Kamis, 21 Januari 2016

Pandangan Senja

“Cahaya senja menutup alur kita berdua..” Sepenggal lirik lagu yang hampir setiap hari menjadi penghantar tidurku ini ternyata mengundangku ke dalam keadaan yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya. Keadaan yang membuatku menghindari apa yang seharusnya aku cari. Dan membenci apa yang harusnya aku cintai. Di sinilah aku belajar kapan seharusnya kita membohongi perasaan kita sendiri. Dan kapan seharusnya kita jujur dengan perasaan kita. Semua ku kira akan berjalan baik-baik saja. Namun apa daya, keadaan ini mengantarkan batinku kembali lagi jatuh ke dunia Cinta yang berusaha aku hindari.

Namaku Sekar. orangtuaku memberikan nama ini dengan harapan agar di suatu hari nanti, aku berhasil mengindahkan kehidupanku sendiri layaknya bunga–bunga yang mengindahkan taman dengan warna–warna indahnya. Sayang, baru saja ku mencicipi awal remajaku, aku sudah dituntut hidup hanya bersama Mama. Ya! Tanpa sosok Ayah. Aku adalah anak tunggal yang baru saja kehilangan Ayah sejak Ayahku terkena Kanker dan pergi meninggalkan aku dan Mamaku. Wajar saja jika setiap saat aku merasa kesepian. Ditambah lagi Mama yang bekerja di luar kota. Ya, ini membuatku merasa aku hanya sebatang kara di dunia ini. Usiaku belum genap 15 tahun. Dan aku baru saja duduk di bangku SMA. Aku memilih melanjutkan sekolah menengahku di Sekolah Ilmu Sosial. Di mana ternyata tempat ini menjadi perantara menuju masa remajaku yang sebenarnya. Dan dari sinilah kisahku berawal.

“Sekar! Mau sampai berapa kali lagi Mama teriak-teriak? Cepat bangun!” Ya, seperti biasa, setiap pagi Mama selalu menjerit-jerit di depan kamarku. Ini memang karena aku cukup sulit untuk bangun. Jam weker yang ku tempatkan tepat di samping bantalku saja gagal membangunkan tidurku. Apalagi Mama yang setiap hari di luar kamar merangkap menjadi speaker aktifku.

Pagi yang cerah di hari yang cerah untuk bersekolah. Ya walaupun perjalanan ke sekolah selalu ku tempuh dengan berjalan kaki, namun hal ini tidak sedikit pun mematahkan semangatku yang cerah ini. Untung saja hari ini hujan tidak turun seperti kemarin. Basahnya aspal dan banyaknya kubangan air menemani langkahku menuju sekolah. Ku fokuskan pikiranku ke pelajaran yang akan ku dapatkan nanti. Satu per satu ku ingat lagi materi-materi yang akan dites nanti. Dan sudah ku bayangkan pula bagaimana ekspresi guru matematika apabila aku tidak bisa menjawab soalnya. Itu hal yang lumrah, hanya saja yang ku sedikit tidak terima, kenapa aku harus berhadapan lagi dengan matematika? Sedangkan aku sengaja sekolah di Ilmu Sosial untuk menghindari pelajaran–pelajaran semacam itu.

Belum selesai ku merenungi angka–angka yang cukup menyesakkan batinku, tiba-tiba saja dari arah belakang pengendara motor melaju cepat melewatiku. Bukan hanya melewatiku, tetapi dia juga melewati kubangan air yang kebetulan berada tepat di sampingku. Pastinya air kumuh tersebut mengenaiku dan mengotori seragamku. Aku terkejut dan hanya bisa berteriak ke arah pengendara yang tidak mau bertanggung jawab tersebut. Bukan karena rambut atau sepatuku yang basah, tapi karena hari ini adalah hari Senin dimana aku mengenakan seragam yang seharusnya putih dan sekarang tidak mungkin bisa aku putihkan kembali semudah membalikkan telapak tangan.

“Bagaimana ini? apa mungkin aku nekat bolos aja ya? gak mungkin aku sekolah dalam keadaan kayak gini. Tapi kalau aku gak sekolah, aku gak bakal dapat nilai matematika nih..” Gumamku. Akhirnya aku memilih untuk melanjutkan langkahku menuju sekolah. Aku tidak memikirkan lagi sanksi apa yang aku dapatkan karena seragam kotor ini. Yang aku pikirkan hanyalah nilai tes matematika nanti. Sebenci–bencinya aku dengan matematika, aku tidak pernah berniat untuk bolos dari pelajarannya. Ya, benar saja. Sanksi dan omelan dari guru aku dapatkan. Di samping terlambat masuk kelas, seragam yang kotor menjadi alasan hukumanku hari ini. “itu baju atau lap pel kar?” tanya Dela salah satu teman seperjuanganku. “udah, gak usah dibahas.” jawabku sinis.

Siang ini aku memilih pulang dengan Dela. Dan untunglah Dela mau mengorbankan jaketnya kepadaku untuk menutupi seragamku yang penuh dengan noda menjijikkan. Karena tidaklah mungkin aku berjalan kaki lagi dalam keadaan yang mengenaskan ini. Tak sengaja ku melirik motor yang ada di sebelah motor Dela di mana motor itu sepertinya tidak asing bagiku. Dan setelah ku ingat–ingat, ternyata motor itu adalah motor yang hampir menyerempetku tadi pagi.
“Del, kamu tahu siapa yang punya motor ini?” tanyaku.
“tahulah. Itu kan motor Kak Edwin.” jawab Dela.
“Hah? Siapa tuh?” tanyaku lagi.
“masa kamu gak tahu? Itu kan Kakak kelas paling keren di sini..” Jawab Dela.

Tak Lama, datanglah laki–laki yang disebut–sebut bernama Edwin yang langsung pergi dengan motornya itu. Iya, keren sih, tetapi sayang caranya dia untuk ngotorin baju orang tidak ada keren–kerennya. Mataku memandang tajam kepergian Kakak itu. Seakan aku benar–benar dendam dengannya.
“udahlah kar! Gak mungkin banget kamu bisa dapetin Kak Edwin..” Kata Dela tiba-tiba yang membuyarkan pandanganku.
“hah? Apa sih Del? Ngawur banget ngomongnya..” Balasku.
“alah, sekarang aja ngomong gitu. Ntar aja naksir..” Kata Dela meledekku.
“apaaaa? Kalau disuruh milih ya, mendingan aku mati ketabrak ojek deh dari pada naksir sama dia. Asal kamu tahu ya, gara–gara dia tuh seragam aku kotor gini. Gara gara dia juga aku kena hukuman..” Omelku kepada Dela.
Perkataanku ini ternyata membuat Dela mematikan mesin motor dan balik memandangku penuh rasa ingin tahu.

“jadi, Kak Edwin yang ngotorin bajumu ini?” tanya Dela serius.
“iya! Udah tampang sombong, jutek, gak mau tanggung jawab lagi..” Keluhku.
“udah cepat naik!” Sepertinya Dela kesal dengan keluhanku mengenai Kak Edwin. Tetapi itu memang kenyataan yang terjadi.
“Aku pulang.” teriakku sambil membuka pintu rumah. “Aduh mampus! Bajuku…” saat ku teringat dengan seragam yang tak mungkin ku perlihatkan di hadapan Mamaku, aku pun bergegas masuk kamar tanpa sepengetahuan Mama. Tapi, terlambat!
“Sekar!” Teriak Mama. Belum saja aku sempat membuka pintu kamar, Mama sudah memanggilku. Mau tidak mau aku harus mengadap Mama. Kepalaku menunduk dan perlahan ku menghampiri Mama. “habis ngapain kamu? Tawuran?” Perlahan kepalaku terangkat dan berbicara pelan.
“ee… eee.. tadi tadi keserempet..” Kataku terbata–bata.

Lengkap sudah hari ini. Terlambat ke sekolah, hukuman, omelan dari guru dan bukan itu saja. Dela sepertinya kesal denganku bahkan sampai rumah Mama ikutan marah–marah gara–gara seragamku yang kotor. Wah, ini semua gara–gara Kakak sombong itu. Semenjak kejadian inilah aku mulai memvonis Kak Edwin itu orang yang paling aku sebelin di sekolah itu. Tidak peduli berapa banyak temanku yang mengidolakannya dan tidak peduli jika hanya aku yang tidak menyukainya, yang pasti karenanya persahabatanku mulai berantakan.

Bel berdering sungguh cepat, menandakan pelajaran pertama akan dimulai. Namun keberuntungan jatuh ke kelasku. Jam pertama ini ternyata merupakan jam kosong. Kebetulan guru pengajarnya tidak dapat hadir. Itu artinya 3 jam kedepan aku bisa bebas dari guru killer matematika. Suasana kelas semakin lama semakin tidak karuan. Maka, aku memilih untuk ke luar dari kelas. Di depan kelas tampak Dela yang sedang duduk membaca buku novel kesukaannya. Aku pikir aku harus mendatanginya dan menanyakan hal kemarin. Untuk memastikan dia tidak marah denganku.

“Del, kamu marah sama aku?” tanyaku. Dela memandangku dan menutup novelnya.
“enggak, biasa aja.” jawabnya. Pandangan kami seketika saja teralih menuju lapangan basket yang berada tepat di depan kelas kami. Ku melirik Dela yang tampak tersimpul senyum saat ia tahu jika salah satu dari pemain basket itu adalah Kak Edwin. Bukan hanya Dela. Beberapa teman–teman perempuan kelasku yang lain ternyata juga menyaksikan Kak Edwin yang sedang bermain basket. Karena ku merasa mulai risih dengan keadaan ini aku pun bangun dan berniat untuk masuk kelas.
“mau ke mana?” tanya Dela.
“tiba–tiba aja kepalaku pusing, aku masuk dulu ya..” Jawabku. Belum saja aku masuk ke kelas tiba–tiba kepala bagian belakangku terkena sesuatu. Hantaman bola basket yang cukup keras itu membuatku kaget dan bersimpuh jatuh. Sambil memegang kepala aku pun berbalik badan. Ternyata pelakunya tidak lain adalah Edwin. Teman-temanku yang lain menghampiriku dan menanyakan keadaanku. Langsung saja aku meringis kesal saat aku tahu ternyata Edwin yang mengenaiku bola.
“sial, jadi pusing beneran kan.” gumamku.
“kamu gak apa–apa?” tanya Dela sambil menyentuh bahuku.
“enggak kenapa-kenapa kok..” Jawabku sambil menoleh ke atas. Betapa kagetnya aku ternyata Edwin sudah ada di depanku.

Semua teman–temanku kagum akan kedatangannya. Ya semua. Kecuali aku.
“maaf gak sengaja.” kata Edwin sambil mengambil bola basket yang berada di dekatku. Bukannya menolong atau sekedar menanyakan keadaan, ia malah mengambil bola dan pergi begitu saja. Dan ini membuatku bertambah kesal. Aku pun bangun dan benar–benar masuk ke dalam kelas.
“lihat kan Del, idolamu tuh!” Kesalku.
“kan dia gak sengaja kar..” Balas Dela. Tidak mau bertengkar dengan Dela aku pun mengalah dan memilih untuk menyimpan kesalku sendiri. Rugi juga jika aku mengeluh di hadapan teman–temanku. Termasuk Dela, yang benar-benar memuja sosok Edwin si Kakak kelas Sombong, sok keren, dan gak pernah mau bertanggung jawab itu.

Tak lama, jam kosong itu pun berakhir dengan singkat. Salah satu guru masuk ke kelasku. Seketika saja kegaduhan kelas terhenti. Kami kira guru itu akan mengajar atau marah–marah tidak jelas karena kegaduhan kami. Ternyata ia datang dengan tujuan memberikan pengumuman mengenai tour yang akan dilaksanakan minggu depan. Tour ini dilaksanakan oleh kelas 1 dan kelas 2 dengan rute yang sama. Segala hal telah diumumkan oleh guru itu hingga menghabiskan jam pelajaran. Bahagia rasanya mendapatkan pengumuman ini. Sakit kepala karena hantaman bola tadi sudah ku lupakan.
“wah, aku gak sabar nih buat tour. Pasti seru..” Kata Dela.
“iya, kapan lagi bisa kumpul bareng temen-temen ya kalau bukan pas itu.” jawabku.

Hari ini Dela berjanji akan menginap di rumahku. Hitung–hitung hari ini kami berencana membuat tugas yang sangat menumpuk dan belajar untuk ulangan besok. Ini pertama kalinya aku tidak merasakan kesepian di rumah ini. Sosok Dela menambahkan anggota penghuni rumah untuk sementara. “sering–sering aja nginep di sini Rin, biar aku ada temen..” Kataku memelas.
“ya enggak sering-sering banget kan Kar. Tapi kalau ada waktu pasti aku temenin kamu kok..” Ujar Dela dengan bijaknya. Kami pun bergadang untuk menyelesaikan tugas–tugas ini.
“ya ampun, ini kapan selesainya ya? Mana udah jam 2 lagi..” Keluh Dela.
“aku udah gak kuat nih. Mana kita belum belajar buat ulangan..” Kataku. Kami pun memilih untuk

melanjutkan tugas dan tanpa tersadar kami ketiduran di ruang tamu dengan keadaan buku yang berserakan.
Jam weker di kamarku berdering sangat kencang hingga membangunkan Dela yang tertidur di lantai. Dela mecoba membangunkanku dan tidaklah mungkin dia berhasil. Akhirnya dia bersiap-siap sendiri. Tidak lama, aku pun ikut terbangun dan terkejut dengan keadaanku pada saat itu. “astagaaaa!! belum belajarrr!!” teriakku.

“apa sih nak, pagi–pagi udah ribut sendiri. Sana cepetan mandi! Dela udah hampir selesai tuh..” Omel Mama.
“Duh mati kita Del. Kita belum belajar sama sekali..” Kataku sambil mengeluarkan buku ke atas meja.
“udah, pasrah aja dah. Mau gimana lagi.” kata Dela sambil membuka korden jendela kelas.
“Del, anter aku ke toilet yuk.” ujarku pada Dela sambil menarik tangannya menuju ke luar kelas. Belum sampai di toilet ternyata Edwin dan teman–temannya sedang berkumpul di teras dekat toilet.
“itu orang ngapain sih pakai acara nongkrong di sana, mana semua jalan ke toilet dihabisin lagi.” gumamku. Langkahku pun terhenti dan mencoba mencari toilet lainnya.
“Kar, katanya mau ke toilet?” tanya Dela bingung.
“Toilet gak cuma 1 kali Del.” kataku yang langsung berlari ke toilet lainnya.

Tapi sayang sekali, toilet yang satu ini cukup seram dan kata orang–orang toilet ini cukup angker. Ku hanya dapat menghela napas dan menelan ludah ketika berada di depannya. Tapi konyolnya aku, aku malah tetap memilih masuk ke toilet angker itu dibanding balik kembali ke toilet yang dijaga oleh Edwin dkan kawan-kawan. Karena sudah tidak ada pilihan lain lagi. Keberuntungan jatuh padaku saat itu. Ternyata toilet itu tak seseram yang aku bayangkan. Yang ku temui hanyalah gerombolan kecoa dan tikus–tikus saja.
“ngapain sih kamu ngerelain dirimu masuk ke toilet angker demi ngindarin Kak Edwin? Untung aja tadi gak terjadi apa–apa. Nah kalau misalnya tadi kamu ngelihat apa–apa gimana coba?” kata Dela marah.
“kamu masih aja bangga–banggain orang kayak gitu. Kamu tuh sadar dong, dia ngasi pengaruh gak baik buat fans-nya. Lagian aku heran deh, apa sih yang dilihat dari sosoknya yang sombong dan sok keren gitu..” Balasku.

“iya itu cuma menurutmu! Dan hanya kamu yang berpikiran negatif ke Kak Edwin..” Tuding Dela.
“itu karena aku yang ngalamin sendiri Del!” Balasku lagi.
“ya udah terserah kamu! Emang dasarnya aja kamu gak pernah bisa mikir positif ke orang lain.” sahut Dela dan pergi meninggalkanku.
“heh, iya emang dasarnya ya..” Siapa yang nyerempet orang lain terus main kabur gitu aja? Siapa yang buat sahabatnya sendiri sial? Siapa yang buat kepalaku pusing karena bola basket? Sekarang siapa yang jadi penyebab aku nekat masuk ke toilet angker itu? Dan siapa yang buat aku berantem sama Dela? Aku benci Edwin!

Sesuatu terberat yang aku alami kali ini adalah berantem sama Dela. Bayangkan saja, aku sekelas bahkan sebangku dengan Dela. Tapi kami malah cuek–cuekan. Dan tidak berbicara sedikt pun. Jujur ini sulit, namun apa daya. Dela pasti mulai membenciku. Aku juga heran, sebenarnya sihir apa yang digunakan oleh Edwin hingga orang tergila–gila dengannya. Ini termasuk sahabatku Dela. Pendapat kami yang kontraslah menjadi penyebab hancurnya hubungan kami saat ini. Entah apa yang akan terjadi, hanya waktu yang dapat menjawabnya. Berhari–hari aku dan Dela saling diam tak berbicara sedikit pun. Tapi aku percaya suatu saat nanti akan ada suatu keadaan yang memaksa kami untuk kembali berbicara.

Upacara Penurunan bendera pada hari ini memang sangat mencekam. Panas mentari yang cukup terik membuat kami sebagai peserta tak dapat menahan diri untuk berteduh. Namun tidaklah mungkin hal itu kami lakukan. Saat itu, kelasku kebetulan berbaris paling pinggir. Ya bisa dibilang berbaris di area yang paling terkena sinar matahari. Wajar saja salah satu dari kami jatuh pingsan karena tidak kuat. Salah satu yang ku maksud adalah Dela. Teman–teman panik dengan kejadian ini, itu termasuk aku. Kalau boleh dibilang, aku adalah orang terpanik ketika Dela pingsan. Karena seumur–umurku mengenal Dela, baru kali ini dia jatuh pingsan seperti ini.

Kejadian ini merupakan awal komunikasiku terhadap Dela kembali seperti semula. “kamu gak apa kan Del?” tanyaku ketika Dela sudah sadar dan berbaring di ranjang UKS.
“aku kenapa coba?” Tanya Dela lemas.
“ya elah, kamu sih, pasti belum sarapan ya? Sampai pingsan gini..” sahutku.
Aku pun memberikannya air hangat. Dari tadi aku belum melihat petugas UKS menghampiri kami. Sampai akhirnya.

“aku haus juga nih. Bentar ya Del, aku ambil air dulu.” kataku sambil berbalik badan menuangkan air. Ketika itu, ku dengar suara pintu UKS yang berdecit tanda terdapat seseorang yang memasuki UKS ini. Aku pikir itu adalah petugas UKS yang sedang piket. “Hmm akhirnya ada juga yang ngurusin kita ya Del.” gumamku. Saat ku berbalik badan sambil meneguk segelas air, betapa terkejutnya aku melihat Edwin yang sedang memberikan obat kepada Dela. Aku pun terbatuk karena kagetku terjadi bersamaan saat aku meneguk air.
“kamu sakit juga?” tanya Kak Edwin dengan tampang datar tanpa ekspresinya.
“siapa? Aku?” tanyaku ragu.
“emang selain Dela, siapa lagi yang ada di sini?” tanyanya lagi.

Astaga ini kali pertamanya aku berceloteh tidak penting dengan Edwin. Ternyata dia adalah salah satu Petugas UKS? Wah, bisa kiamat sekolah ini kalau dia jadi petugas UKS. Apalagi nanti kalau dia jadi dokter. Bisa mati tuh semua pasiennya. Tunggu dulu. Ini tidak penting bukan?
Akhirnya aku dan Dela kembali normal. Mimpi burukku selama ini akhirnya berakhir. Apapun yang terjadi sebelumnya antara aku dan Dela mulai kami lupakan. Kami pun saling bercerita dan kembali saling mengisi satu sama lain. “aaaa aku seneng banget Kar… Tahu gini setiap hari aja aku pingsan ya..” Katanya sambil tersenyum bahagia.
“gak boleh ngomong gitu Del..” Jawabku.
“Bayangin aja kar, Kak Edwin ternyata udah tahu namaku..” Sahutnya dengan bahagia.
“ehmm, sampai mas-mas sol sepatu juga bakalan tahu namamu kali Del.” jawabku sambil memandang namanya yang sudah terjarit rapi di dada kanannya.
“eh.. abaikan kar.” sahutnya sambil menunduk melirik nama di dadanya.

Tak terasa hari ini merupakan hari yang kami tunggu. Tour Sekolah. Kami semua bersenang ria dalam mengikuti semua kegiatan. Cerahnya langit sangat mendukung kami dalam beraktivitas di pesisir pantai dan di atas perahu yang kami naiki. Banyak pelajaran yang kami dapatkan pada Tour kali ini. Waktu begitu cepat berlalu hingga tiba saatnya kami harus kembali ke sekolah. Akhir tempat wisata kami adalah taman kupu–kupu. Kebetulan aku memang sangat mencintai mahluk terbang ini. Ku menemukan seekor kupu–kupu dengan warna yang cukup cantik. Ku terus memandangi kupu–kupu tersebut hingga ku tak menyadari ternyata rombonganku sudah hilang. Aku pun bergegas mengejar rombonganku sampai di parkiran tempat para bus ditempatkan.
“waduh, bus kelasku yang mana ya?”

Aku cukup sulit untuk membedakan tiap bus yang ada di sana. Aku hanya menjadikan pohon–pohon di sekitarnya sebagai patokan. Dan seingatku bus kelasku parkir di sebelah pohon jepun. Tidak tunggu lama lagi, aku pun langsung saja bergegas masuk menuju bus tersebut. Sesampai di dalam bus, pintu bus langsung ditutup, ini menandakan bus ini menungguku untuk berjalan. Tanpa disadari, ternyata aku salah memasuki bus. Aku sempat terkejut dan bingung melihat orang–orang di dalam bus yang semuanya asing bagiku. Aku hanya bisa menelan ludah melihat keadaan ini. Langsung saja aku menghampiri sopir bus dan memintanya untuk berhenti karena aku yang salah menaiki bus. Tetapi sayang sekali, bus tidak bisa dihentikan begitu saja. Mau tidak mau aku harus ikut bus tersebut.

Tepatnya bus Kakak kelas. Dengan menahan rasa malu, aku mulai mencari tempat duduk kosong, dan betapa tidak beruntungnya aku karena tempat duduk kosong hanya ada di samping Edwin. Argumen orang mengenai dunia itu sempit ternyata benar. Jika boleh memilih, mendingan aku duduk di dalam toilet bus dari pada aku harus duduk bersama Edwin. Tapi tidaklah mungkin hal itu aku lakukan. Akhirnya dengan berat hati aku pun duduk di samping Edwin. Ternyata ada yang lebih buruk dari pada berantem dengan Dela, yaitu. Duduk bareng laki-laki sinis, sombong, dan parasit bagi organisme di sekitarnya.

Sepanjang perjalanan aku benar-benar jengkel dengan keadaan ini. Aku yang biasanya ribut, onar, dan ramai seketika saja sepi sunyi dan kalem. Ini gara-gara aku yang salah masuk bus dan berakibat fatal seperti ini. Seperti tidak ada orang lain yang aku pilih selain Edwin. Berarti dugaanku benar. Teman–teman kelasnya saja tidak mau dekat dengan Edwin bahkan duduk satu kursi pun tidak ada yang mau. “mending kek ada yang aku ajak ngomong gitu.” gumamku.
“masih sakit?” tanya Edwin yang cukup mengagetkanku.
“siapa? Aku?” tanyaku sambil menoleh ke arah Edwin.
“gak punya stok pertanyaan yang lain ya selain itu?” sahut Edwin dengan tampang datarnya. “jawab kek!” suruh Edwin.
“enggak, biasa aja.” jawabku cuek.
“kenapa bisa salah bus kalau gitu?” bertanya sambil membuka halaman novel.
“ehm, ketinggalan rombongan tadi..” Kataku terbata. Kenapa aku jadi ngeladenin semua pertanyaannya dia ya? Lama kelamaan Edwin malah berbicara lebih basa-basi lagi dari itu.
“namamu siapa?” Tanya Edwin.

“hah? Aku?” Pertanyaan yang selalu ku respon dengan pertanyaan membuatnya cukup kesal denganku.
“siapa lagi yang ada di sampingku kalau bukan kamu?” Sahutnya.
“Sekar.” jawabku singkat.
“hey, kamu niru nama Ibukku ya?” cetusnya.
“ya mana aku tahu kalau Ibumu namanya sama sepertiku..” Jawabku cuek.
“hahaha bercanda. Ya bagus dong kalau sama. Itu artinya di sini aku bisa nganggep kamu jadi Ibukku. Tenang aja, Ibukku cantik kok..” Aku tidak menyangka sama sekali. Ternyata Edwin yang ku vonis sombong, sok keren dan tidak bertanggung jawab itu ternyata asyik dan humoris. Lama–kelamaan pembicaraan kami semakin dekat dan tidak canggung. Dan aku mulai menemukan hal berbeda dari Edwin.
“kenapa Kakak gak duduk sama temen yang lain?” tanyaku spontan.
“hmm, karena aku punya feeling kalau akan ada kejutan di bus ini.” jawabnya.

Karena mulai kehabisan topik pembicaraan, aku pun memilih untuk berdiam diri. Tiba–tiba Edwin mengulurkan salah satu untaian pendengar musiknya ke hadapanku dan langsung memasangkannya ke telinga kiriku. Aku sempat terkejut dengan apa yang dilakukannya. Tapi yang membuatku lebih terkejut adalah lagu yang diputarkannya sama seperti lagu yang sering ku jadikan pengantar tidurku.
“Kakak suka lagu ini?” tanyaku.
“banget. Tepatnya sih cuma lirik lagu ini yang paling aku hafal..”

Seketika saja semua dugaanku terhadapnya lenyap begitu saja. Segala kesalahan yang telah ia lakukan padaku secara sengaja maupun tidak sengaja ku lupakan semudah ini. Dugaanku ini berubah menjadi sesuatu yang berbeda. Aku pun tidak mengerti maksud dari perasaanku ini.
Sepanjang perjalanan hingga sampai di sekolah, aku tertidur dengan posisi menyender di bahu Edwin dan pendengar musik masih terpasang di telingaku. Aku pun terbangun dan cukup panik dengan keadaan ini. “maaf kak.” kataku sambil melepas pendengar musik di telingaku.
“maaf gak aku bangunin. Takut ganggu.” sahut Edwin sambil bangun dari kursi dan ke luar dari bus.
“ya ampun, Sekar kamu di mana sih tadi?” tanya Dela panik. Tidak mau membuat mereka penasaran.

Akhirnya aku hanya mengatakan kalau aku tadi berada di bus para guru.
Seharusnya malam ini aku sudah pulas terlelap tidur. Namun kejadian tadi membuatku tidak bisa membohongi perasaanku terhadap Edwin. Dela dan teman–teman yang lain sudah menganggap aku membenci Edwin. Tapi, secepat ini perasaanku berubah hanya karena kejadian singkat yang cukup konyol itu. Apa jadinya jika mereka tahu hal ini. Apapun yang terjadi dengan perasaanku ini, aku berkomitmen tidak akan memberitahu kepada siapa pun termasuk pada Dela.

Hari demi hari ku lewati dengan sewajarnya. Di luar aku memang terlihat masih membenci Edwin. Namun di dalam, aku sudah memvonis Edwin adalah cinta pertamaku, yang tidak penting untuk ku ceritakan pada orang lain. Biarlah perasaan ini bermain dengan sendirinya. Untuk pertama kalinya. Seorang laki–laki hinggap dengan mudahnya di hatiku. “Kak Edwin keren banget ya kalau lagi main basket..” Kata salah satu temanku.
“mana? Biasa aja sih.” sahutku sinis. Ya, seperti yang aku bilang tadi. Di luar aku memang sok membenci. Namun di dalam, aku benar–benar kagum dengannya.
Saat ku melintas di depan kelas Edwin bersama Dela, ku melirik ke dalam dan ku tersenyum saat ia memandangku.
“Cie senyum senyum sendiri..” Kata Dela.
“ha? Enggak.” sahutku menyembunyikan hal ini.

Tak bisa berlama–lama lagi aku menyembunyikan hal ini. Terutama kepada Dela. Namun di samping itu aku tidak mau mengaku jika sekarang Edwin menjadi cinta pertamaku, bahkan saat Edwin menawarkanku pulang bersamanya di depan teman–temanku. Tidak mungkin aku menerima ajakannya begitu saja. Sedangkan aku harus menyembunyikan perasaanku ini. Hal ini sangat mengejutkan teman–temanku dan jujur saja aku menyesal saat itu. Namun, Penyesalanku yang sebenarnya terjadi saat ku mendustai perasaanku sendiri. Dan saat itu aku tak bisa memaafkan diriku sendiri.. sampai kapanpun.

Senja itu entah mengapa perasaanku menyuruhku untuk berjalan kaki pulang. Padahal saat itu Dela sudah menawarkanku beberapa kali utuk ikut dengannya. Tapi ku kira lebih baik aku berjalan kaki. Aku mulai menikmati perjalananku. Pikiranku melayang entah ke mana hingga aku tak menyadari sebuah truk sampah besar melaju ke arahku dengan cepatnya. Aku baru tersadar saat truk itu membunyikan belnya. Namun, tidaklah mungkin aku dapat menghindari laju truk itu dengan cepat. Kalau pun aku berusaha menghindarinya itu pasti akan sia-sia. Solusi satu-satunya adalah pasrah. Pandanganku kosong ke hadapan truk yang melaju ke arahku. “Ayah, aku datang.” kataku sambil memejamkan mata.

Kejadian itu berlalu sangat cepat. Tubuhku terasa terbawa dan terdorong ke pinggir jalan. Bukan karena truk. Tetapi karena seseorang yang mendorongku. Saat aku membuka mata ku kira aku akan bertemu Ayah. Namun ternyata aku masih ada di sekitar jalan tadi. “aku masih hidup..” Kataku. Aku telah diselamatkan seseorang. Aku langsung berlari menghampiri kerumunan orang yang berada di tengah jalan. “Delaaaaa…” teriakku sambil menyelip di antara kerumunan orang.

“Sekar, apa yang terjadi?” teriak Dela yang menggenggam tanganku dari belakang. Aku menoleh ke arahnya dan aku sangat terkejut.
“apa?” teriakku kaget dengan mata terbelalak. Ternyata bukan Dela yang menyelamatkanku. Lalu siapa yang terbaring di jalan ini? Secepat kilat aku masuk lagi di antara kerumunan tersebut. Tak ku sangka. “Kak Edwin?” teriakku histeris.

Aku langsung bersimpuh di samping Edwin yang tak sadarkan diri. Darah bersimbah di antara kepala dan hidungnya. Seragam putihnya diselimuti dengan lautan darah. Ku tak bisa berkata apapun melihat apa yang ku lihat. Air mataku memberontak ingin ke luar. Sekujur tubuhku gemetar dan jantungku berdebar kencang. Saat suara ambulans terdengar, orang–orang mengangkat Edwin dengan cepat. Aku masih tak sanggup berdiri. Aku hanya memandangi kerumunan orang yang pergi satu per satu. Termasuk Dela yang ikut mengantarkan Edwin dengan ambulans.

Pandangan kosongku akhirnya tertuju ke suatu benda. Benda itu tidak lain adalah seuntai pendengar musik milik Edwin yang tergeletak di jalan tersebut. Aku pun menggambil dan mengamatinya. Seketika saja di pikiranku terlintas kejadian di bus dulu saat Edwin memasangkan benda ini ke telingaku, saat Edwin hampir menyerempetku, saat Edwin mengenaiku bola basket, saat aku tertidur di bahu Edwin, saat Edwin memberikan senyum pertamanya kepadaku dan ku tak bisa bayangkan ke nekatannya menyelamatkan nyawaku tadi. Air mataku makin mengalir deras dan aku langsung berlari menuju Rumah Sakit menyusul Edwin.

Sesak rasanya dada ini ketika hari itu adalah hari terakhir Edwin. Betapa tak percayanya aku, mengetahui kepergian Edwin hanya karena menyelamatkan nyawaku.
“apa yang sudah aku lakukan? Aku membunuh cinta pertamaku?” Tak ada lagi yang bisa menghentikan tangisku. Kehilangan ini sangat membunuh batinku. Yang ada di pikiranku saat itu hanyalah aku akan menyusul Edwin. Aku akan dibenci semua orang karena kecelakaan itu. Aku hanya bisa memeluk Mama dan Dela. Aku kehabisan kata–kata lagi. Ketakutan, Kesedihan, dan rasa tidak percaya. Hanya itu yang ku kenal saat itu.

Bendera Kuning menghiasi rumah duka Edwin. Acara pemakaman berlalu sangat singkat. Aku sudah dapat membayangkan betapa mirisnya keluarga Edwin. Termasuk pengagum–pengagumnya. Bukan hanya mereka. Aku pun merasa kehilangan sosok Edwin yang setiap hari aku hindari. Penyesalan karena membohongi perasaan sendiri telah menghantuiku. Belum sempat Edwin tahu jika dia adalah cinta pertamaku. Belum sempat teman–temanku tahu kalau sebenarnya selama ini aku menyembunyikan perasaan cinta terhadap Edwin. Walaupun keluarga dan teman–teman Edwin sudah memaafkanku, tetapi diriku sendiri tidak akan bisa memaafkan apa yang telah ku lakukan selama ini.

Hari mulai senja, di dalam kamar aku menyender di sisi tembok sambil mendengarkan lagu penghantar tidurku. Aku mengambil bingkai foto Ayah dan pendegar musik milik Edwin yang tergeletak di jalan saat itu. Tak sanggup ku menahan air mata yang menyesakkan batinku ini. Ku hanya bisa menangis sambil memandangi kedua benda itu.

“Ayah, sekarang Sekar tahu, betapa beratnya menjadi seorang remaja. Bukan karena tugas yang menumpuk di sekolah. Tapi karena sakitnya mengikhlaskan orang yang kita sayang. Sekar janji, Sekar tidak akan pernah berbohong lagi. Sekar tidak akan pernah gengsi dan munafik dengan apapun itu. Sekar tidak mau kehilangan orang yang Sekar sayang untuk ketiga kalinya. Ayah, Sekar titip Kak Edwin ya. Dia baik kok. Dia tidak akan menyakiti Ayah di sana. Dan Ayah harus tahu, kalau dia adalah cinta pertamaku..”

“Maafkan aku Kak Edwin.”
“Cahaya senja menutup alur kita berdua..”


Cerpen Karangan: Cintya Kardev
Facebook: Cintya Karuniadevi

Share this


0 Comments

Diberdayakan oleh Blogger.

Blogroll

About