Sabtu, 04 Februari 2017

Coba Lihat Langit Biru di Atas Sana

“Coba lihat langit biru di atas sana.”
Kata-kata itu selalu terngiang di otakku, berputar-putar dan diulang-ulang berkali-kali. Kata-kata sederhana tetapi begitu istimewa untukku.

“Setiap kali kamu sedih, coba lihat langit biru di atas sana. Mereka akan membuatku nyaman dan membuatmu melupakan kesedihanmu,” ujarnya setiap kali aku meneleponnya sambil menangis.
“Kalau kamu bahagia, coba lihat langit biru di atas sana. Berbagilah kebahagiaanmu kepada alam juga. Barangkali alam juga akan memberikan kebahagiaan yang sama untukmu,” ujarnya ketika kami bertemu disaat aku sangat bahagia.

“Kalau aku sedang pergi jauh, coba lihat langit biru di atas sana. Tataplah awan putih di atas sana dan bayangkan wajahku,” ujarnya mengingatkanku ketika aku mengantarkannya ke bandara untuk melepasnya menerbangkan pesawat.
“Intinya, apapun yang kamu rasakan coba lihat langit biru di atas sana, semoga langit biru akan membantumu untuk memperbaiki ataupun menambah kebahagiaanmu,” ujarnya sebelum ia terbang menuju Amerika untuk menyelesaikan tugasnya sebagai pilot. Waktu itu aku mengangguk dan menitikkan airmataku ketika tangannya menangkup pipiku.
“Hey, this isn’t the first time. Biasanya kamu gak nangis. Malah ketawa-ketawa. Kok tumben hari ini kamu menangis?” tanyanya yang langsung kujawab dengan gelengan kepala yang begitu cepat.
“Aku pergi dulu ya. Tunggu aku sampai aku pulang ya,” ujarnya kemudian berjalan menuju pintu keberangkatan dan meninggalkanku sendiri yang menatapnya dengan penuh airmata.

Tak seberapa lama aku meninggalkan bandara, aku mendengar berita jika ada pesawat menuju Amerika jatuh. Jantungku berdebar begitu cepat, ketakutan jika pesawat itu adalah pesawat yang dipiloti Ben.
Rasa takutku kemudian benar-benar menjadi kenyataan. Pesawat Ben jatuh. Saat itu juga di antara para pasien rumah sakit yang begitu terkejut menonton berita, aku menangis. Menangis begitu kencang. Tidak peduli lagi aku adalah seorang dokter atau bukan. Airmataku terus-terusan mengalir tanpa ada ujungnya.

Aku kemudian mengingat kata-kata Ben untuk selalu melihat langit biru ketika aku sedih. Aku kemudian menenangkan diriku terlebih dahulu dan berjalan dengan pasti menuju lantai paling atas untuk menatap langit biru yang selalu di bicarakan Ben. Tapi ketika aku tiba di lantai paling atas, aku mendapati langit berwarna abu dan tidak menyuguhkan kenyamanan untukku.
Aku kembali menangis, membiarkan kesedihan dan ketakutanku untuk terbebas bersama dengan tetesan airmata yang mengalir di pipiku. Setelah aku mengeluarkan airmataku, aku langsung menuju bandara untuk mencari tahu apakah Ben masih ada atau tidak.

Ternyata ketika aku tiba di bandara dan membaca nama-nama korban jiwa, nama Ben ada di urutan teratas. Aku tak dapat berkata apa-apa lagi. Bahkan ketika sang manager memanggil namaku untuk mengucapkan bela sungkawa, aku tidak mendengar sama sekali malah menangis begitu kencang hingga dadaku terasa sakit.
Hari ini, ketika aku menuju rumah sakit dan menatap langit biru berharap agar tidak terjadi apa-apa pada Ben, ternyata langit biru yang cerah itu sedang mengambil Ben secara paksa dari pelukanku.

Cerpen Karangan: Anindhita Almadevy
Blog: anindhitalma.weebly.com


Share this


0 Comments

Diberdayakan oleh Blogger.

Blogroll

About