, jika dibandingkan dengan
karyaku, jelas karya Kakak itu jauh lebih baik.


Karenanyalah, jika Kakak mau mengajariku tentu aku
akan senang sekali."

"Wah, aku betul-betul merasa tersanjung.
Sungguh aku tidak menyangka, kalau kau akan
menilai karyaku seperti itu. Baiklah… Jika kau
memang menilaiku demikian, sungguh tidak
sepantasnya jika aku sampai menolak. Terus terang,
aku merasa berdosa jika sampai tak mau berbagi ilmu
denganmu."

"Terima kasih, Kak."

"Kembali kasih. O ya, ngomong-ngomong...
Selama ini kau sudah menulis berapa judul?"

"Ya, lumayanlah, Kak. Tapi semua itu cuma
sebatas cerpen. Sedangkan untuk menulis novel baru
kumulai beberapa bulan yang lalu, dan itu pun dimulai
dengan kisah nyataku. O ya, Kak. Ngomongngomong,
ini dia kisah nyataku," kata Angel seraya
menyodorkan buku catatannya yang baru diambilnya
dari dalam tas.

Pada saat itu, Bobby tampak diam. Jangankan
untuk membaca, menyentuh saja sepertinya enggan.


Karena itulah Angel langsung kecewa dan segera
menyimpan buku catatannya kembali. Dalam hati,
gadis itu langsung menghakimi Bobby sebagai
pemuda yang tidak berperasaan, pemuda yang tidak
bisa menghargai karya orang, walau pun hanya
sekedar saja. "Huh, dia sama sekali tidak tertarik
dengan ceritaku. Jika begitu, bagaimana mungkin dia
mau membuatkan cover-nya." Begitulah Angel, jadi
berpikiran yang tidak-tidak. Padahal dalam benaknya,
Bobby ingin sekali membaca cerita yang katanya
kisah nyata itu. Sebab dengan demikian, tentunya dia
bisa mengenal karakter Angel lebih jauh, yaitu melalui
rentetan cerita yang ditulisnya. Namun karena saat itu
dia sedang tidak mood membaca, lantas dia pun
memilih untuk tidak menghiraukannya. Maklumlah,
saat itu dia memang lebih tertarik untuk terus
memperhatikan kecantikan Angel.

Karena mengetahui Angel kecewa, Bobby pun
segera memberi alasan. "Eng, ceritamu itu belum
selesai kan? Terus terang, rasanya agak sulit bagiku
untuk memberikan penilaian terhadap sebuah karya


yang belum selesai. Sebaiknya kau selesaikan saja
dulu, jika sudah selesai pasti aku akan membacanya,"
jelas Bobby seraya tersenyum pada Angel.

Karena alasan itulah, akhirnya Angel kembali
ceria. Namun tak lama kemudian, keduanya sontak
terdiam, merasakan getaran aneh yang begitu tibatiba—
terasa begitu syahdu, bagaikan duduk di tepian
telaga yang tampak tenang, di temani oleh mendunya
simfoni alam dan pesona keindahan bunga warnawarni
yang tumbuh di atas hijaunya hamparan rumput.
Sungguh sangat membahagiakan dan begitu
membuai sukma. Begitulah perasaan dua insan yang
kini sedang dilanda asmara, merasakan indahnya
cinta yang terus tumbuh berkembang dengan begitu
cepat. Akibatnya, mereka pun jadi tidak konsentrasi,
hingga akhirnya mereka tak mampu lagi
mengungkapkan berbagai hal yang sebetulnya
menarik untuk dibicarakan.

"Hmm... Sungguh dia memang manis sekali.
Andai saja dia mau jadi pacarku... tentu aku akan
bahagia sekali," ungkap Bobby dalam hati. "Tapi..."


seketika Bobby teringat dengan seorang gadis yang
dijodohkan dengannya. Dialah Wanda, gadis manis
yang menjadi pilihan orang tuanya. "Duhai Allah...
Kenapa mesti dia? Mungkinkah aku bisa mencintai
gadis yang selama ini hanya kulihat fotonya dan
kudengar suaranya saja. Jika aku boleh memilih, aku
lebih suka jika Angel yang menjadi pendampingku."

"Kak Bobby, aku pulang ya!" pamit Angel tiba-tiba
membuyarkan pikiran pemuda itu.

"Pu-pulang? Bu-bukankah kau belum lama di sini.
O, iya... Aku betul-betul lupa untuk menyuguhkanmu
minum. Maaf ya, An! Sungguh aku benar-benar lupa,
soalnya aku terlalu asyik berbincang-bincang
denganmu," ucap Bobby yang baru menyadari kalau
dia memang belum menyuguhkan minum. Sungguh
saat itu Bobby tidak menghendaki jika Angel pergi dari
sisinya, yang kini sudah membuatnya begitu syahdu.

"Kak... Sebetulnya aku mau pulang bukan karena
itu, tapi justru karena saat di rumah Raka aku sudah
kebanyakan minum."


"Benarkah…? Jika begitu kenapa tidak bilang dari
tadi? Aku kan bisa menunjukkan kamar kecilnya."

"Tidak usah deh, Kak. Terima kasih. Lagi pula,
bukankah sekarang sudah terlalu malam."

"Eng, baiklah… Kalau begitu, tunggu sebentar ya!
Biar kupanggilkan Raka," pinta Bobby seraya
memanggil Raka dan memberitahukan keinginan
Angel. Maklumlah, saat itu Bobby menyadari kalau
Angel adalah tamunya yang harus dihormati,
bukannya pacar yang bisa ditahan dengan rayuan
gombal.

Kini Bobby, Raka, dan Angel sudah kembali
bertatap muka. "Kok cepat sekali ngobrolnya, An?"
tanya Raka heran, padahal dia sendiri masih mau
berlama-lama mendengar cerita adik Bobby soal
pengalamannya di luar negeri.

"Sudah cukup, Kak." jawab Angel tak mau
mengatakan hal yang sebenarnya.

"O, ya. Bagaimana soal cover-nya, sudah belum?"
tanya Raka lagi.

"Nanti saja deh, kapan-kapan," jawab Angel.


Akhirnya Raka dan Angel pamit meninggalkan
rumah Bobby. Pada saat yang sama, Bobby tampak
memperhatikan kepergian mereka dengan penuh
perasaan rindu. Saat itu dia cuma bisa berharap,
semoga dia bisa segera berjumpa lagi dengan gadis
yang kini sudah melekat di hatinya.

Setelah kedua tamunya kian menjauh, Bobby pun
segera melangkah masuk. Kini pemuda itu sudah
berada di atas tempat tidurnya, kedua matanya yang
bening tampak memandang ke langit-langit, sedang
pikirannya terus melayang—memikirkan gadis yang
telah mencuri hatinya. Sungguh saat itu dia sudah
dimabuk cinta, sehingga perasaan rindu terus
mendera dan membuatnya serba salah. Pada saat
yang sama, Angel yang sudah tiba di rumah juga
sedang memikirkan Bobby. Sungguh perasaan aneh
yang dirasakannya kini telah membuatnya betul-betul
bingung. "Hmm... Apakah aku telah mencintainya?"
tanya gadis itu dalam hati. "Sebab di-dia... Tidak...!!!
Aku tidak boleh mengkhianati cinta sejatiku, sampai
kapan pun aku akan terus mencintainya," kata Angel


yang tiba-tiba teringat kembali dengan cinta sejatinya.
"Ya, Tuhan... Sungguh aku merasa sangat berdosa
karena hampir menghianati cinta sejatiku? Sungguh
aku tidak mengerti, kenapa aku bisa sampai seperti
itu. Apakah itu lantaran kami tidak mungkin bersatu?
Ya, Tuhan… Sungguh aku tidak mengerti, kenapa
hanya perbedaan lantas kami tak bisa bersatu?
Padahal, kami begitu saling mencintai dan
menyayangi. Sungguh aku tidak mengerti, kenapa
Engkau membiarkan saja keinginan orang tuanya
yang merasa berhak memisahkan kami?" tanya Angel
lagi seraya kembali teringat dengan berbagai kejadian
yang begitu meresahkan hatinya. Malam itu, Angel
dan Bobby sempat bertemu di dalam mimpi. Sungguh
sebuah mimpi yang membuat keduanya seolah sudah
begitu dekat, hingga membuat cinta mereka kian
tumbuh bersemi.



Esok paginya, Angel tampak sedang membaca
naskah milik Bobby. Sungguh dia tidak menyangka
kalau apa yang sedang dibacanya itu ternyata mirip
dengan apa yang dialaminya, yaitu mengenai cinta
sejati yang tak mungkin bisa bersatu. Dalam cerita itu,
sang tokoh utama yang seorang pemuda tampan
memutuskan untuk melupakan cinta sejatinya. Hingga
akhirnya pemuda itu memutuskan untuk menikahi
gadis yang bukan cinta sejatinya lantaran alasan
ibadah. Walau pada mulanya gadis itu bukan cinta
sejatinya, namun pada akhirnya dia bisa mencintainya
dengan sepenuh hati—layaknya dia mencintai cinta
sejatinya. Begitulah cinta, tumbuh karena terbiasa.
Saat kekurangan bisa diterima dan perbedaan
bukanlah masalah, maka manusia tak bisa mengelak
dari cinta, cinta yang begitu membahagiakan dan
membuat perasaan syahdu kala bersama orang yang
dicintainya.

"Ah, akhirnya selesai juga aku membacanya.
Hmm… Menarik juga cerita ini, walaupun alurnya
agak sedikit berbelit-belit dan membuatku bingung.


Hmm... Ini pasti kisah nyata yang bercampur dengan
kisah fiktif. Entah yang mana yang nyata dan yang
fiktif, tetapi aku yakin tokoh utamanya itu adalah
penulisnya sendiri. Hmm... Jadi, dia itu orang yang
mudah jatuh cinta," pikir gadis itu mencurigai. Lalu
dalam sekejap, perasaan cinta yang semula bersemi
mendadak mati begitu saja. "Tidak, aku tidak mungkin
mencintai orang seperti dia, yang begitu mudahnya
jatuh cinta. Sungguh dia tidak seperti cinta sejatiku
yang selalu setia," pikir Angel lagi seraya menyimpan
naskah yang baru dibacanya. "Tapi... Bukankah aku
juga seperti dia, begitu mudahnya jatuh cinta," kata
Angel lagi ketika dia kembali teringat dengan
perasaannya malam itu.

Kini gadis itu tampak mengambil buku catatannya
dan mulai membaca kisah nyata yang dialaminya, dan
setiap kali dia membaca kisah itu, setiap kali itu pula
dia teringat akan kenangan indah yang pernah
dialaminya. Duhai belahan jiwaku tercinta... Duhai
pujaan hatiku tersayang.... Ketahuilah! Kalau aku
sangat mencintaimu, dan aku sangat menderita tanpa


kehadiranmu. Maafkanlah aku yang hampir
mengkhianati cintamu!"

Angel terus terlena di dalam lamunannya yang
begitu membuai jiwa. Sementara itu di tempat lain,
Bobby tampak sedang memikirkan gadis yang kini
sudah mengisi relung hatinya. Bahkan setiap usai
sholat dia selalu berdoa agar Angel bisa menjadi
istrinya yang shalehah dan kelak bisa
membahagiakannya, hingga akhirnya pemuda itu
tersadar, kalau apa yang dicita-citakannya bisa saja
tidak terwujud, dan itu semua karena dia menyadari
kalau apa yang diinginkannya itu belum tentu sesuai
dengan keinginan Tuhan. Karena itulah, dia pun
menjadi lebih waspada untuk tidak sampai terjerat
oleh jerat cinta yang membutakan dan tetap berusaha
membuka diri untuk bisa mencintai yang lain.

Sekilas dugaan Angel memang benar, kalau
Bobby memang orang yang mudah jatuh cinta. Tapi
sayangnya, gadis itu tidak menyadari kalau Bobby
jatuh cinta karena dia telah menangkap sinyal kimia
yang telah dilepas Angel saat pertama kali mereka


berjumpa. Cinta Bobby sebetulnya bukan karena dia
mudah jatuh cinta, namun dia menjadi jatuh cinta
karena Angel telah mengirim sinyal kimia
kepadanya—yang tanpa disadari sudah terlepas
ketika dia menilai kalau Bobby adalah pemuda yang
tampan. Jadi, sebetulnya Bobby itu bukanlah mudah
jatuh cinta, namun mudah untuk mencintai. Sekilas
keduanya tampak sama, namun sebetulnya berbeda.
Mudah jatuh cinta karena nafsu yang membutakan,
yang mana berlandaskan hanya kepada kesenangan
semata. Namun, mudah mencintai karena fitrah
kemanusiaan, yang mana berlandaskan cintanya
kepada Tuhan.

"Duhai Allah... Jadikanlah dia sebagai istriku yang
shalehah, istri yang bisa membahagiakanku di alam
fana ini. Amin..." pinta Bobby yang lagi-lagi berdoa
kepada Tuhan setiap kali dia usai sholat. "Tapi...
Bagaimana dengan gadis yang hendak dijodohkan
denganku itu? Menurut ibuku, dia itu gadis yang baik,
anak seseorang yang juga dari keluarga baik-baik.
Bahkan Agustus nanti dia sudah diwisuda, dan itu


artinya sudah tidak ada kendala lagi untuk pernikahan
kami. Tidak seperti Angel yang statusnya belum jelas
sama sekali, apalagi dia itu masih sangat muda dan
mungkin belum ada pikiran untuk menikah. Duhai
Allah... Kenapa harus seperti ini? Kenapa aku harus
mencintai gadis yang belum jelas itu. Apakah dia itu
memang cinta sejatiku, sehingga aku begitu
mudahnya jatuh cinta. Padahal, aku sendiri belum
mengenalnya dengan baik." Pemuda itu terus
memikirkan pujaan hatinya, hingga akhirnya dia
tertidur dan bertemu dengannya di dalam mimpi.



DUA

Cinta
buta
dan
cinta
sejati


T
TTTT
ut! Nat! Net! Not! Nat! Net! Not! Di hari
minggu yang cerah, di sebuah telepon umum,
seorang gadis tampak asyik berbincang-bincang.
Rupanya Angel sedang menelepon Raka guna
mengabarkan perihal naskah yang sudah dibacanya.
Tak lama kemudian, “Nah, begitulah Kak. Tanpa
terasa, akhirnya cerita itu selesai juga kubaca ," kata
Angel mengabarkan.

"Gila... Cepat juga kau membacanya," komentar
Raka kagum.

"Iya dong. Memangnya Kakak, biarpun sudah
bulukan dan dimakan rayap tak akan pernah
membacanya."

"Eit, jangan salah! Itu hanya berlaku untuk
karangan penulis lain, tapi kalau untuk karangan
Bobby tentu ada pengecualian. Dia itu kan sahabat
baikku, dan aku merasa berkewajiban untuk bisa


menyelesaikannya walaupun dengan waktu yang agak

lama."

"Benarkah?"

"Tentu saja. Ketahuilah! Selama ini Bobby sudah
begitu sering membantuku, bahkan dia rela untuk
mengalahkan kepentingannya sendiri. Sungguh dia itu
sahabat yang baik, dan tidak sepantasnya aku
membalasnya dengan menyakiti perasaannya.
Karenanyalah, biarpun aku tidak hobi membaca, tapi
aku tetap berusaha untuk menyelesaikannya. Ya,
seperti yang aku bilang tadi, walaupun dengan waktu
yang agak lama. Tapi untunglah, Bobby bisa
memahamiku sehingga dia pun tidak merasa kecewa
karenanya."

"O ya, Kak. Ngomong-ngomong, aku baca
lanjutannya dong! Sebab, kata Kak Bobby ada
lanjutannya."

"Lanjutan apa?"

"Lanjutan dari cerita yang kubaca ini. Kalau tidak
salah, judulnya Demi Buah Hatiku"

"Lha... Naskah itu sih tidak ada padaku."


"Lantas, naskah yang ada pada Kakak itu apa?"

"Yang ada padaku itu, Menuai Masa Lalu."

"Ya... Bagaimana dong?"

"Telepon dia saja!"

"Aduh, Kak. Aku kan baru kenal. Masa sih
langsung menelepon dia."

"Mmm... Bagaimana ya?" Raka tampak berpikir
keras. "Aduh, telmi amat sih nih kepala. Masa
masalah begitu saja tidak bisa mikir," kata Raka
seraya melangkah berputar-putar sambil terus
menggenggam telepon selularnya. "Eng… Nanti saja
deh, An. Biar aku pikirkan dulu," kata Raka menyerah.

"Iya, deh. Nanti kalau sudah kabari aku ya!"

Setelah berkata begitu, Angel pun langsung
memutus sambungan dan melangkah pergi—
meninggalkan telepon umum yang hanya berjarak
lima meter dari rumahnya. Kini gadis itu sudah
merebahkan diri di tempat tidur. Kali kini dia tidak
memikirkan soal perasaannya kepada Bobby,
melainkan lebih kepada lanjutan cerita dari naskah
yang sudah dibacanya. "Hmm... Lanjutannya seperti


apa ya? Kata Kak Bobby waktu itu sih soal anak-anak
dari tokoh utama yang sudah remaja dan menginjak
dewasa. Pasti ceritanya akan lebih seru dari cerita
yang baru kubaca itu, dan isinya pun tentu mengenai
cinta anak remaja yang masih seumuran denganku."

Angel terus memikirkan itu, hingga akhirnya dia
pun kebelet pipis. Sementara itu di tempat berbeda,
Bobby tampak sedang memikirkan gadis yang mau
dijodohkan dengannya. Siapa lagi kalau bukan
Wanda. "Hmm... Kata ibuku, dia itu gadis yang patuh
kepada orang tua. Dan katanya lagi, dia itu tidak
mungkin menolak jika orang tuanya memang setuju.
Aku heran, pada zaman modern ini masih ada saja
gadis yang seperti itu. Dan aku sendiri, mau saja
dijodoh-jodohkan. Hmm... Apakah itu karena aku
sudah putus harapan karena tak mampu mencari
sendiri? Dan itu karena aku yang senantiasa berkata
jujur, bahwa aku akan langsung menikahi gadis yang
kucintai. Dan akibatnya, kebanyakan wanita justru
merasa takut karena belum siap, atau merasa takut
kalau segala yang kukatakan adalah sebuah


kebohongan. Apalagi jika mereka tahu kalau aku
adalah salah seorang yang mengerti dan setuju
dengan poligami, maka akan semakin menjauh saja
mereka. Padahal mengerti dan setuju itu kan belum
tentu akan menjadi pelakunya. Justru karena
kemengertianku soal poligamilah yang membuatku
justru merasa takut untuk berpoligami. Sebab, bagi
orang yang mengerti kalau berpoligami itu tidak
mudah, tentu dia akan lebih mencari selamat, yaitu
dengan hanya beristri satu.

Hmm... Bagaimana dengan Angel? Apakah dia
juga akan seperti itu? Ya... Aku rasa dia pun seperti
itu. Kalau begitu, memang tidak ada salahnya jika aku
dijodohkan oleh orang tuaku. Aku sadar, kini aku
sudah semakin bertambah usia, dan orang tuaku
tentu sangat mengkhawatirkan aku yang hingga kini
belum juga menikah. Padahal, hampir semua teman
sebayaku sudah membina mahligai rumah tangga,
malah dari mereka ada yang sudah dikarunia tiga
orang anak. Mungkin juga orang tuaku sudah tidak
sabar ingin menggendong cucu—anak dari buah


hatinya tercinta. Tapi... Bisakah aku bahagia bersama
gadis pilihan orang tuaku itu tanpa dasar cinta sama
sekali. Terus terang, aku takut membina hubungan
tanpa didasari cinta. Beruntung jika kelak aku
mencintainya, kalau tidak... Bukankah itu akan
menimbulkan masalah."

Bobby terus memikirkan perihal perjodohan itu,
hingga akhirnya dia merasa pusing sendiri. Begitulah
Bobby yang senang sekali mendramatisasi keadaan
sehingga membuat kepalanya semakin mau pecah.
Maklumlah, dia itu kan seorang penulis yang biasa
mendramatisir peristiwa yang biasa saja menjadi
peristiwa yang luar biasa. Dan memang hal seperti
itulah yang dituntut bagi seorang penulis agar bisa
menghasilkan karya sastra yang bagus dan bisa
dinikmati oleh pembacanya.


Dua hari kemudian, Bobby menelepon Raka
lantaran dia sudah sangat merindukan sang Pujaan


Hati. Maklumlah, selama dua hari ini dia selalu
memimpikan Angel dan membuatnya merasa perlu
untuk terus mencintainya.

"Eh, nanti malam dia mau main ke rumahku,” jelas
Raka mengabari. “Eng… Katanya, dia juga mau ke
rumahmu untuk mengembalikan naskah kemarin dan
mau membaca cerita lanjutannya.”

"Benarkah?” tanya Bobby hampir tak
mempercayainya.

“Benar, Bob. Tapi sayangnya, saat ini motorku lagi
ada masalah, dan karenanyalah aku tidak mungkin
mengantarnya sampai ke rumahmu."

Mengetahui itu, Bobby pun segera merespon,
“Eng... Kalau begitu, biar aku saja yang ke sana.”

“Baiklah, Bob. Kalau begitu, kami akan
menunggumu di warung tempat biasa. ”

“Iya, Ka. Sampai nanti malam ya. Bye..." pamit
Bobby dengan perasaan senang bukan kepalang.
Maklumlah, nanti malam rindunya tentu akan segera
terobati.


Kini pemuda itu tampak duduk di ruang tamu
sambil memikirkan perihal pertemuannya malam
nanti. Ketika sedang asyik-asyiknya melamun, tibatiba
ibunya datang menemui. "Bob, Ibu mau bicara,"
kata sang Ibu seraya duduk di sebelahnya.

"Soal apa, Bu?" tanya Bobby seraya berusaha
menerka dalam hati.

"Begini, Bob. Tadi, ibu baru pulang dari rumah
Wanda, dan Ibu kembali berbincang-bincang perihal
niat lamaran itu. Sungguh ibu tidak menduga, kalau
kedatangan ibu telah disambut dengan begitu
berlebihan. Sampai-sampai mereka membuat kue
spesial segala hanya demi menyambut kedatangan
ibu. Sungguh saat itu Ibu merasa tidak enak, belum
apa-apa mereka sudah menyambut seperti itu.
Bagaimana jika nanti ibu datang melamar, pasti
mereka akan menyambutnya dengan begitu meriah. O
ya, Bob. Kata ibunya Wanda, sebelum Ayah dan Ibu
datang melamar sebaiknya kau dan Wanda
dipertemukan dulu. Sebab katanya, pernikahan itu
bukanlah perkara main-main. Setelah menikah, kalian


tentu akan hidup bersama untuk selamanya—saling
setia dalam mengarungi bahtera rumah tangga hingga
ajal memisahkan. Karenanyalah, agar tidak menyesal
nantinya, kalian harus saling mengenal lebih dulu.
Karena itulah, mereka sangat mengharapkan
kedatanganmu. Ketahuilah, Bob! Malam Kamis besok
mereka mengundangmu untuk datang menemui
Wanda," jelas sang Ibu panjang lebar.

"Tapi, Bu..."

"Sudahlah… Tidak ada tapi-tapian! Soalnya tadi
Ibu sudah berjanji, kalau kau akan datang Malam
Kamis besok. Malah Ibu sudah memberitahu, kalau
kau itu anak yang berbakti pada orang tua dan tidak
mungkin mau menolak keinginan kami yang
menghendaki Wanda menjadi istrimu," potong sang
Ibu tak mau mendengar alasan Bobby.

"Jadi, itu artinya Bobby memang harus
menemuinya?"

"Tentu saja, memangnya kini kau sudah tidak mau
berbakti kepada orang tuamu lagi. Lagi pula, apa lagi


yang masih kau pikirkan, Bob? Wanda itu jelas gadis
yang manis, baik, dan juga patuh kepada orang tua."

"Bu... Se-sebenarnya. Bo-Bobby..." pemuda itu
tampak menggantung kalimatnya, "Eng... Bobby malu
datang ke sana, Bu," lanjut pemuda itu tak mau
mengungkap hal yang sebenarnya, kalau dia itu sudah
mempunyai gadis pilihannya sendiri, dialah Angel—
gadis yang baru dikenalnya beberapa hari yang lalu.

"Kau tidak perlu malu, Bob! Atau... Kalau perlu Ibu
akan menyuruh Randy untuk menemanimu."

Saat itu Bobby tak mempunyai pilihan lain yang
terbaik, tampaknya dia memang harus datang ke
rumah Wanda demi baktinya kepada orang tua.
"Duhai Allah... Kenapa harus seperti ini? Padahal kini
aku sudah begitu mencintai Angel, seorang gadis
yang menurutku baik dan bisa mengerti aku.
Entahlah... Ini cinta buta atau bukan, yang jelas aku
sudah mempertimbangkannya dengan matang dan
sudah menerima apa pun kekurangannya. Jika
demikian adanya, benarkah itu cinta buta, bukannya


cinta sejati yang tumbuh karena bertemu sang
Belahan Jiwa?" ratap pemuda itu membatin.

Sungguh pemuda itu sedang dilanda
kebingungan, apakah ia benar-benar telah terjerat
oleh cinta yang membutakan sehingga ia pun menjadi
begitu gegabah dalam memberikan penilaian.
Padahal, dia sendiri belum mengenal Angel dengan
baik. Sungguh mengherankan, kenapa dia bisa
sampai seperti itu? Bukankah banyak orang yang
selalu menolak cinta lantaran belum saling mengenal,
tapi dia justru malah sebaliknya—mengobral cintanya
kepada orang yang baru dikenal. Benarkah itu cinta
buta? Namun, bagaimana jika itu memang cinta
sejati?

Malam harinya, Bobby segera memenuhi janji
untuk mengantarkan naskah yang akan dibaca Angel.
Setibanya di warung tempat Raka biasa nongkrong,
dilihatnya Angel tampak duduk menunggu. Saat itu
Bobby langsung menghampiri dan duduk di
sebelahnya.

"Hi, An. Apa Kabar?” sapa Bobby.


“Baik, Kak,” jawab Angel.

“O ya, An. Ngomong-ngomong, Raka ke mana?"
tanya Bobby yang tidak melihat kehadiran sahabatnya.

"Dia lagi mengikuti pengajian rutin, Kak. Mungkin
jam sepuluh nanti dia baru kembali.

"O, begitu ya,” ucap Bobby seraya sekilas
memperhatikan wajah Angel yang manis. ”Aneh...
Kenapa aku tidak merasakan perasaan seperti malam
itu? Kenapa kini aku jadi biasa saja, tidak merasakan
getaran cinta sama sekali?" tanya Bobby dalam hati
merasa heran. Wajar saja saat itu Bobby merasa
heran, sebab saat itu dia tidak tahu kalau Angel tak
melepaskan sinyal kimia lantaran dia lebih mencintai
cinta sejatinya, dan dia sudah mengganggap Bobby
hanyalah sebagai teman biasa. Begitu pun dengan
Bobby yang kini sedang bingung mengenai
perasaannya pada Angel, apakah yang dirasakannya
itu cinta buta atau bukan. Karena itulah, saat itu
keduanya tidak bisa merasakan getaran emosional
yang biasa dirasakan jika mereka saling melepaskan
zat kimia. Karena saat itu mereka tidak sedang


dipengaruhi oleh perasaan emosional, maka mereka
pun bisa berbincang-bincang dengan tanpa kendala.

Kedua muda-mudi itu terus berbincang-bincang
mengenai topik yang mereka minati, yaitu perihal tulismenulis
yang kini sudah semakin jauh berkembang.
Disaat kebersamaan itu, hanya sesekali mereka
sempat merasakan getaran cinta, yaitu ketika mata
mereka saling beradu pandang. Namun hal itu tidak
berlangsung lama, sebab keduanya selalu berusaha
berpaling dan membuat getaran cinta itu kembali
padam. Kedua muda-mudi itu terus ngobrol hingga
akhirnya malam pun semakin larut. Namun ketika
Raka sudah pulang mengaji, saat itulah Angel minta
diantar pulang. Karena saat itu Raka tidak mungkin
mengantarnya pulang, maka Bobby pun langsung
menawarkan diri.

Tak lama kemudian, sepasang muda-mudi itu
tampak sudah melaju menyusuri jalan yang mulai
sepi. Di dalam perjalanan, Bobby kembali merasakan
getaran cinta sama seperti yang dirasakannya malam
itu. Begitu pun dengan Angel, saat itu dia tidak bisa


membohongi hatinya sendiri yang memang mencintai
Bobby. Kini kedua anak manusia itu sudah kembali
saling mencintai, bahkan mereka sudah kembali bisa
berkomunikasi dengan cara menebarkan zat kimia
yang ditangkap oleh sensor khusus sehingga
membuat mereka merasa betul-betul syahdu. Selama
dalam perjalanan, tak ada yang dipikirkan oleh
keduanya selain cinta dan cinta, dan tak ada perasaan
lain yang dirasakan selain bahagia dan bahagia. Dan
akibatnya, tidak sedikit para pengguna jalan yang
menjadi kesal lantaran ulah Bobby yang tampak
mengusai jalan. Saat itu, sepertinya motor yang
dikendarai Bobby berjalan dengan sendirinya, mirip
sekali dengan si mobil pintar yang bernama Kit dalam
film Knight Rider, yang memang bisa berjalan sendiri
karena telah dilengkapi dengan program pemandu
otomatis. Tampaknya saat itu Bobby pun sedang
menggunakan pemandu otomatis yang berasal dari
alam bawah sadarnya, bahkan perjalanan yang
lumayan jauh itu seperti sekejap saja dilewati, tahutahu
kini mereka sudah berada di ujung sebuah gang.


Saat itulah, tiba-tiba Angel tersadar dan memintanya
berhenti. "Stop, Kak! Stop...! Sudah, Kak. Sampai di
sini saja!" pintanya kepada Bobby.

Seketika Bobby tersadar dan segera
menghentikan laju sepeda motornya. "A-apa? Sampai
sini saja?" tanya Bobby seraya memperhatikan ke
sekelilingnya. "Eng... Kau yakin aku tidak perlu
mengantarmu sampai ke rumah?" tanyanya
kemudian.

"Iya, Kak. Aku tidak mau merepotkanmu. Raka
pun biasa mengantarku hanya sampai di sini. Sebab,
rumahku kan masih cukup jauh, biarlah aku naik
angkutan umum saja. Lagi pula, helm Kakak kan
cuma satu, nanti jika ada razia, Kakak pasti akan kena
tilang."

"Hmm... Kalau begitu baiklah. O ya, An. Kalau
sudah selesai membaca naskahku, jangan lupa
telepon aku ya!" pinta Bobby kepada gadis itu.

"Iya, Kak. Kalau sudah aku pasti akan
meneleponmu," janji Angel seraya turun dari motor


dan menatap pemuda itu. "Terima kasih ya, Kak! Kau

sudah mau mengantarku," ucapnya kemudian.

"Sama-sama, An," balas Bobby seraya tersenyum.

"Sudah ya, Kak! Aku pulang," pamit Angel.

"Hati-hati ya, An!" pesan Bobby seraya
memperhatikan kepergiannya.

Tak lama kemudian, pemuda itu sudah kembali
melaju dengan sepeda motornya. Saat itu Bobby
begitu senang lantaran sudah bertemu dengan sang
Pujaan Hati. Dalam perjalanan, dia tak henti-hentinya
membayangkan wajah Angel yang begitu manis.
Sungguh terasa menyejukkan jiwa, dan juga membuat
hatinya begitu berbunga-bunga. Sungguh dia tidak
habis pikir, kenapa perasaan itu bisa hadir kembali—
perasaan yang sama seperti malam itu, yang mana
terasa begitu syahdu karena telah berkali-kali diterpa
oleh dasyatnya sinyal kimia yang ditebarkan Angel.

Setibanya di rumah, Bobby langsung merebahkan
diri di tempat tidur. Saat itu, ingatannya langsung
menerawang ke berbagai peristiwa yang baru
dialaminya. Sungguh semuanya itu adalah kenangan


terindah yang membuatnya betul-betul bahagia.
"Hmm... Angel memang betul-betul gadis yang manis.
Candanya... Tawanya... Tatapannya... dan juga
keluguannya... Sungguh betul-betul membahagiakan.
Oh, Angel… Aku sangat mencintaimu. Andai saja kau
punya telepon atau HP, tentu aku akan langsung
menghubungimu sekarang. Terus terang, baru juga
kita berpisah, namun entah kenapa aku sudah begitu
merindukanmu?"

Bobby terus melamunkan Angel, hingga akhirnya,
"Hmm... Dua hari lagi dia pasti sudah menghubungiku.
Sebab, aku yakin sekali kalau dia akan
menyelesaikannya dalam waktu dua hari," duga
Bobby seraya memejamkan kedua matanya karena
sudah sangat mengantuk, hingga akhirnya pemuda itu
betul-betul terlelap bersama mimpi indahnya. Sungguh
sebuah mimpi yang begitu membahagiakan dan
membuatnya betul-betul yakin kalau Angel-lah cinta
sejatinya.



Esok paginya Bobby sudah terbangun, dia duduk
di tepian tempat tidur sambil terus mengingat mimpi
indahnya semalam. Di dalam mimpinya, Bobby dan
Angel sudah menjadi sepasang kekasih dan tengah
berlibur dengan sebuah kapal pesiar. Lalu tanpa
diduga-duga, kapal yang mereka tumpangi dihantam
badai yang begitu dasyat, hingga akhirnya mereka pun
bisa menyelamatkan diri dengan sebuah sekoci
penyelamat yang terus terapung-apung dan akhirnya
mendekati sebuah pulau perawan. Sungguh indah
nian pulau yang terpampang di hadapan mereka.
Nyiur berjajar di sepanjang pantai, dan di belakangnya
tampak bukit kecil yang menjulang—indah menghijau.
Tak lama kemudian, sekoci yang mereka tumpangi
tampak merapat di tepian pantai berpasir putih, yang
saat itu terlihat laksana karpet yang membentang
bersih. Lantas, keduanya pun melompat di atasnya,
dan dengan kedua kaki yang sedikit terbenam—
mereka tampak menyeka peluh di kening masingmasing.
Maklumlah, cuaca saat itu memang sedang


cerah-cerahnya, dan itu semua lantaran sang Mentari
yang sedang bergembira ria, membiaskan cahayanya
dengan tanpa aling-aling. Sebagai ganti rasa panas
yang menyengat itu, langit pun memberikan
keindahan yang membahagiakan. Di atas kepala
mereka, terlihat warna biru yang indah dengan hiasan
awan putih yang berarak. Bersamaan dengan itu,
beberapa burung camar tampak lincah menunggangi
udara, bernyanyi riang dengan diiringi debur ombak
yang menerpa pantai.

Kini kedua muda-mudi itu tampak melangkahkan
kaki menuju teduhnya nyiur yang melambai. Saat itu,
Bobby sempat mendongak melihat teriknya sinar
mentari yang dengan sangat perlahan terus menurun
menuju horizon di ufuk barat. Setelah menikmati air
kelapa yang dipetik Bobby, keduanya tampak duduk
berdampingan sambil menikmati hembusan angin
sepoi-sepoi yang terus bertiup. Sungguh terasa begitu
sejuk, sesejuk air kelapa yang baru saja menyegarkan
kerongkongan mereka. Tak terasa waktu begitu cepat
berlalu, saat itu senja sudah tiba dengan


menyuguhkan panorama yang begitu menakjubkan.
Betapa indahnya sang Mentari yang tengah kembali
keperaduan, sinarnya yang keemasan tampak
semakin mempesona oleh hiasan lembayung merah
jingga, sungguh suasana saat itu terasa benar-benar
begitu romantis. Saat itulah Bobby dan Angel saling
berciuman, dan ketika Angel hendak membuka
kancing baju Bobby, seketika itu pula Bobby langsung
menahannya dan mengatakan kalau perbuatan yang
akan mereka lakukan itu adalah dosa.

"Heran...? Kenapa dalam mimpi aku masih takut
melakukan itu? Padahal itu kan cuma dalam mimpi,
tentu tidak berdosa jika aku sampai melakukannya,"
kata Bobby menyesali dirinya yang sudah bertindak
bodoh di dalam mimpinya. "Hmm… Lain kali, jika aku
bermimpi seperti itu, aku akan berusaha untuk tidak
akan takut lagi. Sebab, hanya itulah kesempatanku
untuk bisa menikmati perbuatan dosa dengan tanpa
berdosa," gumam Bobby asal seraya berkemas untuk
mandi.


Beberapa menit kemudian, Bobby sudah duduk di
depan komputer dan menulis apa yang dialami di
dalam mimpinya. Dia sengaja menulis pengalaman di
dalam mimpinya sebagai bahan cerita yang kelak
akan digarapnya. Apalagi kejadian seperti itu memang
sangat jarang dialami, kebanyakan yang sering
dialaminya adalah pertarungan melawan pocong,
kuntilanak, ular, atau penjahat yang ingin
membunuhnya. Dalam pertarungan itu, terkadang ia
menang dan terkadang ia juga kalah dan mati
terbunuh. Atau juga mimpi yang sangat mengerikan,
seperti mimpi hujan meteor yang membuatnya betulbetul
bisa merasakan kepanikan seperti yang pernah
disaksikannya pada film Armagedon. Atau juga perihal
kehidupan setelah terjadinya perang nuklir, saat itu dia
mati dan dibangkitkan di padang masyar, di mana
banyak orang yang mengantri menunggu giliran. Atau
juga mimpi aneh yang membingungkan, seperti saat
dia mati dan akhirnya menjadi cahaya yang terbang
menembus jagad raya. Dan mimpi yang belum lama
dialaminya adalah ketika dia menjadi salah satu


korban bom "teroris". Anehnya saat itu dia justru
merasa senang, bahkan disaat kematiannya dia
sempat tersenyum seraya mengucap dua kalimat
syahadat, dan bersamaan dengan itu rohnya pun
keluar perlahan dari jasadnya. Saat itulah dia
menyadari kalau dirinya sudah mati. Dan bukan itu
saja, bahkan dia sempat menyaksikan teman dan
kerabatnya tampak berduka di saat pemakamannya.
Bobby pun sangat senang dengan kematiannya itu.
Sebab, dia bisa mengetahui kalau apa yang
dilakukannya semasa hidup adalah benar. Buktinya
saat itu dia bisa bertemu dengan orang-orang yang
semasa hidup telah berjuang menegakkan kebenaran,
dan dia pun telah dinyatakan mati syahid walaupun
saat itu kematiannya karena disebabkan oleh bom
"teroris". Intinya adalah, siapapun dia, dan bagaimana
pun cara kematiannya, jika selama hidupnya ditujukan
untuk berjuang di jalan Allah, maka matinya adalah
syahid fisabillillah, dan hal itulah yang sebenarnya
membuat dia begitu senang dengan kematiannya.


Sungguh semua mimpi Bobby itu terjadi karena
dia mempunyai hobi nonton berbagai jenis film dan
membaca beragam jenis bacaan. Akibat dari semua
yang telah disaksikan, didengar, dan dibacanya itu
tentu akan terekam di memorinya, dan semua itu
sewaktu-waktu bisa keluar dalam bentuk mimpi,
walaupun dia tahu kalau mimpi tak sekedar bunga
tidur namun ada juga yang merupakan pesan dari
Tuhan dan godaan setan. Karena semua itu keluar
dalam bentuk mimpi, maka Bobby pun bisa lebih
menjiwai karena saat itu dia memang betul-betul
mengalaminya, yaitu di dalam mimpinya. Bobby pun
seringkali memanfaatkan mimpinya itu sebagai bagian
dari proses kreatifnya dalam menulis cerita fiksi.

"Nah selesai sudah... Judul cerpennya Terdampar
di Teluk Biru. Cerita ini tentu akan menjadi menarik
jika ternyata di pulau yang mempunyai teluk biru itu
dihuni oleh monster buas yang penuh misteri. Kalau
begitu aku akan mencoba untuk menulisnya," kata
Bobby seraya mulai menulis buah pikiran yang baru


tercipta di kepalanya, yaitu guna mengembangkan
cerpennya yang terinspirasi dari alam mimpi.

Mendadak aku dikejutkan oleh suara yang begitu
menyeramkan, sebuah raungan panjang yang
terdengar begitu memilukan. “Hmm… Suara hewan
apakah itu?” tanyaku dalam hati. Tiba-tiba suara
hewan itu kembali terdengar, lantas aku pun mencoba
untuk mendengarkannya dengan penuh seksama.
Sungguh terdengar begitu menyeramkan, suaranya itu
kadang seperti lolongan memilukan dan terkadang
seperti raungan amarah yang meluap-luap. Kini aku
berdiri dari dudukku, lantas kupadangi bukit yang
dipenuhi kabut. Lagi-lagi suara itu kembali terdengar.
Saat itu keadaan memang sudah semakin gelap,
namun begitu, sekilas aku sempat melihat sekelebat
sinar merah yang menembus di kegelapan malam.
Deg…kuterkejut bukan kepalang. Tiba-tiba saja sinar
itu sudah mengarah kepadaku, bentuknya pun tampak
sudah semakin jelas, yaitu menyerupai mata yang
tampak begitu buas memandangku. Seketika aku


bergidik dan segera merapatkan tubuhku di sebatang
pohon nyiur, tak jauh dari kekasihku yang kini sedang
terlelap. Sejenak kuperhatikan kekasihku yang
mungkin saja sedang bermimpi indah, dan ketika aku
kembali memandang ke arah sepasang mata itu
berada, ternyata sepasang mata itu telah menghilang.
Saat itu aku berniat untuk membangunkan kekasihku,
namun...

"Hmm... apa lagi ya?" tanya Bobby berusaha
memikikan kejadian selanjutnya.

Pemuda itu terus asyik dengan fantasinya, apalagi
saat itu dia sedang berfantasi terdampar bersama
gadis yang dicintainya. Sementara itu di tempat
berbeda, Angel tampak sedang duduk termenung.
Rupanya gadis itu sedang memikirkan Bobby,
seorang pemuda tampan yang akan menjadi salah
satu tokoh dalam novel kisah nyatanya. Tak lama
kemudian, gadis itu sudah mengambil pena dan
segera menuliskan kisah yang dialaminya, yaitu dari
awal pertemuannya dengan Bobby hingga akhirnya


dia jatuh cinta. Gadis itu terus menulis dan menulis,
bahkan setiap kali dia mengingat semua itu, setiap kali
itu pula rasa cintanya kian tumbuh bersemi.
Maklumlah, apa yang dialaminya bersama Bobby
memang hal-hal yang menyenangkan hatinya. Entah
suatu hari nanti, mungkin dia akan menangis setiap
kali akan menggoreskan pena hitam miliknya.



TIGA

Dering
Kegelisahan


K
KKKK
RIIING…! KRIIING...! KRIIING...! terdengar
dering telepon yang begitu menyebalkan.
Sungguh bunyi itu telah mengganggu kenyamanan
Bobby yang saat itu sedang serius menyimak
perbincangan di televisi. KRIIING...! KRIIING...!
KRIIING...! Telepon kembali berdering, namun tak ada
seorang pun yang mau mengangkatnya. Mengetahui
itu, akhirnya Bobby terpaksa mengangkatnya sendiri.
"Ya, hallo!" sapanya kepada orang di seberang sana.

"Eng, bisa bicara dengan Pak Dullah!" pinta orang
di seberang sana.

"O, tunggu sebentar!" Pinta Bobby seraya
mengecek keberadaan ayahnya, dan tak lama
kemudian dia sudah kembali. "Hallo!" sapanya
kemudian.

"Ya, Hallo."

"Maaf, Pak. Pak Dullahnya baru saja pergi."


"Eng... Kalau begitu bisa titip pesan!"

"Ya, silakan!"

"Eng... Tolong bilang sama Pak Dullah, agar
segera menghubungi Pak Saman, Penting!"

"Iya, Pak. Akan saya sampaikan."

"Kalau begitu, terima kasih ya... Permisi..."

TUT... TUT... TUT...

"Aduh, pesan lagi," keluh Bobby karena terpaksa
dia harus terus mengingat amanat itu. Sebab jika
tidak, dia pasti lupa. Maklumlah, Bobby itu memang
pelupa, dan dia benar-benar merasa terbebani oleh
berbagai hal yang berhubungan dengan ingatmengingat.
Tadinya sih dia mau mencatat pesan itu,
namun karena ballpoint yang biasanya ada di dekat
telepon menghilang lagi, terpaksa Bobby jadi harus
terus mengingat.

Kini Bobby sudah kembali duduk di depan TV.
Namun baru saja dia duduk sebentar, tiba-tiba
KRIIING...! KRIIING...! KRIIING...! lagi-lagi telepon
berdering dan membuat tensi Bobby menjadi naik.
Kali ini Bobby tidak mempedulikannya, hingga


akhirnya ibunya yang baru saja selesai sholat buruburu
mengangkatnya.

Begitulah keadaan setiap harinya, betul-betul
membuat Bobby merasa jengkel. Maklumlah, ayah
Bobby adalah seorang pejabat daerah tingkat rendah,
dan ayahnya itu juga berkecimpung di dalam jaringan
perdagangan benda antik maupun benda gaib, yang
relasinya adalah para kolektor dan juga para mafia
benda antik. Setiap harinya, ada saja orang mencari
ayahnya dan menitipkan pesan macam-macam,
sehingga membuat Bobby terpaksa sering menjadi
sekretaris dadakan ayahnya.


Esok harinya. KRIIING...! KRIIING...! KRIIING...!
lagi-lagi terdengar bunyi dering telepon yang begitu
menyebalkan. Namun entah kenapa kali ini Bobby
buru-buru mengangkatnya, padahal semula dia
tampak begitu serius membaca buku. Sungguh sikap
pemuda itu lain dari biasanya, dia tampak begitu


bersemangat, bahkan rasa sakit akibat lututnya
terkena tepi meja tak dipedulikannya lagi. "Ya, hallo!"
sapanya dengan hati berdebar.

"Hallo! Bisa bicara dengan Pak Dullah!" pinta
orang di seberang sana.

"Aduh, ternyata bukan dia," keluh Bobby dalam
hati seraya merasakan sakit di lututnya. "Sebentar
Pak!" Pinta Bobby seraya mengecek keberadaan
ayahnya dengan agak terpincang-pincang. Tak lama
kemudian, dia sudah kembali. "Hallo!" sapanya
kepada si Penelpon.

"Ya, Hallo."

"Maaf, Pak. Pak Dullah tidak ada."

"Eng... Kalau begitu bisa titip pesan!"

"Ya, silakan!"

"Emm... Tolong bilang sama Pak Dullah agar
segera menghubungi Pak Dudung, Penting."

"Iya, Pak. Insya Allah akan saya sampaikan."

"Kalau begitu, Terima kasih ya... Permisi..."

TUT... TUT... TUT...


"Pesan lagi, pesan lagi..." keluh Bobby karena
terpaksa harus mengingat lagi. "Hmm... kenapa Angel
belum juga menghubungiku?" tanya Bobby seraya
kembali ke tempat duduknya. "Masa sih dia belum
juga selesai. Aku saja membaca dua naskahku sendiri
hanya membutuhkan waktu 6 jam, masa hingga kini
dia belum juga selesai. Hmm... Apa dia sedang begitu
sibuk sehingga tidak sempat membacanya? Hmm...
Apa dia malas untuk membacanya? Tidak...! Dia itu
gadis yang baik, dia pasti punya rasa tanggung jawab
untuk segera membacanya. Seperti halnya diriku,
yang mana setiap kali diminta seorang teman untuk
membaca naskahnya pasti langsung segera
kuselesaikan. Sebab, aku yakin temanku itu tentu
resah jika menunggu terlalu lama, tentunya waktu
begitu berharga buat dia, sehingga jika aku sampai
menunda-nunda sama saja dengan menzoliminya.
Aku yakin, Angel tidak akan mau menzolimiku, sebab
dia itu gadis yang baik dan penuh tanggung jawab.
Hatinya pun begitu lembut—selembut sutra, bahkan
sangat penyayang dan begitu perhatian. Hmm... kira



kira kesibukan apa yang telah menghambatnya
hingga dia tidak dapat menyelesaikan kewajibannya.
Ah, sudahlah... Tentu kesibukannya itu lebih penting
daripada harus membaca naskahku. Aku rela, jika
kesibukan itu memang lebih penting. Biarlah
naskahku itu agak terlambat dari jadwal yang sudah
kutentukan, asalkan dia bisa senang dan bahagia
dengan segala urusannya."

Kini Bobby sudah kembali membaca. Namun baru
saja dia menyelesaikan satu halaman, tiba-tiba…
KRIIING...! KRIIING...! KRIIING...! lagi-lagi terdengar
dering telepon yang membuat pemuda itu buru-buru
mengangkatnya. "Ya Hallo!" sapanya kemudian.

"Eng... Bisa bicara dengan Pak Dullah!"

"Aduh, ternyata bukan dia," keluh Bobby lagi-lagi
kecewa. "Maaf, Pak. Pak Dullah tidak ada."

"Eng... Kalau begitu bisa titip pesan!"

"Ya, silakan!"

"Emm... Tolong bilang sama Pak Dullah, agar
segera menghubungi Pak Manap, Penting."

"Iya, Pak. Insya Allah akan saya sampaikan."


"Kalau begitu, Terima kasih ya... Permisi..."

TUT... TUT... TUT...

"Pesan lagi, pesan lagi..." keluh Bobby karena
terpaksa harus mengingat dua pesan yang
menjengkelkan itu.

Kejadian serupa terus berlanjut, hingga akhirnya
Bobby memutuskan untuk tidak mempedulikan dering
telepon berikutnya. Ketika Bobby baru selesai
menuntaskan bacaannya, tiba-tiba KRIIING...!
KRIIING...! KRIIING...! lagi-lagi terdengar dering
telepon yang begitu menyebalkan. "Ah, biar ibuku saja
yang mengangkatnya. Sekarang lebih baik kau nonton
TV saja. "

KRIIING...! KRIIING...! KRIIING...! telepon kembali
berdering, namun ibu Bobby tak jua mengangkatnya.
"Hmm... bagaimana kalau itu telepon dari Angel. Jika
tidak ada yang mengangkatnya bisa-bisa dia
menyangka di rumah tidak ada orang. Kalau begitu,
aku harus segera mengangkatnya," pikir Bobby
seraya mengangkat telepon yang terus berdering itu.
"Ya, hallo!" sapanya kemudian.


"Eng... Bisa bicara dengan Bobby!"

"Aduh, ternyata bukan dia," keluh Bobby lagi-lagi
kecewa karena yang bicara itu bukan seorang gadis.
"Siapa, nih?" tanya Bobby kemudian.

"Ini aku, Bob. Parhan."

"O, kau Han. Ada apa?"

"Emm... Kau mau beli tinta printer?"

"Wah, tintaku masih banyak tuh."

"O, kalau begitu ya sudah. O ya, Bob. Kalau sudah
habis telepon aku ya!"

"Insya Allah, Han..."

"Sudah ya, Bob. Bye..."

"Bye..."

TUT... TUT... TUT...

"Duhai Allah... Kenapa harus seperti ini? Kenapa
dia belum juga meneleponku. Padahal, aku sudah
begitu merindukannya."

Kini Bobby tampak terduduk lesu dengan kedua
mata yang memandang ke layar kaca. Saat itu, film
kartun Sponge Bob yang biasanya membuatnya


terpingkal-pingkal kali ini tidak berpengaruh sama
sekali.


Hari demi hari telah berlalu, dan setiap dering
telepon yang didengar Bobby sungguh membuatnya
resah dan gelisah. Entah bagaimana dia harus
bersikap terhadap dering telepon yang sering kali
berbunyi itu, haruskah dia mengangkatnya karena
khawatir Angel yang menelepon, atau tetap didiamkan
karena dia tak mau dibebani lagi oleh berbagai pesan
yang menyebalkan. KRIIING...! KRIIING...! KRIIING...!
tiba-tiba dering kegelisahan kembali berdering.
Karena merasa khawatir, lantas Bobby pun segera
mengangkatnya. "Hallo! Assalamu’alaikum...!" sapa
orang yang ada di seberang sana. Saat itu hati Bobby
begitu senang bukan kepalang karena yang
didengarnya barusan adalah suara seorang gadis.

"Ya, Wa’allaikum salam...!" sapa Bobby senang.


"Eng... Bisa bicara dengan Ibu Haji!" pinta gadis
itu.

"O, ini dari siapa?" tanya Bobby agak kecewa.

"Dari Wanda, anak Bu Haji Endah."

"Wanda?" Bobby agak terkejut karena gadis yang
menelepon itu ternyata gadis yang hendak dijodohkan
dengannya, dan gadis itu pun ternyata telah
mengecewakan hatinya itu. Maklumlah, terakhir kali
mereka bicara—mereka sempat bertengkar lantaran
berpedaan pendapat.

"Eng... Tunggu sebentar!" pinta Bobby seraya
memanggil ibunya.

Tak lama kemudian, Bobby sudah datang
bersama ibunya. Saat itu Bobby langsung duduk
menonton TV, sedangkan sang Ibu langsung
berbincang-bincang dengan Wanda.

"O, begitu... Baiklah, nanti malam Ibu akan ke
sana. O ya, ngomong-ngomong kau mau bicara
dengan Bobby?" tanya Ibu Bobby kepada Wanda.
"Tidak apa-apa, dia lagi tidak sibuk kok," jelas Ibu


Bobby melanjutkan, "Tunggu sebentar Ya!," pintanya
kemudian.

"Bob, ini Wanda mau bicara denganmu," kata
sang Ibu seraya menyerahkan telepon yang ada
digenggamannya.

"Ya, Hallo!" sapa Bobby kepada gadis itu.

Saat itu Winda diam saja.

"Kenapa kau hanya diam, Wan? Bicaralah…!"
pinta Bobby kepada Wanda yang belum juga bicara.

"Eng... Apa kabar, Kak?" tanya Wanda kepada
Bobby.

"Baik," jawab Bobby singkat seraya menunggu
kata-kata Wanda selanjutnya.

"Kak... Ayo dong bicara!" pinta Wanda.

"Lho, bukankah kau yang mau bicara?"

"Aku bingung, Kak. Terus terang, aku tidak tahu
harus bicara apa? Hmm... Enaknya bicara apa ya?"

"Entahlah... Aku juga tidak tahu?"

"Kak, kenapa sih sekarang Kakak jadi berubah?
Kemarin-kemarin, Kakak begitu pandai bicara.


Kenapa sekarang jadi lain?" tanya Wanda yang
merasakan ada perubahan pada diri Bobby.

"Entahlah... Mungkin karena sekarang aku lagi
tidak mood saja."

"Eng.. Kalau begitu, kita bicaranya lain kali saja
deh, kalau Kakak sudah mood."

"Maaf ya, Wan!" ucap Bobby yang mengetahui
kekecewaan Wanda.

"Tidak apa-apa, Kak. Kalau begitu sudah ya. O ya,
salam buat Ibu. Wassalamu’alaikum..."

"Wa’allaikum salam..." ucap Bobby seraya
menutup telepon dan kembali duduk menonton TV.

Kini Bobby kembali teringat dengan perbedaan
pendapat waktu itu, yaitu perihal wanita karir yang
telah menjadi cita-cita Wanda. Oleh karena itulah,
Bobby pun merasa tidak cocok jika menikah dengan
Wanda. Maklumlah, Bobby memang tidak
menghendaki mempunyai istri yang seorang wanita
karir. Apalagi saat itu Wanda mengatakan kalau dia
sudah bertekad untuk menjadi wanita karir, walau apa
pun yang terjadi. Sejak mengetahui itulah, Bobby


memutuskan untuk menjauhi Wanda dan memilih
Angel sebagai pendampingnya. Bahkan dia sudah
yakin sekali kalau Angel akan menjadi ibu rumah
tangga yang baik. Selain itu, dia pun mulai meyakini
kalau Angel itulah cinta sejatinya yang sengaja
dipertemukan Tuhan demi untuk membahagiakannya.

Kini Bobby sudah tidak memikirkan Wanda lagi,
melainkan memikirkan Angel yang hingga kini belum
juga menelepon. "Ya, Tuhan... Aku bisa gila jika harus
terus menunggu dan menunggu. Sampai kapan aku
akan dibuat gelisah oleh setiap dering telepon yang
berbunyi di rumah ini? Duhai Allah... Aku betul-betul
resah dan gelisah..."

Bobby terus memikirkan Angel. Sungguh
perasaannya kini sudah menjadi tidak karuan. Segala
kerinduan dan dering kegelisahan yang disebabkan
oleh dampak pertemuannya dengan Angel betul-betul
membuatnya ingin mati saja. Begitulah cinta, yang
dengannya manusia bisa menjadi serba salah.
Terkadang bisa membuatnya bahagia dan terkadang


bisa membuatnya menderita. Sungguh cinta sebuah
misteri yang sulit untuk dipecahkan.


Hari berikutnya, Bobby tampak sedang
melanjutkan kerangka karangan yang sedang
dibuatnya. "Hmm... apa lagi ya?" tanya Bobby seraya
berpikir keras mengenai peristiwa apa lagi yang akan
ditulis. "Hmm... Pada Bab Delapan ini harus ada
peristiwa baru yang pembuka masuknya karakter Lia
di dalam kehidupan Irfan. Hmm... Tapi peristiwa apa
ya yang enak untuk mempertemukan kedua karakter
ini?" tanya Bobby lagi-lagi berpikir keras. "Hmm... Lia
itu kan sahabat Wina—gadis yang Infan cintai.
Selama ini, Winalah yang telah memberikan saran
untuk Lia agar meninggalkan Irfan, sebab Lia menilai
Irfan hanyalah seorang buaya darat yang cuma mau
mempermainkan Wina. Selama ini Lia mengetahui
perihal Irfan cuma dari Lia, dan Lia sendiri memang
belum mengenal Irfan secara langsung. Begitu pun


dengan Irfan, dia malah tidak tahu kalau ada sahabat
Wina yang bernama Lia. O ya, bukankah Wina itu
punya hobi chatting. Bagaimana jika mereka
berkenalan di chat room saja, dan sejak perkenalan
itulah mereka akhirnya akrab, dan Lia pun akhirnya
mencintai Irfan yang saat itu menggunakan nama
samaran Handi. Lia mencintai Handi karena Lia
menilai Handi adalah pria yang baik dan penuh
perhatian, apalagi ketika mereka saling bertukar Foto,
maka semakin cintalah Lia karena Handi memang
seorang pemuda yang tampan. Begitu pun dengan
Handi, lantaran dia sudah putus dengan Wina, dia pun
berniat menjadikan Lia sebagai pacar barunya. Hingga
akhirnya, jadilah mereka sepasang kekasih. Namun
pada suatu ketika, Wina, Lia, dan Handy bertemu.
Dan... Bingo!" Seru Bobby gembira seraya buru-buru
menulis berbagai kejadian dramatis yang tiba-tiba saja
tercipta di dalam benaknya. "Ah, akhirnya... Bisa juga
aku menemukan sebuah konflik yang justru membuat
Wina semakin mencintai Irfan! Dan itu karena
kejujuran Lia yang memberikan penilaian siapa Irfan


itu sebenarnya. Dulu, Lia telah menganjurkan Wina
untuk meninggalkan Irfan, namun karena Lia sudah
mengenal Irfan, maka dia pun merasa berdosa jika
tak berusaha mempersatukan mereka kembali.
Hmm… Jika aku berhasil menutup cerita ini dengan
sebuah ending bahagia yang mengharukan, tentu
ceritaku ini akan menjadi cerita cinta yang menarik,"
pikir Bobby penuh percaya diri.

Setelah menemukan endingnya, akhirnya Bobby
mulai menyelesaikan kerangka karangannya yang
diberi judul Keluguan dan Praduga. "Hmm... Tapi
kapan ya aku bisa mulai mengembangkan kerangka
ini. Sungguh sekarang-sekarang ini aku sedang tidak
mood menulis. Tapi..." tiba-tiba Bobby teringat dengan
artikel berjudul Sure! Kita tidak butuh Mood, Kok!
Sebuah artikel yang bersumber dari Dunia Kata. Di
tulis oleh Mohammad Fauzil Adhim.

Salah satu berhala yang banyak dipuja oleh
penulis—apalagi penulis fiksi—adalah mood. Mereka
bisa menulis dengan baik kalau sedang mood.


Sebaliknya, mereka akan berhenti menulis kalau lagi
tidak ada mood. Lama-lama mereka dikuasai mood.
Mereka menulis atau tidak, bergantung pada mood
atau suasana hati.

Saya tidak tahu sejak kapan penulis sangat
bergantung pada mood. Begitu bergantungnya pada
mood sampai-sampai mereka percaya mood sangat
menentukan lancar tidaknya menulis. Padahal, kitalah
yang seharusnya menentukan diri kita sendiri. Kalau
kita membiasakan diri untuk menulis apa saja; dalam
suasana gaduh atau tenang, dalam suasana penuh
semangat atau dingin tak bergairah, kita akan lebih
produktif sekaligus melahirkan tulisan yang lebih
berbobot. Satu hal yang harus kita pompakan, menulis
karena memang ada yang harus kita sampaikan.
Kalau mood sedang tidak bersahabat dengan kita,
jangan dikasih hati. Tetaplah menulis. Insya Allah, kita
akan terbiasa sehingga dapat menulis dengan bagus
anytime, anywhere, kapan saja, dan di mana saja.

Pipiet Senja adalah contoh luar biasa. Dalam
dirinya bergabung ketekunan, kerja keras, dan


kemampuan menulis kapan saja, di mana saja. Tidak
bergantung pada mood. Pipiet Senja bisa menulis
saat sakit, ketika harus terbaring di rumah sakit, atau
ketika sedang menghadapi beratnya persoalan hidup.
Ia menulis dari zaman Remy Silado, ketika saya baru
belajar membaca, sampai sekarang ketika penulispenulis
muda yang bersemangat sedang tumbuh. Ada
kemauan belajar yang luar biasa. Ada semangat yang
sangat dahsyat untuk bisa senantiasa produktif
menulis kapan saja. Sekali lagi, kapan saja tanpa
bergantung pada mood.

Ibu kita yang memiliki nama asli Etty Hadiwati
Arief ini sekarang sudah menghasilkan tidak kurang
dari lima puluh lima buku, terdiri dari 25 buku cerita
anak dan 30 novel. Belum lagi ratusan cerpen yang
tersebar di berbagai media massa dan belum sempat
dibukukan. Luar biasa!

Begitulah isi artikel yang membuat Bobby kembali
bersemangat untuk menulis walaupun sedang tidak
mood. Namun di lain sisi, dia pun merasa berat jika


harus menulis sedangkan pikirannya sedang tidak
konsentrasi lantaran memikirkan sang Pujaan Hati.
Apalagi soal perjodohannya itu, sungguh membuatnya
betul-betul tertekan. Untuk saat ini, dia merasa yang
enak itu bukan mengembangkan kerangka karangan
yang baru diselesaikannya, melainkan hanya menulis
puisi cinta mengenai perasaannya kepada sang
Belahan Jiwa.

"Hmm... Apakah kini aku sedang diperdaya oleh
bisikan setan yang menyesatkan, sehingga aku
menjadi terlena dengan cinta yang membutakan.
Padahal, masih banyak sekali hal penting yang bisa
aku kerjakan. Bukankah aku ini diciptakan untuk
menjadi khalifah, minimal untuk diriku sendiri, dan
bukan hanya memikirkan soal cinta yang justru
semakin membuatku tidak produktif. Tapi... Bisakah
aku tetap produktif tanpa seorang pendamping yang
men-support aku, dan bisakah aku bertahan hidup
tanpa perhatian dan kasih sayang dari orang yang
mencintaiku. Bukankah sewaktu masih di surga, Nabi
Adam juga merasa kesepian karena tidak ada wanita


yang mendampinginya. Dan karena rasa kesepiannya
itulah lantas Allah menciptakan Hawa untuknya. Di
surga saja Nabi Adam merasa seperti itu, apalagi aku
yang hanya tinggal di dunia, yang di dalamnya penuh
dengan duri-duri yang menyakitkan. Hmm…
Tampaknya cintaku kepada Angel hanyalah cinta
buta, sebab akibat dari cinta itulah kini aku menjadi
demikian. Bukankah cinta sejati itu adalah cinta yang
membuat manusia justru semakin bersemangat dalam
mengisi kehidupannya."

KRIIING...! KRIIING...! KRIIING...! telepon tiba-tiba
kembali berdering. "Ah, sudahlah... Biarpun dia itu
Angel atau hanya orang sakit jiwa yang mau mencari
benda magis aku tidak perlu mengangkatnya.
Pokoknya kini aku sudah tidak peduli, dari pada
nantinya aku dipusingkan dengan berbagai pesan
yang tak penting—pesan yang sebetulnya malas aku
sampaikan karena membuatku ikut terlibat dengan
urusan yang kuanggap berdosa itu, yaitu mengenai
perdagangan benda magis.


Sungguh aku sangat menginginkan ayahku itu
mau sadar, kalau apa yang dilakukannya selama ini—
memperdagangkan jimat atau benda magis adalah
salah. Namun saat ini aku memang tidak bisa berbuat
banyak, soalnya ilmu agamaku hanya sedikit,
sedangkan ilmu agama ayahku yang
memperbolehkan kepemilikan jimat atau benda magis
sudah sangat beliau kuasai. Kata ayahku, kalau
sebenarnya jimat atau benda magis secara khusus
memang tidak diajarkan oleh Rasulullah SAW
sehingga tidak masuk ke dalam Syariat Islam yang
diajarkan olehnya. Sebab firman Allah terbagi menjadi
dua bagian, yaitu yang tersurat berupa Al-Quran dan
yang tersirat yaitu segala kemahakuasaan Allah SWT
yang tampak di mata dan hati manusia. Sungguh
sebuah pendapat yang betul-betul membingungkanku.
Tapi, ya sudahlah... Aku tetap pada keyakinanku
sendiri, dan biarlah ayahku dengan keyakinannya
pula, yang penting buatku adalah aku tidak mau ikut
campur dan terlibat dengan segala urusannya yang
tak sejalan denganku. Kini yang bisa aku lakukan


hanyalah berdoa agar beliau mau kembali ke jalan
yang lurus, amin…" ucap Bobby penuh harap.

KRIIING...! KRIIING...! KRIIING...! telepon kembali
berdering, saat itu Bobby masih tak mau
menghiraukannya. KRIIING...! KRIIING...! KRIIING...!
telepon masih terus berdering, namun Bobby masih
tak menghiraukannya, saat itu dia malah asyik
menulis sebuah puisi kerohanian. Pada saat yang
sama, di seberang sambungan, di sebuah telepon
umum yang sepi, seorang gadis tampak berdiri resah.
"Hmm... Kenapa belum juga diangkat?" tanya Angel
gelisah. "Mmm... Apa mungkin di rumahnya sedang
tidak ada orang. Tapi... Bukankah kata Raka, Bobby
itu jarang pergi ke mana-mana. Apa lagi ibunya, yang
setiap hari selalu ada di rumah. Hmm... Apa mungkin
saat ini aku sedang sial? Sebab, bisa saja saat ini
mereka memang sedang pergi. Kalau begitu,
sebaiknya aku telepon lain waktu saja," pikir Angel
seraya menutup telepon dan segera melangkah pergi.

Malam harinya, Angel kembali menelepon Bobby.
Namun saat itu masih tak ada seorang pun yang


mengangkatnya. "Hmm... kalau begitu besok saja
kutelepon dia," kata Angel yang masih bisa bersabar.
Sungguh Angel tidak tahu, kalau sebetulnya Bobby
sudah melepas line telepon lantaran kesal dan
merasa terganggu oleh dering telepon yang di rasakan
begitu menyebalkan.



EMPAT

pertemuan


C
CCCC
esss! Cesss! Cesss! Harum minyak wangi
tercium hampir di sekujur tubuh Bobby.
Rupanya di malam Kamis yang mendebarkan ini,
Bobby terpaksa datang menemui Wanda guna
memenuhi keinginan orang tuanya. Dia sengaja
datang sendiri lantaran tidak mau jika perjodohannya
sampai tersebar luas dan menjadi gosip tak sedap
yang beredar di kampungnya. Maklumlah,
sebelumnya Bobby juga pernah dijodohkan dengan
seorang gadis manis. Belum juga mereka saling
bertemu, ternyata gosip sudah merebak hingga ke
pelosok kampung. Kontan Bobby dan gadis itu
menjadi malu dibuatnya, apalagi setelah
pertemuannya waktu itu, yang membuat Bobby
terpaksa menolak si Gadis lantaran tak mencintainya.
Akibatnya, mereka pun terpaksa menanggung malu
dua kali lebih berat lantaran batalnya perjodohan.


Bobby tak mencintai gadis itu lantaran dia terlalu
serius, bahkan tingkahnya pun terlalu kaku dan suka
dibuat-buat. Padahal, Bobby lebih suka kepada gadis
manja yang bertingkah apa adanya. Maklumlah, dia itu
seorang pekerja keras yang sering bergelut dengan
urusan serius. Karenanyalah, dia mendambakan
seorang wanita yang tidak terlalu serius dan bisa
menghiburnya dengan segala tingkahnya manjanya.
Saat itu Bobby betul-betul kasihan dengan gadis yang
terpaksa menanggung malu lebih berat dari yang
dipikulnya. Sebab, gadis itu sempat cerita kepada
beberapa temannya kalau Bobby adalah calon suami
yang sangat dicintainya. Karena pengalaman itulah,
akhirnya Bobby lebih berhati-hati dan tak mau sampai
mengulangi untuk yang kedua kali.

Setibanya di rumah Wanda, Bobby langsung
dipersilakan duduk dan segera dipertemukan dengan
gadis yang selama ini hanya dilihat fotonya dan
didengar suaranya saja. "Hmm... Ternyata dia lebih
manis daripada fotonya, dan jika dibandingkan


dengan Angel jelas dia itu lebih manis," ungkap Bobby
dalam hati.

"Kok diam saja, Kak?" tanya Wanda kepada
Bobby.

"Aku bingung, Wan," jawab Bobby singkat.

"Kalau bingung, kenapa tidak pegangan saja,
Kak?"

Mengetahui anjuran itu Bobby langsung
membatin, "Heran...? Memangnya tidak ada kalimat
yang lain, apa? Kenapa harus kalimat itu yang dipakai
untuk anjuran orang yang sedang bingung?"

"Kenapa, Kak?" tanya Wanda heran karena Bobby
tak merespon kelakarnya.

"Tidak... Aku cuma heran saja. Kita ini kan baru
bertemu, tapi kenapa kau justru menganjurkanku
untuk memegang tanganmu," jawab Bobby asal.

Mendengar itu Wanda langsung merespon, "Enak
saja... Bukan pegang tanganku, tahu. Tapi apa saja
yang bisa dibuat pegangan."

"Apa coba. Memang di dekatku ada yang bisa
dibuat pegangan selain tanganmu itu?"


"Hmm... Memangnya Kakak sering berpikiran
negatif ya?"

"Negatif? Bukannya kau yang berpikiran begitu,
masa baru bertemu sudah memintaku untuk
memegang tanganmu."

"Sudah ah, Kak! Aku tidak mau membahas soal
itu. Lebih baik kita bicara yang lain saja!"

"Hmm… Enaknya bicara apa ya?" tanya Bobby
bingung.

"Eng... Apa ya…? O ya, kenapa Kakak mau saja
dijodoh-jodohkan? Memangnya Kakak tidak bisa cari
sendiri ya?"

“Enak saja tidak bisa cari sendiri. Eh, Wan? Kalau

kau mau tahu, sebenarnya…” Bobby tidak
melanjutkan kata-katanya.
“Sebenarnya kenapa, Kak?” tanya Wanda
penasaran.

"Mmm... Sebenarnya aku mau dijodoh-jodohkan
karena aku percaya kalau pilihan orang tuaku-lah
yang terbaik. Ya benar, kalau itu memang yang


terbaik, kenapa tidak. O ya, ngomong-ngomong… Kau
sendiri kenapa mau saja dijodoh-jodohkan?"

"Aku ini kan anak yang berbakti kepada orang tua,
Kak. Jadi, apa pun yang menurut mereka baik, tentu
baik untukku."

"Kok jawabannya nyontek sih?”

“Tidak kok, memang begitu kenyataannya.”

“Benarkah begitu? Eng… Sekarang aku tanya
padamu. Seandainya kau itu bukan dijodohkan
denganku, namun dengan seorang lelaki separuh
baya yang jelek. Apa kau tetap mau berbakti?"

"Kak... Orang tuaku tidak mungkin
menjodohkanku dengan lelaki seperti itu."

"Lho, kenapa tidak mungkin? Jika orang tuamu
meyakini kalau orang itu baik dan bisa membuatmu
bahagia, kenapa tidak?"

"Jelas saja tidak… Sebab, mana mungkin aku
bisa bahagia dengan orang seperti itu."

"Apa kau sudah pernah mencobanya?"

"Belum sih... Tapi kan, aku sudah bisa
memprediksi."


"Prediksi? Itu artinya kau masih ragu, dan
keraguan itu tidak bisa dijadikan sebuah pegangan."

"Kau betul, Kak. Itu memang tidak bisa dijadikan
pegangan. Tapi, bukankah yang terbaik itu
meninggalkan sesuatu yang masih meragukan.
Soalnya hal itu kan berisiko tinggi. Beruntung jika aku
bisa bahagia. Kalau tidak, bagaimana coba?"

"Kau benar. Jawabanmu itu memang tepat sekali.
Andai saja kau bisa menerapkan hal itu dalam urusan
akhirat, tentu kau akan menjadi wanita yang
beruntung."

"Lho... Apa hubungannya?"

"Begini, Wan. Bukankah sekarang ini banyak
orang yang berani melakukan hal-hal yang masih
meragukan. Misalkan pacaran, dusta putih, bunga
bank, dan masih banyak lagi. Bukankah hal seperti itu
masih meragukan karena adanya berbedaan
pendapat, bahkan kini sudah menjadi polemik yang
terus berkepanjangan. Ketahuilah…! Hal seperti itu
jelas sangat berisiko untuk urusan akhirat. Bukankah
kau bilang, yang terbaik itu meninggalkan sesuatu


yang masih meragukan, dan hal itu pulalah yang
menjadi salah satu penyebab aku tidak mau pacaran.
Ketahuilah…! Selama ini, setiap kali aku mencintai
seorang gadis, maka aku akan berusaha untuk segera
menikahinya. Namun karena mereka memang tidak
siap, akhirnya aku pun terpaksa terus menjomblo.
Karena itulah, akhirnya orang tuaku tidak sabar lagi
dan berusaha menjodohku dengan pilihan mereka.
Dan karena aku tidak mempunyai pilihan terbaik,
terpaksa aku menurut saja, itung-itung demi baktiku
pada mereka. Lagi pula, aku percaya kalau orang
tuaku tidak akan membuatku menderita, mereka pasti
mencarikan gadis yang terbaik untukku. Bukankah
kau juga demikian, mempercayai kedua orang
tuamu?"

"Ya, aku pun begitu, Kak. Karenanyalah, aku pun
tidak menolak ketika dijodohkan dengan Kakak.
Hingga akhirnya, malam ini kita sengaja dipertemukan
agar bisa lebih saling mengenal."

"Ya, kau benar. Semoga kita bisa saling mengenal
dengan cara yang benar, yaitu tidak berkembang


menjadi proses pacaran yang di luar batas kesusilaan,
seperti yang selama ini dilakukan oleh kebanyakan
orang. Akibatnya, banyak sekali wanita yang menjadi
korban, yaitu hamil di luar nikah. Bahkan tidak sedikit
yang menjadi pembunuh lantaran tidak menghendaki
anak yang dikandungnya. Sungguh semua itu adalah
bukti kalau pacaran sangatlah berbahaya. Beruntung
bagi mereka yang masih mempunyai iman, kalau tidak
tentu akan bernasib sama."

"Kak… Aku pun tidak mau jika pertemuan ini akan
berkembang menjadi seperti itu. Karena itulah, aku
harap Kakak mau jujur dalam mengungkap jati diri
Kakak yang sebenarnya. Setelah itu, aku pun akan
melakukan hal yang sama. Jika kita sudah saling
mengenal, walaupun cuma sebatas kulitnya, lalu mau
berkomitmen untuk menerima berbagai hal yang kita
sepakati bersama, tentunya tidak ada alasan bagi kita
untuk tidak segera menikah. Namun, jika ternyata kita
tidak bisa berkomitmen karena adanya perbedaan
yang sangat prinsipil, tentunya tidak ada alasan pula
bagi kita untuk terus melanjutkannya."


"Ya, aku setuju. Sekarang pun aku akan memulai
dengan memberitahu beberapa sifatku yang mungkin
tidak kau sukai. Ketahuilah! Aku ini orang yang agak
keras kepala dan pemarah. Tapi kau jangan khawatir,
kekerasan kepalaku dan kemarahanku itu adalah
Insya Allah sesuatu yang tidak bertentangan dengan
Al-Quran dan Hadits Rasul, atau boleh dikatakan aku
memegang teguh prinsipku dalam upaya menegakkan
kebenaran. Sebab manusia yang tidak mempunyai
prinsip itu bagaikan air di daun talas, yang tidak
mempunyai pendirian yang kuat sehingga bisa mudah
terombang-ambing oleh pengaruh lingkungan."

"Ya... Sepertinya memang begitu. Dari semula aku
sudah bisa menduga, kalau Kakak memanglah orang
yang demikian. Ketahuilah, Kak! Aku pun sebenarnya
orang yang seperti itu. Dan bukan itu saja, aku juga
seorang yang kekanakan dan bisa membuat kesal
banyak orang. Sesungguhnya yang memberikan
penilaian begitu bukanlah aku, tapi orang tua dan juga
teman dekatku yang selama ini sudah begitu
mengenalku."


"Benarkah demikian?"

Wanda mengangguk. "Eng... Apa menurut Kakak,
aku ini bisa menjadi pendamping yang baik buat
Kakak?"

"Kenapa tidak. Jika kau memang mau mengikuti
petunjuk Al-Quran dan Hadits aku percaya kau pasti
bisa menjadi pendamping yang baik untukku."

"Eng… Kalau ternyata aku tidak mau mengikuti
petunjuk kedua kitab itu, bagaimana?"

"Lho... Bukankah kau itu orang Islam. Sebagai
orang Islam, kau wajib untuk mengikuti petunjuk
keduanya. Kalau tidak, tentu keislamanmu itu perlu
dipertanyakan. Ketahuilah! Dulu aku ini termasuk
orang yang tidak mau mengikuti petunjuk Al-Quran
dan Hadits. Namun begitu, aku tidak mau menyerah
kalah. Karenanyalah aku terus belajar untuk menjadi
lebih baik, dan aku akan terus berusaha untuk bisa
menyempurnakannya, yaitu dengan berpegang teguh
kepada ajaran Rasulullah, yaitu hidup hari ini harus
lebih baik dari hari kemarin. Dan ukuran lebih baik itu
bukanlah materi, melainkan takwa dan keimanan.


Itulah kenapa manusia dikaruniakan dengan akal
pikiran, yang dengannya manusia dituntut untuk terus
belajar dan belajar sehingga ia bisa memahami tujuan
hidup yang sesungguhnya.

Ketahuilah! Hidup itu adalah memilih takdir, dan
jika manusia memilihnya berdasarkan Al-Quran dan
Hadits Rasul, maka nilainya adalah ibadah. Namun
jika tidak, maka nilainya adalah durkaha. Buah dari
ibadah adalah pahala, dan buah dari durkaha adalah
dosa, maka hasil timbangan dari keduanya itulah yang
akan menentukan takdir manusia masuk surga atau
neraka. Untuk lebih jelasnya aku akan
menggambarkan sebuah diagram yang berhubungan
dengan hal itu. Kalau boleh, bisakah aku
meminjamkan ballpoint dan selembar kertas!"

"Kalau begitu tunggu sebentar ya, Kak!" kata
Wanda seraya melangkah ke kamar. Tak lama
kemudian, dia sudah kembali. "Ini, Kak," kata Wanda
seraya menyerahkan selembar kertas dan ballpoint
kepada Bobby.


"Terima kasih, Wan. Sekarang coba kau
perhatikan baik-baik diagram yang kugambar ini!"
pinta Bobby seraya menggambarkan sebuah diagram
sederhana. Saat itu Wanda tampak memperhatikan
dengan penuh seksama. "Nah... Selesai sudah. Kini
aku akan menjelaskannya padamu.

MANUSIA & JIN
DI DUNIA
TAKWA DURKAHA
SURGA NERAKA
BERBAGAI TAKDIR
TIMBANGAN AMAL
KEPUTUSAN ALLAH
Lantas, Bobby pun mulai menjelaskannya,
"Ketahuilah! Kalau manusia dan jin itu dipersilakan
untuk memilih berbagai takdir yang sudah tersedia
dan tertulis jelas pada kitab Lauhul Mahfuzh. Kitab itu
adalah "Listing Program" kehidupan manusia dan jin
di Jagad Raya, dan juga keadaan Jagad Raya itu
sendiri. Sebab, dari awal penciptaan hingga


kematiannya, segala tingkah laku dan perbuatan
manusia memang sudah ditentukan di dalam kitab
tersebut, baik itu segala yang baik maupun segala
yang buruk, bahkan segala potensi yang dimilikinya
pun sudah tertulis dengan jelas. Begitu pun dengan
keadaan Jagad Raya ini, yang dari awal
penciptaannya adalah bermula dari sebuah ledakan
Dahsyat (Big Bang) hingga akhirnya menjadi Jagad
raya yang sempurna dan terus mengikuti Hukum
Sunatullah (Hukum ketentuan Allah) yang
kesemuanya sudah ditentukan pada kitab Lauhul
Mahfuzh. Bahkan dari partikel debu hingga keadaan
Jagad Raya seluruhnya, semua sudah ditentukan.
Juga dari sebuah huruf hingga ensiklopedia,
semuanya juga sudah ditentukan. Subhanallah...
Coba kau bayangkan! Sebuah daun kering yang
sedang gugur! Daun kering itu tampak terbang
melayang dengan berliuk-liuk, kemudian jatuh di atas
aliran sungai, lalu hanyut bersama aliran air yang terus
mengalir, hingga akhirnya daun itu tenggelam di dasar
sungai, kemudian membusuk dan terurai. Sungguh


semua peristiwa itu—dari mulai gugurnya daun hingga
sampai mengurainya sudah tertulis jelas di kitab
Lauhul Mahfuzh.

Lantas untuk bisa memilih dengan baik, Allah pun
menurunkan kitab suci dan juga para rasul yang bisa
dijadikan teladan oleh umat manusia. Bukan hanya
manusia, tapi juga oleh bangsa jin yang hidup di alam
gaib. Untuk lebih jelasnya, aku pun akan
menggambarkan diagram berikut ini," kata Bobby
seraya kembali menggambar sebuah diagram. "Nah...
selesai sudah. Sekarang Coba kau perhatikan baikbaik!"
pinta Bobby kepada Wanda.

Mengetahui itu, Wanda pun segera
memperhatikan diagram itu dengan penuh antusias.
Diperhatikannya alur takdir yang sama sekali belum
dimengertinya, dahinya pun tampak berkerut penuh
tanda tanya. Pada saat itu, kepalanya pun langsung
pening tujuh keliling. Namun begitu, dia tidak mau
mengungkap hal itu kepada Bobby lantaran takut
membuatnya tersinggung. Karenanyalah, Wanda pun
terus memperhatikan diagram itu sambil terus


berusaha memahami maksudnya. "Maaf, Kak. Aku
masih belum mengerti. Bisakah Kakak
menjelaskannya padaku!" pinta gadis itu menyerah.

"Eng... Baiklah... Aku akan menjelaskannya
padamu. Kalau begitu, tolong perhatikan baik-baik!"
kata Bobby seraya mulai menjelaskan diagram yang
telah membuat kepala Wanda jadi pening.

KITAB SUCI DUNIA
ALLAH
ADAM & HAWA
MANUSIA & JIN
DI DUNIA
TAKWA DURKAHA
SURGA NERAKA
BERBAGAI TAKDIR
TIMBANGAN AMAL
KEPUTUSAN ALLAH
"Ketahuilah! Sebelum manusia, Allah
mempercayakan kalau dunia yang diciptakan-Nya
agar ditempati, dinikmati, dan dirawat baik-baik oleh
bangsa jin. Namun ternyata bangsa jin justru


merusaknya dan tidak mau menikmatinya
sebagaimana mestinya, yaitu menikmatinya sesuai
dengan keinginan Allah. Karena itulah lantas Allah
membuat sebuah skenario baru, yaitu agar manusia
bisa menggantikan peran jin di dunia. Untuk tujuan
itulah lantas Allah menciptakan Adam dan Hawa yang
dengan perantara Iblis akhirnya harus tinggal di dunia.
Penciptaan Adam pun sebetulnya juga sebagai ujian
untuk golongan jin, apakah mereka memang masih
pantas menyandang gelar kekhalifahan di muka bumi.
Namun ternyata, bangsa jin memang sudah tidak
pantas lagi. Terbukti, saat itu jin yang paling taat dan
paling cerdas di antara golongannya ternyata malah
membangkang ketika disuruh melakukan sujud
penghormatan kepada Adam, dan itu akibat dari
kesombongannya. Dialah jin yang bernama Iblis,
pemimpin dari golongan jin yang memang tak pantas

menyandang gelar khalifah lantaran
kesombongannya. Coba kau bayangkan!
Pemimpinnya saja sudah seperti itu, lantas

bagaimana dengan yang dipimpinnya? Sungguh


mereka memang sudah tidak pantas lagi untuk
menjadi khalifah di muka bumi.

Begitulah cara Allah bekerja, yaitu dengan
menciptakan berbagai takdir yang harus dipilih oleh
makhluk ciptaan-Nya. Lantas agar manusia bisa
memilih dengan baik, Allah pun membekali manusia
dengan akal dan hati nurani agar bisa melindungi
manusia dari pilihan yang salah. Karena kedua hal itu
masih belum cukup, lantas Allah pun menurunkan
Nabi dan Rasul yang membawa pesan kebenaran.
Hingga akhirnya pesan kebenaran itu menjadi kitabkitab
suci yang kita kenal sekarang, yaitu Zabur,
Taurat, Injil, dan yang telah disempurnakan yaitu Al-
Quran, yang diturunkan sebagai Mukjizat untuk Rasul
yang paling dicintai-Nya yaitu Muhammad SAW.

Ketahuilah! Sewaktu di alam roh, setiap jiwa
sudah menandatangani kontrak perjanjiannya dengan
Allah, yaitu manusia bersedia untuk menjadi khalifah
di muka bumi ini—yaitu untuk menjadi seorang
pemimpin yang bisa membuat kehidupan di dunia
menjadi seperti keinginan Allah. Jika setiap jiwa tidak


melanggar perjanjian itu, maka ia akan dihadiahkan
Surga. Namun jika dia melanggar, tentu saja dia akan
mendapat sangsinya, yaitu Neraka. Itulah salah satu
hakikat tujuan diciptakannya manusia, yaitu menjadi
khalifah yang bertakwa kepada Allah—Tuhan
Semesta Alam, yang senantiasa menyembah dan
beribadat hanya kepada-Nya."

"Benarkah begitu?" tanya Wanda ragu.

"Ya begitulah yang selama ini telah kupelajari, dan
semua itu memang ada di dalam Al-Quran."

"Tapi kenapa aku tidak ngeh."

"Mungkin itu karena selama ini kamu cuma
membacanya saja, namun tidak menghayatinya
dengan sepenuh hati."

"Wajar saja aku cuma bisa membacanya, aku kan
tidak mengerti bahasanya."

"Lho bukankah Al-Quran terjemahan Bahasa
Indonesia yang dilengkapi dengan tafsir sudah banyak
beredar. Dan jika kau masih bingung, kau pun bisa
menanyakannya kepada orang yang kau anggap
pandai. Ketahuilah! Jika orang memang bersungguh



sungguh mau belajar, aku yakin… dengan kuasa-Nya,
Allah akan membukakan pintu taufik dan hidayah
kepada hamba-Nya yang memang mau bersungguhsungguh.
Dengan begitu, orang itu pun akan semakin
giat untuk mau belajar dan belajar, hingga akhirnya
dia bisa menemukan apa yang sedang dicarinya, yaitu
kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dan kebahagiaan
itu sendiri bersifat relatif, tergantung bagaimana ia
bisa menyikapinya. Kaya, sederhana, maupun miskin
bukanlah ukuran dan tidak bisa menjamin seseorang
akan bahagia. Sebab, biarpun kaya, jika manusia
tidak bersyukur, maka ia akan menderita. Tapi,
biarpun miskin, namun jika ia senantiasa bersyukur,
maka ia pun akan bahagia. Untuk lebih jelasnya, aku
akan menggambarkan sebuah diagram lagi untukmu,"
jelas Bobby seraya mulai menggambar. "Nah selesai
sudah. Sekarang coba kau perhatikan baik-baik!"
pinta Bobby kepada Wanda.

"Lagi-lagi diagram," keluh Wanda dalam hati
seraya menuruti apa yang Bobby katakan.


Kini gadis itu tampak memperhatikan diagram itu
dengan penuh keterpaksaan, dan karena
keterpaksaan itulah, akhirnya Wanda menjadi tidak
ikhlas mendengar semua perkataan Bobby.

"Nah... Sekarang kau akan menjelaskannya
padamu," kata Bobby seraya mulai menjelaskan
maksud diagram itu.

KAYA SEDERHANA MISKIN
AKAL
Bahagia Menderita Bahagia Menderita Bahagia Menderita
MANUSIA
NURANI EGO
"Ketahuilah! Pada awalnya, takdir manusia sudah
di tentukan sama. Namun akan menjadi berbeda
setelah dia mulai memilih. Manusia hidup kaya bisa
bahagia dan juga bisa menderita, manusia hidup
sederhana bisa bahagia dan juga bisa menderita,
manusia hidup miskin bisa bahagia dan juga bisa
menderita. Semuanya tergantung kepada
pamahaman manusia itu sendiri tentang agama dan


juga nilai ketakwaannya kepada Allah. Itulah yang
akan menentukannya akan hidup bahagia atau tidak.
Sebab dengan adanya pemahaman agama yang baik
dan juga nilai ketakwaan yang baik, maka manusia
bisa mengambil putusan dengan cara yang baik dan
benar pula. Pemahaman agama yang baik berguna
untuk bahan pertimbangan akal, sedangkan takwa
berguna untuk membersihkan nurani. Takwa itu
adalah mau mengamalkan semua perbuatan baik
(Perintah Allah) dan mau menjauhi semua perbuatan
buruk (Larangan Allah). Akal manusia membutuhkan
yang namanya petunjuk, dan petunjuk yang lurus itu
adalah Al-Quran dan Hadits. Nah, untuk lebih jelasnya
aku akan menggambarkan sebuah diagram lagi.

PUTUSAN
AKAL
AL-QURAN & HADITS
NURANI EGO
ALLAH SETAN

Pada mulanya akal bertanya, manakah yang
terbaik dari ketiga pilihanku ini. Lantas akal segera
menimbangnya. "Hmm... yang mana ya?" tanya akal
bingung. Saat itulah Ego bermain, ia menganjurkan
akal untuk memilih berdasarkan kesenangan dunia.
Mengetahui itu, Nurani pun tidak tinggal diam, ia
menyarankan untuk memilih berdasarkan
pertimbangan akhirat. Saat itulah Ego dan Nurani
semakin gencar bertarung membenarkan
pendapatnya masing-masing, dan dari pertarungan
pendapat antara Ego dan Nurani itulah, akhirnya akal
kembali melakukan penimbangan. Dan disaat
menimbang itulah dibutuhkan petunjuk yang
berdasarkan kepada Al-Quran dan Hadits.

Jika saat itu nilai ketakwaan manusia masih
kurang, maka akal akan lebih condong menuruti ego.
Namun jika saat itu nilai ketakwaan manusia baik,
maka akal akan lebih condong menuruti nurani. Jika
manusia menuruti ego risikonya lebih besar ketimbang
menuruti nurani. Sebab jika menuruti ego karena
bisikan syetan tentu ia akan celaka, namun jika


menuruti ego dan masih dilindungi oleh Allah tentu ia
masih bisa selamat. Karenanyalah, lebih aman adalah
dengan mengikuti nurani. Namun sayangnya,
kemampuan nurani dalam upaya memberi petunjuk
tergantung kepada kebersihannya. Ia bisa diibaratkan
dengan gelas bening yang berisi air jernih yang secara
otomatis bisa menjadi kotor. Jernih dan kotornya air
dalam gelas tergantung tingkat ketakwaaan
seseorang. Semakin tinggi nilai ketakwaan manusia,
maka akan semakin jernih air dalam gelas. Begitu pun
sebaliknya, semakin rendah nilai ketakwaan manusia,
maka akan semakin kotor air dalam gelas. Jika air
dalam gelas sangat jernih, maka setitik pasir pun akan
mudah terlihat. Namun jika air dalam gelas kotor,
maka segenggam batu pun tak mungkin terlihat.

Karenanyalah, orang yang nuraninya bersih akan
mudah untuk membedakan, mana perbuatan baik dan
mana yang buruk, mana yang menguntungkan dan
mana yang merugikan, mana yang jujur dan mana
yang bohong, mana yang jahat dan mana yang baik.
Begitu pun sebaliknya, jika nurani kotor maka dia akan


sulit untuk bisa membedakan. Jika sudah begitu,
nurani tidak bisa diandalkan untuk memberitahukan
akalnya. Hanya kasih sayang Allah saja yang bisa
menyelamatkan manusia dari nurani yang kotor, yaitu
Allah menundukkan ego dan memberi kesempatan
pada nurani agar mau menasihati akal guna mencari
hidayah-Nya.

Nah... Begitulah proses akal manusia menentukan
pilihan. Jika manusia tidak mau menggunakan
akalnya dengan baik dan benar jelas ia akan tersesat.
Karenanyalah, jika manusia yakin kalau ia bisa
menjadi kaya tanpa menghalalkan berbagai cara dan
dengan tujuan yang mulia untuk membantu sesama,
maka ia boleh menjadi kaya. Namun jika sebaliknya,
maka kaya bukanlah sebuah pilihan yang baik.
Begitupun dengan pilihan miskin, jika ia miskin dan
menyusahkan orang lain maka pilihan miskin pun
bukanlah yang terbaik. Dan sebaik-baiknya pilihan
adalah hidup sederhana, sebab Rasullullah pun
memang menganjurkan demikian. Sebaik-baiknya
pilihan adalah yang pertengahan. Ketahuilah, jika


suatu saat ia sudah siap menjadi orang kaya, maka ia
akan menjadi orang kaya yang bertakwa dan sangat
dermawan. Kenapa bisa begitu? Sebab biarpun dia
memiliki harta yang berlimpah ruah, ia tetap akan
memilih untuk hidup sederhana dan bersahaja. Lalu
secara otomatis harta yang berlebihan itu tentu akan
ia hambur-hamburkan untuk tujuan yang mulia.
Begitupun jika suatu saat dia sudah siap untuk
menjadi orang miskin, maka ia akan menjadi orang
miskin yang zuhud, yang senantiasa bertakwa kepada
Allah dan tidak pernah menyusahkan orang lain,” jelas
Bobby panjang lebar.

“Hmm… Jadi, menjadi orang kaya, sederhana,
atau miskin itu adalah pilihan takdir? Dan itu artinya,
kita sendiri yang menentukan kita mau kaya,
sederhana, atau miskin.” Komentar Wanda seakan
mengerti.

“Benar sekali, sebab Allah menghargai setiap
usaha yang manusia lakukan. Karena itulah sistem
takdir yang sudah Allah tetapkan adalah, setiap
manusia yang mau berusaha memilih takdir dengan


baik, maka akan mendapat hasil yang baik pula. Tapi
jangan lupa, bahwa pilihan seseorang juga
dipengaruhi oleh pilihan orang lain. O ya, ada sebuah
contoh lagi mengenai pilihan, yaitu seandainya
dihadapanmu ada dua buah jembatan gantung yang
melintasi jurang, yang satu masih baru dan tampak
kokoh, sedangkan yang satunya lagi sudah lama dan
tampak lapuk. Nah, dari kedua jembatan itu manakah
yang kau pilih untuk diseberangi?” tanya Bobby
menambahkan.

“Tentu saja jembatan yang baru itu pilihan
terbaik,” jawab Wanda.

“Hmm… Jika kau mengira demikian, maka
pilihanmu kurang tepat. Sebab, apa yang tampak baik
lewat pandangan manusia, belum tentu baik di mata
Allah. Coba kau pikirkan, bagaimana jika jembatan
yang menurut pengelihatanmu itu kokoh ternyata
menyimpan sebuah kelemahan, ada pengikat tali yang
kendor, atau dibuat dengan bahan berkualitas rendah
misalnya, sehingga saat jembatan itu dilewati, bisa
saja tali jembatan itu terlepas dan akhirnya


membuatmu celaka. Dan siapa yang mengira kalau
jembatan yang tampak sudah lapuk ternyata justru
masih kuat lantaran dibuat dengan bahan yang
berkualitas tinggi. Karena itulah, sebaiknya tidak
menilai sesuatu dengan mengandalkan perangkat
indra manusia saja, namun yang terbaik adalah juga
dengan berdoa, memohon petunjuk Allah agar bisa
memilih dengan baik. Sesungguhnya sikap kehatihatian
itu tidaklah menjamin manusia akan selamat,
namun petunjuk dan pertolongan Allah-lah yang bisa
membuatnya selamat.

Begitulah takdir. Sebenarnya semua pilihan yang
positif sama saja. Lantas kenapa semua itu bisa
menjadi begitu sulit dan membuat kepala jadi pusing
tujuh keliling. Sebab, manusia terkadang memang
lebih condong kepada ego dan lebih suka
menyombongkan diri. Aku pun terkadang masih
seperti itu, sebab pemahamanku tentang agama
memang masih jauh dari sempurna, dan juga nilai
ketakwaanku pun masih jauh dari sempurna. Namun
begitu, lagi-lagi aku akan terus berusaha untuk bisa


menyempurnakannya, yaitu dengan berpegang teguh
kepada ajaran Rasulullah, yaitu hidup hari ini harus
lebih baik dari hari kemarin. Karena itulah, aku akan
berusaha untuk lebih berhati-hati dalam memilih! Dan
aku pun sudah semakin yakin kalau sebaik-sebaiknya
pilihan adalah yang berdasarkan petunjuk dari Allah,
yaitu Al-Quran dan Hadits. Selain itu, aku pun terus
berusaha untuk selalu bertakwa kepada Allah agar
nurani senantiasa bersih sehingga ia mampu menjadi
penasihat akal yang bisa diandalkan. Terakhir, aku
berusaha untuk selalu berdoa memohon petunjuk dan
keselamatan hanya kepada Allah, kemudian
bertawakal hanya kepada-Nya,“ jelas Bobby lagi
panjang lebar.

"O ya, Kak. Ngomong-ngomong, dari ketiga pilihan
itu, mana yang Kakak pilih?"

"Jelas aku lebih memilih menjadi orang
sederhana, sebab aku khawatir jika aku terobsesi
menjadi orang kaya bisa-bisa aku menghalalkan
berbagai cara, dan jika sudah menjadi orang kaya
bisa-bisa malah terlena dengan kekayaanku.


Karenanyalah kini aku hanya berniat untuk membuka
sebuah usaha kecil yang halal lagi berkah. Semoga
dengan begitu, aku pun bisa hidup sederhana dan
tidak menjadi orang miskin yang menyusahkan orang
lain—menjadi penjahat kelas teri demi untuk sesuap
nasi misalnya."

"Kak, terus terang aku salut akan keputusanmu
itu."

"Terima kasih, Wan. Alhamdulillah... Itu karena
aku mau memilih takdirku dengan berpedoman
kepada Al-Quran dan Hadits. Tanpa itu, mungkin kini
aku sudah menjadi orang yang suka menghalalkan
berbagai cara."

"Hmm... Sepertinya kini aku sudah mulai bisa
memahami perihal takdir. Dan sepertinya, hal itu sulit
untuk bisa direalisasikan. Sebab jika melihat kondisi
sekarang, dimana orang-orang lebih condong untuk
menghalalkan berbagai cara. Hal itu sama juga
dengan melawan arus. Dan jika kita melawan arus,
bukankah itu berarti menyulitkan diri sendiri?"


"Ya, aku akui. Hal itu memang tidak mudah.
Namun sebagai manusia, kita wajib untuk berusaha,
dan apa pun hasilnya kita pasrahkan kepada sang
Pencipta."

"Wah, sungguh sulit bisa kubayangkan kalau aku
akan hidup susah lantaran melawan arus. Dan aku
pun tidak yakin, apakah aku bisa tahan melalui semua
itu?"

"Percayalah! Kalau Allah sudah mengukur
kemampuan setiap manusia. Bahkan dengan
petunjuk-Nya, Insya Allah manusia akan mampu
melalui semua itu. Karenanyalah, Allah pun telah
menjanjikan surga untuk mereka yang mau berjuang
mengikuti kemauan-Nya. Sebab surga itu sendiri
adalah sebuah pilihan yang membuat orang awam
menjadi termotifasi untuk berbuat baik. Jangan kan
surga, jika kau mau mewujudkan impianmu meraih
kesenangan dunia, maka kau pun tentu harus bekerja
keras untuk bisa mewujudkannya, sekalipun dengan
cara menghalalkan berbagai cara. Terkadang aku
suka heran, kenapa untuk kesenangan dunia yang


hanya sementara orang mau mati-matian untuk bisa
mendapatkannya, namun untuk kesenangan akhirat
yang kekal orang malah enggan untuk meraihnya."

"Itu karena urusan akhirat tidak bisa langsung
dirasakan kenikmatannya. Berbeda dengan urusan
dunia, yang jelas-jelas memang bisa langsung
dirasakan."

"Siapa bilang seperti itu? Ketahuilah! Bagi orang
yang betul-betul sudah bisa memahami arti
kehidupan, maka ia bisa langsung merasakan
kenikmatannya, sekalipun masih hidup di dunia. Dan
motifasinya berbuat baik dunia pun bukanlah lagi
karena menginginkan surga, melainkan lebih karena
rasa cintanya kepada Allah."

"Hmm... Apakah Kakak sendiri sudah bisa
merasakan itu?"

"Jujur saja, belum. Mungkin semua itu karena aku
yang selalu gagal pada setiap ujian, sebab aku
memang belum sepenuhnya bisa istiqamah."

Mengetahui jawaban itu, Wanda langsung
membatin. "Huh, sok alim sekali dia. Dari tadi sok


menasihati aku, padahal dia sendiri juga belum apaapa,"
keluh Wanda dalam hati. "O ya, Kak. Jika
memang benar demikian, kenapa Kakak bisa yakin?"

"Sebab, aku memang sudah membaca riwayat
orang-orang yang sudah mengalami hal itu. Lagi pula,
apakah kita harus merasakannya dulu, baru setelah
itu percaya. Itu sama saja dengan merasakan
nikmatnya makanan tanpa melalui proses masuknya
makanan ke dalam mulut. Sungguh sesuatu yang
mustahil bisa dilakukan manusia, kecuali ia sedang
bermimpi."

"Maaf ya, Kak. Ngomong-ngomong, aku sudah
mengantuk sekali, nih. Lagi pula, apa Kakak tidak
capek karena dari tadi terus menceramahiku?"

"Menceramahimu? Ketahuilah, aku ini diciptakan
adalah untuk menjadi khalifah, dan karenanya aku
merasa perlu untuk menyampaikan apa yang
menurutku perlu untuk disampaikan. Sekarang aku
tanya padamu, apakah menurutmu aku salah karena
menunaikan kewajibanku untuk menyampaikan nilai
kebenaran. Apakah menurutmu aku harus


meninggalkan kewajibanku itu dan menjadi berdosa
karenanya? Padahal jelas-jelas kita ini diperintahkan
untuk menyampaikan kebenaran walaupun cuma satu
ayat."

"Lho... Kenapa Kakak malah marah padaku?"

"Ti-tidak… Aku tidak marah. Eng… Aku hanya
merasa kecewa pada diriku sendiri, kalau ternyata
aku belum mampu untuk menyampaikan nilai
kebenaran dengan cara yang tepat dan efektif.
Terbukti segala apa yang kusampaikan tidak terserap
sesuai dengan harapan. Aku pun merasa kau pasti
menilaiku sebagai orang yang sok alim yang katakatanya
tak patut untuk didengarkan, apalagi diikuti.
Padahal, sesungguhnya kebenaran itu tetaplah
kebenaran walaupun nilai kebenaran itu disampaikan
oleh seorang penjahat sekalipun. Dan aku merasa,
nasihat-menasihati sesama saudara seiman masih
dianggap sesuatu yang menyakitkan. Sungguh aku
tidak mengerti, kenapa masih ada orang yang
menganggap kalau nasihat itu hanya pantas di
sampaikan oleh seorang Da’i atau Alim Ulama saja,


padahal sebetulnya tidak demikian. Intinya adalah,
siapa pun dia selama yang dikatakannya itu sebuah
kebenaran maka kita wajib mendengarkan dan
mentaatinya.

Aku tanya padamu. Apakah kau lebih senang jika
aku bersikap masabodo dengan tanpa menyampaikan
nilai kebenaran padamu. Perlu kamu ketahui juga, sok
alim itu adalah sebuah bentuk kesombongan karena
manusia merasa sudah berbuat baik. Dan apakah aku
memang orang yang seperti itu, padahal aku
menyadari betul kalau aku ini hanyalah makhluk
lemah yang menggantungkan hidup hanya kepada
Allah (dalam hal apa saja, termasuk kebaikan, yaitu
taufik dan hidayah), dan aku telah diberikan tugas
untuk mematuhi segala perintah-Nya. Pantaskah aku
menjadi sombong jika aku menyadari hal yang
demikian.

Ketahuilah, aku ini makhluk yang tak mungkin bisa
mulia jika tanpa mempedulikan kemuliaan manusia
lain. Tanpa itu, manusia tak mungkin sempurna
kemuliannya, tak lengkap nilai kemanusiaannya yang


sudah ditugaskan untuk menjadi khalifah di muka
bumi ini. Jika tidak melakukan tugas mulia itu, aku ini
sama saja seperti hewan yang diciptakan hanya
sekedar untuk berkembang biak dan memenuhi
kebutuhan hidupnya, bahkan ada hewan yang sama
sekali tidak peduli dengan hewan lain yang menjadi
mangsa atau pemangsa, sebab yang terpenting bagi
hewan adalah bagaimana ia bisa mempertahankan
kehidupannya sendiri dengan tanpa mempedulikan
kehidupan hewan lain. Karenanyalah, aku tidak mau
seperti hewan. Aku ini manusia yang sudah
dikaruniakan akal pikiran, yang dengannya aku bisa
menjalani kehidupanku sebagai manusia. Namun
begitu, aku tidak akan memaksakan nilai
kemanusiaanku kepada orang lain. Sebab aku sadar,
kalau kewajibanku hanya menyampaikan dan harus
belajar hidup dari kesalahan dan kekurangan manusia
lain. Sekali lagi aku bertanya padamu, apakah yang
kulakukan ini salah?"

"Maaf, Kak! Bukan maksudku menilai Kakak
seperti itu. Dan kalau aku boleh jujur, sebetulnya aku


belum siap mendengar ceramah Kakak itu. Ups!
Maksudku, mendengar pesan kebenaran yang Kakak
sampaikan itu. Terus terang saja, aku pusing Kak."

"Hmm... Baiklah kalau itu yang kau inginkan, dan
kalau kau memang sudah mengantuk sebaiknya aku
memang harus mohon diri. O ya, tolong sampaikan
salamku untuk kedua orang tuamu. Sudah ya, Wan.
Assalamu’alaikum!"

"Wa’allaikum salam!" balas Wanda seraya
memperhatikan kepergian pemuda itu.

Setibanya di rumah, Bobby tidak langsung tidur.
Tapi dia malah memikirkan kata-kata Wanda yang
membuatnya semakin yakin kalau dia memang bukan
cinta sejatinya. "Hmm... Ternyata dia memang
bukanlah gadis yang baik untukku. Buktinya dia belum
siap dan merasa pusing dengan pesan kebenaran
yang kusampaikan, dan itu artinya dia belum
mendapatkan taufik dan hidayah dari Allah sehingga
apapun pesan kebenaran yang kusampaikan justru
menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya.
Sungguh sangat berbeda dengan Angel, yang justru


sangat senang jika aku berbicara hal-hal yang
menyangkut kerohanian. Hmm... Sepertinya
perjodohan ini pun tidak akan berlangsung lama,
sebab aku memang masih sulit untuk bisa mencintai
wanita seperti itu. Semula aku sempat mengira kalau
ia adalah gadis yang baik, sebab dari kata-katanya
memang sangat meyakinkan. Namun setelah aku
berbicara lebih lanjut, akhirnya sifat aslinya pun mulai
kelihatan, kalau dia memang bukanlah gadis yang
baik seperti anggapanku semula. Lagi pula kini aku
sudah menyadari, kalau berbakti kepada orang tua itu
tidak berarti harus mentaati kemauan mereka yang
jelas-jelas tak sesuai dengan hati nuraniku."

Begitulah Bobby menilai Wanda hingga akhirnya
dia memutuskan untuk tetap mencintai Angel—Gadis
yang diyakini sebagai cinta sejatinya.



LIMA

Penantian
yang
menjemukan


Diberdayakan oleh Blogger.

Blogroll

About