Kenanganku dan Tentangnya
Lima belas tahun aku menyimpan rahasia ini. Bahwa aku mengalami masa
kecil yang buruk. Kemurungan demi kemurungan pada semua hari yang
kulalui. Aku tidak dapat menceritakannya ke siapapun.
Ya, aku mengalami pelecehan s*ksual semasa kecil. Oleh tetangga, dan teman-temanku sendiri. Orangtuaku yang masih menganggap s*ksual sebagai hal yang tabu dan tidak pantas untuk dibicarakan. Dan aku selalu mengurungkan niatku untuk menceritakan hal ini kepada mereka.
Aku lebih memilih untuk menutup rapat-rapat semua kenangan buruk itu. Meski sering dada ini terasa penuh dan air mata pasti tak dapat terbendung jika mengingatnya. Aku tau, hal ini berefek pada pola pertemananku. Aku takut dengan anak laki-laki, dan aku lebih memilih untuk menghindari mereka. Terlebih saat ada yang terlihat mulai mendekatiku, aku takut, kenangan itu pasti muncul.
Dimas namanya, teman kuliahku. Ia cukup tenar di antara teman-temanku. Kata mereka ia cukup tampan, dan banyak pula temanku yang mengidolakannya. Tapi aku? Aku lebih memilih diam saat mereka membicarakan mengenai laki-laki. Terkadang beberapa temanku seperti terheran, dengan sikapku saat mereka membicarakan dimas atau teman laki-laki yang lain. Dan memang kadangkala aku malah pergi jika mereka mulai memulai pembicaraan tentang laik-laki. Aku tak menjelaskan apapun disitu.
Diusia ini aku sadar, aku tidak akan bisa terus menerus menghindar dari teman laki-laki. Aku berusaha untuk berteman dengan mereka, meski dengan sangat terbatas. Aku berusaha selalu bersikap seolah aku tumbuh dengan normal. Meski kadang mungkin aku tidak dapat menutupi kemurungan. Ingatan demi ingatan itu masih sangat jelas. Terkadang keringat dingin yang akhirnya menetes saat aku menahan dan menolak untuk mengingat semuanya.
Sampai pada suatu ketika, dimas menghampiriku dan menanyakan beberapa hal terkait materi kuliah yang ia belum pahami. Dimas ternyata sangat sopan. Bahkan ia tidak seperti teman laki-laki yang lain saat bertanya. Ia memilih menggunakan kata-kata yang santun, dan lebih seperti meminta tolong namun jangan sampai membebani.
Awalnya aku agak canggung saat berbicara dengannya, namun tidak ada rasa takut sama sekali. Seiring intensitas kami berbicara, rasa canggung mulai hilang. Kesantunannyalah yang membuatku tidak merasa takut ataupun canggung. Bisa dikatakan ia adalah satu-satunya laki-laki yang bisa mengajakku berbicara untuk waktu yang cukup lama selain dari ayah dan kakakku. Aku dengan leluasa menjawab apa yang menjadi pertanyaannya. Tak jarang aku juga bertanya mengenai hal-hal yang belum aku pahami.
Teman-teman cewekku mulai mengatakan kalau aku ada peningkatan. Aku tidak lagi cupu seperti dulu. Mereka mengira aku dan dimas ada sesuatu, namun aku menyangkalnya. Hubungan kami hanyalah sebatas teman dan tidak lebih. Meski mereka tidak percaya, namun memang itulah yang terjadi sampai detik ini.
Setelah beberapa saat, aku dan Dimas mulai bertukar nomor hp. Obrolan kami melalui hp juga hanya sebatas tanya jawab masalah tugas dan materi kuliah, tidak lebih.
Namun pada suatu ketika, dimas mengirim pesan yang berisi ajakan untuk makan malam. Aku sedikit kaget. aku memang anak kos, tapi aku juga jarang keluar malam. Menjadi kebiasaanku seperti saat masih sekolah, tidak boleh keluar malam jika tidak ada alasan tepat.
Lima belas menit belum kujawab pesan itu. Aku lebih memilih ke kamar sahabatku, ira. Kami mengobrol tentang beberapa hal, hingga sampai pada pembicaraan mengenai dimas. Ira adalah sahabatku yang paling dekat diantara yang lain. Ia adalah teman kos sekaligus satu jurusan denganku. Dan benar saja aku tidak dapat menyembunyikan banyak hal dari dia, terkecuali masa laluku yang memang aku simpan rapat-rapat. Apalagi saat itu ada pesan masuk dari dimas yang menanyakan kembali kesediaanku.
Ira merebut hpku dan membaca pesan dari dimas. “What?? Dimas ngajakin kamu makan?” celotehnya
“Iya” jawabku
“Trus jawaban kamu?” tanyanya lagi
“Aku masih bingung” jawabku lagi
Ira sebenernya sudah mulai mencium gelagat dimas padaku, dan ia membujukku untuk mau memenuhi ajakan dimas dengan berbagai cara. Dan sampai pada kalimat yang membuat aku tersadar “Lel, harus ada orang yang kamu percaya untuk melindungi kamu”. Entah kenapa dia bisa berkata seperti itu, padahal aku tidak pernah menceritakan apapun tentang masa laluku. Akhirnya aku membalas pesan dimas dan menerima ajakannya.
Malam itu, dia menggunakan sepeda motor yang selalu ia pakai berangkat kuliah untuk menjempuku. Aku tau dimas orang berada, namun hal itu tidak pernah ia tampilkan dalam kesehariannya. Meski dikenal playboy, namun ia tetap berpenampilan sederhana.
Ia mengajakku makan malam di suatu rumah makan yang cukup nyaman. Seperti kedai namun nyaman jika dipergunakan untuk mengobrol. Aku memesan makanan sesuai sarannya. Kami mulai mengobrol dan kali ini bukan tentang tugas atau materi kuliah. Dia menceritakan keluarga, sekolah, dan aktifitas-aktifitasnya. Kali ini aku lebih banyak mendengarkan.
Dan sampai pada pertanyaan ini aku terdiam dan tak bisa berkata-kata “Lel, sebenarnya aku udah lama memperhatikan kamu. Maaf jika aku lancang, namun jika aku boleh tau apa penyebab yang membuat kamu sering murung?”
Ia menghela nafas dan melanjutkan, “Mungkin jika aku boleh menebaknya sepertinya kamu menyimpan sesuatu. Iya, benar begitu?”
Aku kembali tidak bisa berkata apa-apa. Keringat dinginku mulai mengucur, dan sepertinya dimas mengetahuinya. Ia melanjutkan “Tidak apa-apa kalau kamu tidak mau menjawabnya untuk saat ini dan kalau pada suatu ketika kamu ingin menceritakannya aku siap untuk mendengarnya kapanpun saat kamu membutuhkannya”.
Ia menatapku dalam namun tetap terasa sejuk. “Lel, maaf mungkin apa yang aku sampaikan akan membuatku kaget. Sudah lama aku menyimpan rasa sayang sama kamu, aku harap kamu tidak tersinggung atau marah”.
Aku akui, aku pun mulai ada rasa dengannya. Aku mulai mempercayai seorang laki-laki dalam hidupku. Meski ada sedikit rasa takut menyelimuti, namun entah kenapa aku juga tidak beranjak untuk meninggalkannya. Aku berpikir dan menata hatiku. Aku meminta ijin untuk menyelesaikan makan malamku sembari berpikir.
“Mas, untuk pertanyaanmu yang pertama aku tidak bisa menjawabnya. Jika memang pada suatu ketika harus aku ceritakan ke kamu maka akan aku ceritakan. Terus terang aku kaget dengan pernyataanmu tadi. Aku mulai mempercayaimu, aku bahagia atas ucapanmu tadi namun ada hal yang membuat aku tidak bisa menjawabnya sekarang. Tolong jangan jauhi aku, dan tetap seperti dimas yang kemarin karena aku bahagia mulai dapat percaya pada seseorang” jelasku.
Ia tersenyum hangat dan mengangguk tanda menyanggupinya. Selesai makan, ia mengantarkanku pulang ke kosku.
Setelah makan malam itu, dimas tidak berubah. Bahkan ia lebih melindungiku. Kehangatan dan kasih sayang selalu aku rasakan saat bersamanya. Meski begitu tidak pernah ia melebihi batas. Ia menggandengku hanya pada saat dimana aku membutuhkan bantuan, namun melepasnya kembali setelah aku dirasa tidak membutuhkan. Ia juga menjadi tempat keluh kesahku, saat aku mendapatkan kesulitan. Kedekatan kami mungkin lebih dari sekedar sahabat.
Dua bulan kami bersama dan ia meminta izin untuk pulang ke jakarta. Sampai pada suatu hari aku mendengar kabar kalau ia ditimpa musibah di sana. Ia terkena luka bakar saat ingin mematikan api dari wajan yang menyala karena terlalu panas. Aku lemas mendengarnya. Aku ingin menjenguk dan menemaninya, namun apa daya aku pasti tidak akan mendapat izin dari orangtuaku. Aku hanya bisa menanyakan kabarnya lewat sms. Jujur aku sangat merasa kehilangan. Ternyata aku mulai menyayanginya, dan perasaanku kepadanya telah sangat dalam aku yakin.
Dua bulan ia di Jakarta untuk menyembuhkan lukanya, sampai pada suatu hari ia pulang tanpa memberiku kabar terlebih dahulu. Ia datang ke kosku dengan tangan kanan dan kaki kanan masih berbalut perban.
“Dimas…” mataku berkaca-kaca saat melihatnya. Seolah aku masih tak percaya, ia hadir di depanku. Air mata ini tak terbendung lagi saat menyadari kondisinya yang masih penuh dengan balutan perban. Namun ia tetap tersenyum dengan hangat. “Hey lel… boleh duduk?”
Aku yang masih kaget, sampai-sampai lupa tidak mempersilakan ia duduk. Sontak aku membantunya untuk duduk karena ia masih terlihat sedikit kepayahan. “Nggak papa kok, aku bisa” ucapnya.
“Gimana kabar kamu?” ia mulai memecah keheningan.
“Baik… aku baik” agak tergopoh kujawab pertanyaannya.
Ia menceritakan peristiwa saat ia mendapat musibah itu. Dalam hatiku aku sangat bersedih, aku yang selama ini ia obati namun tak bisa berbuat apa-apa saat ia terluka. Tak sadar air mata ini tak terbendung saat ia menceritakan proses pengobatan yang ia jalani saat berada di Rumah Sakit.
“Hey… aku nggak papa kok” ia berseloroh.
Aku tersenyum. Apa yang bisa aku lakukan untuk sedikit meringankan rasa sakitmu? Dalam hati aku berkata.
Tak terasa obrolan kami hingga larut. Kami asyik berbicara seperti sedang melampiaskan rasa kangen satu sama lain. Karena memang itu yang kami rasakan.
Ia menggenggam tanganku erat, seolah berkata “kuatkan aku”. Dan entah kenapa genggaman itu tak kulepaskan.
Dinginnya malam membuat kami saling mendekatkan badan, mencari kehangatan. Ia mengelus pipiku, dan menatap wajahku dalam-dalam. Perlahan ia mendekatkan wajahnya. Ia menciumku, dengan sangat lembut. Ciuman pertama yang kualami, dan entah kenapa aku larut dalam ciuman itu.
Debar jantungku seolah terdengar sangat keras. Perasaan ini bercampur aduk, antara rasa rindu, dan sedikit ingatan-ingatan masa lalu yang muncul. Sedikit rasa yang meyakinkanku saat itu, aku ingin sedikit meringankan rasa sakitnya, itu saja.
Tentang ingatan-ingatan itu, sudah tidak terlalu terasa berat. Berkatmu aku rasa. Aku semakin yakin bersamamu, jika pada saatnya nanti kamu menjadi orang yang benar-benar aku percaya maka akan aku ceritakan semua tentang masa laluku. Dan aku yakin, melalui perantaramu semua kesakitanku dapat terobati.
Malam itu pula aku menerima cintanya.
Cerpen Karangan: Dinna L Fauzia
Facebook: dinna.fauzia[-at-]facebook.com
Ya, aku mengalami pelecehan s*ksual semasa kecil. Oleh tetangga, dan teman-temanku sendiri. Orangtuaku yang masih menganggap s*ksual sebagai hal yang tabu dan tidak pantas untuk dibicarakan. Dan aku selalu mengurungkan niatku untuk menceritakan hal ini kepada mereka.
Aku lebih memilih untuk menutup rapat-rapat semua kenangan buruk itu. Meski sering dada ini terasa penuh dan air mata pasti tak dapat terbendung jika mengingatnya. Aku tau, hal ini berefek pada pola pertemananku. Aku takut dengan anak laki-laki, dan aku lebih memilih untuk menghindari mereka. Terlebih saat ada yang terlihat mulai mendekatiku, aku takut, kenangan itu pasti muncul.
Dimas namanya, teman kuliahku. Ia cukup tenar di antara teman-temanku. Kata mereka ia cukup tampan, dan banyak pula temanku yang mengidolakannya. Tapi aku? Aku lebih memilih diam saat mereka membicarakan mengenai laki-laki. Terkadang beberapa temanku seperti terheran, dengan sikapku saat mereka membicarakan dimas atau teman laki-laki yang lain. Dan memang kadangkala aku malah pergi jika mereka mulai memulai pembicaraan tentang laik-laki. Aku tak menjelaskan apapun disitu.
Diusia ini aku sadar, aku tidak akan bisa terus menerus menghindar dari teman laki-laki. Aku berusaha untuk berteman dengan mereka, meski dengan sangat terbatas. Aku berusaha selalu bersikap seolah aku tumbuh dengan normal. Meski kadang mungkin aku tidak dapat menutupi kemurungan. Ingatan demi ingatan itu masih sangat jelas. Terkadang keringat dingin yang akhirnya menetes saat aku menahan dan menolak untuk mengingat semuanya.
Sampai pada suatu ketika, dimas menghampiriku dan menanyakan beberapa hal terkait materi kuliah yang ia belum pahami. Dimas ternyata sangat sopan. Bahkan ia tidak seperti teman laki-laki yang lain saat bertanya. Ia memilih menggunakan kata-kata yang santun, dan lebih seperti meminta tolong namun jangan sampai membebani.
Awalnya aku agak canggung saat berbicara dengannya, namun tidak ada rasa takut sama sekali. Seiring intensitas kami berbicara, rasa canggung mulai hilang. Kesantunannyalah yang membuatku tidak merasa takut ataupun canggung. Bisa dikatakan ia adalah satu-satunya laki-laki yang bisa mengajakku berbicara untuk waktu yang cukup lama selain dari ayah dan kakakku. Aku dengan leluasa menjawab apa yang menjadi pertanyaannya. Tak jarang aku juga bertanya mengenai hal-hal yang belum aku pahami.
Teman-teman cewekku mulai mengatakan kalau aku ada peningkatan. Aku tidak lagi cupu seperti dulu. Mereka mengira aku dan dimas ada sesuatu, namun aku menyangkalnya. Hubungan kami hanyalah sebatas teman dan tidak lebih. Meski mereka tidak percaya, namun memang itulah yang terjadi sampai detik ini.
Setelah beberapa saat, aku dan Dimas mulai bertukar nomor hp. Obrolan kami melalui hp juga hanya sebatas tanya jawab masalah tugas dan materi kuliah, tidak lebih.
Namun pada suatu ketika, dimas mengirim pesan yang berisi ajakan untuk makan malam. Aku sedikit kaget. aku memang anak kos, tapi aku juga jarang keluar malam. Menjadi kebiasaanku seperti saat masih sekolah, tidak boleh keluar malam jika tidak ada alasan tepat.
Lima belas menit belum kujawab pesan itu. Aku lebih memilih ke kamar sahabatku, ira. Kami mengobrol tentang beberapa hal, hingga sampai pada pembicaraan mengenai dimas. Ira adalah sahabatku yang paling dekat diantara yang lain. Ia adalah teman kos sekaligus satu jurusan denganku. Dan benar saja aku tidak dapat menyembunyikan banyak hal dari dia, terkecuali masa laluku yang memang aku simpan rapat-rapat. Apalagi saat itu ada pesan masuk dari dimas yang menanyakan kembali kesediaanku.
Ira merebut hpku dan membaca pesan dari dimas. “What?? Dimas ngajakin kamu makan?” celotehnya
“Iya” jawabku
“Trus jawaban kamu?” tanyanya lagi
“Aku masih bingung” jawabku lagi
Ira sebenernya sudah mulai mencium gelagat dimas padaku, dan ia membujukku untuk mau memenuhi ajakan dimas dengan berbagai cara. Dan sampai pada kalimat yang membuat aku tersadar “Lel, harus ada orang yang kamu percaya untuk melindungi kamu”. Entah kenapa dia bisa berkata seperti itu, padahal aku tidak pernah menceritakan apapun tentang masa laluku. Akhirnya aku membalas pesan dimas dan menerima ajakannya.
Malam itu, dia menggunakan sepeda motor yang selalu ia pakai berangkat kuliah untuk menjempuku. Aku tau dimas orang berada, namun hal itu tidak pernah ia tampilkan dalam kesehariannya. Meski dikenal playboy, namun ia tetap berpenampilan sederhana.
Ia mengajakku makan malam di suatu rumah makan yang cukup nyaman. Seperti kedai namun nyaman jika dipergunakan untuk mengobrol. Aku memesan makanan sesuai sarannya. Kami mulai mengobrol dan kali ini bukan tentang tugas atau materi kuliah. Dia menceritakan keluarga, sekolah, dan aktifitas-aktifitasnya. Kali ini aku lebih banyak mendengarkan.
Dan sampai pada pertanyaan ini aku terdiam dan tak bisa berkata-kata “Lel, sebenarnya aku udah lama memperhatikan kamu. Maaf jika aku lancang, namun jika aku boleh tau apa penyebab yang membuat kamu sering murung?”
Ia menghela nafas dan melanjutkan, “Mungkin jika aku boleh menebaknya sepertinya kamu menyimpan sesuatu. Iya, benar begitu?”
Aku kembali tidak bisa berkata apa-apa. Keringat dinginku mulai mengucur, dan sepertinya dimas mengetahuinya. Ia melanjutkan “Tidak apa-apa kalau kamu tidak mau menjawabnya untuk saat ini dan kalau pada suatu ketika kamu ingin menceritakannya aku siap untuk mendengarnya kapanpun saat kamu membutuhkannya”.
Ia menatapku dalam namun tetap terasa sejuk. “Lel, maaf mungkin apa yang aku sampaikan akan membuatku kaget. Sudah lama aku menyimpan rasa sayang sama kamu, aku harap kamu tidak tersinggung atau marah”.
Aku akui, aku pun mulai ada rasa dengannya. Aku mulai mempercayai seorang laki-laki dalam hidupku. Meski ada sedikit rasa takut menyelimuti, namun entah kenapa aku juga tidak beranjak untuk meninggalkannya. Aku berpikir dan menata hatiku. Aku meminta ijin untuk menyelesaikan makan malamku sembari berpikir.
“Mas, untuk pertanyaanmu yang pertama aku tidak bisa menjawabnya. Jika memang pada suatu ketika harus aku ceritakan ke kamu maka akan aku ceritakan. Terus terang aku kaget dengan pernyataanmu tadi. Aku mulai mempercayaimu, aku bahagia atas ucapanmu tadi namun ada hal yang membuat aku tidak bisa menjawabnya sekarang. Tolong jangan jauhi aku, dan tetap seperti dimas yang kemarin karena aku bahagia mulai dapat percaya pada seseorang” jelasku.
Ia tersenyum hangat dan mengangguk tanda menyanggupinya. Selesai makan, ia mengantarkanku pulang ke kosku.
Setelah makan malam itu, dimas tidak berubah. Bahkan ia lebih melindungiku. Kehangatan dan kasih sayang selalu aku rasakan saat bersamanya. Meski begitu tidak pernah ia melebihi batas. Ia menggandengku hanya pada saat dimana aku membutuhkan bantuan, namun melepasnya kembali setelah aku dirasa tidak membutuhkan. Ia juga menjadi tempat keluh kesahku, saat aku mendapatkan kesulitan. Kedekatan kami mungkin lebih dari sekedar sahabat.
Dua bulan kami bersama dan ia meminta izin untuk pulang ke jakarta. Sampai pada suatu hari aku mendengar kabar kalau ia ditimpa musibah di sana. Ia terkena luka bakar saat ingin mematikan api dari wajan yang menyala karena terlalu panas. Aku lemas mendengarnya. Aku ingin menjenguk dan menemaninya, namun apa daya aku pasti tidak akan mendapat izin dari orangtuaku. Aku hanya bisa menanyakan kabarnya lewat sms. Jujur aku sangat merasa kehilangan. Ternyata aku mulai menyayanginya, dan perasaanku kepadanya telah sangat dalam aku yakin.
Dua bulan ia di Jakarta untuk menyembuhkan lukanya, sampai pada suatu hari ia pulang tanpa memberiku kabar terlebih dahulu. Ia datang ke kosku dengan tangan kanan dan kaki kanan masih berbalut perban.
“Dimas…” mataku berkaca-kaca saat melihatnya. Seolah aku masih tak percaya, ia hadir di depanku. Air mata ini tak terbendung lagi saat menyadari kondisinya yang masih penuh dengan balutan perban. Namun ia tetap tersenyum dengan hangat. “Hey lel… boleh duduk?”
Aku yang masih kaget, sampai-sampai lupa tidak mempersilakan ia duduk. Sontak aku membantunya untuk duduk karena ia masih terlihat sedikit kepayahan. “Nggak papa kok, aku bisa” ucapnya.
“Gimana kabar kamu?” ia mulai memecah keheningan.
“Baik… aku baik” agak tergopoh kujawab pertanyaannya.
Ia menceritakan peristiwa saat ia mendapat musibah itu. Dalam hatiku aku sangat bersedih, aku yang selama ini ia obati namun tak bisa berbuat apa-apa saat ia terluka. Tak sadar air mata ini tak terbendung saat ia menceritakan proses pengobatan yang ia jalani saat berada di Rumah Sakit.
“Hey… aku nggak papa kok” ia berseloroh.
Aku tersenyum. Apa yang bisa aku lakukan untuk sedikit meringankan rasa sakitmu? Dalam hati aku berkata.
Tak terasa obrolan kami hingga larut. Kami asyik berbicara seperti sedang melampiaskan rasa kangen satu sama lain. Karena memang itu yang kami rasakan.
Ia menggenggam tanganku erat, seolah berkata “kuatkan aku”. Dan entah kenapa genggaman itu tak kulepaskan.
Dinginnya malam membuat kami saling mendekatkan badan, mencari kehangatan. Ia mengelus pipiku, dan menatap wajahku dalam-dalam. Perlahan ia mendekatkan wajahnya. Ia menciumku, dengan sangat lembut. Ciuman pertama yang kualami, dan entah kenapa aku larut dalam ciuman itu.
Debar jantungku seolah terdengar sangat keras. Perasaan ini bercampur aduk, antara rasa rindu, dan sedikit ingatan-ingatan masa lalu yang muncul. Sedikit rasa yang meyakinkanku saat itu, aku ingin sedikit meringankan rasa sakitnya, itu saja.
Tentang ingatan-ingatan itu, sudah tidak terlalu terasa berat. Berkatmu aku rasa. Aku semakin yakin bersamamu, jika pada saatnya nanti kamu menjadi orang yang benar-benar aku percaya maka akan aku ceritakan semua tentang masa laluku. Dan aku yakin, melalui perantaramu semua kesakitanku dapat terobati.
Malam itu pula aku menerima cintanya.
Cerpen Karangan: Dinna L Fauzia
Facebook: dinna.fauzia[-at-]facebook.com