Senin, 30 Januari 2017

Saat Terakhir

Duar. Kilat menyambar. Dahyat. Memekakkan telinga. Langit malam meruntuhkan air. Ya! Buncahan hujan deras menghantam bumi. Teramat sangat malah. Membuat jalanan banjir. Angin malam berkesiur kencang. Dingin membeku. Awan hitam mendominasi. Kelam. Gemintang indah tertutup. Terhalang. Gemerlap lampu-lampu musnah sudah. Ibu Kota ini memang benar-benar layaknya zaman batu. Gelap. Hanya sesekali cahaya kilat membuat terang. Sekejap.

Apa yang sebenarnya diinginkan takdir langit pada malam ini? Entahlah. Tak ada yang tahu. Apa pula yang sedang terjadi? Entahlah. Di kamar yang serba putih, Dimas meratap. Ya! Yang ia mampu perbuat sekarang hanyalah meratap. Diam seribu bahasa. Melihat Dewi terbaring lemah. Tak berdaya. Wajahnya pucat bagai seorang mayat. Tapi ia masih bernafas. Selang-selang menghujam tubuhnya yang semakin ringkih dan ringkih. Matanya sayu masih setengah membuka. Mencoba mengutarakan isi hati. Entahlah. Benar-benar tak karuan malam ini. Beribu-ribu kilat terus menyambar. Membawa pedih. Sama seperti hatinya sekarang. Berbagai sesal menghantui tiap detik beku di kamar ini. Dokter memvonis bahwa usia Dewi tak akan lama lagi. Tinggal menghitung hari saja. Kankernya sudah menjalar-jalar ke seluruh tubuh. Stadium 4. Sangat parah. Dan di kamar yang serba putih ini, mungkin ajal akan menjemputnya. Entahlah. Dimas hanya mampu meratap. Terus menerus. Perasaannya bercampur aduk antara amarah dan sesal. Rasanya ingin sekali ia mencabik-cabik mulut dokter bajingan itu. DOKTER SOK TUHAN!!! Berani-beraninya ia membatasi umur manusia. DOKTER LAKNAT. DOKTER B-A-J-I-N-G-A-N. Batinnya berteriak parau. Memilukan.

Di kamar yang serba putih ini, Dewi kian kalang kabut dengan sakit yang dideritanya. Menangis basah. Menahan sakit. Namun, tak kuasa membrontak. Ia sudah lemas. Tak berdaya. Matanya sayu masih membuka. Menghipnotis Dimas yang melihatnya iba.
“APAKAH AKU CANTIK?”

“Dimas…” Dewi berteriak. Berlari terpongah-pongah ke arah Dimas yang berada di seberang jalan. “Tunggu aku…” Apa yang ada di benak perempuan itu sebenarnya. Berlari tanpa melihat arah. Menyeberang jalan seenaknya saja. Untunglah jalanan senggang.
Dimas menghentikan langkah. Terpaku sejenak. Menunggu Dewi yang masih berlari tak peduli arah. Tak lama, ia sudah di hadapan. Nafasnya ngos-ngosan. Sedikit tetes peluh di dahi menyembul.
“Berangkat ke kampusnya bareng yaa.” Ia tersenyum. Lesung di pipi menambah menawan. Sungguh ayunya. Dimas tak kuasa menatap lamat-lamat wajah cantik itu. Jantungnya terasa sangat berderap jika di dekatnya. Apalagi jika senyuman itu terhias. Bagai sedang di kutub, badannya langsung membeku tak berkutik. Salah tingkah. Tapi, ada tanda tanya besar dalam hatinya. Dewi, seorang anak direktur perusahaan ternama, kaya raya, mobil melimpah, kenapa malah memilih berangkat ke kampus bersama Dimas, laki-laki kere yang hidup ngekos di tengah hamparan apartemen Ibu kota, berangkat dengan naik metro mini yang asapnya macam rumah kebakaran. Bukankah ia punya banyak mobil ber-AC yang adem dan mulus? Inilah yang membuat bingung Dimas selama beberapa bulan terakhir setelah mengenalnya.

Ya! Sudah tiga bulan ini mereka menjalin pertemanan. Hanya sebatas teman. Dan apakah mereka juga menginginkan hubungan itu hanya sebatas teman saja? Entahlah. Dimas, sudah lama ia memendam rasa kepada Dewi. Tapi, ia tahu diri. Minder. Seorang anak orang rendahan mana mungkin bisa menjadi kekasih seorang anak direktur yang kaya raya, cantik pula. Benar-benar bagai punuk merindukan bulan. Mungkin tidak! Bagaikan punuk merindukan Neptunus, planet terjauh di tata surya. Dan itu menandakan kalau hubungan mereka tak akan pernah terjadi. Tidak pernah terbesit dalam hati Dimas kalau ia akan menjalin hubungan dengan Dewi sebagai seorang kekasih, melamarnya, menikahinya, mempunyai anak bersamanya, mempunyai cucu dari anak-anak mereka dan hingga akhirnya mati bersama dalam pelukan cinta antara seorang kakek dan nenek. Tak pernah terbesit pikiran seperti itu dalam diri Dimas. Setiap kali ia membayangkan bagaimana menjalin hubungan kekasih dengannya, di saat itu pula ia selalu mengandaskan pikirannya dalam-dalam. Tak mungkin anak seorang direktur kaya mau dengan laki-laki kere. Dan karena itulah ia selalu memendam rasa. Hingga saat ini pun ia masih memendamnya. Tak mau diungkapkan. Ia terlalu malu untuk mengungkapnya. Ia hanya LAKI-LAKI KERE YANG NGEKOS DI ANTARA HAMPARAN APARTEMEN IBU KOTA.

“Hai, kok melamun.” Dewi menggertak kecil. Mengagetkan Dimas. Melempar senyum yang manis itu.
“Oh, iya…” Dimas memalingkan muka. Salah tingkah. Menatap Dewi. Sebentar. Ia tak kuasa menatap Dewi lamat-lamat. Apalagi menatap mata beningnya yang memesona. Ia benar-benar tak kuasa “Kenapa, Dew?”
“Kita berangkat ke kampusnya bareng yaa.” Ia kembali meminta untuk yang kedua kalinya.
Dimas membuang jauh-jauh tanda tanya besar itu. Juga pendaman cintanya. Mungkin saja Dewi ini adalah seorang anak yang merakyat. Tak sombong. Mau bergaul dengan siapa saja walaupun orang itu adalah orang yang kere. Dan ia melakukan ini bukan karena adanya cinta yang terbelit di hatinya juga. Dimas yakin kalau Dewi tidak melakukannya karena diam-diam ia juga mencintai Dimas. Mana mungkin anak seorang direktur cinta dengan laki-laki kere. MUSTAHIL
“Iyaa. Ayo berangkat.”

Whong… Sebuah metro mini melintas. Deru knalpotnya membuat bising. Pun asapnya. Menutup muka Dewi yang putih mengkilap bagai mutiara. Dan kini muka itu ternoda dengan asap hitam polusi. Kalau begini laki-laki mana yang tak tega kala melihat seorang perempuan begitu tersiksa dengan asap itu. Apalagi cantik pula. Dan semua ini masih menjadi teka-teki dalam diri Dimas. Kenapa seorang anak direktur kaya yang punya banyak mobil ber-AC dan mulus malah lebih memilih naik metro mini bising dan penuh kebul?

Di perjalanan, mereka hanya mengobrol sesuatu yang sama yang selalu mereka bicarakan tiap hari. Dewi selalu bercerita pada Dimas dengan apa-apa yang terjadi dengannya. Seakan-akan Dimas itu adalah diary curahan hatinya. Semuanya tercurah ke dalam telinga Dimas. Tanpa satupun yang terlewat.
“Hai, Dim. Kau tahu, sebenarnya aku sedang suka dengan seseorang.” Dewi menggumam.
Mendengar itu Dimas terperangah. Hatinya bergejolak. Oh Tuhan, siapakah yang dicintainya? Ia ragu. Tak mungkin Dewi mencintai dirinya yang kere dan rendahan.
“Oh, iya? Benarkah? Siapa?” Tanya Dimas. Melempar senyum walau itu hanya sebatas senyum palsu.
“Cie, yang kepo cie…” Dewi tersenyum manis. Merasa pancingannya berhasil membuat Dimas bertanya-tanya.
Pipi Dimas memerah. Padahal ia mejawab itu karena tak enak dengan sikap Dewi yang sering curhat dengannya. Jika reaksinya datar-datar saja, mungkin Dewi tak akan tersenyum seperti itu. Ia tak tega. Ia selalu ingin melihat senyum Dewi yang memesona. Tapi, pipi Dimas benar-benar memerah kali ini. Apakah ini sebuah tanda? Apakah pertanyaan itu bukan sebuah tanya akting belaka? Dan apakah senyum itu bukan senyum palsu yang sesungguhnya? Entahlah.
“Kamu mau tau nggak siapa?” Dewi bersuara. Tersenyum indah. Memesona.
“Emang siapa?” Tanya Dimas. Memasang wajah berpura-pura ingin tahu sekali. Walau mungkin wajahnya tidak dibuat-buat. Ia memang benar-benar ingin mengetahuinya.
“Tuh,” jawab Dewi sambil menunjuk ke suatu arah. Telunjuknya menuding ke sopir bus mini yang sudah tua. Kumis tebal. Wajah glopot dan berslampir handuk kecil di lehernya.
“Sialan. Kamu itu sukanya bercanda.” Dimas kesal. Merasa tertipu. Mencubit pipi Dewi yang lembut. Ia tersenyum. Lesung pipinya membuat hati berbunga-bunga. Anak-anak rambut yang menutup dahi ikut bergoyang. Benar-benar cantik sekali.
“Ih, kamu mah, main cubit-cubit aja. Aku bukan boneka tau.” Dewi bergumam. Membalas cubitan Dimas dengan satu gelitik di pinggang. Mereka bergurau.
Dan entah kenapa, tanpa sadar, mungkin setelah mereka lelah bergurau, Dewi menyandarkan kepalanya pada bahu Dimas. Di tengah riuhnya knalpot bobrok metro mini, ia bagai merasakan sedang berdua saja di suatu alam yang tenang. Milik mereka berdua. Lagi pula, Dimas juga tak keberatan jika bahunya dipinjam perempuan seperti dia. Tapi, hatinya menolak. Apakah ia pantas untuknya? Ia hanya laki-laki kere. Sedangkan Dewi adalah seorang anak direktur perusahaan ternama yang kaya raya.

Tiga bulan berlalu. Dewi dan Dimas kini semakin dekat saja. Tiap hari berangkat kampus bersama. Bercanda di metro sambil selalu menunjuk ke arah supir metro mini yang selalu ganti tiap minggu. Dan Dimas selalu menanggapinya dengan cubitan di pipi Dewi yang selalu membentuk teluk kala ia tersenyum. Atau terkadang juga menjitak kepalanya lembut. Bukan jitakan keras. Mungkin lebih tepatnya membelai. Ya! Dimas kian merasakan perasaannya semakin bergejolak. Tapi, semakin cintanya bergejolak, semakin pula minder itu menguasai dirinya. Lagi-lagi ia berpikir kalau dirinya sama sekali tak pantas mencintai seorang perempuan seperti Dewi. Apalagi kalau Dewi mencintainya. Ia bahkan tak bisa membayangkan bagaimana terpiuhnya hati Dewi jika ia harus hidup berdamping dengan laki-laki kere, miskin seperti dia. Walau ia sebenarnya tahu kalau Dimas hanyalah seorang anak pedagang sayur di desa yang pergi ke Ibu Kota untuk bersekolah. Tapi, bagi Dimas itu sama saja. Ia tak ingin Dewi tersiksa karenanya. Oleh Karena itu, sampai sekarang pun ia belum bisa mengungkapkan perasaan yang diderma batinnya sejak lama. Ia ragu. Teramat sangat malah.

Satu minggu berlalu, di suatu malam yang indah bermilyar gemintang, Dewi mengajak Dimas makan malam bersama. Entahlah. Dimas tak tahu apa maksud makan malam ini. Tapi ia tak enak untuk berkata tidak. Karena itulah ia menyanggupinya. Lama ia menunggu. Satu jam. Dua jam. Tiga jam. Dewi sama sekali tak datang. Dimas mulai punya firasat buruk. Tak pernah sekalipun Dewi mengingkari janjinya. TAK PERNAH. Tapi malam ini, ia tak memegang kata-katanya.

Keesokan harinya, Di suatu pagi hening yang penuh dengan tetesan embun, Dimas merasakan suatu yang berbeda. Pagi itu, sama sekali tak terdengar teriakan Dewi yang lembut memanggil namanya. Menyuruhnya berhenti. Tak ada suara itu. Ia terheran. Ke mana dia? Ke mana panggilan “Dimas…” yang selalu terlontar tiap pagi? Ke mana hentakan kaki buru-buru yang mengejar dirinya? Ke mana kalimat “Berangkat ke kampusnya bareng ya…” Ke mana? Ke mana? Ke mana Dewi sebenarnya?

Dimas menunggu. Mungkin saja Dewi kesiangan. Tapi, sampai satu jam pun ia tak kunjung datang. Akhirnya berangkatlah Dimas seorang diri. Tak ditemani seorang perempuan manis yang selalu menggelitiki pinggangnya. Yang selalu ia cubit pipi teluknya. Di tengah riuhnya dialog orang dan mekakkannya deru knalpot bobrok metro, ia kesepian. Hanya memandang ke luar jendela dengan tatapan kosong yang tak bermakna.

Tiga minggu berlalu. Sudah genap satu bulan Dewi menghilang tanpa sebab sejak ketidakhadirannya di makan malam itu. Dimas semakin bergoncang. Di mana dia? Di mana dia sebenarnya. Ia bertanya pada teman satu kampusnya yang mengambil jurusan sama dengan Dewi mengenai perihal menghilangnya Dewi. Namun, ia tak tahu. Bahkan sudah sebulan juga Dewi tak berangkat ke kampus tanpa memberi surat keterangan satupun. Dan ini membuat Dimas semakin bingung. Di mana Dewi sebanarnya?

Satu minggu lagi berlalu. Setelah mencari-cari keberadaan Dewi, akhirnya segelintir infomasi terkuak juga di telinganya. Pada suatu malam yang terselimut awan mendung yang sangat gelap, salah seorang temannya menelepon. Mengabarkan bahwa DEWI SEDANG SEKARAT.
Kabar itu begitu amat mencengangkan baginya. Dan karena itu, pada malam itu juga, ia hujan-hujanan menuju rumah sakit. Hujan semakin deras membuncah bumi. Disertai dengan kilatan petir dan teriakan guntur. Amat sangat mengerikan. Tapi ia tak peduli. Yang ada di dalam benaknya sekarang adalah Dewi, wanita yang amat sangat dicintainya. S-E-D-A-N-G S-E-K-A-R-A-T.

Hampir tengah malam, ia sampai di rumah sakit. Tubuhnya basah kuyup. Menggigil kedinginan. Tapi ia tak peduli. Orang yang sangat dicintainya sedang sekarat. Terbaring tak berdaya di kamar yang serba putih. Dan ia harus menemuinya.
Setelah melihat Dewi yang sekarang, sungguh dunia bagai sedang diguncang gempa yang sangat dahsyat. Teramat sangat Dimas terperanjat. Matanya terbelalak. Berkali-kali hatinya mengamuk tak percaya. Sungguh. Ia benar-benar tak percaya. Seluruh Dewi yang dikenalnya, kini sudah 180 derajat berubah. Rambutnya yang indah terurai kini sudah tak lagi ada di ubun-ubunya. Ia botak. Wajahnya pucat bagaikan mayat. Tubuhnya ringkih. Teramat sangat malah. Tulang-tulangnya bahkan terukir di kulitnya. Ia sangat kurus. Menyedihkan. Matanya sayu setengah menutup. Tak berdaya. Orangtuanya bilang, kanker telah menggrogotinya banyak tubuh Dewi. Semuanya sudah menjalar-jalar hingga ke organ-organ vital. Dan dokter memvonis kalau umur Dewi tinggal menghitung hari saja. Dan di sela-sela pandangan sayu itu Dewi berucap.

“APAKAH AKU CANTIK?”
Apa maksudnya. Dimas benar-benar tak tahu apa maksud Dewi.
“APAKAH AKU CANTIK?” Dewi bertanya lagi. Suaranya semakin serak dan parau.
“Apa maksumu, Dew?” Dimas bertanya. Tanya yang seharusnya tak ia lontarkan saat itu.
“Kau jawab saja aku, APAKAH MENURUTMU AKU INI CANTIK?” Dewi bertanya lagi. Tangan ringkihnya menggenggam pergelangan Dimas yang basah kuyup oleh hujan.
Dimas menelan ludah. Perasaannya kocar-kacir tak karuan. Firasat buruk semakin mengguncang tiada henti. Akhirnya, ia mengangguk, mengiyakan.
“Apakah.. kau.. mau tau.. sese..orang yang aku cintai?” Dewi bertanya. Pertanyaan yang sama ketika waktu di metro.
Lagi-lagi Dimas hanya mampu mengangguk. Sudah tak kuasa ia berkata. Hatinya sedang menangis melihat orang yang sangat dicintainya sedang menahan sakit. Tanpa air mata hatinya meingkuk. Memilukan.

Kemudian pelan ia berkata sambil menunjuk ke suatu arah. Ke sebuah cermin yang menampakkan Dewi dan Dimas. “Yang., a..ku cintai.. adalah… A..” Kata-katanya terputus pada huruf A. “A..” Ia mencoba berkata. Menahan sakit yang diderma. Sakit seribu sakit. “Ak…”

Dan apa yang sedang diinginkan takdir langit malam tadi? Dewi pun kini sudah menghadap Sang kuasa. Ia tersenyum beku. Lesung pipinya terukir abadi. Bendera kuning berkibar. Perkuburan ramai. Dewi kini sudah dikebumikan. Orangtuanya menangis melepas kepergian anak semata wayangnya. Tapi, yang teramat sangat kehilangan adalah Dimas. Sampai sekarang pun ia tak tahu siapa orang yang dicintai Dewi. “AK…” Siapa ak itu. Tapi itu tidaklah penting. Sekarang tak ada lagi orang yang ia belai lembut rambutnya. Tak ada lagi orang yang selalu tersenyum padanya setiap pagi di metro. Tak ada lagi orang yang ia cubit pipinya. Pipi yang selalu membentuk teluk ketika tersenyum. Dewi sudah tiada. Dan sebelum meninggalkan Dimas sendirian di perkuburan yang sudah menyepi, orangtua Dewi menyerahkan sepucuk surat. Surat yang ditulis Dewi ketika masa-masa perjuangannya melawan kanker. Surat yang ditujukan kepadanya.

Kepada: Dimas Aksara
Dari: Dewi Andita

Hai, Dim. Mungkin tak sepantasnya aku bicara seperti ini. Maaf karena aku tak datang menepati janjiku untuk bertemu makan malam. Aku benar-benar tak menyangka tuhan tak akan mengijinkannya. Sebelum aku pergi, aku ingin mengungkapkan sesuatu yang aku pendam selama ini. Mungkin tak sepantasnya aku bicara ini. Kalau pun kau akan menerimanya, semuanya pasti akan terlambat. Tak berarti. Tapi, aku akan tetap mengungkapkannya. Dan dari hati aku yang paling dalam, aku merasa nyaman berada di dekatmu. Entahlah. Aku tak bisa menjelaskan rasa itu. Mungkin dengan tiga kata kau akan paham. AKU CINTA KAMU.

Ya. Aku sangat mencintaimu, Dim. Aku tau mungkin kau tak mempedulikanku. Kau hanya berusaha menanggapi apa yang aku lakukan. Tapi, yang kulakukan semua adalah karena aku mencintaimu, Dim. Sungguh. Apa kau tahu kenapa aku selalu ingin bersamamu ketika berangkat ke kampus? Itu karena aku ingin selalu bersamamu setiap pagi. Aku selalu kesepian, Dim. Orangtuaku tak mempedulikanku. Mereka hanya peduli pekerjaan mereka. Bahkan setelah aku divonis oleh dokter menderita kanker satu tahun yang lalu. Dan kau adalah satu-satunya penyemangat hidupku.

Apa kau tahu kenapa aku selalu menuding supir metro ketika hendak memberitahukan orang yang aku cintai. Apa kau tahu? Kau pasti mengira kalau aku menuding supir itu. Tidak, Dim. Aku tidak sedang menuding supir itu. Yang kutuding adalah cermin. Kaca spion metro yang lebar. Yang menampakkan wajahmu yang sendu. Ya. Itulah yang aku tunjuk. Dan itulah orang yang AKU CINTAI.

Terima kasih, Dim. Terima kasih telah menjadi penyemangat hidupku. Terima kasih sudah mewarnai hidup kelamku. Terima kasih. Kau benar-benar sepereti namamu. AKSARA. Kau memang seperti tulisan yang aku coretkan di setiap buku diaryku, hanya kaulah yang tahu apa yang aku coretkan itu

                                                                                                                          Salam Manis


                                                                                                                          Dewi Anandita


Dan setelah membaca surat itu. Badan Dimas mendadak menjadi kaku tak berdaya. Tak disangka ternyata orang yang amat sangat dicintainya ternyata juga mencintainya. Tapi, semua sudah terlambat. Ia kini sudah tiada. Dimas pun menangis. Berteriak parau. Menyesali dengan apa yang telah dilakukannya. Maka dengan penuh rasa bersalah ia belai nisan bertuliskan “Dewi Anandita” seperti halnya ia mengelus rambut “Dewi Anandita” ketika di metro…

Cerpen Karangan: Aris Fatah Yasin
Facebook: Aris Fatah Yasin

Mimpi Perpisahan

Suara pintu diketuk membuyarkan lamunanku.
“Masuk,” ucapku dari dalam.
“Non, di bawah ada orang yang ingin bertemu dengan non,” ucap Bi Minah. Aku mengernyitkan dahiku berpikir siapa yang datang. Seseorang ingin menemuiku? Aku lalu memutuskan untuk turun ke bawah dan memeriksanya sendiri. Baru saja aku berjalan di anak tangga pertama, tubuhku langsung kaku. Dia. Untuk apa dia kemari? Bukankah dia sudah puas menghancurkan hidupku. Aku hendak berbalik dan masuk kamar sebelum dia memanggil namaku.
“Dania,” panggilnya lirih yang masih bisa kudengar.

Aku tertegun. Suaranya terdengar putus asa tetapi lembut dan penuh kasih sayang. Setelah lama tidak berjumpa dengannya, ini adalah pertama kalinya dia menyebut namaku. Tak terasa, satu tetes air mata membasahi pipiku. Aku menangis. Hal terakhir yang ingin aku lakukan akhirnya terjadi juga. Satu tetes dua tetes. Lama-lama air mata itu turun semakin deras. Aku tidak bisa memungkiri bahwa aku sangat merindukannya. Tapi, setelah dia meninggalkanku selama bertahun-tahun apakah dia pantas kurindukan. Aku terlantar, hidup tanpa kasih sayang dari Ibuku. Iya. Orang itu adalah Ibuku.

“Dania, mama mohon nak. Jangan benci mama seperti ini, mama tidak sanggup nak mama tidak sanggup. Mama lebih baik mati dari pada harus merasakan kebencianmu,” Nada bicara mama terdengar memilukan di telingaku.
“Maaf, saya tidak mengenal anda. Sebaiknya anda pergi dari sini,” ucapku dengan susah payah. Aku berusaha menahan isakan tangisku. Tapi hal itu sia-sia. Tangisku pecah bersamaan dengan tangis mama. Ruangan ini penuh dengan tangisan memilukan dari aku dan mama. Aku lalu mengusap air mata yang membasahi pipiku dan pergi masuk ke dalam kamar. Aku tidak peduli dengannya. Egoku mengalahkan semuanya. Bukankah dia sendiri yang meninggalkanku, lalu untuk apa dia kembali.

Aku merebahkan tubuhku di atas kasur berukuran queen size. Mataku menatap langit-langit kamar berwarna putih. Aku memikirkan apakah yang aku lakukan ini salah. Sebagian dari diriku berkata bahwa yang kulakukan ini sudah sangat benar. Tapi, sebagian diriku juga mengatakan bahwa yang kulakukan ini salah. Tidak seharusnya aku membenci perempuan yang telah melahirkanku ke dunia ini. Memikirkan hal ini membuatku pusing. Aku memutuskan untuk mendengarkan lagu saja. Kuraih ponselku yang tergeletak di atas nakas. Lagu In The Name of Love milik Charlie Puth terdengar indah di telingaku. Lama-kelamaan mataku semakin berat dan beberapa menit setelahnya aku sudah larut ke dalam alam mimpi.

Pukul 15.00 aku terbangun dari tidurku. Aku lalu bangkit dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi untuk mandi. Tak sampai 15 menit, acara mandiku sudah selesai. Aku memutuskan untuk menggunakan celana jeans di atas lutut dan sweater berwarna biru muda. Aku lalu memasukkan ponselku ke dalam saku celana. Juga tak lupa kubawa earphone. Aku keluar dari kamarku dan turun ke bawah melalui anak tangga. Aku tidak melihat sosok perempuan itu lagi di sini melainkan seorang laki-laki duduk di sofa sedang berbicara dengan Bi Minah. Aku tidak bisa melihat wajahnya karena posisi dia duduk membelakangiku. Aku lalu berdeham kecil dan membuat laki-laki itu menoleh.

“Nah, ini dia non Dania sudah datang. Silakan mengobrol dulu, Bibi ke belakang dulu ya,” pamit Bi Minah padanya.
“Hai,” sapanya ramah
“Mengapa kau ada di sini?” tanyaku bingung tanpa membalas sapaannya.
“Aku hanya berkunjung saja. Memangnya tidak boleh?” jawabnya
“Boleh saja. Lalu untuk urusan apa kau datang kemari?” Dia terlihat gugup saat aku menanyakan hal itu.
“Aku ingin mengajakmu mengelilingi kompleks. Apakah kau mau?” tawarnya padaku. Aku menimang-nimang tawarannya. Kebetulan sekali aku juga ingin mencari udara segar setelah kejadian tadi siang. Berjalan-jalan sendirian akan terasa sangat membosankan. Mungkin tidak ada salahnya aku menerima tawarannya. “Kebetulan, aku juga sedang ingin mencari udara segar. Berjalan sendirian aku rasa akan sangat membosankan, jadi tidak ada salahnya aku menerima tawaranmu,” jawabku menyuarakan pikiranku.

Dia lalu bangkit dan berjalan keluar. Aku mengikutinya di belakang. Tidak lupa aku pamit pada Bi Minah yang sudah aku anggap sebagai ibu kandungku sendiri sebelum keluar dari rumah. Aku dan dia berjalan bersebelahan. Dia tampak kaku berada di sebelahku. Aku mengeluarkan ponselku dan memasangkan earpohone di telingaku yang sebelumnya sudah terhubung dengan ponselku.

“Dania,” panggil Dani. Iya, nama laki-laki itu adalah Dani. Dia adalah mantan pacarku Aku menolehkan kepalaku ke arahnya dan menaikkan sebelah alisku sebagai respon.
“Aku ingin menanyakan sesuatu padamu,” ucapnya serius sambil menatap mataku.
“Silakan,” sahutku. Entah mengapa jantungku berdegup cepat saat dia menatap mataku. Aku akui aku masih menyimpan sedikit perasaan padanya dan belum bisa melupakan dia seutuhnya atau istilah zaman sekarang adalah move on.
“Tadi pagi aku melihat seorang perempuan. Dia mirip sekali dengan dirimu. Saat dia datang, dia terlihat takut dan saat pulang dia menangis. Siapa dia Dania? Mengapa perempuan itu menangis? Pertanyaan Dani membuatku terkejut. Rumahku dan Dani memang berhadapan, jadi ia bisa tahu siapa yang datang ke rumahku.
Menceritakan sedikit beban di pundakku kepada Dani mungkin perlu. Aku berbatuk kecil sebelum bercerita.
“Wanita itu. Wanita yang kau lihat tadi. Dia adalah ibuku. Dia datang lagi setelah belasan tahun menghilang dan menelantarkan diriku. Kenapa dia melakukan ini Dan? Kenapa? Dia datang hanya untuk melihatku, dan aku meninggalkan dia sendirian di ruang tamu setelah aku mengusirnya. Aku tidak bisa memaafkan kesalahannya dulu.,” Tak sadar aku meneteskan air mata. Tetesan air mata itu lalu berubah menjadi sebuah tangisan. Aku menangis untuk yang kedua kalinya dalam sehari.

Tidak diduga, Dani menghapus air mata yang membasahi pipiku. Dia lalu merengkuhku ke dalam pelukannya dan membawaku duduk di sebuah bangku yang tersedia di taman.
“Aku harus apa Dan? Aku harus apa?” ucapku sesenggukan.
“Shut. Sudah jangan menangis lagi,” Ucapan Dani menenangkanku. Aku merasa nyaman berada di dekapannya.
Setelah aku mulai tenang, Dani kembali berbicara “Mungkin ibumu pernah melakukan kesalahan dulu dengan meninggalkanmu sendirian. Tapi bukankah dia sudah berusaha untuk menebus kesalahannya dengan datang menemuimu dan meminta maaf. Menurutku, kau harus melupakan segala kebencianmu. Toh, apa untungnya kau membenci dirinya? Kau harus ingat saat kau berada dalam kandungan ibumu. Dia rela melakukan apa pun untukmu. Menjagamu, membawamu ke mana saja. Dia senang saat dirimu menendang dari dalam perutnya. Sekarang temui dia dan minta maaflah padanya. Itu akan menyelesaikan masalahmu Dan,”
Aku tertegun mendengar ucapan Dani. Dani begitu dewasa dan bijak. Aku beruntung dulu pernah memilikinya. Tiba-tiba ponsel di sakuku berdering. Nama Bi Minah tertera di layar ponsel. Tidak biasanya Bi Minah menelepon seperti ini. Aku lalu berdiri dari duduk

“Halo bi,” sapaku. Terdengar nada gelisah dari seberang telepon.
“Halo Non, ada kabar yang menyedihkan yang harus bibi sampaikan ke non,” jawab bibi.
Tiba-tiba hatiku mendadak cemas. Kabar menyedihkan apa yang akan disampaikan oleh bibi. Terjadi keheningan selama beberapa detik sebelum Bibi kembali bersuara.
“Nyonya non,” ucap bibi sambil menangis
“Mama kenapa bi,” aku berteriak cemas
“Nyonya tertabrak mobil Non. Sekarang kondisinya kritis,”
Deg.
Jantungku serasa berhenti berdetak mendengar kabar dari Bi Minah. Mama kecelakaan? Kritis?
“Bi.. bibi jangan bercanda. Ini tidak lucu bi,” ucapku sambil tertawa getir
“Buat apa bibi bercanda non, nyonya sekarang dirawat di City Hospital,” ucap Bi Minah.
“Ya sudah bi, aku ke sana sekarang,” ucapku sambil berusaha menahan bedanku yang terasa lemas sekali. Aku jatuh terduduk di taman itu.
“Daniaaa,” teriak Dani panik yang mungkin karena melihat aku terjatuh. Terdengar derap langkah dari belakang yang ternyata adalah Dani.
“Ada apa Dan?” tanyanya panik. Aku tidak mampu menjawab pertanyaan. Aku hanya dapat menangis dan itu malah membuat Dani semakin panik.
“Dania, tenang. Semua akan baik-baik saja. Ceritakan semuanya padaku,” ucapan Dani membuat tangisku mulai berhenti sedikit demi sedikit. Aku lalu menceritakan semuanya pada Dani. Dia terlihat kaget namun hal itu tidak berlangsung lama. Dia lalu bangkit dan mengulurkan tangannya padaku.
“Kita ke rumah sakit sekarang,” ucapnya. Aku menerima uluran tangannya dan berjalan bersama menuju ke rumah.

Sesampainya di rumah, aku langsung mengganti celana jeans pendekku menjadi celana jeans panjang. Aku lalu mengambil ponselku yang satu lagi untuk berjaga-jaga karena baterai ponsel yang tadi kubawa saat berjalan bersama Dani tinggal 80%. Aku lalu mengambil kunci mobil yang tergeletak di atas meja belajarku. Setelah memastikan semuanya lengkap, aku turun ke bawah. Aku memberikan kunci mobilku pada Dani. Dia menerimanya dan berjalan keluar dari rumah menuju garasi dengan aku yang berada di belakangnya. Tak lama kemudian, mobil yang kami tumpaki meninggalkan garasi dan berjalan dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit. Selama di perjalanan, aku tak berhenti meremas sabuk di hadapanku. Aku terlalu cemas.

Tidak sampai 1 jam, kami berdua sudah sampai di rumah sakit. Aku turun duluan, sedangkan Dani memarkirkan mobil di basement. Aku langsung menuju ruang IGD karena tadi sebelum berangkat, Bi Minah memberitahu bahwa mama belum bisa dipindahkan ke ruang inap dan masih berada di IGD. Sesampainya di depan ruang IGD, aku duduk di bangku yang sudah disediakan pihak rumah sakit. Aku menunggu dokter yang masih menangani mama. Bangku di sebelahku bergerak tanda ada yang duduk di sebelahku. Aku menolehkan wajahku dan ternyata orang itu adalah Dani. Aku langsung memeluk dirinya. Dani kaget menerima perlakuan seperti ini dariku dan hampir saja ia terjungkal ke belakang. Dia lalu balas memelukku dan mengusap rambutku perlahan sambil terus membisikan bahwa mama akan baik-baik saja.

Dokter yang menangani mama keluar dari ruangan itu dan berjalan ke arah kami.
“Anda, keluarga dari Ibu Dinda?” tanya dokter itu pada kami berdua.
“Iya dok. Saya anaknya. Bagaimana keadaan mama saya dok?” jawab dan tanyaku pada dokter itu.
“Ibu anda mengalami benturan yang sangat keras dan itu membuatnya kehilangan banyak darah. Saat ini persediaan darah golongan AB sedang kosong di bank darah. Kami harus cepat mencari pendonor darah jika tidak, nyawa ibu anda tidak bisa diselamatkan,” Ucapan dokter sukses membuat diriku menutup mulutku dengan tangan. Badanku tiba-tiba terasa lemas. Pandanganku mulai kabur dan hal terakhir yang aku dengar adalah teriakan cemas Dani memanggil namaku.

Kulihat sebuah cahaya. Di mana aku? Apakah aku sudah meninggal? Cahaya tersebut lama-kelamaan semakin mengecil dan menampakan sosok mama.
“Mama,” gumamku. Aku lalu berlari ke arah mama dan memeluknya erat seolah-olah aku tidak akan mempunyai kesempatan untuk memeluk mama.
“Ma, aku minta maaf ya soal tadi pagi. Egoku mengalahkan semuanya. Tapi sekarang aku sadar kalau mama melakukan itu pasti ada alasannya. Apakah mama mau memaafkanku?” ucapku sambil menangis.
Mama mengelus rambutku pelan. Dia lalu menangkup wajahku dan aku bisa melihat sorot mata kelegaan di matanya. “Mama sudah memaafkan kamu nak,”
“Mama janji sama Dania ya kalau mama bakal sembuh supaya kita bisa belanja bersama, bercanda bersama, dan bercerita bersama,” ucapku dengan mata berbinar seperti anak kecil yang baru saja dibelikan es krim oleh orangtuanya. Kulihat, sorot mata mama berubah menjadi sedih. Kenapa ini?
“Hal itu tidak akan pernah terjadi nak. Mama sekarang sudah tidak berada lagi di dunia ini. Mama sudah tenang sekarang nak,” ucapan mama membuatku tidak mengerti.
“Maksud mama?” tanyaku bingung.
“Kamu lihat cahaya di belakangmu?” ucap mama sambil menunjuk ke belakangku.
“Itu adalah panggilan bahwa kini sudah saatnya mama pergi meninggalkan kamu dan dunia ini nak,” lanjut mama diiringi tangisanku yang pecah. Aku tidak percaya ini. Aku baru saja bertemu dan berbaikan dengan mama setelah belasan tahun lamanya kami berpisah dan sekarang? Mama akan pergi selama-lamanya dariku. Tidak. Ini tidak boleh terjadi.
“Tidak. Mama tidak boleh ke mana-mana. Mama harus tetap di dunia ini untuk menjagaku,” ucapku sambil mengeratkan pelukanku pada mama.
“Tidak bisa nak. Ini semua sudah takdir. Mama harus pergi,” ucap mama melepaskan pelukan kami dan berjalan ke arah cahaya itu.
“Ma.. mamaa,” teriakku tadi tidak membuat mama berhenti berjalan. Ketika mama sudah hampir masuk ke dalam cahaya itu, ia berbalik badan
“Selamat tinggal nak. Jaga dirimu baik-baik. Mama akan selalu mengawasimu dari sana. Mama selalu berada di dalam hatimu nak,” ucap mama lalu masuk ke dalam cahaya itu. Cahaya itu lalu menghilang dari pandanganku.

Aku terbangun. Mimpi itu begitu nyata. Apa arti dari semua mimpi tadi? Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Ruang inap. Kenapa aku bisa di sini. Bagaimana keadaan mama?
Pintu terbuka membuatku menampilkan Dani. Dia datang dengan wajah frustasi dan lelah. Ada apa ini?
“Kau sudah sadar rupanya Dan,” Ekspresi wajahnya berubah drastis saat berbicara denganku.
“Dani, mama mana? Bagaimana keadaannya? Apakah dia sudah membaik?” tanyaku beruntun. Tubuhnya terlihat menegang saat aku menanyakan hal ini.
“Dia sudah tenang Dan,” jawab Dani.
“Syukurlah,” ucapku lega.
“Aku ingin menemuinya sekarang Dan,’ lanjutku sambil berdiri dari ranjang rumah sakit. Dani membantuku berdiri dan menuntunku berjalan menuju ruang IGD. Badanku masih lemas, tetapi hal itu tidak kupedulikan. Yang ingin kulakukan sekarang adalah pergi menemui ibu dan memeluknya serta meminta maaf secara langsung kepada mama.
Saat sampai di sana, aku bertemu dengan dokter yang menangani mama.

“Bagaimana keadaan mama saya dok? Apakah dia sudah membaik,” tanyaku pada dokter. Dokter tersebut terlihat sedih.
“Maafkan kami. Kami sudah berusaha sekuat mungkin untuk menyelamatkan ibu anda, tetapi.. tuhan berkehendak lain. Ibu anda tidak bisa tertolong,”
Jleb.
Serasa ada ribuan pisau tajam yang menancap di tubuhku setelah sang dokter menyelesaikan ucapannya. Mama pergi? Mama pergi untuk selama-lamanya. Inikah maksud dari mimpi tadi. Mimpi perpisahanku dengan mama. Aku jatuh terduduk di lantai. Air mata mengalir deras membasahi kedua pipiku. Dani berusaha menenangkan diriku dengan mengelus rambut dan lenganku. Tetapi, usahanya sia-sia. Aku menangis dalam diam. Tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Aku berdiri dari dudukku dengan sisa tenaga yang kumiliki.
“Bolehkah saya menemui mama saya dok?” tanyaku pada dokter tersebut yang dijawab dengan anggukan kepala olehnya. Aku langsung masuk ke dalam ruang IGD dengan memakai baju khusus yang memang disediakan khusus bagi pengunjung yang ingin memasuki ruang IGD. Kulihat mama terbaring kaku di atas ranjang. Aku lalu berjalan mendekatinya dengan Dani di sebelahku. Aku berusaha menahan air mata yang sudah mengumpuk di pelupuk mata dan siap pecah kapan saja. Kupegang wajah mama yang tenang tetapi dingin. Dani di belakang mengelus pundakku seolah-olah memberi kekuatan.
“Mama, aku sudah memaafkanmu sejak dulu ma. Aku menyesal kenapa aku malah mengusirmu tadi pagi bukannya menghabiskan waktu denganmu ma. Kalau boleh memilih, aku lebih baik ikut mama pergi dari mana harus menjalani hidupku seperti ini ma. Tapi, aku tidak akan pernah melakukan hal itu karena aku tahu bahwa kau tidak akan menyukai perbuatan itu,” ucapku sambil menangis dengan senyum yang menghiasi wajahku, lalu pergi dengan berlari dari ruangan itu.

Setelah mengurus semua biaya rumah sakit, aku pulang ke rumah dengan mobil jenazah. Rumah sudah ramai didatangi oleh sanak saudaraku dan juga tetanggaku. Aku lalu turun dari mobil tersebut. Dani menghampiriku dan memeluk diriku. Pelukannya terasa nyaman bagiku. Aku lalu masuk ke dalam rumah. Mama sudah dikafani dan juga dishalati. Aku menyesal karena tidak bisa ikut menyalatinya karena aku sedang datang bulan. Karena sudah malam, kami tidak mungkin menguburkan mama hari ini. Mama akan dikuburkan besok pagi.

Suara alarm membangunkanku dari tidur. Aku tertidur di sofa dengan Dani ada di sofa seberang. Orang-orang menyiapkan keranda yang akan digunakan mama. Aku menatap kegiatan itu dengan pandangan kosong.

Jaga dirimu baik-baik. Mama akan selalu mengawasimu dari sana. Mama selalu berada di dalam hatimu nak.

Ucapan mama saat di dalam mimpi mengiang di telingaku. Aku lalu bangkit dan membangunkan Dani. Laki-laki itu tampak sangat lelah.

Setelah semuanya siap, mama lalu dimasukkan ke dalam keranda. Aku dan saudaraku yang lain saling berpelukan saat mengiringi mama menuju peristirahatan terakhir.


Mama sudah selesai dikuburkan sejak beberapa menit yang lalu, tetapi aku tetap tidak bergeming dari tempat itu. Aku menatap nisan bertuliskan Dinda Syifana Azka binti H. Dino. Lahir: New York, 27 April 1978 Wafat: Jakarta, 14 Agustus 2016.

“Mama yang tenang ya di sana. Dania akan selalu mendoakan mama setiap saat. Dania bakal jaga diri Dania dengan baik ma. Dani juga bakal bimbing Dania kalau Dania berbuat salah,” ucapku tersenyum sambil mengelus nisan mama.

Aku lalu bangkit bersamaan dengan Dani. Kami bergendengan tangan lalu berjalan meninggalkan makam yang masih basah itu. Mulai hari ini semua akan berjalan sebagaimana mestinya. Semua akan jadi baik mulai sekarang.

TAMAT

Cerpen Karangan: Chessa Firdaus Puspitaningrum

Facebook: chessa firdaus puspitaningrum

Diam Diam Aku Mencintaimu

Dari balik jendela, aku terus memandanginya. Sesosok pria bertubuh tinggi semampai, mata yang lembut, serta tampan paras wajahnya menambah kesempurnaan dalam dirinya. Mataku pun tak henti-hentinya menatap makhluk yang berhasil merebut hatiku. Menyita seluruh penglihatanku, juga mengisi imajinasi dalam pikiranku.
Cukup melihatnya dari jauh saja, sudah membuatku merasa tenang. Apalagi ditambah senyum manis yang mengembang dari bibirnya, membuatku merasa makin bahagia. Bagiku dapat melihatnya adalah alasan terbesar, menapakkan kaki ke sekolah. Karena itulah aku tak ingin kehilangan kesempatan untuk memandangnya, barang seharipun.

Sudah lebih dari setahun, aku memendam rasa padanya. Tapi aku tak punya cukup keberanian untuk mengatakan isi hatiku. Jantungku selalu berdegup kencang, kala berpapasan dengan dirinya. Bibirku pun seakan terbungkam, tak mampu mengucapkan berbagai kata yang bergejolak dalam hati. Jadi tak ada hal lain yang bisa kulakukan, selain memperhatikannya secara diam-diam dan berharap ia mengerti perasaanku.

Tak ada yang tau tentang perasaanku ini. Kecuali aku dan Tuhan. Ehh… tidak, masih ada satu orang lagi. Dia adalah Fika, yang tak lain sahabat baikku. Itu pun lantaran Fika terus mendesakku, mengapa aku suka tempat duduk di dekat jendela. Kemudian waktu bel istirahat berbunyi, bukannya bergegas ke kantin, malah pilih tetap tinggal dan menatap keluar jendela. Alasannya agar bisa melihat Rendy. Kakak kelas yang telah membuatku tak berhenti memikirkannya.

“Woiii!!!” gertak seseorang menepuk bahuku.
“Fika!” seruku menyadari kalau dialah yang menggetkanku.
“Nah kan, mulai lagi deh kebiasaannya!” celotehnya kemudian.
“Hehehe…” sahutku nyengir.
Begitulah kebiasaan yang sering kulakukan. Duduk di balik jendela, memperhatikan Rendy dari jauh. Fika sudah hafal betul dengan kebiasaanku ini. Tapi mau gimana lagi, cuma itu yang bisa kuperbuat.
“Lagian kamu ngapain sih, cuma ngeliatin dia mulu! Kan udah dibilangin, samperin dia! Ajak ngobrol! Dengan begitu kalian kan bisa tambah akrab. Nggak perlu diam-diam kayak gini!” tukasnya.
“Sssttt… udah jangan cerewet!” sergahku mengangkat telunjuk ke depan bibir. “Kamu kan tau sendiri alasannya. Jadi nggak perlu aku jelasin lagi.”
“Iya aku tau! Tapi mau sampai kapan? Keburu dianya lulus, malah nggak bakalan ketemu lagi!” nampak Fika mulai geram. Aku cuma tersenyum tipis melihat ekspresi wajahnya.

Entah apa yang merasuki pikirkanku. Namun hanya dengan memandang lelaki itu saja sudah cukup bagiku. Tanpa harus mengungkapkan perasaanku padanya. Semua berawal dari kejadian satu setengah tahun yang lalu, ketika aku akan memasuki tahun ajaran baru di sekolah yang baru.
Bagiku masuk SMA adalah ancaman terbesar. Semua gara-gara mendengar cerita dari kakakku. Katanya sebelum masuk kelas 1, harus melewati Masa Orientasi Siswa yang menakutkan lebih dulu. Hukuman pun pasalnya akan dijatuhkan, jika melakukan kesalahan.
Bayang-bayang ucapan kakak, selalu menggema di telingaku. Membuatku semakin takut untuk menghadapi masa MOS yang berlangsung selama tiga hari. Ternyata benar, bentakan demi bentakan pun datang dari senior. Namun aku tidak sendirian, melainkan bersama teman-teman baru lainnya yang juga menjalani MOS.
Tapi ketakutan itu seraya sudah melekat di dalam bayanganku. Hingga pada hari kedua, aku pun tak kuat menahan ketakutanku. Air mata pun keluar, aku menangis disaksikan oleh teman-teman satu kelompok. Malu bukan main rasanya, tapi aku tak mampu membendungnya lagi. Sebab bentakan senior kali ini, amat menyeramkan.

“Hey! Kenapa nangis?! Cengeng sekali!” gertak senior tersebut.
“Hiks… hiks… hiks…” aku tak memberikan jawaban apapun, selain menangis.
“Kamu punya mulut kan? Ayo jawab aku! Jangan hanya diam saja!” bentaknya lagi.
“Tap… tap… tap…” terdengar suara langkah kaki mendekat. “Cika!” panggilnya kemudian. Sontak kami berdua menoleh ke arah suara itu datang. Ternyata senior yang lain. Aku tak berani lama-lama menatapnya, lantas langsung menundukkan pandanganku. “Kamu urus kelompoknya Gandi saja!” tukas cowok itu.
“Tapi dia gimana?” tunjuk senior yang barusan membentakku. Aku hanya diam saja mendengar obrolan mereka.
“Biar dia jadi urusanku.”
“Baiklah, aku pergi!” sahutnya beranjak pergi.
Sementara senior yang menggantikannya berdiri tepat di hadapanku. Aku masih menundukkan kepala, tak berani menatap wajahnya.
“Hey, siapa namamu?” tanyanya kemudian.
“Hiks… hiks… Jeni…” sahutku terbata-bata. Isak tangis tak dapat kuhentikan.
“Jeni, sekarang angkat dagumu!” suruhnya dengan nada pelan.
“Tidak! Aku nggak mau,” balasku menggeleng dan tetap menundukkan pandanganku.
“Kenapa?”
“Aku takut…”
“Apa yang kamu takutkan?”
“Aku takut dibentak lagi.”
“Aku tidak akan membentakmu. Jadi sekarang angkat dagumu, dan lihatlah siapa yang mengajakmu bicara.”
Aku pun perlahan memberanikan diri untuk mengangkat daguku, dan memandang pria yang tengah berdiri di hadapanku. Tapi rasa takut masih saja menyelimuti hatiku.
“Sekarang gimana? Apa kau juga takut padaku?” tanyanya menatapku. Sorot matanya yang teduh, bersamaan dengan sebuah senyuman tipis meredakan rasa takutku. Ia nampak berbeda sekali dengan senior yang sebelumnya. “Jeni, kenapa kau diam saja? Apa kamu tidak mendengar pertanyanku?” imbuhnya.
“Ahh… iya. Maaf kak… aku masih sedikit takut. Kalau tiba-tiba saja kakak membentakku, seperti kak Cika.”
“Tidak ada yang perlu kamu takutkan, selama kamu tidak melakukan kesalahan,” tukasnya seraya memandangku penuh ketenangan. “Kamu juga harus tau Jeni, kak Cika maupun senior yang lain pasti punya alasan kenapa mereka bersikap begitu,” lanjutnya.
“Tapi apa harus pakai dibentak segala kak?” sergahku.
“Jeni, dengarkan aku. Ketika kamu dibentak, apa yang kamu rasakan?”
“Takut.”
“Benar! Lalu apa yang kamu lakukan untuk melawan rasa takutmu?” aku hanya menggeleng. “Ketika kamu merasa takut, maka kamu harus melakukan sesuatu untuk melawannya bukan?” tukasnya lagi.
“Iya,” sahutku mengangguk pelan.
“Lalu gimana caranya?” tanyanya sembari mendekatkan wajahnya. Sementara aku cuma menggeleng tak mengerti. “Caranya, kau harus menjadikan dirimu lebih kuat. Sehingga kau tidak perlu takut lagi. Dan kau juga harus ingat satu hal! Selama kamu tidak pernah melakukan kesalahan, maka jangan takut.” Mendengar ucapannya membuatku merasa lebih tenang. Rasa takut pun mendadak hilang. Tatapannya yang teduh, membuatku ingin terus menatap matanya.

Semenjak itulah, aku menaruh hati padanya. Dalam benakku selalu penuh dengan bayangan wajahnya, senyum manisnya, juga tatapannya yang menyejukkan. Hari-hariku tak bisa berhenti memikirkannya. Rendy sering muncul dalam khayalanku.
Takdir pun seakan memihakku. Kami kerap dipertemukan dalam beberapa kesempatan. Seperti di kantin, koridor sekolah, perpustakaan, dan lapangan. Beruntung, kak Rendy ternyata tidak melupakanku. Padahal sebelumnya aku sudah merasa cemas, jika ia tak mengingatku.

Aku masih sangat ingat, untuk pertama kalinya kami kembali dipertemukan seminggu usai MOS berakhir.
“Jeni!” serunya saat kami berpapasan di depan kantin.
“Kak Rendy!” balasku tersenyum bahagia karena ia mengingatku.
“Bagaimana kabarmu?”
“Baik kak. Sangat baik malah,” sahutku sembari tersenyum lebar padanya. Aku benar-benar merasa senang bisa bertemu dengannya.
“Kau berada di kelas apa?”
“Kelas 10 IPS 2.”
“Ohh… baguslah! Gimana dengan teman-temanmu? Kau tidak suka menangis lagi bukan?” godanya.
“Kakak Rendy! Jangan begitu donk!” bentakku sedikit kesal.
“Jangan cemberut, kan aku cuma bercanda. Jadi gimana dengan teman barumu?”
“Mereka semua baik kok.”
“Syukurlah…”
“Kakak sendiri di kelas apa?”
“Kenapa? Mau mencariku ya? Tenang saja, nggak perlu nyari. Aku pasti datang ke tempatmu!” celotehnya. Sontak aku dibuat salah tingkah.
“Kakak! Ngomong apa sih?! Kan aku cuma nanya!” sergahku, menutupi rasa maluku.
“Hahaha… kamu lucu sekali ya… aku ada di kelas 11 IPA 3. Kalau butuh apa-apa, kau bisa mencariku disana.”
“Hehehe…” balasku nyengir, dia seakan bisa membaca pikiranku.
“Loh, kok malah ngobrol terus? Bukannya kamu kesini mau makan?” tanyanya kemudian.
“Iya.”
“Ya udah, gih sana makan! Nanti malah kurusan lagi!” ledeknya.
“Kakak ini, sukanya ngledekin mulu!” gerutuku.
“Bercanda Jeni,” ujarnya mengusap kepalaku. Membuatku semakin jatuh hati padanya. “Kalau begitu aku balik duluan.”
“Iya kak,” sahutku terus menatap punggunya hingga menghilang dari pandanganku.

Itulah pertama kalinya kami berdua bisa ngobrol banyak, tanpa rasa canggung. Namun setelahnya aku harus berkutat dengan perasaanku sendiri, yang makin besar padanya. Ya, hari berikutnya kami jadi sering bertemu, namun tak banyak obrolan yang kami bicarakan. Sebab aku sudah gugup lebih dulu, saat berhadapan dengannya.
Walaupun sebetulnya ingin berlama-lama dengannya, tapi nyatanya aku tak sanggup. Nyaliku terlalu ciut, untuk menghadapinya. Ujung-ujungnya aku harus memaksakan diri, untuk lari darinya. Sebelum ia berpamitan pergi lebih dulu.
Sampai naik ke kelas dua pun, nyaliku tetap sama tidak berubah sama sekali. Aku masih tidak berani berdekatan dengannya. Sedangkan cintaku justru semakin besar. Tapi apa dayaku, hanya diam-diam memandang dan memperhatikannya dari kejauhan, itulah yang bisa kulakukan.

Terkadang aku merasa benci dan kesal, kala melihatnya bersama wanita lain. Rasanya ingin sekali mendatanginya, dan mengatakan agar ia tak berdekatan dengan gadis lain. Namun tak ada yang mampu kuperbuat, selain marah dengan diriku sendiri karena tak bisa mendekatinya.

Sudah lebih dari satu setengah tahun aku menyembunyikan perasaanku padanya. Semacam secret admirer, begitulah aku menyebut diriku sendiri. Sebab memang benar aku hanya dapat mengagumi dan diam-diam mencintainya. Tanpa berani mengakui perasaanku padanya.

Fika selalu rewel soal perasaanku. Setiap hari ia tak henti-hentinya mengingatkanku. Agar aku mau mengungkapkan perasaanku pada Rendy. Sebelum cowok itu lulus, dan pergi dari sekolah ini. Tapi mau bagaimana lagi, aku tak berani melakukannya. Entah karena takut cintaku akan bertepuk sebelah tangan, ataukah takut jika sikapnya akan berubah padaku.

Aku sadar, mungkin waktuku akan berlalu sangat cepat. Akan tetapi tak ada yang mampu kulakukan selain diam dan menyembunyikan cintaku padanya. Aku benar-benar takut, sampai-sampai tak memiliki cukup keberanian untuk mengakui perasaanku padanya. Jangankan mengutarakan kebenaran hatiku, berhadapan dengannya saja aku mendadak kelu.
Diam-diam mencintainya, itulah yang bisa kulakukan. Meskipun ia tak pernah mengetahuinya, tak mengapa bagiku. Asalkan aku tetap dapat menikmati keindahannya. Memperhatikan setiap detail langkahnya. Serta melihat senyuman yang mengembang di wajahnya. Begitulah aku secara diam-diam mencintainya.

Cerpen Karangan: Putri Andriyas
Blog / Facebook: Www.putriandriyas.wordpress.com / Putri Andriyas

Gantungan Mimpi Di Negeri Merah Putih

Hanya seorang anak perempuan kecil yang berangan-angan untuk bisa tumbuh menjadi seorang perempuan yang besar. Tak banyak kata yang bisa tuk dikatakan hanya tangisan kecil yang selalu menghantui hati perempuan itu, nisa namanya lengkapnya annisafiah. Betapa besarnya pengorbanan yang dilakukan anak perempuan kecil ini, rela tuk mengorbankan masa kecilnya dengan memikul kayu bakar setiap harinya, dimana seharusnya ia tertawa bersama teman-temannya tapi lain hal dengan anak ini.

“nek nisa mau sekolah dulu” pamit nisa kepada neneknya, nisa tiggal berdua bersama nenek nya di rumah yang bercatkan biru namun telah pudar dimakan usia, tidak luas bak sebuah istana raja hanya tumbukan bata yang berpoleskan semen yang tampak usang. Berawal dari janji akan pulang ketika telah mendapatkan uang yang banyak tuk mengubah nasibnya kedua pasang suami istri ini mengadu nasib ke negeri xxxxxxx, dengan mata yang berbinar binar nek ijah ibu dari ibu nisa rela melepaskan anak beserta menantunya tuk bekerja. Perempuan cantik yang kini telah menua hanya setuju dengan keputusan yang telah diambil oleh kedua insan itu dengan meninggalkan buah hatinya nisa yang dulu masih berusia 3 tahun kecilnya. “nak jangan nakal ya, nurut sama nenek, nanti kalo ibu udah dapat banyak uang, ibu sama bapak akan pulang” mengelus pipi lembut nisa seraya meneteskan air matanya. Kini bocah kecil itu telah tumbuh berusia 11 tahun, 8 tahun sudah nisa tak mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu. Kuatnya bocah ini tak muluk-muluk untuk tenggelam dalam kesedihan, nisa belajar dengan rajin kini ia telah duduk di bangku kelas 6 sd, mimpinya hanyalah untuk bisa menjadi seorang designer terkenal dengan modal kecakapannya dalam memainkan pensil, dia selalu berprestasi di sekolahnya, walaupun dalam keterbatasan ia tak habis akal, dengan semangatnya ia menjadi tukang sapu di sekolahnya, demi membantu sang nenek membayar spp sekolahnya.

Pagi pagi buta ia telah ada di sekolah dengan memegang sapu, ia keliling menyapui kelas satu demi satu, dengan ditemani bapak penjaga sekolah nisa dengan semangatnya menyapu seluruh ruangan di sekolahnya, 300 ribu lah yang ia selalu dapatkan setiap bulannya dan itu pun tak langsung dapat dipegang oleh dirinya, ia hanya mendapat 100 ribu setiap bulan dari hasil sapuan setiap paginya, karena 200 ribu digunakannya untuk membayar sekolah. Sungguh seharusnya pemerintah sedikit melirik dengan bocah bocah pejuang seperti nisa ini, dimana ia termasuk anak yang berprestasi dan juga berlatar belakang tidak mampu harus diperhatikan seperti dibebaskan dari pungutan biaya sekolah apapun, hanya orang pintarlah yang bisa menelaah hal-hal seperti ini, sungguh kejamnya negeriku ini.

Pagi hari seorang nisa dibuka dengan memegang sapu dan dipertengahan hari anak ini harus pergi ke sawah milik tetangganya untuk membersihkan keong yang menjadi hama di lahan sawah milik tetangganya. Satu demi satu keong ia ambil tanpa rasa takut akan lumpur di sawah dan matahari yang dengan teriknya menerpa kulit lembutnya, bocah ini tetap semangat bekerja. Setelah usai bekerja pun nisa hanya diupah 20 ribu dan ia pun memutar otaknya untuk mengolah keong hasil tangkapannya tidak menjadi sia-sia karena biasanya keong ini tidak dibutuhkan oleh pemiliknya atau biasanya dibuang saja, lalu nisa membawa keong hasil tangkapannya ke rumah, sebagian ia jual untuk pakan itik atau bebek, sebagian lagi ia berikan kepada neneknya untuk diolah menjadi 15 tusuk sate keong, tak banyak warga yang menyukai keong, tapi bukan ia jajakan ke warga namun ia bawa pagi harinya untuk dijajakan ke teman-temannya di sekolah. Tak setiap hari ia mendapat panggilan untuk membersihkan sawah, hanya minggu minggu tertentu saja ia mendapatkan panggilan, sungguh malang nasib nisa.

Beda nisa beda pula neneknya, neneknya kini yang telah menua dimana ia seharusnya telah duduk menikmati hari tuanya, ia pun harus turut mencari nafkah demi butiran beras, sama halnya dengan nisa ia harus bekerja seharian di pabrik rumahan milik juraganya sebagai pembuat kerupuk bawak, kerupuk yang diolah dari campuran kulit sapi ataupun kerbau, dan pekerjaan nek ijah pun tak sampai disitu saja, ia harus bekerja kembali ia harus memetik sayuran labu siam, itu pun bukan kebun miliknya, sekali lagi ia tak diupah dengan lembaran rupiah ia hanya diupah dengan beberapa buah labu siam. Entah dari mana mereka berdua bisa bertahan hidup, hanya dengan semangat mereka bisa bertahan hidup di bumi yang penuh dengan pengkhianatan. Mereka berdua sangat bersyukur bisa hidup di negeri yang sangat subur yang sampai ilalang pun bebas tumbuh dimana saja walaupun mereka harus hidup di tanah yang berlambangkan merah putih.

Banyak mimpi yang telah nisa gantungkan di hidupnya, tak ada gambaran hidup yang suram bagi dirinya, ia sangatlah kuat, hatinya yang tegar dengan kesabaran ia menunggu kembali kedatangan kedua orangtuanya, walaupun 8 tahun sudah berlalu tanpa adanya kiriman uang yang telah dijanjikan sebelumnya tak ada rasa benci yang terpaut dalam hatinya, betapa bersihnya hati anak ini. Susu pun dulu ia tak sempat mencicipinya, namun ia tumbuh dengan pengorbanan hidupnya yang tanpa mengeluh, ia sadar betul tak guna untuk berlarut dalam keluhan, ia harus menggantungkan mimpinya dan kelak ia percaya mimpinya kan hilang karena telah digapainya dengan kesuksesan yang berarti.

Cerpen Karangan: Novita Lesa
Facebook: facebook.com/novita.lesa.9

Benang Waktu

Hari itu masalah menerpaku layaknya hujan badai. Rasanya banyak sekali kesalahan yang kubuat di sekolah hari itu. Kepalaku pusing layaknya roller coaster dan hatiku serasa diremukkan pada hari itu. Aku sangat menyesal aku harap aku dapat mengulang kembali waktu dan memperbaiki kesalahanku walau hanya 1 hari saja.

Sore yang mendung tapi perasaanku lebih mendung, aku yang tenggah tertunduk lesu di ruang kelas sendirian memikirkan masalah yang datang kepadaku pada hari ini. Kesedihan menenggelamkanku terlalu dalam sampai aku tidak sadar kalau semua orang sudah pulang, “Malangnya nasib ini mecahin kaca kelas, ngilangin buku tugas, nyakitin hati temen, berantem… masalah apa lagi yang akan kubuat hari ini… huuufft” ujarku sambil menghela nafas. Aku bergegas pulang karena langit sore datang bersama gumpalan awan hitam yang seakan-akan menyertai kesedihanku.

Rumah tempat yang nyaman dimana aku bisa melepas semua beban ini, hanya rumah yang ada di benakku pada saat aku meniti arah menuju rumah. Sesuatu menarik perhatianku, seorang perempuan yang tidak asing lagi Rei namanya.

Rei, wanita yang kusakiti hari ini. Aku menjatuhkan kotak pensilnya, dari tatapan matanya dia pasti membenciku. Kesempatan sore ini tidak akan kulewatkan, aku ingin minta maaf kepadanya. Aku berlari menghampirinya, dia melihat ke arahku “Awas!” teriaknya. Dengan sigap aku menghindari mobil truck yang akan menabrakku, “Terimakasih rei…” ujarku. Belum cukup kemalangan pada hari itu keanehan pun datang menghampiri, Rei tiba tiba menghilang! Perasaanku campur aduk. Aku berlari menuju rumah, rumahku istanaku, sesampainya di rumah aku langsung kuterjunkan tubuhku ke kasur empuk dan aku pun tertidur.

Pagi yang cerah, kulangkahkan kakiku ke sekolah walaupun hati dan pikiranku tidak secerah pagi itu dengan harapan semua akan jadi lebih baik. Pandanganku tertuju pada kaca kelas yang ternyata sudah diperbaiki “Baguslah” ujarku. Bel istirahat berdendang, aku berjalan menuju kantin. Di koridor kelas aku bertemu dengan Rei dan tanpa sengaja aku menyenggolnya dan membuat kotak pensilnya jatuh, seketika aku ingat kejadian kemarin yang rasanya terulang lagi “Ini kan kejadian kemarin? Kenapa bisa terjadi lagi, sama persis lagi!?” pertanyaan yang terlinta di pikiranku. Aku tidak mau mengulangi kesalahan yang sama, tidak seperti kemarin aku lari setelah menabraknya, kali ini aku minta maaf dan memberikan gelang berwarna biru pink yang kubuat di kelas kesenian tadi. Kelihatannya dia tidak marah, matanya juga bilang begitu diiringi oleh senyum kecil di bibirnya.

Setelah jajan di kantin aku berjalan menuju kelas, eh ternyata ada yang bermain bola di dekat kelas. Langsung saja aku ikut bermain, pada saat aku ingin menendang bola sesuatu terlintas di pikiranku “Ya benar ternyata aku mengulangi hari kemarin!” Aku tidak jadi menendang bola karena aku tahu aku akan memecahkan kaca kelas jika itu kulakukan.

Aku sempatkan pergi ke WC dulu karena kebelet pipis, ternyata Boy sudah menunggu di sana untuk memberiku pelajaran “Yup benar benar seperti kemarin” ujarku. Untuk menghindari konflik aku memilih memberinya uang, dari pada masuk ruang guru.

Langit mulai memerah, aku pulang dengan rasa gembira walaupun sedikit bingung dengan apa yang kualami hari ini tapi aku tidak teralalu peduli tentang itu. Sesampainya di rumah aku tidur bersama senyuman di pipi.

“Nak ternyata kamu sudah sadar” suara ibu terdengar samar. Aku shock karena bangun dengan balutan perban “Apa yang terjadi bu!?” tanyaku dengan bingung “Kamu jatuh ke dalam got karena menghindari truck… untung Rei menelepon ibu” ujar ibuku. Ternyata semuanya hanyalah mimpi, lebih baik aku istirahat karena aku sudah mulai pulih dan besok aku harus sekolah.

Di sekolah kulihat jendela kelas yang pecah, ternyata semuanya memang cuma mimpi “Huuft” aku menghela nafas. Pada jam istirahat aku berjalan di koridor kelas, tanpa sengaja aku berpapasan dengan Rei. Saat kutoleh dia tersenyum, pandanganku tertuju pada gelang pink biru yang terbalut manis di pergelangan tangganya. Gelang itu… itu kan pemberianku, Ya benar akulah yang membuatnya, apa aku benar-benar bermimpi?

Cerpen Karangan: Novita Lesa
Facebook: www.facebook.com/novita.lesa.9

Tak Bisakah Kita Hanya Bersahabat?

Kenalkan namaku Bintang, saat ini tengah menempuh kuliah semester 4 di salah satu Universitas Swasta. Aku tidak sendirian, ada sahabat baik yang selalu setia menemaniku. Namanya Dion, pria bertubuh kurus, tinggi, dan berambut hitam lurus. Kita sudah bersahabat lama, lebih tepatnya semenjak duduk di bangku SMA.
Dimanapun aku berada, pasti ada Dion. Semua teman-teman mengetahui tentang persahabatan kami. Mereka juga tau, kalau kami tidak dapat dipisahkan. Bahkan dalam berbagai kegiatan sekolah, kita berdua selalu terlibat bersama-sama. Kalau Dion tidak ikut, maka aku pun akan melakukan hal yang sama. Begitu pula sebaliknya.


Aku masih ingat betul, persahabatan kami mulai diuji waktu kelulusan sekolah tiba. Awalnya Dion menemuiku, dan mengatakan keinginannya untuk melanjutkan kuliah ke luar kota. Terang saja, aku kaget dengan keputusannya. Namun usai berpikir selama beberapa hari, ternyata aku tidak sanggup jauh darinya. Aku merasa ada yang kurang dalam hidupku.

Aku takut tidak bisa bertemu maupun bercanda tawa lagi dengannya. Sebab cuma bersama dia, hari-hari yang kulewati terasa menyenangkan. Aku bisa melakukan berbagai hal konyol, tanpa merasa canggung sedikitpun. Dia pun juga dapat mencairkan suasana hatiku yang sedang buruk.


Malam itu aku pergi ke rumahnya, untuk memintanya tidak pergi dan tetap tinggal di kota ini saja. Beruntung, Dion menyanggupi permintaanku. Alhasil dia mengubah keputusannya, dan memilih tinggal. Kami pun akhirnya masuk ke Universitas yang sama. Hanya saja jurusan yang diambil berbeda. Aku memilih jurusan Ekonomi, sementara Dion memilih jurusan Teknik Sipil. Meskipun berbeda jurusan, tapi tidak jadi masalah. Asalkan kita masih bisa saling bertemu dan menghabiskan waktu bersama.



Persahabatan kami terus berlanjut, Dion selalu menyempatkan waktu untuk menemuiku di sela-sela kuliahnya. Tak hanya sekedar mengajak untuk makan bersama, juga membicarakan kejadian-kejadian lucu di kelasnya. Aku pun selalu dibuat tertawa terbahak-bahak oleh ceritanya. Kebiasaan kami tidak berubah sedari dulu, melainkan masih terbawa hingga sekarang. Dia juga sering mengantarku pulang dengan sepeda motornya.



Sampai suatu saat sikapnya mulai berubah. Dia jadi dingin terhadapku, dan tidak pernah menemuiku lagi. Beberapa kali kami berpapasan, namun dia langsung pergi begitu saja tanpa berucap apapun. Aku jadi merasa bingung dan cemas. Sebab tidak biasanya dia bersikap seperti itu. Dan ini sudah waktu yang cukup lama kalau memang dia marah, karena kejadian beberapa minggu lalu.



“Bintang! Tunggu!” teriak Dion menarik tanganku.

“Apa? Aku harus bergegas pergi!”
“Kenapa kau buru-buru sekali? Baru juga ketemu, udah mau pergi lagi?” keluhnya.
“Iya aku tau, tapi Lintang sudah menungguku,” sahutku cemas, memikirkan Lintang yang sedang menungguku di taman.
“Lintang lagi, kapan kamu ada waktu buatku?!” sentaknya melotot ke arahku. Baru kali aku melihat sorot matanya yang nampak kesal, tidak seperti biasanya.
Aku kembali berpikir, mengapa dia menanyakan hal itu. Bukankah dia tau kalau aku dan Lintang berpacaran, jadi waktuku sudah pasti akan lebih banyak bersamanya. “Nanti kalau urusanku dengan Lintang udah selesai, aku pasti menemuimu lagi.”
“Ya, terus saja begitu. Dari kemarin kan kamu juga selalu bilang begitu, tapi ujungnya kamu tidak lagi menemuiku!” ketusnya membuatku makin bingung.
“Dion, kenapa kamu berbicara seperti itu? Kamu tau kan, aku dan Lintang pacaran. Bahkan kamu adalah orang pertama yang mengetahuinya.”
“Iya aku tau kalau kalian pacaran. Tapi apa kamu lupa, kalau aku yang lebih dulu mengenalmu dari pada dia!”
“Apa maksudmu? Kau tau dengan pasti, kalau kita sudah saling mengenal sejak dulu. Lalu kenapa sekarang, kau mempertanyakan apa aku lupa atau tidak?”
“Kalau kamu ingat, lalu kenapa hanya untuk mengobrol denganku saja kau tidak ada waktu?”
Benar juga ucapannya, semenjak jadian dengan Lintang, aku memang lebih sering menghabiskan waktu bersama pacarku, ketimbang dengan Dion. Bahkan kami juga jarang mengobrol seperti dulu. Aku jadi merasa bersalah padanya. Tapi aku tidak bisa membiarkan Lintang sendirian terlalu lama. “Dion, aku mohon mengertilah. Bukan begitu maksudku, tapi saat ini waktunya sedang tidak tepat. Lintang lagi nungguin aku.”
“Ya, oke aku mengerti. Pergilah!” usirnya memalingkan muka.
Aku jadi merasa makin bersalah padanya. “Dion, jangan bersikap seperti ini donk?” pintaku sambil menyenggol lengannya.
“Kamu sekarang benar-benar berubah. Tidak seperti Bintang yang aku kenal dulu!” lanjutnya berbalik menatapku, nampak kesal.
“Apa maskudmu? Aku masih sama dengan Bintang yang kamu kenal. Tak ada yang berubah dariku.”
“Tidak! Kamu bohong! Kamu berubah, semenjak kenal dengan cowok itu!” serunya menatap tajam mataku. Aku pun jadi bergidik melihat tatapannya yang penuh kemarahan.
“Kamu ngomong apa sih?!” sahutku bingung dengan perkataannya.
“Aku pikir, setelah memutuskan untuk tetap tinggal buat kamu. Kamu akan terus berada di sisiku. Nyatanya tidak! Kamu justru semakin jauh, lebih tepatnya sejak kenal Lintang. Kamu jadi sering menghabiskan waktu dengannya, dari pada bersamaku.”
Mendengar ucapannya membuatku semakin bingung. Apa yang tengah ia bicarakan, menurutku ini diluar batas kewajaran sebagai seorang sahabat. Kalau dia memang benar sahabatku, harusnya dia mengerti keadaanku. Dan membiarkanku menghabiskan waktu bersama Lintang, karena memang dia itu pacarku.
“Dion, hentikan! Apa yang kamu bicarakan? Omonganmu sudah ngelantur kemana-mana!” bentakku. Dion pun menatapku heran, aku lekas mendekatkan wajahku padanya. “Dion mengertilah, kau adalah sahabatku. Begitu pula sebaliknya, aku ini sahabatmu. Kita tidak akan terus bersama-sama, apalagi sekarang. Lintang adalah pacarku, pastilah aku mengutamakan dia. Bukannya aku tidak memikirkanmu, tapi mengertilah kalau aku juga harus ada buatnya,” jelasku sembari memegang bahunya.
“Wushh…!!!” Dion menyingkap tanganku dari pundaknya, dan ngeloyor pergi tanpa berucap apapun. Aku terus menatap punggungnya yang perlahan menghilang dari pandanganku.


Semenjak itulah, kita tidak lagi saling bertegur sapa satu sama lain. Dion tidak lagi mendatangi ataupun mengajakku pergi. Aku memang berpacaran dengan Lintang, kita sering keluar bareng. Sekedar untuk nonton film maupun makan malam bersama. Tapi entah kenapa, akhir-akhir ini justru pikiranku dipenuhi oleh bayangan Dion. Canda tawanya, tingkahnya yang konyol, serta perhatiannya memenuhi isi kepalaku. Aku sampai tidak sadar, kalau sedari tadi Lintang ada di sampingku.



“Bintang, kamu paham kan dengan apa yang aku bicarakan?” tanyanya.

“Hah… apa?” kagetku bingung tidak mengerti sama sekali.
“Kamu melamun ya? apa ada yang mengganggu pikiranmu?” tanya Lintang lagi, meraih tanganku.
“Sedikit…”
“Apa kamu masih memikirkan soal Dion?”
“Aku cuma kepikiran, kenapa sikapnya mulai berubah. Kamu lihat sendiri kan sikapnya kemarin? Waktu kita papasan sama dia?”
“Iya,” sahut Lintang mengangguk. Kemarin kita memang sempat bertemu dengan Dion, tapi dia langsung melengos waktu melihat aku bersama Lintang.
“Sudah beberapa minggu ini, sikapnya dingin padaku. Kita juga tidak lagi saling mengobrol. Kamu tau kan, kalau dia sahabat baikku. Melihat sikapnya seperti sekarang, tentu saja itu mengganggu pikiranku.”
“Iya aku paham,” sahut Lintang menarik tubuhku dan menyandarkan kepalaku di dadanya. Dengan lembut ia mengusap kepalaku. “Besok, coba kamu temui dia. Ajak dia bicara baik-baik. Siapa tau, dengan begitu hubungan kalian bisa kembali membaik,” lanjutnya. Inilah yang membuatku nyaman bersamanya. Sikapnya yang penuh kasih, menjadikanku terus ingin bersamanya.


Keesokannya aku langsung menemui Dion, sesuai saran dari Lintang. Seperti dugaanku, dia menghindariku. Namun aku tidak menyerah begitu saja, dan bergegas mengejarnya. Menurutku persoalan ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Aku masih belum paham, tentang sikapnya yang mendadak berubah.



“Dion! Tunggu!” teriakku menarik lengannya. Langkahnya pun terhenti.

“Apa?!” sahutnya ketus.
“Kita harus bicara, aku tidak bisa melihatmu terus menghindariku!”
“Aku rasa tidak ada lagi yang harus kita bicarakan. Lagian bukankah ini maumu?”
“Tidak Dion, kamu salah!” bentakku.
“Apanya yang salah? Kamu sendiri kan yang bilang, kalau kita tidak akan terus bersama-sama! Aku paham maksudmu. Jadi pergilah, temui pacarmu itu!”
“Dion, kamu salah paham. Bukan itu maksudku!” aku menghela napas sejenak, mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan maksudku padanya. “Dion kau adalah sahabat baikku, jadi mana mungkin aku tidak memikirkanmu. Pastilah aku memikirkanmu. Tapi kau harus mengerti, kalau sekarang aku berpacaran dengan Lintang. Sudah pasti waktuku terbagi untuknya. Nanti kalau kamu bertemu seorang wanita yang mampu membuatmu jatuh cinta, kau pasti juga akan memberikan waktumu untuknya, bukan lagi untukku. Maka dari itu aku bilang, kalau kita tidak akan bersama-sama terus. Karena suatu saat kita akan menemukan tambatan hati masing-masing.”
“Aku paham maksudmu Bintang, jadi biarkan saja semua seperti sekarang!” ketusnya melangkah melewatiku.
“Mana bisa aku membiarkanmu terus menghindariku?!” teriakku.
Ia pun berbalik dan berjalan mendekatiku. “Lalu apa yang harus aku lakukan?” tanyanya menatapku tajam.
“Aku ingin kita seperti dulu, bisa bercanda tawa bersama lagi.”
“Tidak Bintang. Aku tidak bisa.” sahutnya menggeleng.
“Kenapa tidak?”
“Kamu tidak akan pernah mengerti. Kamu menganggapku sahabat bukan? Itulah mengapa aku bilang kalau kamu tidak akan pernah ngerti.”
“Apanya yang tidak aku ngerti? Kalau kamu bilang, pasti aku ngerti.”
“Oke! Kalau itu maumu, aku akan mengatakannya padamu,” tukasnya. Nampak ia sedang mengambil sesuatu dari kantong celana. Ternyata Dion mengeluarkan sebuah dompet, tapi aku masih tidak mengerti maksdunya. “Kamu lihat?!” serunya menyodorkan dompet, terlihat ada fotoku bersama dirinya.
“Itu kan foto kita?”
“Iya memang benar ini foto kita. Tapi kamu tidak tau kan, kenapa aku menyimpannya di sini?” aku pun menggeleng. “Kau menganggapku sahabat bukan?” tanyanya, aku mengangguk pelan. “Tapi aku tidak begitu, aku menganggapmu lebih dari sekedar sahabat. Kau mungkin masih belum paham tentang apa yang aku rasakan. Karena aku tidak bisa mengatakan perasaanku dengan mudah. Namun aku masih berharap, kalau suatu saat kau akan mengerti.”
Rasanya seakan mendapati letusan kembang api, yang mampu menggetarkan hati. Begitu pula dengan yang tengah aku rasakan sekarang ini. Jantungku berdebar tidak karuan, makin penasaran dengan apa lagi yang ingin ia katakan.
“Aku sudah mencoba mengatakannya padamu, ketika aku memutuskan untuk tetap tinggal di kota ini. Apa kau tau, kenapa? itu aku lakukan buat kamu! Aku tidak ingin meninggalkanmu. Karena keputusanku pula, perasaanku padamu jadi semakin bertambah. Andai saja, waktu itu kau tidak menahanku. Mungkin saja aku bisa mengakhiri perasaanku saat itu juga.”
“Dion…” ucapku lirih tak menyangka, kalau Dion bakalan mengatakan hal demikian.
“Ya Bintang, kau sudah mengerti bukan sekarang?”
“Bagaimana bisa kau memiliki perasaan sedalam itu padaku. Bukankah kita selama ini bersahabat?”
“Iya aku tau kalau kita bersahabat. Lalu aku harus gimana, kalau nyatanya perasaan itu muncul begitu saja dalam hatiku?! Katakan!!!” gertaknya menatap mataku. Aku melihat kemarahan dalam matanya, yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Aku pun cuma tertunduk, tidak berani menatap matanya.
“Tapi aku mencintai Lintang… dan aku tidak mungkin meninggalkannya…”
“Aku paham! Karena itulah, aku menjauh darimu!”
“Dion, tidak bisakah kita hanya sekedar bersahabat? Aku tidak ingin kehilangan sahabat sepertimu…”
“Tidak Bintang! Tidak lagi! Lebih baik kita saling menjauh, dari pada harus terus bersama!” tandasnya melangkah pergi meninggalkanku.


Kini aku sadar, mengapa beberapa minggu ini sikapnya dingin terhadapku. Ternyata dia mencintaiku, hanya saja tidak mengatakannya padaku. Aku pun juga tidak pernah melihatnya sebagai seorang laki-laki yang menunjukkan perhatian kepada wanita yang dicintainya. Aku hanya melihatnya sebagai sahabat.


Cerpen Karangan: Putri Andriyas
Blog / Facebook: www.putriandriyas.wordpress.com / Putri Andriyas


Dilema Hati Seorang Perempuan

Entahlah sudah berapa lama aku termenung di sudut kamarku, akau masih tak habis pikir mengapa semua ini terjadi, sejak pertemuan denganmu seminggu yang lalu membuat aku semakin gundah gulana, kamu begitu tampan, begitu gagah dan begitu baik, tak semua orang bisa mendekatimu walau hanya untuk sekedar jadi sahabat, tapi aku sebagian kecil dari orang-orang yang selalu mengejarmu mendapat anugerah sebesar ini, ada kalanya kadang aku tak bisa berkata-kata kalau bertemu kamu, aku masih ingat, jauh sebelum aku mengenal kamu, kamu adalah lelaki yang selalu menjadi idamanku, dan sering kali aku bermimpi bertemu dan bercakap-cakap dengan dirimu, entahlah apakah ini hanya kebetulan atau memang kita ditakdirkan untuk bersatu, aku juga tak tahu.

Perkenalan kita berawal di sebuah bukit namanya bukit pegassingan yang berada di sembalun pulau lombok, saat ini ada acara outbond yang diselenggarakan oleh komunitas anak-anak pecinta alam, di sanalah aku pertama kali bertemu denganmu walau di dalam mimpi kita sering kali bertemu walau sebelumya kita tidak pernah saling kenal. Hawa yang sejuk dan dingin di daerah sembalun membuat aku kedinginan, aku duduk di dekat tenda dan sedang membuat api unggun malam itu, kebetulan saat itu ada acara perkenalan semua anggota outbond dan aku duduk berdekatan dengan dia malam itu, dia mulai membuka percakapan lebih dahulu, “hai apa kabar, aku akbar dan nama kamu siapa?”, “oh baik kak, namaku dira, gimana khabrnya kakak juga”, “aku baik” jawabnya “dan ngomong-ngomong kamu sekolah dimana”, “aku sekolah di SMAN 1 selong kak, kalau kakak sekolah dimana?”, “aku sekolah di SMAN 1 mataram” katanya, “kamu ngambil jurusan apa dik?”, “aku ambil jurusan IPA (sains) kak, kalau kakak jurusan apa?”, “jurusan IPA juga kelas XII sekarang kalo adik kelas berapa”, “adik baru masuk SMA kak, kelas X”. Itulah awal perkenalanku dengan kak Akbar, selama seminggu kita disana dan banyak acara yang kita ikuti dan kebetulan selalu dalam satu tim yang sama membuat aku semakin dekat dengan dia.

Pada malam terakhir di perkemahan dan di atas bukit peggasingan, akbar mengutarakan isi hatinya, dia mengatakan ingin selalu menjadi sahabat sekaligus pacar, aku kaget sekali walau jujur aku memang mengidolakannya, tapi kenapa sebersit keraguan muncul tiba-tiba dalam hatiku, “maaf kak, malam ini aku tidak bisa menjawabnya, aku masih belum bisa secepat itu kak, aku juga maasih kecil belum pernah merasakan yang namanya cinta, aku mohon sama kakak untuk mengerti posisi dan kondisiku”, itu yang aku katakan pada kak akbar, kak akbar hanya diam tidak berkata apa-apa. Aku tidak tahu apa dia marah, benci atau entah apa yang ada dalam pikirannya, sejujurnya aku ingin menjadi kekasihnya, tapi di lain pihak hati ini memberontak, jangan… jangan… kamu belum mengenal dia, itulah kata hatiku.

Akhirnya kami pun selesai dengan acara outbond di bukit peggasingan sembalun, pada waktu kami berpisah akbar bilang, “aku tetap menunggu jawabanmu, walau aku tahu saat ini kamu masih meragukanku, tapi percayalah saat ini aku tidak punya kekasih, dulu memang pernah aku dekat sama seseorang tapi kita sudah putus, kapanpun aku tunggu jawabanmu”. Itulah percakapan terakhirku dengannya, dan aku juga tidak tahu nomor handphonenya, aku hanya tahu dia punya FB nama akunnya AKBAR MAULANA FASYA, sejak saat itu aku tidak pernah bertemu dengannya, walau aku pernah minta pertemanan, tapi sampai saat ini belum ada konfirmasi dari dia.

Akhirnya aku juga disibukkan oleh aktifitasku sehari-hari di sekolah dan aku juga aktif di kegiatan OSIS, di OSIS juga aku ketemu dengan kakak kelasku namanya Olin, dia juga sangat baik dan penuh perhatian padaku, sampai suatu malam ada SMS masuk, “maaf dira, aku olin, jujur aku tidak pernah bisa nyenyak tidur, konsentrasi belajarku juga buyar, karena wajahmu selalu terbayang, malam ini aku ingin mengungkapkan bahwa aku tulus mencintaimu dan ingin menyayangimu dengan sepenuh hati”, aku semakin bingung di sisi lain aku ingin menjadi kekasih akbar tapi sampai sekarang aku tidak ada kontak dengannya, di satu sisi ada olin yang begitu tulus ingin menyayangiku, aku jadi bingung, akhirnya aku ambil air wudhu dan sholat malam mohon petunjuk-Nya yang terbaik buat aku dan semuanya, entahlah hanya waktu yang akan bisa menjawabnya tapi hatiku sudah tenang, apapun yang terjadi terjadilah dan aku tidak akan menyakiti siapa-siapa, besok aku akan menemui olin dan menceritakan semuanya, dan semoga akbar juga ada kabarnya sehingga aku bisa menentukan pilihan…

Cerpen Karangan: Muhamad Jamaludin
Facebook: Muhamad Jamaludin


Minggu, 29 Januari 2017

Perjalanan Hidupku

Namaku Syakila, aku lahir dan dibesarkan di kota yang tak pernah sepi Jakarta namanya. Hari-hariku selalu indah, ditambah orangtuaku yang selalu menyayangiku dengan sepenuh hatinya dan mereka tak pernah meninggalkanku. Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti minggu, minggu bulan hingga tahun. Tak terasa kini usiaku sudah 12 tahun.
Semua hal indah itu kini menghilang begitupun dengan mimpi indahku, aku yang tak pernah ditinggalkan oleh kedua orangtuaku kini mereka pergi jauh dariku. Bukan pergi untuk selamanya, tempat yang memisahkan.
Siang itu aku dan kedua orangtuaku, pergi ke rumah kakek. Letaknya lumayan jauh, Sukabumi tepatnya. Saat itu, sedang hari raya dimana semua orang sibuk untuk mudik sama denganku. Aku terus merengek ingin mudik ke rumah kakek. Tapi, entah kenapa ayah dan ibuku memintaku untuk tidak mudik dahulu. Namu, karena mereka sangat sayang kepadaku ditambah aku yang terus merengek, akhirnya kami mudik bersama. Ayah dan ibuku merasa berat meningglkan rumah. Akhirnya kita pun pergi bersama dengan menggunakan mobil yang kami miliki. Aku heran dengan sikap mereka, tiba-tiba mereka membawa semua berkas penting dan perhiasan serta uang yang mereka biasa simpan di lemari. Aku tak memperlihatkan keherananku, kami pergi dengan segudang harta yang kami miliki dengan mobil kami. Setibanya di rumah kakek, aku langsung memeluknya. Aku adalah cucu kesayangan kakek, karna kakek hanya memiliki satu anak yaitu ibuku dan juga satu cucu yaitu aku.
Hari itu hari Kamis, setiap hari Kamis kakekku selalu pergi ke dokter untuk chek up. Aku, ayah dan ibuku mengentarnya ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit kakek diperikasa oleh dokter, aku dan ibu menemani kakek masuk ke ruang periksa. Sedangkan ayahku menunggu di luar, ketika kami sedang di dalam, ayahku mendapatkan telepon, bahwa rumah kami kebakaran dan semuanya habis tidak ada yang tersisa. Ayahku yang gelisah tidak langsung memberitahu kami, karena ayah tahu kalau kakek memiliki penyakit jantung.
Setelah selesai chek up, kami pulang ke rumah. Selama di jalan ayahku gelisah dan ayahku merasa sangat sedih. Selama di mobil ibuku bertanya kepada ayahku “ayah, kenapa? Kok kelihatannya gelisah. Apa yang ayah gelisahkan?” tanya ibuku sambil membelai bahu ayahku sedangkan aku duduk dengan kakek di belakang. “tidak, ayah tidak kenapa kenapa.” Jawab ayah yang terus fokus melihat jalan.
Sesampainya di rumah, ibuku mengantar kakek ke kamar dan meninggalkan kakek denganku berdua. Karena aku selalu ingin tidur bersama kakek. Disamping itu, ibuku menghampiri ayah di kamar yang sedari tadi gelisah. “ayah, ayah kenapa. Ada yang ayah sembunyikan dari ibu. Ayah jujur sama ibu.” Tanya ibu sembari duduk di samping ayah. “ibu… bu” ucap ayahku tersendat-sendat. “kenapa ayah? Kenapa?” Tanya ibu. “rumah kita bu, rumah kita.” Jawab ayah. “Kenapa dengan rumah kita ayah, kenapa.” Tanya ibu, yang sudah memiliki firasat tidak baik. “rumah kita… kebakaran.” jawab ayah sambil memeluk ibu. Ayah dan ibuku menangis, sedangkan kakek yang mendengarkan di balik pintu langsung menggendongku pergi ke kamar. Bukannya kakekku gak peduli, bahkan dia sangat peduli namun kakek punya cara sendiri.
Ayah dan ibuku yang terus menangis mereka tak menyangk bagaikan disambar petir. “pantas saja aku rasanya ingin membawa semua barang berharga yang kita miliki ternyata ini jawabannya.” Kata ibuku sambil melepaskan pelukan dari ayahku. “ibu yang sabar yah, ayah tahu bukan hanya ibu yang merasa terpukul tapi ayah juga.” kata ayahku sambil menenangkan ibu.
Sudah 3 jam ayah dan ibuku menangis, mata yang sembab itu tidak membuat mereka mengantuk. Mereka hanya melamun, malam itu, tepatnya pukul 01.00, Ayah dan ibuku menghampiriku yang sedang tertidur pulas, padahal aku tahu mereka menghampiriku dan mengkecup keningku. Mereka langsung memeluk kakek, aku pun terbangun. “Ayah, ibu kenapa kok kalian ada disini. Ayah dan ibu gak tidur.” Tanyaku yang pura-pura tidak tahu apa-apa.
Mereka kembali meneteskan air mata dari mata mereka yang sembab. “Kok ayah sama ibu nangis” aku langsung memeluk kakek.
“kalian yang sabar, mungkin ini semua cobaan untuk kalian dari Allah. Jangan menangis, biarkan semuanya berjalan, mengalir seperti air. Semua yang kita miliki di dunia ini hanya sebatas titipan.” Ucap kakek sambil beranjak dari tidurnya dan mengusap tangan ayah dan ibuku. “rumahmu, anakmu, suamimu itu samua hanya sebatas titipan.” Lanjut kakek dengan mengankat dagu ibuku yang tertunduk.
Aku yang saat itu sedang memeluk kakek, langsung terbangun dan memeluk ayah dan ibu. “ayah, ibu memangnya ada apa?” Tanyaku. “nak, kita sekarang pulang dulu yah, kita lihat dulu rumah kita.” Ucap ayahku. Mereka tidak memberitahuku bahwa rumah kami kebakaran. Mungkin karena mereka tidak ingin membuat aku menangis. “kalian lihat dulu saja rumah kalian, setelah itu kalian pulang lagi ke kisini.” ucap kakekku. “iya yah, kami pamit dulu. Kami pasti langsung pulang lagi ke rumah ayah. Ayah hati-hati yah disini. Kami pamit ya yah.” Ucap ibuku sembari pamitan sama kakek dan aku digendong ayah untuk masuk ke mobil.
Sesampainya di rumah kami, aku, ayah dan ibu benar-benar sedih dan terpukul melihat rumah yang sedari dulu kami tempati kini habis terbakar oleh api. Kami pun memeriksa puing-puing rumah barang kali ada yang tersisa. Ternyata benar ada satu benda yang tidak habis terbakar, yaitu Al-Quran. Kami langsung mengambil Al-Quran itu. Tidak ada lagi yang tersisa selain Al-Quran itu. Rencana selanjutnya kami akan mebersihkannya dan lahannya akan kami jual. Kami akan tinggal sementara di rumah kakek.
Paginya kami pulang ke rumah kakek, dan memberikan Al-Quran yang tidak terbakar itu kepada kakek. Detik berganti menit, menit berganti jam, tam berganti hari, hari berganti minggu, minggu bulan hingga tahun. 3 tahun lamanya kami menumpang di rumah kakek, ayahku yang merasa bahwa kita tidak bisa selamanya tinggal di rumah kakek berencana pindah ke luar pulau karena adanya tuntutan pekerjaan yang mengharuskannya pindah. Ibuku yang sangat patuh dan menyayangi ayah ikut pindah bukan berarti ibuku tidak sayang kepadaku tapi, ini juga untuk kebaikannku. Aku yang tidak bisa meninggalkan sekolahku karena sebentar lagi ujian tidak memungkinkanku untuk ikut bersama ayah dan ibuku. Akhirnya ayah dan ibuku pindah ke Kalimantan dan aku tetap tinggal bersama kakekku di Sukabumi.
Waktu terus berlalu, aku yang tetap berama kakek hingga aku lulus SMA. Kakekku yang sangat menyayangiku, terus menemaniku 4 tahun lamanya.
Aku sangat rindu kepada ayah dan ibuku, selama 4 tahun itu ayah dan ibu belum pulang juga untuk menemuiku. Mereka hanya mengirim aku uang saku hanya lewat ATM. Selama aku jauh dari ayah dan ibuku tiada hari tanpaku teteskan air mata. Aku sangat sedih, aku tak pernah menyangka perjalanan hidupku akan seperti ini. Kakekku yang selalu menguatkannku, kakekku yang tak pernah jenuh melihatku menangis.
Seusai SMA, aku dan kakek berencana untuk pergi menemui ayah dan ibu di Kalimantan. Hari itu hari Minggu, aku dan kakek sudah memesan tiket pesawat. Aku mengabari ibuku bahwa aku akan pergi ke sana. Dan ibuku akan menjemput aku dan kakekku di Bandara. Sedangkan ayahku yang sedang bekerja tidak bisa menemani ibu untuk menjemputku.
Entah kenapa, kakiku serasa terpaku di bumi ini dan berat rasanya untukku melangkahkan kaki. Berbeda dengan kakek yang sangat bahagia karena akan bertemu dengan ibu dan ayahku. “kek, sudah siap.” Tanyaku ketika hendak masuk ke taksi. “sudah, kalau kamu.” Tanya kakek kepadaku. “sudah kek, ayo kek masuk taksinya sudah menunggu.” Lanjutku. Kakek pun naik ke mobil, saat aku naik bajuku tiba tiba robek tersangkut di pintu taksi. “kakek, bajuku robek.” “tidak apa apa nak, sedikit ini kan.” Ucap kakek. Kami pun beranjak pergi meninggalkan rumah. Hatiku terus gelisah, aku terus berdzikir mengingat Allah. Tak berapa lama aku menengok ke jendela sampingku dan AaaaAAAaAaa aku tak sadarkan diri dan aku tak bisa melihat apa-lagi semuanya terasa gelap…
Mobil taksi yang ditumpangiku tertabrak truck.
Di rumah sakit….
Ketika aku tersadar, ternyata aku ada di rumah sakit. Aku melihat ayah, ibu dan kakek sedang menangisi aku. Sedikit demi sedikit aku gerakkan jemari tanganku dan menandakan aku siuman dari koma. Ayahku langsung memanggil dokter. Mereka hanya bisa menangis dan dokter memeriksaku. Setelah selesai dokter memeriksa, ayahku di suruh dokter untuk ke ruangannya, sedangkan kakek dan ibuku menemaniku.
“aku ada dimana? Kenapa aku ada di sini?” Tanyaku dangan terbata-bata. Ibu yang tak bisa berkata hingga akhirnya kakek menjelaskan semuanya kepadaku. Ternyata aku koma selama 1 minggu. Melihat kakek dan ibuku menangis aku pun ikut menangis.
Setelah beberapa hari siuman, aku ingin mencoba beranjak dari tempat tidur. Tapi, kakiku sangat berat sekali. Aku memanggil semuanya dan aku menjerit. Mereka semua langsung menghampiriku
“Kenapa nak kenapa?” Tanya ibuku.
“kakiku bu kakiku.”
“Kenapa dengan kakimu nak?”
“Aku tidak bisa menggerakkan kakiku. Ibu kenapa dengan kakiku?”
Ayah hanya bisa menangis melihatku, dan kakekku pun sama.
“Nak, yang sabar yah. Ini semua ujian dari Allah, kamu yang sabar yah.” Ucap ibuku menenangkanku sabil memeluk dan mengis.
“ayah, kakek aku gak mau, aku gak mau… tolong aku yah, kek tolong aku.”
“kamu pasti bisa sembuh, yakin dan berdo’a” Ucap kakekku.
Hari demi hari berlalu, aku sudah mulai menerima takdirku. Berbagai macam pengobatan sudah aku lakukan, namun belum ada yang aku rasakan.
Setelah kecelakaan itu, ayah dan ibuku pindah kembali ke rumah kakek. Ayaha meninggalkan pekerjaannya dan mencari pekerjaan baru. Kami pun hidup bahagia, meskipun di usiaku yang ke-19 ini aku memiliki kaki yang tidak sempurna.
Selesai
Cerpen Karangan: Siti Nurfauzi
Facebook: Nurfauzi

Diberdayakan oleh Blogger.

Blogroll

About