Sabtu, 08 Oktober 2016

Sekolah Ke 13

Ku tak mengerti apa arti hidup. Disaat aku sudah merasa patut untuk disayangi orang lain, hal itu bagaikan kesalahan. Semua orang selalu meengungkit hal yang sudah berlalu. Bagi mereka, tak ada bedanya dulu dan sekarang. Apakah mereka tak mengenal kata PERUBAHAN? Apakah mereka kekurangan kamus untuk itu? Ah, aku tak mengerti. Seperti tak ada kata teman dalam hidupku. Semuanya sama. Menjauhiku. Memusuhiku. Mencacimakiku tanpa ampun. Hanya sebab satu hal: masa lalu yang kelam.

Kelam? Tak begitu kelam saat aku melakukannya. Tapi, saat aku mengenangnya itulah yang disebut kelam. Disaat semua preman hitam menarikku ke bawah jembatan. Berjalan menuju bawah tanah. Amat sunyi. Dan lampu pertama dinyalakan. Kami berpesta ria. Menghisap. Menyuntik. Meminum. Awalnya ku tak faham. Namun, kukembangkan senyumku dan mengerti apa artinya KESENANGAN dan KEBEBASAN. Lampu warna-warni terus berkedip-kedip. Musik keras terus menggema. Hingga kegiatan ini terus berlanjut hampir 1 bulan. Kegiatan di bawah tanah usai sekolah bersama preman-preman berusia jauh di atasku. Ibu mengetahuinya. Beliau melarangku kesana lagi. Juga mengonsumsi apa itu nark*ba, minuman keras, rok*k, dan semacamnya. Katanya, lelaki kecil sepertiku sangat tidak pantas melakukan semua hal haram tersebut. Tapi, tanpa kulakukannya tubuhku terasa nyeri.

Pada akhirnya, wanita itu menyeretku menuju tempat yang sangat kubenci hingga saat ini. Yaitu rumah sakit jiwa atau lebih tepatnya, Panti Rehab. Dimana semua orang bernasib sama sepertiku. Merasakan kesakitan dan kenyerian ini. Tak ada lagi alat penghisap, pil-pil kesenangan, minuman penenang. Kuhabiskan 3 bulan saja disini. Lalu, kumasuki sekolah di kota yang jauh dari tanah lahirku. Guna menjauhi pelopor dari perusak secuil hidupku. Berharap bisa melupakan semua hal di bawah tanah dengan lampu warna-warni yang berkedip atau musik menggema di seluruh penjuru ruangan. Kini aku berada di kota damai tanpa ada yang mengetahui aibku pada usia 11 tahun.

Masa senang di sekolah memang tak selalu bertahan lama. Di sekolah pun, tak ada yang sukses memendam aib atau rahasia. Secerdik apapun pasti akan banyak yang mengetahuinya. Pada masa SMP, sudah belasan sekolah di Jawa Timur kutapaki. Sedikit saja aibku menyebar, banyak yang membullyku. Tak tahan dengan itu semua, aku segera migrasi ke sekolah lain. Nomaden. Mungkin itu sebutannya.

Buk! Tendangan itu. Ku tak kuasa menahannya. Sekolah ke-13ku jajaki. Baru 2 minggu berkenalan dengan warga sekolah, aibku tersebar. Mereka memberiku julukan Pecandu, Raja G*nja, Wisk*y Bangs*t. “AKU SUDAH BUKAN PECANDU!!!” teriakku sejadi-jadinya disela mereka menendangku. “Sekali pecandu tetap pecandu!” “Dasar Raja G*nja!” argh! Sakit sekali. Apakah mereka mencoba membunuhku? Guru-guru yang mengerti ini pun mengabaikanku. Hanya karena mereka tau bahwa yang dibully ini merupakan seorang pecandu. Bukan murid baik-baik.
Pulang sekolah, jika aku berkata pada ibu pasti beliau marah. Bayangkan! Ini sekolah ke-13. Aku sudah berkali-kali pindah sekolah bahkan kota. Bertahan? Sangat menutup kemungkinan.

Ah! Kursi itu menghantam tubuhku yang terdampar di lantai. Satu per satu anak meninggalkanku dengan tendangan-tendangan mereka yang mungkin membekas. Kukumpulkan seluruh tenaga untuk menyingkirkan kursi yang meniduriku. Perlahan aku berusaha berdiri. Yup! Tubuhku telah tegak. Berjalan tertatih ke luar kelas. Meratapi nasib di kursi koridor depan kelas. Perih. Pelipisku berdarah. Berdenyut. Banyak memar di tangan dan kakiku. Bersandar dan mengatur nafas lebih dulu kulakukan. Setelahnya adalah berpikir. Apa yang kulakukan saat ini? Hanya bersandar dan membiarkan pelipis.
Aw, tanganku menyeka ujung bibir. Berdarah juga. Darah ini mengucur perlahan. Apakah arti hidup ini? Tak ada orang yang mengerti. Dunia ini tak adil. Kalau begitu, untuk apa kita hidup? Apakah di dunia yang harus kita lakukan adalah menggantung tali dan lompat dengan memasukkan kepala dalam lubang tersebut? Atau menggoreskan kaca di lengan? Atau loncat di gedung tertinggi sekalipun? Pengecut sepertiku boleh melakukannya kan? Kenapa tidak?

“Kevin.” Suara perempuan. Sapaan persahabatan. Dia duduk di dekatku. Melepas sleyer hitam yang menguntai telapak dan punggung tangannya. Membersihkan darah yang mengalir dari pelipis dan ujung bibirku. “Ke… kenapa kamu…” entah mengapa suaraku tercekat tak bisa melanjutkan kata setelahnya. “Kenapa aku tak membenci dan membullymu seperti yang lain?” dia mengatakan terlebih dahulu apa yang ingin kukatakan. Aku hanya mengangguk kecil. “because i’m different and you limited edition in here.” Jawabnya dengan serius. “thanks.” Jawabku agak dingin. Baru pertama ini ada orang yang menggunjingku limited edition.

Gadis ini… kutatap wajahnya lamat-lamat. Lentikan bulu mata di ujung kelopak matanya bagaikan bulan sabit. Melengkung sempurna. Lensa matanya berwarna coklat terang nampak berkilau. Pipi tembamnya merah alami. Semerah senja. “aku percaya kalau kamu sudah bukan pecandu.” dia menarik kembali sleyer tersebut.
“Ya. Itu sudah berlalu 3 tahun silam.”
“Dan jika darahmu dites, memang benar ada virus nark*ba walau kamu sudah direhab dan tak mengonsumsinya lagi.” Terangnya yang aku sendiri sudah mengetahui.
“Virus itu akan hilang sepenuhnya dalam tubuhku 5-10 tahun setelah masa rehab.”
“Memangnya, berapa lama kamu di Panti Rehab?”
“3 bulan. Merupakan waktu yang singkat. Tapi aku sudah sembuh.”
“I’m believe you” gadis itu mengacak-acak rambutku. Sungguh nyaman berbincang dengannya.

Plak! Tamparan yang entah keberapa kali. Baru kemarin berdarah dan kering, sekarang ditampar bertubi-tubi. Diriku dan Rehan dikerumuni banyak anak. Lelaki sebaya denganku itu berulang kali menampar dan bertanya apa yang kemarin kulakukan bersama Shena di tempat duduk koridor depan kelas. Telah kujawab jujur, ia menamparku kembali semakin menggebu-gebu. Terus membentakku. Ia memberiku sebuah ponsel yang di dalamnya sudah terpasang video. Hei! Dimana itu? Siapa itu? Kursi koridor depan kelas. Aku dan Shena ada di dalam layar ponsel. Kejadian kemarin sepulang sekolah terekam. Siapa yang merekamnya?
Tanpa kubertanya, Shena membelah kerumunan. Mendekati Rehan. Mereka berpelukan. Ah, aku hampir lupa bahwa mereka adalah sepasang kekasih. Sudah dapat kutebak sebelum kata-kata itu keluar dari mulut busuk Shena. “Akulah pemilik video tersebut. Sengaja kulakukan sebelum aku menemuimu. Ponsel itu kuletakkan di rimbunan semak-semak. Dimana ponsel dan semak-semak menyaksikan kemesraan kita berdua.” Sunggingan kesinisan membuat hatiku semakin ingin menyapanya ‘bajingan.’
“Kemarin yang kamu katakan?-” belum sempat aku melanjutkan kata-kata. Rahangku mulai mengeras.
“Mana mungkin aku menganggapmu limited edition dan hanya aku yang tak membencimu? Kemarin adalah rekayasa belaka, Wisk*y Bangs*t!”
“Lenyaplah kau ditelan bumi. Tak pantas lagi berada di hadapanku. Hanya membuat kerusuhan di dunia!” baik, kuterima kata-katanya. Memanglah sudah muak aku dengan semua ini. Aku tak paham roda kehidupan. Apa arti hidup? Mana keadilan hidup? Ingin rasanya aku mengundang malaikat pencabut nyawa. Tolonglah aku! Lepaskan dari kesengsaraan ini! Dimana roda kehidupan yang selalu berputar? Kapan aku berada di atas dan menindas yang di bawah? Mengapa selalu aku yang di bawah dan ditindas?

Dari kecil aku selalu hidup dengan penuh tekanan. Aku frustasi dan memilih seretan preman. Aku mengonsumsi nark*ba dan semacamnya pada usia yang sangat labil. Dari dulu aku tak pernah mendapatkan sekolah yang menyeganiku. Seharam apakah tubuhku? Sekarang semua menindasku. Tak satu pun percaya denganku. Shena yang kukira bebeda ternyata itu busuk!

Berlarilah aku dari seluruh kerumunan. Ke luar gerbang sekolah. Ku sempat melihat ke belakang, semua mengikutiku. Mengejar. Itu ungkapan yang lebih layak. Sampai pada penyeberangan menuju ladang rumput yang luas. Jalan itu sangat ramai, tapi tak kurisaukan. Terobos dengan pejaman mata. Seluruh kendaraan membunyikan klaksonnya keras-keras. Tetap berlari. Biarlah orang-orang itu mengejarku. Dan… suara berdebum disertai teriakan orang-orang di sekitar membuat kepalaku berputar. Tubuhku di atas ladang rumput berputar menghadap jalan raya. Re… Reehaa..n… semua mengerumuninya. Aku pun juga mendekat. Anak-anak yang mengejarku juga ikut mengerumuni. Ada yang berteriak. Mobil yang menabraknya tak patut merasa bersalah. Seharusnya Rehan berhenti dan melihat kondisi jalan. Salah siapa dia meniruku? Sekarang apa? Kepala Rehan dipenuhi darah. Bagian tubuh yang lain tak jauh beda. Dia tak sadarkan diri. Sebentar, mengapa ia tak segera dilarikan ke rumah sakit? Di mana teman-temannya? Oh, sepertinya mereka tak sudi karena kondisi menggenaskan Rehan. Tanpa ba-bi-bu, langsung saja kuangkat tubuh merah Rehan sekuat tenagaku. dan shena segera memanggil mobil sekolah untuk mengantar Rehan ke rumah sakit terdekat. Namun sekarang, kumulai berganti pertanyaan, apa arti pertemanan? Di saat Rehan merasa perlu bantuan, semua temannya tak segan membantu. Hanya aku, Shena, dan sopir mobil yang mengantar Rehan menuju rumah sakit. Di mana semuanya yang biasa membantu Rehan untuk menindasku?

“Kevin, maafkan aku. Kuharap kamu bisa menjadi pengganti Rehan untukku.” Tercekat aku mendengarnya. “Yang kukatakan kemarin benar, you’re limited edition.” Dia memelukku erat dalam tangis. Sekarang menangislah sepenuhnya dalam punggungku. “Kuingin katakan, yang rekayasa adalah tadi pagi bukan kemarin. Dan pemilik ponsel serta video itu adalah teman Rehan, bukan aku. Diriku hanyalah kekasih Rehan yang bersedia untuk diperbudak.”

Kini aku mengerti arti kehidupan yang adil. Hidup adalah sebab-akibat. Diriku menjadi sebab bagi Rehan yang kini telah tiada. Dan Shena adalah sebab bagi hidupku. Apakah hidup ini adil? Ya. Rehan selalu berteman sangat baik dengan semuanya dan bebas menindas orang. Tanpa disadari, teman-teman itu mengkhianatinya. Mereka hanya ingin berteman dengan Rehan pada kemakmuran saja. Tak sudi menolong pada saat ia susah. Itulah balasannya. Shena, ia menjadi kekasih Rehan dan mendapat apa yang diinginkannya. Itu menyenangkan. Dibalik itu semua, Shena juga harus rela diperbudak Rehan beserta gengnya. Adil bukan? Sekarang aku sendiri mendapat pelukan persahabatan dari yang menindasku kemarin kemarin dan kemarin. Atas jasaku yang menyelamatkan Rehan walau pada akhirnya tak tertolong. Aku juga menjadi juara kelas serta pengganti Shena yang lebih baik dari Rehan. Tak ada lagi panggilan Pecandu, Raja G*nja, atau Wisk*y Bangs*t. Inilah sekolah SMP terakhirku. Yaitu sekolah ke-13. Dengan teman-teman yang tulus menyeganiku. Hidupku adalah akibat bagi teman-teman.

Cerpen Karangan: Hayah
Facebook: Hayah Nisrine Firda / Hayah Nisrina

Maafkan Aku Atas Keputusanku Ini

ONE STEP CLOSER, lagu itu membangunkanku dari mimpi indah siang ini. Segera kulihat jam di hp menunjukkan jam 13.00 wib. Aku langsung bangun, mengambil handuk dan sabun menuju kamar mandi. Mandi yang hanya 15 menit ini membuatku merasa kurang nyaman, yang biasanya bisa memerlukan waktu setengah jam buat mandi. Aku juga gak tahu kenapa aku betah banget di kamar mandi. Aku siap-siap ganti baju dan kerudung yang cocok kukenakan untuk aku kuliah hari ini. Lagu dari linkin park mnyadarkanku kembali akan waktu yang sudah mulai menunjukkan jam 14.00 wib. Wajarlah aku panik karena ini pertemuan keduaku masuk kelas filsafat kependidikan yang sebelumnya hanya kelas online, ini itu mata kuliah yang umum jadi kami yang biasa satu kelas jadi gak satu kelas lagi.

“Astagfirullahhalazim” ucapku dengan memegang dada yang baru saja membuka pintu gerbang kostku, ada laki-laki yang menabrakku. “Aduh, Ta kamu itu ngagetin aku aja.” Kata seorang laki-laki yang juga berpapasan saat membuka pintu gerbang. “Aduh maaf kak, lagi buru-buru nih udah jam 2 aku ada kelas.” Ucapku dengan berlari melewati laki-laki itu. Dia menarik tanganku untuk kembali. “Udah sini aku anter biar gak telat, pake motor.” Tawarannya padaku. “Ah serius nih kak? Ya udah ayo cepet kak.”

Sesampai di kampus, aku langsung berlari menuju ruang kelas. Dikarenakan masih baru aku belum hafal dengan ruang kelasku. Aku sibuk melihat ke layar hp sambil berlari kecil, dan brugh… Semua isi di tas ku jatuh berantakan di lantai.
“Aduh kenapa aku hari ini sial banget sih.” Kesalku. Aku sibuk dengan membereskan barang-barangku yang terjatuh. “Maaf, ya aku gak sengaja tadi gak lihat-lihat.” Membantu memberesi semua barang-barangku
Aku langsung masuk ke kelas dan meminta maaf kepada dosen yang sudah ada di depan, karena aku telat. Untunglah dosennya memberikan aku izin untuk masuk. Aku langsung mencari teempat duduk yang kosong.

“Ok teman-teman kumpulkan tugas yang bapak minta kemarin ke depan sekarang.” Memberikan intruksi kepada semua mahasiswa untuk mengumpulkan tugas
Aku membuka-buka tasku dan fd yang sudah aku persiapkan sebelumnya malah hilang. Aku panik mencari mungkin terjatuh di bawah saat aku menggeledah tadi.
“Kamu cari fd warna merah yang ada namanya CINTA?” terdengar suara laki-laki di sampingku itu. “Iya kamu kok tahu?” tanyaku heran. “Ini fd nya tadi pas kamu tabrakan sama aku di depan kelas barangmu jatuh semua dan satu nih yang belum kamu masukan ya fd ini.” Menyodorkan fd dengan menjelaskan. “Wah makasih ya kak, aduh kalau sampai ilang bisa gawat nih.” “Makanya lebih hati-hati lagi. Ya udah sana gih kedepan kumpulin.” Tanpa menjawab aku langsung berlari ke depan untuk ngumulin “Makasih ya kak, udah ditemuin fd nya. Oh ya aku cinta, kakak?” tanyaku dengan mengulurkan tangan. “Aku Raka, gak usah panggil kak deh kita kan satu angkatan.” “Iya maaf Raka, oh ya sekali lagi makasih ya.” Sambil senyum ke Raka sebagai tanda ucapan terimakasihku padanya dan rasa seneng juga fd ku ketemu

Tiga jam pelajaran selesai. Dosen dan semua mahasiswa langsung keluar kelas. Aku yang masih sibuk dengan membereskan barang-barangku dan mengecek hp ku yang sedari tadi bergetar tanpa aku lihat. 5 pesan dari Fahmi yang isinya sama yaitu “kamu pulang jam berapa nanti aku jemput ya.” Oh ya Fahmi itu laki-laki yang nabrak aku di depan kost sekaligus yang anterin aku tadi dan juga dia itu cowok yang sering ke kostan ku karena yang punya kost itu adalah tantenya ya bisa dibilang dia juga ikut jaga sih. “ini aku udah keluar kelas kak” balasku singkat
“Siapa Cin, cowokmu ya?” tanya Raka “Gak, ini kak Fahmi dia temenku dia sering ke kostan karena dia itu ponakan dari ibu kostku.” Jelasku panjang lebar. “Oh gitu, kamu langsung pulang Cin?” “Ya Ka aku langsung pulang, tinggal nunggu kak Fahmi katanya mau jemput.” “Aku temenin ya, sambil nunggu kak Fahmi.” “Beneran nih, makasih ya.”

Gak lama motor kak Fahmi terlihat mendekati kami yang sedang duduk di kampus.
“Lama nunggu ya Ta? Maaf ya.” “Gak kok kak, makasih ya udah mau jemput. Oh ya nih kenalin dulu temenku namanya Raka.” Kataku dengan menunjuk ke arah Raka. “Fahmi.” Dengan menjulurkan tangan. “Raka kak.” “Raka aku balik dulu ya, makasih dah nemenin.” “Ya Cin sama-sama, hati-hati ya.” “Raka balik dulu ya.” Kata Fahmi
Sesampai di kost aku dan Fahmi tidak langsung masuk ke dalam kami ngobrol-ngobrol di luar gerbang dahulu.
“Ta tadi itu cowokmu ya? Sok-sok berlaga dikenalin temen lagi.” Ujar Fahmi. “Emang kenapa kak, kakak cemburu ya? Hehehe gak kok dia itu temen. Aku juga baru kenal sama dia. Tadi baru aja pas di kelas. Awalnya gak tau kalau da itu temen sekelas untu filsafat pendidikan ini. Untung aja tadi ada dia kak, fd ku dia yang nemuin fd tugasku.”
“Tapi kayaknya dia suka sama kamu deh.” “Alah kakak ini ada-ada aja kenal aja baru, masak suka. Oh ya kakak kenapa tiba-tiba nganterin aku tadi pake jemput segala lagi biasanya kan gak pernah mau nganterin aku” “Gak lagi pengen aja. Ya udah aku balik dulu ya udah sore juga.” “Lah gak pamitan dulu sama tante, tante ada kan di dalem?” “Gak ada, keluar tadi pas aku jemput kamu.



Syukur deh Ta jika yang tadi itu cumen temen kamu, tapi kenapa aku ngerasa kalau dia itu ada lebih. Tapi kenapa juga ya aku gak suka kalau kamu deket sama orang lain selain aku, oh Tuhan apakah ini yang dinamakan cinta atau hanya rasa kagum. Oh Tuhan, kalaupun memang kami adalah jodoh dekatkan kami, dan kalaupun memang kami tidak berjodoh jauhkan kami dan berikanlah aku dan dia jodoh yang terbaik kelak. Amin.. etttsss kenapa aku jadi ngelantur kaya gini, ah udah lah gak usah dpikir.



Kenapa tiba-tiba kak Fahmi mau nganterin aku ya, biasanya kan gak pernah mau. Kami aja selalu berantem kaya kucing sama tikus. Ah udah lah. Oh ya Raka baik juga ya sama aku, untung aja dia tadi nemuin fd aku, kalau gak wah parah bisa gak dapet nilai aku. Mukanya imut banget, pertemuan aku juga gak sengaja kami bertabrakan di depan ruang kelas dan dia membantuku membereskan barang-barang. Tapi kok bisa ya aku gak tau dia padahal kami kan satu kelas, ah ya udah lah.



Kenapa aku ngerasa ada yang aneh ya Cin saat pertama kali aku ngelihat kamu. Maaf ya Cin kalau tadi itu cuma rekayasa aku saja supaya aku bisa ngobrol sama kamu dan bisa kenalan sama kamu. Semoga kamu gak tau ya soal ini. Aku takut kalau kamu tau soal ini nanti kamu marah sama aku dan kamu gak mau lagi deket sama aku. Bego banget sih aku kenapa tadi gak minta no kamu, kenapa aku biarin dia pergi tadi. Ah sudah lah mungkin besok bisa ketemu lagi.



Aku dan kak Fahmi mulai dekat dan tidak lagi berantem. Entah kenapa aku merasa semakin nyaman sama dia. Dia sering ngajak aku keluar dan telpon aku gak jelas. Dan entah kenapa juga aku selalu ngangkat telepon darinya. Hingga suatu saat aku curhat ke dia bahwa aku suka sama seseorang pada pandangan pertama. Awalnya dia sih gak terlalu baik dalam merespon. Begitupun dengan aku dan Raka kami semakin dekat dengan berjalannya waktu. Dia selalu luangin waktu untuk aku. Hingga suatu hari dia ngajak aku katemuan sama dia di taman kota.

“Mau kemana Ta? Tak anterin yuk.” Tawarnya padaku. “Boleh juga ada tukang ojek yang nawarin gratis, hahaha bercanda kak.” “Wah parah kamu, masak disamain sama tukang ojek, ganteng-ganteng gini hehehe. Ya udah ayo naik mau kemana?” “Wah pd banget kamu kalau ganteng. Ke taman kota ya.” “Tapi emang aku ganteng kan? Hehehe” “Ya ya deh ngalah.”

Sampai di taman kota aku langsung menuju ke Rama yang ada di kursi pojok taman yang sebelumnya sudah kami sepakati.
“Hai Ka, mau ngomong apa? Kayaknya serius banget” ujarku santai. “Hai Cin, sini duduk.” Dengan membersihkan bangku disampingnya. “Makasih, oh ya mau ngomong apa?” “Gini Cin, sebenarnya sejak pertama kali aku ketemu sama kamu aku itu sudah kagum sama kamu. Tapi lama kelamaan rasa kagum itu berubah jadi rasa suka. Maaf kalau ini terlalu cepat buat kamu. Tapi aku memang suka sama kamu.” “Aku juga suka sama kamu Ta.” Tiba-tiba terdengar suara dari belakang kami dan setelah aku nengok dia adalah kak Fahmi. “Iya Ta aku suka sama kamu dan Raka juga suka sama kamu, kamu yang mutusin kamu suka sama siapa, aku atau Raka?” ujarnya lanjut “Jujur aku gak bisa jawab sekarang, siapapun yang aku pilih nanti kalian nerima keputusannku dan menghargai keputusanku nantinya. Gini aja seminggu lagi kita bertiga ketemu lagi disini jam 4 sore. Kasih waktu aku berfikir.” “Ok kami akan tunggu, seminggu lagi kami akan kemari lai untuk mengetahui jawaban darimu, bukan begitu Raka?” ujar Fahmi pada Raka “Ok kalau memang ini yang terbaik aku setuju.”

Aku memutuskan untuk pulang. Setiap waktu aku memikirkan semua ini. Jika aku salah mengambil keputusan bisa fatal akibatnya. Sampai-sampai aku tidak fokus dalam pelajaran. Raka temen tapi akhir-akhir ini aku juga gak tau pasti kenapa aku suka memikirkan dia. Kak Fahmi dia udah aku anggap sebagai kakak dan sahabat aku sendiri. Tapi di sisi lain juga aku ada rasa nyaman sama dia. Seminggu telah berlalu kini aku sudah yakin atas keputusanku demi kebaikan kita bertiga. Sore ini aku berangakat menuju taman kota lebih awal.

“Ta udah disini aja, udah lama?” “Gak kok kak baru.” “Ta, aku harap nanti keputusanmu tepat dan bener-bener yang kamu suka.” “Hai semua, maaf ya aku telat.” Kata Raka. “Gak kok Ka, makasih ya udah mau datang kesini.” Kataku tak bersemangat “setelah aku pikir-pikir dan aku pertimbangin selama seminggu ini…” lanjutku. “Siapa Ta yang kamu pilih.” Potong Fahmi. “Tapi kalian janti ya, hargai keputusanku ini?” tanyaku pada mereka. “Iya kami janji.” Jawab Fahmi dan Raka. “Aku memutuskan untuk… tidak memilih kalian berdua.” Jawabku menyakinkan diri. “Kenapa begitu Cin?” tanya Raka heran. “Aku gak mau menyakiti kalian berdua dengan keputusanku ini, tapi ini yang terbaik buat kita. Kita jalani aja sebagai sahabat Raka, dan untuk kak Fahmi aku sudah nganggap kamu sebagai kakakku sendiri. Aku mohon hargai keputusanku ini dan maaf atas keputusan yang ku buat ini. Semoga kalian bisa menemukan cewek yang lebih baik lagi dariku.”

Cerpen Karangan: Lucky Rusyita
Facebook: Lucky Rusyita
lucky rusyita mahasiswa semester 4 di UKSW salatiga

Penyesalan Dikemudian Hari

“hai Aina, sendirian aja, Vera kemana?” tanya Reno.
“hai juga, iya nih Vera sedang di kelas” jawab Aina.
Aina memang dekat dengan Reno. Reno mencintai Aina, tapi Aina tidak tau dan Aina mencintai Deri yang merupakan geng di sekolahnya dan Deri terkenal playboy.
“Na kamu nanti sore ada acara gak”
“emm kayaknya gak ada deh, emang kenapa?”
“kalo gak ada nanti kita ngabuburit bareng yuk”
“ok,”

Saat Aina dan Reno berbicara, Deri mengupingnya. Deri memantau kalau Aina menyukainya, dan Deri hanya akan memanfaatkan Aina saja, karena Aina termasuk anak paling pintar di sekolah.
Saat Aina akan berangkat menemui Reno, Deri sms dia untuk ngabuburit bersamanya, Aina tidak menolaknya, bahkan Aina melupakan Reno yang menunggunya di taman.
“hai Aina, kita ke mall yuk”
“hai juga Deri, kenapa gak ke taman saja”
Saat aina mengucapkan taman, aina teringat pada seseorang, ya dia adalah Reno yang menunggunya
“ya tuhan”
“kenapa na?” tanya Deri pura pura gak tau, Deri sengaja ingin memisahkan Aina dengan Reno, karena dia tau Reno akan menyatakan cintanya, jika Reno pacaran sama Aina maka dia tidak akan bisa memanfaatkan Aina.
Aina langsung mengambil hp, dan ingin menelepon Reno, tapi Deri melarangnya “mungkun dia udah pulang, lagian ini juga hujan” kata Deri. entah kenapa Aina langsung mempercayainya, karena hp Aina juga sudah mati karena baterainya habis. Akhirnya Aina buka sama Deri dan bukanya Reno yang masih menunggunya di taman dan juga kehujanan.

Sesampainya di rumah aina mengecas hpnya dan ternyata ada 6 pesan dari Reno “Aina kamu dimana, aku menunggumu di taman” dia mengirimkan pesan itu sampai 6 kali dan dia baru saja Reno mengirim kan pesan lagi “Aina kamu dimana, aku masih menunggumu di taman sampai sekarang” aina kaget dan dia berlari menuju taman menerjang hujan lebat. Sesampainya di taman ternyata tidak ada siapa siapa, Aina kecewa dengan Reno, Aina pikir dia telah ditipunya, Aina menangis.

Sudah 2 hari Reno tidak masuk sekolah, Aina berfikir kalau Reno tidak masuk sekolah karena dia takut akan dimarahi Aina karena dia telah menipunya. Hari ke 3 Reno masuk sekolah dengan wajah agak pucat, tapi Aina tidak memperhatikannya, saat dia berpapasan dengannya, Aina tidak menjawab sapaan Reno. saat Aina sedang duduk di depan perpus Reno menghampirinya Aina akan pergi tapi ditahan Reno.
“na kamu kenapa sih”
“kamu masih nanya aku kenapa, penipu!”
“kok kamu gitu”
“kenapa kamu sms aku kalau kamu masih di taman, apa kamu tau malam malam hujan aku bela belain nemui kamu di taman, tapi nyatanya apa kamu tidak ada disana, ya aku minta maaf karena aku lupa nemuin kamu di taman, itu karena Deri mengajaku jalan”
“apa Deri, aku bisa jelasin kenapa aku gak ada di taman, karena,”
“sudah, aku gak butuh penjelasan” Aina memotong perkataan Reno dan langsung pergi meninggalkanya.

“andai kamu tau yang sebenarnya na, tapi aku sudah cukup senang karena ternyata kamu mengkawatirkan ku.” Reno berkata sangat pelan sambil memperhatikan Aina yang berjalan meninggalkannya.

1 minggu berlalu, selama satu minggu Aina menjauh dari Reno, tidak membicarakannya sama sekali. bahkan Aina tidak mau mendengarkan saat Vera menyebut namanya atau membicarakannya. Vera yang mengetahui kebenarannya sama sekali tidak bisa berkata kata.

Keesokan hariya Aina mendengar jika Reno ada di rumah sakit, ternyata sudah satu minggu dia disana. Aina merasa sangat cemas, dia mumutuskan untuk menemuinya.
“Ren kamu kenapa”
“tenang saja aku hanya sakit biasa saja, jangan cemaskan aku.”
Malam harinya saat Aina sedang di musola rumah sakit itu dia mendapat kabar kalau Reno telah tiada. Aina mendengar hal itu dia langsung lari sambil menangis munuju tempat Reno disana sudah ada Vera, dan orangtuanya yang sedang menangis, Vera yang menyadari ada Aina dia langsung memeluknya.

1 minggu sudah kepergian Reno, Aina masih juga sedih.
“aku mencintaimu Reno”
Vera ternyata mendengar perkataan yang baru saja Aina katakan.
“Aina,”
“Vera, sejak kapan kamu di sini”
“itu gak penting, ada hal yang harus aku sampaikan”
“apa?”
Vera memberikan sebuah surat yang isinya

to Aina
ania, sebenarnya aku suka sama kamu sejak lama. tapi aku sadar cintamu bukan untukku.
Aina, sebenarnya saat hujan itu aku masih ada di taman, aku sudah menelepon kamu tapi tidak aktif, lalu aku sms kamu. bahkan hujan pun tak kupedulikan, aku hanya ingin hari hari terakhirku bisa bersamamu, tapi setelah aku mengirimkan sms terakhirku kepalaku terasa pusing dan aku tidak sadarkan diri.
Tapi aku senang karena kamu telah menghampiriku di taman walau aku tak melihatnya.
I LOVE YOU, AINA
Reno.

Aina menangis saat membaca surat itu, ternyata dia sudah salah faham tentang Reno, dia telah menyesal, dia baru menyadari kalau dia mencintai Reno.
“aku, aku sangat menyesal Ver,”
pesan: jangan pernah menyia nyiakan orang yang mencintaimu, karena kamu akan menyesal jika dia meninggalkanmu.

Cerpen Karangan: Ayuk
Facebook: ayuex prett

Kamis, 21 Januari 2016

Pandangan Senja

“Cahaya senja menutup alur kita berdua..” Sepenggal lirik lagu yang hampir setiap hari menjadi penghantar tidurku ini ternyata mengundangku ke dalam keadaan yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya. Keadaan yang membuatku menghindari apa yang seharusnya aku cari. Dan membenci apa yang harusnya aku cintai. Di sinilah aku belajar kapan seharusnya kita membohongi perasaan kita sendiri. Dan kapan seharusnya kita jujur dengan perasaan kita. Semua ku kira akan berjalan baik-baik saja. Namun apa daya, keadaan ini mengantarkan batinku kembali lagi jatuh ke dunia Cinta yang berusaha aku hindari.

Namaku Sekar. orangtuaku memberikan nama ini dengan harapan agar di suatu hari nanti, aku berhasil mengindahkan kehidupanku sendiri layaknya bunga–bunga yang mengindahkan taman dengan warna–warna indahnya. Sayang, baru saja ku mencicipi awal remajaku, aku sudah dituntut hidup hanya bersama Mama. Ya! Tanpa sosok Ayah. Aku adalah anak tunggal yang baru saja kehilangan Ayah sejak Ayahku terkena Kanker dan pergi meninggalkan aku dan Mamaku. Wajar saja jika setiap saat aku merasa kesepian. Ditambah lagi Mama yang bekerja di luar kota. Ya, ini membuatku merasa aku hanya sebatang kara di dunia ini. Usiaku belum genap 15 tahun. Dan aku baru saja duduk di bangku SMA. Aku memilih melanjutkan sekolah menengahku di Sekolah Ilmu Sosial. Di mana ternyata tempat ini menjadi perantara menuju masa remajaku yang sebenarnya. Dan dari sinilah kisahku berawal.

“Sekar! Mau sampai berapa kali lagi Mama teriak-teriak? Cepat bangun!” Ya, seperti biasa, setiap pagi Mama selalu menjerit-jerit di depan kamarku. Ini memang karena aku cukup sulit untuk bangun. Jam weker yang ku tempatkan tepat di samping bantalku saja gagal membangunkan tidurku. Apalagi Mama yang setiap hari di luar kamar merangkap menjadi speaker aktifku.

Pagi yang cerah di hari yang cerah untuk bersekolah. Ya walaupun perjalanan ke sekolah selalu ku tempuh dengan berjalan kaki, namun hal ini tidak sedikit pun mematahkan semangatku yang cerah ini. Untung saja hari ini hujan tidak turun seperti kemarin. Basahnya aspal dan banyaknya kubangan air menemani langkahku menuju sekolah. Ku fokuskan pikiranku ke pelajaran yang akan ku dapatkan nanti. Satu per satu ku ingat lagi materi-materi yang akan dites nanti. Dan sudah ku bayangkan pula bagaimana ekspresi guru matematika apabila aku tidak bisa menjawab soalnya. Itu hal yang lumrah, hanya saja yang ku sedikit tidak terima, kenapa aku harus berhadapan lagi dengan matematika? Sedangkan aku sengaja sekolah di Ilmu Sosial untuk menghindari pelajaran–pelajaran semacam itu.

Belum selesai ku merenungi angka–angka yang cukup menyesakkan batinku, tiba-tiba saja dari arah belakang pengendara motor melaju cepat melewatiku. Bukan hanya melewatiku, tetapi dia juga melewati kubangan air yang kebetulan berada tepat di sampingku. Pastinya air kumuh tersebut mengenaiku dan mengotori seragamku. Aku terkejut dan hanya bisa berteriak ke arah pengendara yang tidak mau bertanggung jawab tersebut. Bukan karena rambut atau sepatuku yang basah, tapi karena hari ini adalah hari Senin dimana aku mengenakan seragam yang seharusnya putih dan sekarang tidak mungkin bisa aku putihkan kembali semudah membalikkan telapak tangan.

“Bagaimana ini? apa mungkin aku nekat bolos aja ya? gak mungkin aku sekolah dalam keadaan kayak gini. Tapi kalau aku gak sekolah, aku gak bakal dapat nilai matematika nih..” Gumamku. Akhirnya aku memilih untuk melanjutkan langkahku menuju sekolah. Aku tidak memikirkan lagi sanksi apa yang aku dapatkan karena seragam kotor ini. Yang aku pikirkan hanyalah nilai tes matematika nanti. Sebenci–bencinya aku dengan matematika, aku tidak pernah berniat untuk bolos dari pelajarannya. Ya, benar saja. Sanksi dan omelan dari guru aku dapatkan. Di samping terlambat masuk kelas, seragam yang kotor menjadi alasan hukumanku hari ini. “itu baju atau lap pel kar?” tanya Dela salah satu teman seperjuanganku. “udah, gak usah dibahas.” jawabku sinis.

Siang ini aku memilih pulang dengan Dela. Dan untunglah Dela mau mengorbankan jaketnya kepadaku untuk menutupi seragamku yang penuh dengan noda menjijikkan. Karena tidaklah mungkin aku berjalan kaki lagi dalam keadaan yang mengenaskan ini. Tak sengaja ku melirik motor yang ada di sebelah motor Dela di mana motor itu sepertinya tidak asing bagiku. Dan setelah ku ingat–ingat, ternyata motor itu adalah motor yang hampir menyerempetku tadi pagi.
“Del, kamu tahu siapa yang punya motor ini?” tanyaku.
“tahulah. Itu kan motor Kak Edwin.” jawab Dela.
“Hah? Siapa tuh?” tanyaku lagi.
“masa kamu gak tahu? Itu kan Kakak kelas paling keren di sini..” Jawab Dela.

Tak Lama, datanglah laki–laki yang disebut–sebut bernama Edwin yang langsung pergi dengan motornya itu. Iya, keren sih, tetapi sayang caranya dia untuk ngotorin baju orang tidak ada keren–kerennya. Mataku memandang tajam kepergian Kakak itu. Seakan aku benar–benar dendam dengannya.
“udahlah kar! Gak mungkin banget kamu bisa dapetin Kak Edwin..” Kata Dela tiba-tiba yang membuyarkan pandanganku.
“hah? Apa sih Del? Ngawur banget ngomongnya..” Balasku.
“alah, sekarang aja ngomong gitu. Ntar aja naksir..” Kata Dela meledekku.
“apaaaa? Kalau disuruh milih ya, mendingan aku mati ketabrak ojek deh dari pada naksir sama dia. Asal kamu tahu ya, gara–gara dia tuh seragam aku kotor gini. Gara gara dia juga aku kena hukuman..” Omelku kepada Dela.
Perkataanku ini ternyata membuat Dela mematikan mesin motor dan balik memandangku penuh rasa ingin tahu.

“jadi, Kak Edwin yang ngotorin bajumu ini?” tanya Dela serius.
“iya! Udah tampang sombong, jutek, gak mau tanggung jawab lagi..” Keluhku.
“udah cepat naik!” Sepertinya Dela kesal dengan keluhanku mengenai Kak Edwin. Tetapi itu memang kenyataan yang terjadi.
“Aku pulang.” teriakku sambil membuka pintu rumah. “Aduh mampus! Bajuku…” saat ku teringat dengan seragam yang tak mungkin ku perlihatkan di hadapan Mamaku, aku pun bergegas masuk kamar tanpa sepengetahuan Mama. Tapi, terlambat!
“Sekar!” Teriak Mama. Belum saja aku sempat membuka pintu kamar, Mama sudah memanggilku. Mau tidak mau aku harus mengadap Mama. Kepalaku menunduk dan perlahan ku menghampiri Mama. “habis ngapain kamu? Tawuran?” Perlahan kepalaku terangkat dan berbicara pelan.
“ee… eee.. tadi tadi keserempet..” Kataku terbata–bata.

Lengkap sudah hari ini. Terlambat ke sekolah, hukuman, omelan dari guru dan bukan itu saja. Dela sepertinya kesal denganku bahkan sampai rumah Mama ikutan marah–marah gara–gara seragamku yang kotor. Wah, ini semua gara–gara Kakak sombong itu. Semenjak kejadian inilah aku mulai memvonis Kak Edwin itu orang yang paling aku sebelin di sekolah itu. Tidak peduli berapa banyak temanku yang mengidolakannya dan tidak peduli jika hanya aku yang tidak menyukainya, yang pasti karenanya persahabatanku mulai berantakan.

Bel berdering sungguh cepat, menandakan pelajaran pertama akan dimulai. Namun keberuntungan jatuh ke kelasku. Jam pertama ini ternyata merupakan jam kosong. Kebetulan guru pengajarnya tidak dapat hadir. Itu artinya 3 jam kedepan aku bisa bebas dari guru killer matematika. Suasana kelas semakin lama semakin tidak karuan. Maka, aku memilih untuk ke luar dari kelas. Di depan kelas tampak Dela yang sedang duduk membaca buku novel kesukaannya. Aku pikir aku harus mendatanginya dan menanyakan hal kemarin. Untuk memastikan dia tidak marah denganku.

“Del, kamu marah sama aku?” tanyaku. Dela memandangku dan menutup novelnya.
“enggak, biasa aja.” jawabnya. Pandangan kami seketika saja teralih menuju lapangan basket yang berada tepat di depan kelas kami. Ku melirik Dela yang tampak tersimpul senyum saat ia tahu jika salah satu dari pemain basket itu adalah Kak Edwin. Bukan hanya Dela. Beberapa teman–teman perempuan kelasku yang lain ternyata juga menyaksikan Kak Edwin yang sedang bermain basket. Karena ku merasa mulai risih dengan keadaan ini aku pun bangun dan berniat untuk masuk kelas.
“mau ke mana?” tanya Dela.
“tiba–tiba aja kepalaku pusing, aku masuk dulu ya..” Jawabku. Belum saja aku masuk ke kelas tiba–tiba kepala bagian belakangku terkena sesuatu. Hantaman bola basket yang cukup keras itu membuatku kaget dan bersimpuh jatuh. Sambil memegang kepala aku pun berbalik badan. Ternyata pelakunya tidak lain adalah Edwin. Teman-temanku yang lain menghampiriku dan menanyakan keadaanku. Langsung saja aku meringis kesal saat aku tahu ternyata Edwin yang mengenaiku bola.
“sial, jadi pusing beneran kan.” gumamku.
“kamu gak apa–apa?” tanya Dela sambil menyentuh bahuku.
“enggak kenapa-kenapa kok..” Jawabku sambil menoleh ke atas. Betapa kagetnya aku ternyata Edwin sudah ada di depanku.

Semua teman–temanku kagum akan kedatangannya. Ya semua. Kecuali aku.
“maaf gak sengaja.” kata Edwin sambil mengambil bola basket yang berada di dekatku. Bukannya menolong atau sekedar menanyakan keadaan, ia malah mengambil bola dan pergi begitu saja. Dan ini membuatku bertambah kesal. Aku pun bangun dan benar–benar masuk ke dalam kelas.
“lihat kan Del, idolamu tuh!” Kesalku.
“kan dia gak sengaja kar..” Balas Dela. Tidak mau bertengkar dengan Dela aku pun mengalah dan memilih untuk menyimpan kesalku sendiri. Rugi juga jika aku mengeluh di hadapan teman–temanku. Termasuk Dela, yang benar-benar memuja sosok Edwin si Kakak kelas Sombong, sok keren, dan gak pernah mau bertanggung jawab itu.

Tak lama, jam kosong itu pun berakhir dengan singkat. Salah satu guru masuk ke kelasku. Seketika saja kegaduhan kelas terhenti. Kami kira guru itu akan mengajar atau marah–marah tidak jelas karena kegaduhan kami. Ternyata ia datang dengan tujuan memberikan pengumuman mengenai tour yang akan dilaksanakan minggu depan. Tour ini dilaksanakan oleh kelas 1 dan kelas 2 dengan rute yang sama. Segala hal telah diumumkan oleh guru itu hingga menghabiskan jam pelajaran. Bahagia rasanya mendapatkan pengumuman ini. Sakit kepala karena hantaman bola tadi sudah ku lupakan.
“wah, aku gak sabar nih buat tour. Pasti seru..” Kata Dela.
“iya, kapan lagi bisa kumpul bareng temen-temen ya kalau bukan pas itu.” jawabku.

Hari ini Dela berjanji akan menginap di rumahku. Hitung–hitung hari ini kami berencana membuat tugas yang sangat menumpuk dan belajar untuk ulangan besok. Ini pertama kalinya aku tidak merasakan kesepian di rumah ini. Sosok Dela menambahkan anggota penghuni rumah untuk sementara. “sering–sering aja nginep di sini Rin, biar aku ada temen..” Kataku memelas.
“ya enggak sering-sering banget kan Kar. Tapi kalau ada waktu pasti aku temenin kamu kok..” Ujar Dela dengan bijaknya. Kami pun bergadang untuk menyelesaikan tugas–tugas ini.
“ya ampun, ini kapan selesainya ya? Mana udah jam 2 lagi..” Keluh Dela.
“aku udah gak kuat nih. Mana kita belum belajar buat ulangan..” Kataku. Kami pun memilih untuk

melanjutkan tugas dan tanpa tersadar kami ketiduran di ruang tamu dengan keadaan buku yang berserakan.
Jam weker di kamarku berdering sangat kencang hingga membangunkan Dela yang tertidur di lantai. Dela mecoba membangunkanku dan tidaklah mungkin dia berhasil. Akhirnya dia bersiap-siap sendiri. Tidak lama, aku pun ikut terbangun dan terkejut dengan keadaanku pada saat itu. “astagaaaa!! belum belajarrr!!” teriakku.

“apa sih nak, pagi–pagi udah ribut sendiri. Sana cepetan mandi! Dela udah hampir selesai tuh..” Omel Mama.
“Duh mati kita Del. Kita belum belajar sama sekali..” Kataku sambil mengeluarkan buku ke atas meja.
“udah, pasrah aja dah. Mau gimana lagi.” kata Dela sambil membuka korden jendela kelas.
“Del, anter aku ke toilet yuk.” ujarku pada Dela sambil menarik tangannya menuju ke luar kelas. Belum sampai di toilet ternyata Edwin dan teman–temannya sedang berkumpul di teras dekat toilet.
“itu orang ngapain sih pakai acara nongkrong di sana, mana semua jalan ke toilet dihabisin lagi.” gumamku. Langkahku pun terhenti dan mencoba mencari toilet lainnya.
“Kar, katanya mau ke toilet?” tanya Dela bingung.
“Toilet gak cuma 1 kali Del.” kataku yang langsung berlari ke toilet lainnya.

Tapi sayang sekali, toilet yang satu ini cukup seram dan kata orang–orang toilet ini cukup angker. Ku hanya dapat menghela napas dan menelan ludah ketika berada di depannya. Tapi konyolnya aku, aku malah tetap memilih masuk ke toilet angker itu dibanding balik kembali ke toilet yang dijaga oleh Edwin dkan kawan-kawan. Karena sudah tidak ada pilihan lain lagi. Keberuntungan jatuh padaku saat itu. Ternyata toilet itu tak seseram yang aku bayangkan. Yang ku temui hanyalah gerombolan kecoa dan tikus–tikus saja.
“ngapain sih kamu ngerelain dirimu masuk ke toilet angker demi ngindarin Kak Edwin? Untung aja tadi gak terjadi apa–apa. Nah kalau misalnya tadi kamu ngelihat apa–apa gimana coba?” kata Dela marah.
“kamu masih aja bangga–banggain orang kayak gitu. Kamu tuh sadar dong, dia ngasi pengaruh gak baik buat fans-nya. Lagian aku heran deh, apa sih yang dilihat dari sosoknya yang sombong dan sok keren gitu..” Balasku.

“iya itu cuma menurutmu! Dan hanya kamu yang berpikiran negatif ke Kak Edwin..” Tuding Dela.
“itu karena aku yang ngalamin sendiri Del!” Balasku lagi.
“ya udah terserah kamu! Emang dasarnya aja kamu gak pernah bisa mikir positif ke orang lain.” sahut Dela dan pergi meninggalkanku.
“heh, iya emang dasarnya ya..” Siapa yang nyerempet orang lain terus main kabur gitu aja? Siapa yang buat sahabatnya sendiri sial? Siapa yang buat kepalaku pusing karena bola basket? Sekarang siapa yang jadi penyebab aku nekat masuk ke toilet angker itu? Dan siapa yang buat aku berantem sama Dela? Aku benci Edwin!

Sesuatu terberat yang aku alami kali ini adalah berantem sama Dela. Bayangkan saja, aku sekelas bahkan sebangku dengan Dela. Tapi kami malah cuek–cuekan. Dan tidak berbicara sedikt pun. Jujur ini sulit, namun apa daya. Dela pasti mulai membenciku. Aku juga heran, sebenarnya sihir apa yang digunakan oleh Edwin hingga orang tergila–gila dengannya. Ini termasuk sahabatku Dela. Pendapat kami yang kontraslah menjadi penyebab hancurnya hubungan kami saat ini. Entah apa yang akan terjadi, hanya waktu yang dapat menjawabnya. Berhari–hari aku dan Dela saling diam tak berbicara sedikit pun. Tapi aku percaya suatu saat nanti akan ada suatu keadaan yang memaksa kami untuk kembali berbicara.

Upacara Penurunan bendera pada hari ini memang sangat mencekam. Panas mentari yang cukup terik membuat kami sebagai peserta tak dapat menahan diri untuk berteduh. Namun tidaklah mungkin hal itu kami lakukan. Saat itu, kelasku kebetulan berbaris paling pinggir. Ya bisa dibilang berbaris di area yang paling terkena sinar matahari. Wajar saja salah satu dari kami jatuh pingsan karena tidak kuat. Salah satu yang ku maksud adalah Dela. Teman–teman panik dengan kejadian ini, itu termasuk aku. Kalau boleh dibilang, aku adalah orang terpanik ketika Dela pingsan. Karena seumur–umurku mengenal Dela, baru kali ini dia jatuh pingsan seperti ini.

Kejadian ini merupakan awal komunikasiku terhadap Dela kembali seperti semula. “kamu gak apa kan Del?” tanyaku ketika Dela sudah sadar dan berbaring di ranjang UKS.
“aku kenapa coba?” Tanya Dela lemas.
“ya elah, kamu sih, pasti belum sarapan ya? Sampai pingsan gini..” sahutku.
Aku pun memberikannya air hangat. Dari tadi aku belum melihat petugas UKS menghampiri kami. Sampai akhirnya.

“aku haus juga nih. Bentar ya Del, aku ambil air dulu.” kataku sambil berbalik badan menuangkan air. Ketika itu, ku dengar suara pintu UKS yang berdecit tanda terdapat seseorang yang memasuki UKS ini. Aku pikir itu adalah petugas UKS yang sedang piket. “Hmm akhirnya ada juga yang ngurusin kita ya Del.” gumamku. Saat ku berbalik badan sambil meneguk segelas air, betapa terkejutnya aku melihat Edwin yang sedang memberikan obat kepada Dela. Aku pun terbatuk karena kagetku terjadi bersamaan saat aku meneguk air.
“kamu sakit juga?” tanya Kak Edwin dengan tampang datar tanpa ekspresinya.
“siapa? Aku?” tanyaku ragu.
“emang selain Dela, siapa lagi yang ada di sini?” tanyanya lagi.

Astaga ini kali pertamanya aku berceloteh tidak penting dengan Edwin. Ternyata dia adalah salah satu Petugas UKS? Wah, bisa kiamat sekolah ini kalau dia jadi petugas UKS. Apalagi nanti kalau dia jadi dokter. Bisa mati tuh semua pasiennya. Tunggu dulu. Ini tidak penting bukan?
Akhirnya aku dan Dela kembali normal. Mimpi burukku selama ini akhirnya berakhir. Apapun yang terjadi sebelumnya antara aku dan Dela mulai kami lupakan. Kami pun saling bercerita dan kembali saling mengisi satu sama lain. “aaaa aku seneng banget Kar… Tahu gini setiap hari aja aku pingsan ya..” Katanya sambil tersenyum bahagia.
“gak boleh ngomong gitu Del..” Jawabku.
“Bayangin aja kar, Kak Edwin ternyata udah tahu namaku..” Sahutnya dengan bahagia.
“ehmm, sampai mas-mas sol sepatu juga bakalan tahu namamu kali Del.” jawabku sambil memandang namanya yang sudah terjarit rapi di dada kanannya.
“eh.. abaikan kar.” sahutnya sambil menunduk melirik nama di dadanya.

Tak terasa hari ini merupakan hari yang kami tunggu. Tour Sekolah. Kami semua bersenang ria dalam mengikuti semua kegiatan. Cerahnya langit sangat mendukung kami dalam beraktivitas di pesisir pantai dan di atas perahu yang kami naiki. Banyak pelajaran yang kami dapatkan pada Tour kali ini. Waktu begitu cepat berlalu hingga tiba saatnya kami harus kembali ke sekolah. Akhir tempat wisata kami adalah taman kupu–kupu. Kebetulan aku memang sangat mencintai mahluk terbang ini. Ku menemukan seekor kupu–kupu dengan warna yang cukup cantik. Ku terus memandangi kupu–kupu tersebut hingga ku tak menyadari ternyata rombonganku sudah hilang. Aku pun bergegas mengejar rombonganku sampai di parkiran tempat para bus ditempatkan.
“waduh, bus kelasku yang mana ya?”

Aku cukup sulit untuk membedakan tiap bus yang ada di sana. Aku hanya menjadikan pohon–pohon di sekitarnya sebagai patokan. Dan seingatku bus kelasku parkir di sebelah pohon jepun. Tidak tunggu lama lagi, aku pun langsung saja bergegas masuk menuju bus tersebut. Sesampai di dalam bus, pintu bus langsung ditutup, ini menandakan bus ini menungguku untuk berjalan. Tanpa disadari, ternyata aku salah memasuki bus. Aku sempat terkejut dan bingung melihat orang–orang di dalam bus yang semuanya asing bagiku. Aku hanya bisa menelan ludah melihat keadaan ini. Langsung saja aku menghampiri sopir bus dan memintanya untuk berhenti karena aku yang salah menaiki bus. Tetapi sayang sekali, bus tidak bisa dihentikan begitu saja. Mau tidak mau aku harus ikut bus tersebut.

Tepatnya bus Kakak kelas. Dengan menahan rasa malu, aku mulai mencari tempat duduk kosong, dan betapa tidak beruntungnya aku karena tempat duduk kosong hanya ada di samping Edwin. Argumen orang mengenai dunia itu sempit ternyata benar. Jika boleh memilih, mendingan aku duduk di dalam toilet bus dari pada aku harus duduk bersama Edwin. Tapi tidaklah mungkin hal itu aku lakukan. Akhirnya dengan berat hati aku pun duduk di samping Edwin. Ternyata ada yang lebih buruk dari pada berantem dengan Dela, yaitu. Duduk bareng laki-laki sinis, sombong, dan parasit bagi organisme di sekitarnya.

Sepanjang perjalanan aku benar-benar jengkel dengan keadaan ini. Aku yang biasanya ribut, onar, dan ramai seketika saja sepi sunyi dan kalem. Ini gara-gara aku yang salah masuk bus dan berakibat fatal seperti ini. Seperti tidak ada orang lain yang aku pilih selain Edwin. Berarti dugaanku benar. Teman–teman kelasnya saja tidak mau dekat dengan Edwin bahkan duduk satu kursi pun tidak ada yang mau. “mending kek ada yang aku ajak ngomong gitu.” gumamku.
“masih sakit?” tanya Edwin yang cukup mengagetkanku.
“siapa? Aku?” tanyaku sambil menoleh ke arah Edwin.
“gak punya stok pertanyaan yang lain ya selain itu?” sahut Edwin dengan tampang datarnya. “jawab kek!” suruh Edwin.
“enggak, biasa aja.” jawabku cuek.
“kenapa bisa salah bus kalau gitu?” bertanya sambil membuka halaman novel.
“ehm, ketinggalan rombongan tadi..” Kataku terbata. Kenapa aku jadi ngeladenin semua pertanyaannya dia ya? Lama kelamaan Edwin malah berbicara lebih basa-basi lagi dari itu.
“namamu siapa?” Tanya Edwin.

“hah? Aku?” Pertanyaan yang selalu ku respon dengan pertanyaan membuatnya cukup kesal denganku.
“siapa lagi yang ada di sampingku kalau bukan kamu?” Sahutnya.
“Sekar.” jawabku singkat.
“hey, kamu niru nama Ibukku ya?” cetusnya.
“ya mana aku tahu kalau Ibumu namanya sama sepertiku..” Jawabku cuek.
“hahaha bercanda. Ya bagus dong kalau sama. Itu artinya di sini aku bisa nganggep kamu jadi Ibukku. Tenang aja, Ibukku cantik kok..” Aku tidak menyangka sama sekali. Ternyata Edwin yang ku vonis sombong, sok keren dan tidak bertanggung jawab itu ternyata asyik dan humoris. Lama–kelamaan pembicaraan kami semakin dekat dan tidak canggung. Dan aku mulai menemukan hal berbeda dari Edwin.
“kenapa Kakak gak duduk sama temen yang lain?” tanyaku spontan.
“hmm, karena aku punya feeling kalau akan ada kejutan di bus ini.” jawabnya.

Karena mulai kehabisan topik pembicaraan, aku pun memilih untuk berdiam diri. Tiba–tiba Edwin mengulurkan salah satu untaian pendengar musiknya ke hadapanku dan langsung memasangkannya ke telinga kiriku. Aku sempat terkejut dengan apa yang dilakukannya. Tapi yang membuatku lebih terkejut adalah lagu yang diputarkannya sama seperti lagu yang sering ku jadikan pengantar tidurku.
“Kakak suka lagu ini?” tanyaku.
“banget. Tepatnya sih cuma lirik lagu ini yang paling aku hafal..”

Seketika saja semua dugaanku terhadapnya lenyap begitu saja. Segala kesalahan yang telah ia lakukan padaku secara sengaja maupun tidak sengaja ku lupakan semudah ini. Dugaanku ini berubah menjadi sesuatu yang berbeda. Aku pun tidak mengerti maksud dari perasaanku ini.
Sepanjang perjalanan hingga sampai di sekolah, aku tertidur dengan posisi menyender di bahu Edwin dan pendengar musik masih terpasang di telingaku. Aku pun terbangun dan cukup panik dengan keadaan ini. “maaf kak.” kataku sambil melepas pendengar musik di telingaku.
“maaf gak aku bangunin. Takut ganggu.” sahut Edwin sambil bangun dari kursi dan ke luar dari bus.
“ya ampun, Sekar kamu di mana sih tadi?” tanya Dela panik. Tidak mau membuat mereka penasaran.

Akhirnya aku hanya mengatakan kalau aku tadi berada di bus para guru.
Seharusnya malam ini aku sudah pulas terlelap tidur. Namun kejadian tadi membuatku tidak bisa membohongi perasaanku terhadap Edwin. Dela dan teman–teman yang lain sudah menganggap aku membenci Edwin. Tapi, secepat ini perasaanku berubah hanya karena kejadian singkat yang cukup konyol itu. Apa jadinya jika mereka tahu hal ini. Apapun yang terjadi dengan perasaanku ini, aku berkomitmen tidak akan memberitahu kepada siapa pun termasuk pada Dela.

Hari demi hari ku lewati dengan sewajarnya. Di luar aku memang terlihat masih membenci Edwin. Namun di dalam, aku sudah memvonis Edwin adalah cinta pertamaku, yang tidak penting untuk ku ceritakan pada orang lain. Biarlah perasaan ini bermain dengan sendirinya. Untuk pertama kalinya. Seorang laki–laki hinggap dengan mudahnya di hatiku. “Kak Edwin keren banget ya kalau lagi main basket..” Kata salah satu temanku.
“mana? Biasa aja sih.” sahutku sinis. Ya, seperti yang aku bilang tadi. Di luar aku memang sok membenci. Namun di dalam, aku benar–benar kagum dengannya.
Saat ku melintas di depan kelas Edwin bersama Dela, ku melirik ke dalam dan ku tersenyum saat ia memandangku.
“Cie senyum senyum sendiri..” Kata Dela.
“ha? Enggak.” sahutku menyembunyikan hal ini.

Tak bisa berlama–lama lagi aku menyembunyikan hal ini. Terutama kepada Dela. Namun di samping itu aku tidak mau mengaku jika sekarang Edwin menjadi cinta pertamaku, bahkan saat Edwin menawarkanku pulang bersamanya di depan teman–temanku. Tidak mungkin aku menerima ajakannya begitu saja. Sedangkan aku harus menyembunyikan perasaanku ini. Hal ini sangat mengejutkan teman–temanku dan jujur saja aku menyesal saat itu. Namun, Penyesalanku yang sebenarnya terjadi saat ku mendustai perasaanku sendiri. Dan saat itu aku tak bisa memaafkan diriku sendiri.. sampai kapanpun.

Senja itu entah mengapa perasaanku menyuruhku untuk berjalan kaki pulang. Padahal saat itu Dela sudah menawarkanku beberapa kali utuk ikut dengannya. Tapi ku kira lebih baik aku berjalan kaki. Aku mulai menikmati perjalananku. Pikiranku melayang entah ke mana hingga aku tak menyadari sebuah truk sampah besar melaju ke arahku dengan cepatnya. Aku baru tersadar saat truk itu membunyikan belnya. Namun, tidaklah mungkin aku dapat menghindari laju truk itu dengan cepat. Kalau pun aku berusaha menghindarinya itu pasti akan sia-sia. Solusi satu-satunya adalah pasrah. Pandanganku kosong ke hadapan truk yang melaju ke arahku. “Ayah, aku datang.” kataku sambil memejamkan mata.

Kejadian itu berlalu sangat cepat. Tubuhku terasa terbawa dan terdorong ke pinggir jalan. Bukan karena truk. Tetapi karena seseorang yang mendorongku. Saat aku membuka mata ku kira aku akan bertemu Ayah. Namun ternyata aku masih ada di sekitar jalan tadi. “aku masih hidup..” Kataku. Aku telah diselamatkan seseorang. Aku langsung berlari menghampiri kerumunan orang yang berada di tengah jalan. “Delaaaaa…” teriakku sambil menyelip di antara kerumunan orang.

“Sekar, apa yang terjadi?” teriak Dela yang menggenggam tanganku dari belakang. Aku menoleh ke arahnya dan aku sangat terkejut.
“apa?” teriakku kaget dengan mata terbelalak. Ternyata bukan Dela yang menyelamatkanku. Lalu siapa yang terbaring di jalan ini? Secepat kilat aku masuk lagi di antara kerumunan tersebut. Tak ku sangka. “Kak Edwin?” teriakku histeris.

Aku langsung bersimpuh di samping Edwin yang tak sadarkan diri. Darah bersimbah di antara kepala dan hidungnya. Seragam putihnya diselimuti dengan lautan darah. Ku tak bisa berkata apapun melihat apa yang ku lihat. Air mataku memberontak ingin ke luar. Sekujur tubuhku gemetar dan jantungku berdebar kencang. Saat suara ambulans terdengar, orang–orang mengangkat Edwin dengan cepat. Aku masih tak sanggup berdiri. Aku hanya memandangi kerumunan orang yang pergi satu per satu. Termasuk Dela yang ikut mengantarkan Edwin dengan ambulans.

Pandangan kosongku akhirnya tertuju ke suatu benda. Benda itu tidak lain adalah seuntai pendengar musik milik Edwin yang tergeletak di jalan tersebut. Aku pun menggambil dan mengamatinya. Seketika saja di pikiranku terlintas kejadian di bus dulu saat Edwin memasangkan benda ini ke telingaku, saat Edwin hampir menyerempetku, saat Edwin mengenaiku bola basket, saat aku tertidur di bahu Edwin, saat Edwin memberikan senyum pertamanya kepadaku dan ku tak bisa bayangkan ke nekatannya menyelamatkan nyawaku tadi. Air mataku makin mengalir deras dan aku langsung berlari menuju Rumah Sakit menyusul Edwin.

Sesak rasanya dada ini ketika hari itu adalah hari terakhir Edwin. Betapa tak percayanya aku, mengetahui kepergian Edwin hanya karena menyelamatkan nyawaku.
“apa yang sudah aku lakukan? Aku membunuh cinta pertamaku?” Tak ada lagi yang bisa menghentikan tangisku. Kehilangan ini sangat membunuh batinku. Yang ada di pikiranku saat itu hanyalah aku akan menyusul Edwin. Aku akan dibenci semua orang karena kecelakaan itu. Aku hanya bisa memeluk Mama dan Dela. Aku kehabisan kata–kata lagi. Ketakutan, Kesedihan, dan rasa tidak percaya. Hanya itu yang ku kenal saat itu.

Bendera Kuning menghiasi rumah duka Edwin. Acara pemakaman berlalu sangat singkat. Aku sudah dapat membayangkan betapa mirisnya keluarga Edwin. Termasuk pengagum–pengagumnya. Bukan hanya mereka. Aku pun merasa kehilangan sosok Edwin yang setiap hari aku hindari. Penyesalan karena membohongi perasaan sendiri telah menghantuiku. Belum sempat Edwin tahu jika dia adalah cinta pertamaku. Belum sempat teman–temanku tahu kalau sebenarnya selama ini aku menyembunyikan perasaan cinta terhadap Edwin. Walaupun keluarga dan teman–teman Edwin sudah memaafkanku, tetapi diriku sendiri tidak akan bisa memaafkan apa yang telah ku lakukan selama ini.

Hari mulai senja, di dalam kamar aku menyender di sisi tembok sambil mendengarkan lagu penghantar tidurku. Aku mengambil bingkai foto Ayah dan pendegar musik milik Edwin yang tergeletak di jalan saat itu. Tak sanggup ku menahan air mata yang menyesakkan batinku ini. Ku hanya bisa menangis sambil memandangi kedua benda itu.

“Ayah, sekarang Sekar tahu, betapa beratnya menjadi seorang remaja. Bukan karena tugas yang menumpuk di sekolah. Tapi karena sakitnya mengikhlaskan orang yang kita sayang. Sekar janji, Sekar tidak akan pernah berbohong lagi. Sekar tidak akan pernah gengsi dan munafik dengan apapun itu. Sekar tidak mau kehilangan orang yang Sekar sayang untuk ketiga kalinya. Ayah, Sekar titip Kak Edwin ya. Dia baik kok. Dia tidak akan menyakiti Ayah di sana. Dan Ayah harus tahu, kalau dia adalah cinta pertamaku..”

“Maafkan aku Kak Edwin.”
“Cahaya senja menutup alur kita berdua..”


Cerpen Karangan: Cintya Kardev
Facebook: Cintya Karuniadevi

Dia, My First Love

Cinta, aku tidak begitu paham apa itu cinta. Bicara soal cinta aku benar-benar payah. Hal yang konyol di usiaku yang 20 tahun aku belum pernah pacaran. Menyedihkan, bukan? Apa aku tidak laku atau aku gadis tak normal? Haha, jangan sampai itu terjadi dalam hidupku. Tapi apa aku pernah Jatuh Cinta?
Entahlah aku tak yakin apa aku jatuh cinta. Ada seseorang yang menarik perhatianku sampai sekarang dan aku belum bisa melupakannya. Dia teman sekelasku, 3 tahun sekelas bukankah waktu yang cukup lama untuk saling mengenal. Tapi tidak dengan kami berdua, dia pria pendiam bahkan sangat pendiam. Jangankan untuk mengobrol seperti yang lain betegur sapa saja bisa ku hitung berapa kali.

Andrean Girsang namanya, pria keturunan Batak, dia siswa satu-satunya berbeda keyakinan dengan kami mungkin hal itulah yang membuatnya sedikit pendiam. Tampan, rajin, pandai bermain berbagai alat musik, ditambah suaranya yang merdu gadis mana yang tidak tegila-gila padanya, tapi tidak denganku sejak dia meperkenalkan diri di depan kelas aku tidak begitu tertarik dengannya. Tapi suatu hari entah setan apa yang merasukinya, atau dia geger otak, atau dia salah makan entah apalah itu. Dia berubah.
Ruang kesenian begitu ramai, suara riuk pikuk terdengar di setiap sudut ruangan. Pinjam ini, pinjam itu semua nampak begitu riuh. Aish, aku mendesah kesal mendapati kuasku satunya hilang. Ratih seingatku dia yang meminjamnya, aku segera menghampirinya dengan wajah kesal. “Aish kau ini kalau sudah dikembalikan.” Gerutuku kesal.

“Hehehe. Maaf Mega lupa.” Rengeknya manja. Aku kembali lagi ke tempatku dan melewati Andre.
“Jangan lihat.” Aku terkesiap kaget saat dia menutupi lukisannya dengan badannya.
“Hah. Siapa yang mau lihat orang cuma lewat doang.” Ucapku seraya pergi.
Bukan Mega jika tidak jail, aku membalikkan badanku hendak melihat lukisannya tapi usahaku gagal.
“Apa?” Pekiknya sedikit keras.
“Aish.” Aku kali ini benar kembali ke tempatku, entah sejak kapan dia mengikutiku.
“Wow. Jelek sekali.” Aku terkejut dengan sigap aku menutupi lukisanku dengan badanku sama seperti yang dia lakukan tapi bandannya lebih tinggi mampu menepisku.
“Kau? Sejak kapan kau di sini?”
“Jelek…” Ejeknya pada lukisanku.

Aku berlari ke tempat dia tadi berharap dapat membalasnya ejekannya, namun nihil lukisannya tak ada lagi di tempat. Dengan raut yang kesal aku kembali ke tempatku dan masih diikuti olehnya. “Jelek…” Lagi-lagi kata itu ke luar dari bibirnya.
“Masa bodoh yang penting aku buat.” Cecarku kesal.
“Jelek… Jelek banget.” Terus dan terus dia mengejek lukisanku, tapi herannya aku bukan kesal malah ketawa karena aku tidak pungkiri jika lukisanku memang Jelek.
“Cie… Cieee… Ciee…” Kami terdiam saat seruan sorak teman-teman kepada kami.
“Cie, Mega sama Andre pacaran ya?” Goda Riani teman karibku.
“Apa sih, emang kita ngapain?” Jawabku sedikit gugup.

Kami kembali membenarkan posisi, aku kembali menghadap lukisanku, dan dia kembali ke tempatnya.
Wajahku sedikit merona aku bisa rasakan dari hawa yang ku rasakan begitu panas.
Sejak kejadian itu dia benar-benar telah berubah. Setiap kali bertemu denganku dia selalu mengejekku, dia bahkan berani minta tulis padaku, dan hal apapun yang aku lakukan pasti jadi bahan ejekannya. Dengan perubahannya harusnya aku bahagia setidaknya ada perubahan pada dirinya, tapi kenapa aku merasa sedih. Iya, aku sedih semakin hari aku bersamanya ada sesuatu yang mengusik hatiku yang amat aku sadari itu. Cinta. Aku jatuh cinta padanya haruskah itu terjadi, mengingat siapa aku, siapa dia, apa rasa ini boleh terjadi?

Yang aku takutkan bukan beda keyakinan, tapi cintaku yang sepihak karena aku tahu dia menyukai gadis lain yang tak lain temanku sendiri. Ku putuskan untuk menjauhinya agar rasaku tidak semakin dalam. Sesak yang ku rasa satu hari tidak bicara dengannya aku begitu kosong, sepi, dan tak bergairah. Saat dia menegurku aku hanya tersenyum, saat dia mengejekku aku hanya tersenyum. Inikah nasib cinta sepihak. Hubungan kami semakin renggang, dia juga tidak peduli dengan perubahanku.

Hari terakhir UN, dia datang menghampiriku yang tengah sibuk maaf-maafan dengan teman-teman yang lain.
“Hei!.” Aku tersenyum saat dia menyapaku, sudah berapa lama aku tak mendengar suaranya.
“Hei!.” Aku berjalan menghapirinyanya, ku ulurkan tanganku padanya.
“Aku minta maaf.” Ucapku seraya tersenyum manis.
“Aku yang harusnya minta maaf karena aku sering mengejekmu.” Balasnya sambil meraih tanganku.
Hening, kami berdua terdiam dalam hening, “Mau foto kenangan denganku?” Mimikku terlihat bingung dengan ucapannya. “Besok aku akan pulang ke Medan ya apa salahnya jika aku mau berfoto dengan kawan sekelas.” Aku tidak dapat berkata-kata, lidahku terasa kelu.

Secepat inikah dia harus pergi, “Oh. Begitu.” Hening lagi, lidahku benar-benar kelu, aku tidak tahu harus berkata apa sesak rasanya hingga aku mengeluarkan kata konyol. Aku berseru pada teman sekelas memberitahu mereka bahwa dia akan pergi. Aku menatap wajahnya datar dia menatapku lekat, seketika wajah ceriaku pudar, entah kenapa aku takut menatap matanya.
“Benarkah? Andre jadi kau besok pulang ke Medan?” Tanya Adit.
“Iya Dit.”
“Kau tidak beri tahu kami jika kau pulang besok?”
“Iya ini memang mendadak, aku saja terkejut.” Bug. Pukulan ringan dari Bobi yang mendarat di perutnya membuatnya sedikit menjerit.
“B*rengsek kau, secepat itukah kau harus pergi?”
“Demi karir sobat, aku pikir kalian mengerti.” Semua teman-teman sekelas mendekatinya, semua sibuk berfoto terkecuali aku yang menjauh.

Semua bersorak riang melihat papan pengumuman ketika nama mereka terpapar kata LULUS. Aku celingak-celinguk mencari seseorang di keramian, ku cari dia di antara teman-temannya, tidak ada. Huft, aku mendengus sedih karena tidak mendapatinya di antara ratusan siswa. Aku berjalan tanpa tahu arah, aku benar-benar sedih. Tiba-tiba langkahku terhenti di depan kelas musik, ku langkahkan kakiku masuk. Piano, ku lihat sosok pria tengah bermain piano di sana, dia melirik ke arahku dan tersenyum. Ku balas senyum manis itu.

Aku berjalan mendekatinya semakin dekat pria itu semakin menghilang. Halusinasi, aku berhalusinasi. Aku duduk depan piano, mengingat saat dia bermain piano. Tanpa sadar jemariku mulai menari pada tuts piano. I Think I Love You, aku memainkan lagu dari Byul artis Korea. Aku masih ingat ketika aku memintanya memainkan lagu itu dengan paksa meski dengan raut masam dia menuruti permintaanku. Lagu pertama saat belajar piano darinya. Tanpa sadar air mataku menetes, begitu sedihkah cinta pertamaku. Sesulit inikah Jatuh Cinta, sesakit inikah Jatuh Cinta?


Cerpen Karangan: Mega Wati
Facebook: Mega Wati

Cinta Pertama Tak Terlupakan

Namaku Ridha usiaku 17 tahun aku sudah selesai sekolah di bangku SMK. Inilah kisah cintaku 4 tahun yang lalu. Berawal dari ketika aku masih SMP, waktu itu aku hanya naksir pada tetanggaku Dedhy yang beda 3 tahun dariku. Aku meminta nomor ponselnya dari salah satu temannya, ku coba mengirimkannya sms dengan nama samaranku Ifha. Sekitar seminggu kami saling smsan, akhirnya Dedhy mengajakku untuk ketemuan. Tapi aku malu, maklum baru pertama kali diajak ketemuan sama cowok. Jadi aku minta sahabatku Ifha untuk menemuinya sebentar sore.
“Ifha, lo mau gak menolongku?”
“emm.. memangnya apa?”
“mm.. entar sore lo ke rumahku ya”
“mau ngapain?” Ifha yang penasaran.
“Begini, entar sore Dedhy mau bertemu denganku, kan dia tahunya nama gue tu Ifha. Jadi lo yang akan menemuinya. Gue temenin kok. Mau yaa” rengekku kepada Ifha.
“What? Dedhy gebetan lo dan tetangga lo juga kan” Ifha kaget, tapi sebelumnya dia udah tahu kalau namanya yang aku pakai untuk dekat dengan Dedhy.
“hehehe, iya plis tolongin aku ya.”
“Oke, baiklah”
Sore harinya..
Aku menemani Ifha bertemu dengan Dedhy di depan rumah, tidak lama kemudian Dedhy pun datang. Setelah sejam mereka berbincang-bincang akhirnya Dedhy kembali ke rumahnya. Ifha pun begitu. Tapi setelah pertemuan itu Dedhy yang aku harapkan akan jadi pacarku, ternyata menyukai Ifha sahabatku, tapi Ifha gak suka sama Dedhy karena dia tahu kalau aku naksir sama Dedhy.

Silih berganti waktu rasa sukaku sedikit demi sedikit menghilang, tapi aku dan Dedhy masih berteman dengan baik. Aku pun sering datang ke rumahnya bermain kartu, ngobrol, dan main tenis. Aku dan teman-temanku berencana akan ke rumahnya sore ini, kebetulan dia gak sibuk. Dedhy dan sepupunya bernama Khydung sedang bermain tenis di kolom rumahnya, aku dan temanku pun datang menghampirinya yang sedang asyik bermain. Aku, Ifha, dan Dedhy asyik ngobrol di belakang dan temanku yang lainnya bermain tenis. Selesai permainan hari ini. Malam pun tiba, aku tidak mendengarkan ponselku berdering tanda panggilan masuk, setelah ku cek ponselku 1 panggilan tak terjawab nomor tak dikenal. Aku mengirim sms ke nomor tadi.
“Siapa ya?”
“Aku Khyidung.” jawabnya.
Itulah awal dari perkenalan kami, aku dan dia semakin dekat. Dia mengatakan kalau dia belum punya pacar jadi aku berniat mencarikannya pacar, tapi katanya dia suka sama aku. Aku menerimanya tepat tanggal 29 Desember 2010. Kami lalui masa-masa pacaran, meskipun hanya saling melihat dari kejauhan itu pun kalau dia ke rumah Dedhy tetanggaku. Kami pernah bertemu secara langsung tapi cuma sebentar dan hanya sekali. Cukup sebulan kami pacaran. Aku mengakhiri hubungan ini dengan alasan yang tidak jelas.
“Hmm.. sebaiknya kita bersahabat saja,” Kataku lewat sms.
“Terserah kamu saja,” jawabnya singkat, mungkin dia kecewa.
Mulai saat itu hubungan kami renggang, dia minta balikan tapi aku tidak tahu apa maksud dari perkataannya, yaa.. karena aku masih polos dan baru pertama kali pacaran.

Sehari setelah aku putus dengan Khyung, aku baru merasa kehilangan dan membuatku terpuruk. Aku merasa sepi tidak ada lagi sms darinya yang penuh dengan kata-kata manis, aku menangis sampai mataku bengkak. Di sekolah temanku bertanya apa yang terjadi padaku dan mencoba menghiburku. Sebenarnya saat itu aku masih mencintai Khydung sampai sekarang, mau gimana lagi semuanya sudah berakhir. Dia sekarang udah gak ada kabar mungkin karena sibuk kuliah. Meskipun telah banyak pria yang aku kenal rasa cintaku ini tak pernah sedikit pun pudar untuknya. Aku berharap suatu saat nanti aku dan dia dipertemukan kembali di kehidupan yang akan datang.
The End


Cerpen Karangan: Ridha Michael
Facebook: Ridha Michael

Melepas Cinta

Aku bagai tersihir oleh seyuman dan tatapannya. Oh God apa yang harus aku lakukan? Aku tak dapat mengontrol lagi perasaanku kepadanya, dia benar-benar telah mengalihkan duniaku. Aku sekarang merasa seperti orang yang paling aneh dari orang aneh, biasanya orang aneh menurut versiku (hehehe) adalah orang yang sering tersenyum sendiri ketika pegang Hp atau lagi baca komik, novel, dan lainnya.

Lah ini aku, senyum-senyum sendiri disertai pipi merah semu tanpa pegang apa pun gimana mau gak dibilang aneh bin ajaib. Oh No, jangan sampai aku jadi gila karena cinta ini yang menurut aku cinta ini akan bertepuk sebelah tangan seperti lagunya Ribbas. Yang pada endingnya tak jauh-jauh dari kisah cintaku semenjak SD-SMA. Bisa dibayangkan yang terbalas hanya 3 dan yang jadi cuma 1 itu pun mantan pacar pertamaku (hahaha) menyedihkan sekali ya kisah percintaanku.

Selama 23 tahun ini hanya sekali aku pacaran dalam dunia nyata dan itu pun hanya bertahan 1 setengah tahun yang putus nyambung kayak benang layangan aja. Huft… bukan berarti aku nggak laku guys tapi karena aku terikat janji sama mamaku yang hanya boleh pacaran setelah lulus SMA dan bekerja. Alhasil tiap kali aku deket sama orang ya selalu dalam ruang lingkup TTM (teman tapi mesra) dan HTS (hubungan tanpa status).
Dan menurutku kisah cintaku yang terumit adalah sekarang, bagimana tidak? selain aku yang 2 tahun ini baru menyadari bahwa aku suka sama Kak Deva saudara sepupuku juga menyukainya bahkan seisi kantor pun telah mengetahui kalau saudaraku itu suka sama Kak Deva. Nggak lucu kan aku tiba-tiba dipergoki suka juga sama Kak Deva? Entar aku dikira perebut gebetan saudara sendiri dan pastinya aku nggak mungkin nyakitin hati saudaraku itu. Ya beginilah rumitnya kisah cinta yang aku jalani, tapi tak bisa dipungkiri aku benar-benar telah jatuh hati sama Kak Deva.

Tak peduli umur kita yang terpaut 4 tahun tak peduli dia mempunyai kekurangan apa pun yang terlihat ataupun tak terlihat, yang jelas sekarang aku benar-benar menyukainya dan aku tak tahu karena apa. Aku merasa nyaman, nyambung pas bicara dan merasa banyak beberapa kesukaan kita yang sama seperti contoh drama-drama atau film korea, lagu, pokoknya yang berhubungan dengan korea dia juga suka.
Jarang sekali kan, kita menemukan seorang laki-laki yang suka hal-hal berbau korea, apalagi dia itu pinter banget yang namanya IT dia bisa menservice apa pun termasuk hatiku (hehehe) benar-benar aku dibuat kecanduan olehnya seakan aku tak bisa bila jauh dengannya. Dia orang yang sempurna di mataku, hidungnya, matanya, bibirnya, raut wajahnya, dan seluruh tubuhnya aku suka. Aaah… gila, bena-benar aku sudah gila sekarang!

Tiba-tiba bunyi sms membuyarkan setiap lamunanku. Ku baca layar dari Handphone-ku, tertera nama Kak Deva. Seketika mataku terbelalak mendapati dia yang ku pikirkan tiba-tiba mengsmsku.
“Aku di depan rumahmu sekarang Ay.” Tulis sms Kak Dika.
Aku balas sms Kak Dika dengan mengetik “Loh jadi Kak? aku kira nggak jadi ke sini. Oke tunggu aku ke luar.”

Aku kirim dan langsung berhambur mencari jaket dan sedikit melirik penampilanku di depan cermin. Oke nggak terlalu berantakan, biarlah dia tahu penampilanku yang apa adanya ini dikala malam hari, apalagi sekarang sudah jam 9 malam lebih. Ku buka pintu dan ku dapati Kak Deva sudah berada tepat di hadapanku, dag-dig-dug deear yang aku rasakan, aduh jangan sampai Kak Deva mendengar detakan jantungku yang semakin cepat untuk berdetak.
“Kirain nggak jadi ke sini Kak.”
“Ya jadilah kan aku udah bilang, pantang buat aku untuk melupakan apa yang telah aku janjikan kecuali kalau memang benar-benar ada keperluan yang mendesak.” Jawabnya sembari tersenyum jahil melirikku. Oh God please Ay jangan sampai kamu pingsan di sini, meleleh rasanya melihat senyuman dan lirikan matanya.

Dan malam itu pun berakhir menyenangkan, walaupun Kak Deva ke tempatku hanya karena ingin memperbaiki data kantorku yang tiba-tiba terkena virus tapi tak apalah ini merupakan bencana yang menyenangkan buatku bahkan aku merasa telah terkena virus juga, virus cinta (hahaha). Keesokkan harinya seperti biasa aku berangkat 15 menit lebih awal untuk menghindarinya panjangnya antrean lift kantor di pagi hari, dan pagi ini aku tak sengaja 1 lift dengan Berta saudara sepupuku.
“Hey, Ayma. Aku mau curhat sama kamu nih, nanti ke ruanganku sebentar bisa kan ya? Please.” Katanya dengan wajah polos dan imut. Okelah aku nggak mungkin menolak permintaannya.
“Baiklah.” ucapku seraya tersenyum. Lift menunjukkan lantai 5 di mana aku dan Berta harus turun, kami langsung melangkah menuju ruangnanya. Masih sepi yah karena masih 10 menit lagi perkantoran dimulai. Sampai di situ Berta langsung menarik tanganku dan mendudukkanku di kursi duduknya.
“Ay kamu tahu nggak, kalau aku dan Kak Deva akan ditugaskan ke luar kota selama 1 bulan, dan itu artinya aku dan Kak Deva akan bersama-sama selama 1 bulan nanti. Aaah aku tak bisa membayangkan akan bersama dengannya selama itu, dan semoga saja selama kebersamaan kita itu akan ada Rasa yang tumbuh di hati Kak Deva. Aku sudah tak tahan lagi jika terus memendam perasaan ini Ay.” Cerita Berta dengan penuh kebahagiaan.
Aku hanya mampu menyungingkan senyuman walaupun sebenarnya bagai tersambar petir aku mendengar berita tersebut, “mereka akan bersama-sama selama 1 bulan? Aku tidak akan bertemu dengan Kak Deva selama 1 bulan? Tidak ada hal yang mustahil jika mereka tidak saling jatuh cinta selama di sana, Berta orangnya manis dan baik bagimana mungkin tak ada seorang pria yang jatuh cinta pada gadis baik dan manis yang mencintainya dengan tulus? Toh Kak Deva juga selalu bersikap baik kepada Berta bahkan aku rasa lebih dari sekedar rekan kerja.
Tiba-tiba aku merasa susah untuk bernapas, aku tak dapat berpikir jenih. Hanya sakit yang ku rasakan sekarang aku benar-benar harus melupakan Kak Deva, aku tak mungkin merusak kebahagiaan saudaraku ini dan bahkan kebahagiaan Kak Deva nantinya. “Ay, kok ngelamun?” tepukan Berta menyadarkanku, “Oh, maaf aku nggak fokus ya. Selamat ya Ta, jadi kamu pasti akan bisa lebih intens dengan Kak Deva dan ini kesempatan untuk mengungkapkan perasaan kamu juga.” Jawabku sembari tersenyum.
“Tapi aku nggak tahu Ay, Kak Deva suka sama aku juga atau tidak. Aku takutnya pas aku ungkapin perasaanku Kak Deva malah menolaknya gimana dong.”
“Kamu tak akan tahu jawabnnya jika kamu tidak mencobanya, so kamu coba dulu yah. Kemungkinan apa pun bisa terjadi, siapa tahu selama ini Kak Deva juga punya hati kepadamu.” jawabku dengan senyum manis, “yah aku harus bahagia jika Berta dan Kak Deva bahagia” itu pikirku.

Dan hari itu pun dimulai dimana hari keberangkatan Berta dan Kak Deva ditugaskan ke luar kota bersama, entah aku harus merasa bahagia atau sedih. Yang pasti sekarang pikiranku berkecamuk. Tersenyum, yah itulah yang bisa aku lakukan walaupun sebenarnya senyuman itu sangat pahit. Mencoba mengikhlaskan orang yang kita cinta untuk orang yang kita sayangi dan untuk kebahagiaan orang yang kita cintai itu tak mudah. Dan itulah yang aku rasakan sekarang, harus melepasnya.


Cerpen Karangan: Nur Widayanti
Blog: widagezy.wordpress.com

Diberdayakan oleh Blogger.

Blogroll

About