tag:blogger.com,1999:blog-8342014271141208382024-02-20T00:58:09.765-08:00KUMPULAN CERPENUnknownnoreply@blogger.comBlogger44125tag:blogger.com,1999:blog-834201427114120838.post-39547345300559866342020-10-04T07:05:00.001-07:002020-10-04T07:05:18.932-07:00Dari Balik Tirai<span> <b>Di seberang sebuah hotel, saat matahari tertutup awan.</b></span><div><span><span style="font-weight: bold;"> </span> Wanita itu bersimpuh pada jalanan yang becek. Tangannya mempermainkan sisa-sisa hujan tadi malam. Rambut kusutnya beriap diterpa angin pagi, hingga tampak jelaslah wajah rupawannya. Sebuah longdress kumal membalut tubuh sintalnya yang kotor. Namun sobekan di beberapa bagian membuat kulit putihnya jelas terlihat.<br /></span></div><div><span><span> </span><span> Ia tampak tertegun takkalah seorang pejalan kaki melemparkan kepingan uang rece padanya. Ditatapnya oarang tersebut dengan bibir komat kamit layaknya sedang melafalkan do'a atau mantra. Mungkin mengucapkan terima kasih atau mungkin juga berusaha menyapa dan mengajak berbincang-bincang pada pejalan kaki tersebut, karena di hari sepagi itu belum ada seorang pun yang bisa ia ajak bicara kecuali tetesan-tetesan air hujan yang masih menggenang. Bahkan mataharipun seakan enggan untuk sedikit beramah-tamah dan menghangatkan alam. Ia tetap bersembunyi dibalik awan hitam yang sejak semalam menggayuti.</span><br /></span></div><div><span><span><span> </span><span> "Bukan, Bukan" bisiknya sambil menatap pejalan kaki tersebut. Ia pun segera menundukkan wajah sambil terus mempermainkan genangan air dengan jari-jari tangannya.</span><br /></span></span></div><div><span><span><span><span> </span><span> Sebuah mobil mewah berhenti di halaman parkir hotel tersebut, dan tampaklah seseorang pria dan wanita berjalan menuju pintu hotel.</span><br /></span></span></span></div><div><span><span><span><span><span> </span><span> Ia mengangkat wajah dan memandang kedua insan tersebut. Namun kemudian ia mengelengkan kepala dengan dahi mengkerut.</span><br /></span></span></span></span></div><div><span><span><span><span><span><span> </span><span> "Bukan, bukan" gumanya. Wajahnya kembali merunduk.</span><br /></span></span></span></span></span></div><div><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> Hari beranjak siang. Hotel mulai ramai oleh para pengunjung dan jalan dipenuhi oleh kendaraan dan para pejalan kaki. Menegakkan wajah dan matanya meneliti satu persatu dari setiap orang yang dilihatnya.</span></span></span></span></span></span></span></div><div><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> "Ah, bukan. Tak ada satupun. Tak ada...,," ucapnya lesu. Wajahnya menampakkan kekecewaan namun matanya tetap meneliti. Ia sama sekali tak memperdulikan kepingan-kepingan uang rece yang berhamburan di hadapannya, yang dilemparkan oleh para pejalan kaki.</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></div><div><span><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> Matahari semakin meninggi dan membakar kulit. aan hitam musna seketika. Kesibukan kota siang itu mulai terlihat seperti biasanya. Kendaraan berlalu lalang menebar asap yang menyesakkan. Deru bis kota bersahutan dengan teriakan pengamen yang menyuguhkan tembang-tembang. Para pedagang kaki lima dan kedai-kedai makanan di penuhi pembeli. Harum makanan menggelitik hidung, membuat perut keroncongan di siang hari bolong begitu.</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> Namun wanita tersebut seperti tak terganggu oleh suasana yang ada. Kedua matanya tetap memandangi dan meneliti para tamu hotel dan setiap yang lewat di hadapannya, namun berkali-kali pula ia menggelengkan kepala. Bibirnya terus berkomat kamit dan sesekali tangannya menggaruk tubuh yang dihinggapi lalat dan nyamuk.</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> Ketika matahari telah bergulir ke sebelah barat, wanita itu tetap dalam penantian. Raut mukanya terlihat resah. Desisan sesekali terdengar dari mulut yang kadang diselingi oleh cipratan ludah.</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> Hingga warna jingga membayangi langit dan kemudian matahari perlahan mulai tenggelam, kedua matanya masih tetap meneliti dan mencari-cari. Ia tak beranjak dari tempat itu kecuali saat mengais sisa makanan dari tong sampah.</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> "Dia...mana dia? mengapa tak datang juga? Kemanakah dia?" Bibir keringnya bergumam. Tangannya mengusap wajah pucatnya. Matanya dengan nanar memandang orang-orang yang masih tersisa di penghujung hari. Lesu, lelah, putus asa... Akhirnya dengan lemas ia merebahkan tubuh dan dengan segera matanya terpejam. Rambut kusamnya menutupi wajah dan bagian dada yang sedikit terbuka. Sisa-sisa makanan yang tadi ia dapat dari tong sampah berceceran di sampingnya. Namun ia tak peduli. Ia tertidur dalam rasa lelah dan penat, beralsakan bumi, beratapkan langit, dan berselimutkan uadara malam gemintang berkelip, mengucapkan selamat malam padanya.</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: center;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span>****</span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: left;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> Dimalam itu, di sebuah kamar hotel yang temaram, dua jiwa berpadu rindu, dua raga bertautan dalam cumbu. Seperti malam-malam sebelumnya, malam itu pun mereka lewati dengan penuh gairah. Beberapa adegan percintaan dan beberapa kisah romantis tercipata dalam beberapa malam di kamar itu, dan terukir menjadi sekelumit sejarah dalam kehidupan mereka. Dan setiap suatu malam berujung, mereka mulai lagi malam yang baru, dengan kisah cinta yang baru, namun dengan gelora yang tetap membara. Seperti halnya malam ini, keduanya terbuai keindahan yang tak berujung.</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: left;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> "Roy..," terdengar bisikan seorang wanita.</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: left;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> "Hmmmm..?" gumam sang pria.</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: left;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> "Apakah yang kita lakukan ini benar?" Tanya wanita tersebut lirih.</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: left;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> "Tentu saja. Kita saling mencintai. Lantas apa lagi?" Jawab si pria</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: left;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> "Tapi, benarkah kau akan bertanggung jawab dan menikahiku?" bisik wanita tersebut</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: left;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> "Menikahimu? Tentu saja. Tapi sementara, kita nikmati saja yang ada. Kau mencintaiku, aku mencintaimu, itu sudah cukup bagi kita,"</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: left;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> "Tapi... Aku ingin secepatnya. Aku ingin kau segera menikahiku," suara wanita itu terderdengar resah.</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: left;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> "Kenapa?"</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: left;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> "Karena... karena aku lelah berbadan dua. Benih yang telah kau semaikan di rahimku ini telah tumbuh,"</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: left;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> "Apa?" Tanya pria itu dengan nada terkejut.</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: left;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> "Ya, aku hamil dan aku sangat bahagia. Bukankah kau pun begitu? Bukankah kaypun bahagia?" di balik temaramnya lampu, sekilas terlihat wajah riang wanita tersebut.</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: left;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> Pria itu diam. Pikirannya berkecamuk. Wajahnya berubah pucat dan jantungnya berdegup kencang. Keringat dingin perlahan membasahi dahi.</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: left;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> "Kenapa diam? Bukankah kau pun bahagia?" ulang wanita tersebut sambil memeluknya erat</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: left;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> "Ya.. ya, aku bahagia" ucap pria tersebut dengan suara bergetar. Wanita itu senyum senang. Namun ia tak menangkap getaran pada suara kekasihnya.</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: center;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span>****</span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: left;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> Roy memarkirkan mobilnya di tempat biasa, di depan sebuah hotel dimna ia sering menghabiskan waktu. Tempat dimna ia menikmati dan menjalani hidup sebagaimana adanya tanpa banyak terbebani. Ia menikmati hidupnya sebagaimana ia menikmati berbagai tubuh indah yang berhasil masuk dalam pelukannya.</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: left;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> Saat itu, dari sebrang sana, sepasang mata tampak memperhatikanya. Mata itu terbeliak dengan wajah tegang. Kemudian sesat menyipit dengan kening berkerut. Namun lagi, mata itu terbeliak, Hal itu terjadi berulang-ulang. Mimik wajah pun berubah-ubah mengiringi gerakan mata.</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: left;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> Roy membuka pintu mobil dan tanganya menyambut tangan kekasihnya. Sebuah senyum yang memikat dilemparkan Roy saat membuka pintu mobil. Dengan sedikit membukuk dan seulas kecupan di tangan sang kekasih, Roy mempersilahkan kekasihnya turun.</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: left;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> Sepasang mata itu kembali terbeliak. Digosoknya mata itu dengan tanganya untuk meyakinkan apa yang sedang dilihatnya. Tiba-tiba ia berdiri. Dengan tertatih-tatih, ia berjalan menyebari jalan yang ramai menuju halaman parkir hotel. Bibirnya meringis kesakitan takkala ia rasakan peut buncitnya bergerak.</span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: left;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> "Roy..Roy," bibir keringatnya berteriak.</span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: left;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> Roy, yang sedang menggandeng kekasihnya dengan penuh cinta, menghentikan langkah dan menoleh seketika. Dilihatnya seoarang wanita dengan langkah tertatih-tatih menghampirinya. Pakaianya kumal dan tubuhnya menebar bau busuk. Kedua tangan wanita itu memegangi perut buncitnya.</span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: left;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> "Siapa dia?" Tanya gadis di samping Roy sambil menutupi hidungnya dengan tangannya.</span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: left;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> "Tau! Orang gila kayaknya," jawab Roy.</span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: left;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> "Tapi, Kenapa dia tau namamu?" gadis itu bertanya lagi. Roy menggedikan bahu dan segera berbalik arah. Namun sebuah tangan meraihnya</span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: left;"><span> </span><span> "Roy, aku Lina. Aku menunggumu lama sekali. Bayi kita akan segera lahir," ujar wanita itu dengan wajah memelas.</span></div><div style="text-align: left;"><span> </span><span> "Aku tak mengenalimu, dasar orang gila! Pegi sana, badanmu bau busuk," Roy menepis tangan itu dengan jijik.</span></div><div style="text-align: left;"><span> </span><span> "Satpam, tolong singkirkan orang gila ini,. Mengganggu saja," teriak pada satpam.</span></div><div style="text-align: left;"><span> </span><span> "Hush... pergi sana. Dasar orang gila," usir satpam sambil memamerkan pentungannya. Wanita itu pergi dengan tubuh terseok-seok.</span></div><div style="text-align: center;">****</div><div style="text-align: left;"><span> <span> </span>Wanita itu menyandarkan tubuh pada sebuah pohon besar. Wajahnya kusam dan kotor dengan bibir kering pecah-pecah. sang bayu mempermainkan rambutnya panjangnya yang kusut dan sesekali membuat longdress kumalnya tersingkap. Kaki yang telanjang terlihat kotor dan pecah-pecah. Kulitnya nampak diselimuti debu dan daki yang tertumpuk yang semuanya itu menebar bau tidak sedap.</span> </div><div style="text-align: left;"><span> </span><span> Bibirnya komat-kamit dan sesekali kepalanya menggeleng. Tangannya menunjuk-nujuk dan kadang membentak setiap orang yang lewat didepannya. Derai tawa kerap keluar dari mulutnya yang dipenuhi busa ludah.</span><br /></div><div style="text-align: left;"><span><span> </span><span> Langit gelap, kilat menyambar, halilintar menggelegar. Tak terelakan, air hujan mengucur denga derasnya, membasahi setiap benda yang berada dibawahnya.</span><br /></span></div><div style="text-align: left;"><span><span><span> </span><span> Wanita itu berdiri tegak dengan wajah menantang langit. Kedua tangannya terentang keatas. Rambut panjangnya beriap mengikuti arah sang bayu. Derai tawa, yang sebenarnya mirip lengkingan, keluar dari bibir mengiringi gemuruhnya air hujan.</span><br /></span></span></div><div style="text-align: left;"><span><span><span><span> </span><span> Di seberang sana, dari balik tirai pada sebuah kamar hotel yang hangat, sepasang mata memperhatikannya.</span><br /></span></span></span></div><div style="text-align: left;"><span><span><span><span><span> </span><span> "Tungguhlah seseorang akan segera menyusulmu dan kau tidak akan sendirian lagi" gumamnya sambil menoleh pada tubuh indah di atas ranjang yang sedang tertidur lelap. Kemudian ia tersenyum aneh, senyum penuh misteri.</span><br /></span></span></span></span></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-834201427114120838.post-33551056784861599972020-10-02T03:44:00.001-07:002020-10-02T04:27:06.635-07:00Dara Di Batas Usia<div style="text-align: justify;"> <span> Dara berkulit gelap itu termenung dengan tangan kiri tertopang ke dagu. Mata lelahnya menerobos pekatnya malam dari balik gorden yang sedikit tersingkap. Desah kegundaan tak henti keluar dari mulutnya. Sesekali disekanya air mata yang menitik melintasi pipi yang memang tak mulus. Tak mulu memang. Namun pipi tersebut masih bisa merasakan kulit punggung tangannya yang kini mulai mengendur seiring dengan kerut penuaan yang menghiasi bagian wajah.</span></div><div style="text-align: justify;"><span><span><span> </span><span> Malam semakin larut. Semilir angin hinggap di pucuk-pucuk yang kemudian bergoyang pelan. Dingin udara malam terasa menusung hingga ke tulang. Sang dara meringis. Ada segaris rasa sakit mengiris seiring hembusan angin. Ada setangkup haru mengoyak kala udara malam mencengkram. Ringkih. Pilu</span><br /></span></span></div><div style="text-align: justify;"><span><span><span><span> </span><span> Dalam nafas yang terhela setiap waktunya. ada doa yang selalu terpanjat, sebagaimana doa saat itu, akan datangnya seseorang pendamping hidup. Seperti menjadi rutinitas, jika alam mulai gelap, ia akan mengintip malam melalui celah gorden yang terbuka, menembus kepekatan diantara gigilnya alam. selalu ia berharap, ada rahasia alam yang terkuak di gelap malam, yang dapat memberinya jawaban tentang teka-teki atas penantiaannya tersebut. dan diantara gelapnya semesta, langit raya dan gemintangnya adalah hal yang paling ia rindukan.</span><br /></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"><span><span><span><span><span> </span><span> Ada banyak kerlipan bintang disana. Sebersit harapan terlintas: satu dari ribuan kerlip cahaya tersebut akan jatuh melesat dengan pijarnya cahayanya, yang kemudian muncul dihadapannya sebagai seorang pangeran yang datang dikhususkan untuknya. Datang sebagai seseorang yang kemudian akan menemani dan menjadi pengisi kekosongan hatinya, menjadi penenang jiwanya yang gundah.</span><br /></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"><span><span><span><span><span><span> </span><span> Namun sayang, bintang jatuh dan pangeran hanyalah dongeng belaka, hanya cerita khayal semata. Tak ada bintang jatuh, tak ada pangeran, dan tak ada pula pendamping baginya. Hingga kini, hingga batas usia bagi lazimnya perempuan dewasa untuk berumah tangga, belum juga ia mendapat belahan jiwa.</span><br /></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> Empat puluh lima tahun. Ya, di usianya tersebut belum juga Tuhan memberkahinya jodoh. Cukuplah usia setua itu bagi seorang perempuan untuk mempunyai suami dan menimang dua atau tiga orang anak. Sebagaimana kawan-kawannya, kerabatnya, dan bahkan dua adik perempuannya yang sudah menikah melangkahinya. Dan tadi siang, tepatnya di tengah hari yang menyengat, adik bungsunya dengan ragu-ragu memberitahu dan meminta izin untuk melangkahinya pula. Sejenak ia terdiam, menatap sang adik yang menunggu dengan kepala tertunduk. Akhirnya ia mengangguk juga. Sang adik bersuka ria yang kemudian memeluknya penuh dengan kegembiaraan. Air mata merembes, membasahi kelopak dan sudut-sudut matanya. Sang adik melepaskan pelukan, mundur perlahan, dan menatapnya dengan haru biru. Namun kemudian ia berujar.</span><br /></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> "Tak perlu meminta maaf. Tangis ini adalah tangis bahagia untukmu, bukan tangis kesedihan" Ucapnya. Namun percayalah! Hatinya saat itu meleleh, seperti melelehnya es krim di tangan keponakannya yang terbakar matahari siang tadi.</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> Sungguh pilu hidup tanpa seoarang pendamping. Tak ada tempat untuk mengadu, tak ada penghibur dikala sendu. Dan seperti kebiasaan wanita tanpa pendamping, ia pun sibuk digunjing, menjadi buah bibir orang sekeliling. Dilempar kesan kemari tak ada henti-hentinya. Dirinya seolah menjadi cerita menarik yang sepertinya tak akan pernah usai. Cerita tentang perempuan yang akan tetap menjadi perawan karena tak menikah.</span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> Dulu sewaktu umurnya masih belia dan pipinya masih ranum, beberapa pria ingin mempersuntinya. Mereka datang dengan berbagai macam janji dan buah tangan. Ada yang datang dengan gelar dan kedudukan. Pun ada yang datang dengan sebongka cinta yang konon katanya bongkahan tersebut bisa berkuasa atas segalanya. Janjipun terbuai dari mulut mereka. Ada yang menjanjikan gunung mas. Ada yang menjanjikan takhta dan kejayaan. Dan pula ada yang menjanjikan lautan cinta dengan romantisme buta di dalamnya.</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> Namun tak satupun dari mereka mampu menggoyahkan apalagi meruntuhkan hatinya. Ia memandang mereka dengan mata terpicing. Sebuah keyakinan dipegangnya kuat bahwa ini zaman moderen dimana seorang wanita akan mampu hidup sendiri setidaknya sampai semua mimpi dan angannya terkejar. Semua pinangan pun terpental, tak sanggup menembus dinding baja yang melingkupi hatinya. Dan sang dara terus berlari mengejar puncak kehidupan yang sebenarnya tak lebih dari sebuah fatamorgana. Ia meninggalkan semua di bawahnya dan tersenyum penuh kemenangan saat mencapai puncak mimpi.</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> Detik bergulir, masa berselang. Beberapa letusan pesta kembang api di pergantian tahun telah berulang-ulang berlalu melewatinya. Lambat laun kulitnya mulai mengendur dan pengelihatannya merabun. Saat ia sadar, ia mendapati tak seorangpun di sekelilingnya. Kawan-kawan dan kerabat telah menjauh dan sibuk dengan urusan keluarga masing-masing. Pria pun sepertinya tak ada lagi yang tertarik padanya. Tak ada apapun dan seorangpun ia miliki kecuali sepi yang menikam. Seperti sepinya ubun-ubun malam yang kini selalu ia lalui dalam sesal dan penantian.</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-834201427114120838.post-83076064304889541752020-09-30T03:26:00.001-07:002020-09-30T03:26:14.167-07:00Atas Nama Cinta, Atas Nama Kesetiaan<p style="text-align: justify;"><span><span> </span><span> </span>Atas nama cinta, atas nama kesetiaan dan kasih sayang. Demi tuhan, semua itu telah membelengguku begitu erat. Tanah basa itu perlahan mengering. Rumput dan pucuk-pucuk hijau menguning. Pohon-pohon meranggas dan alam mengerang setiap kali perputaran musim berganti. Namun aku tak bergeming, tetap mematung dalam belenggu cinta dan kesetiaan</span></p><p style="text-align: justify;"><span><span><span> </span>Tanah basah lagi, tanah kering lagi. rumput hijau lagi, rumput menguning lagi. Alam meradang. Perputaran waktu telah mencekik leher dan menyeretnya kedalam lingkaran ketuaan. Kulitnya semakin mengerut dan wajahnya kusam, Rumput dan pucuk-pucuk telah berganti beberapa generasi.</span></span> </p><p style="text-align: justify;"> <i> (Beberapa pinangan datang, namun semua berujung penolakan. Dan pinangan pun pulang sia-sia, namun tegar. Dengan senyum kemenangan: Atas nama cinta, atas nama kesetiaan)</i><br /></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"> </span><i> </i>Atas nama cinta dan kesetiaan. Aku terbelenggu, tanganku terikat, dan kakiku terpasung dalam kesetiaan. Badanku semakin membesar dan tambun. Orok dalam rahimku menendang dan menerjang-nerjang. Sesaat dia menggeliat, kemudian dia. Aku menarik nafas lega.<br /></p><p style="text-align: justify;"><span> </span><span> Aku teringat pada malam-malam terkutuk yang menyeretku pada kenistaan ini. Udara dingin, alam senyap, pekat memukat malam.</span><br /></p><p style="text-align: justify;"><span><span> </span><span> "Rebahlah disampingku Dik. Aku akan menitipkan cinta ini padamu" ujarnya saat itu.</span><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span><span><span> </span><span> "Tapi... apakah yang aku kita lakukan ini benar?" tanyaku ragu</span><br /></span></span></p><p style="text-align: justify;"><span><span><span><span> </span><span> "Tentu saja. Kita saling mencintai. Lantas apa lagi?" ujarnya menenangkanku.</span><br /></span></span></span></p><p style="text-align: justify;"><span><span><span><span><span> </span><span> Aku membenarkan perketaannya. Aku tak berkutik. Dan aku tak menolak saat tangannya melucuti kain yang kupakai satu persatu dan kemudian tubuh kekarnya menindihku. Semua itu, setaip gerakan tubuhnya dan juga penerimaanku, kujabarakan sebagai arti cintaku dan cintanya. Aku diam, atas nama cinta, atas nama kesetiaan.</span><br /></span></span></span></span></p><p style="text-align: justify;"><span><span><span><span><span><span> </span><span> Malam yang ini itu berlalu. Kemudian kutemui malam-malam indah lainnya. Seperti sebelumnya, gulitanya alam pun terlewati dengan penuh gairah. Beberapa adegan percintaan dan kasih romantis tercipta dan terukir menjadi sekelumit sejarah dlam kehidupanku. Dan setiap suatu malam berujung, aku mulai lagi dengan malam yang baru, dengan adegan cinta yang baru, namun dengan gelora yang tetap membara. Lagi, lagi,lagi dan lagi</span><br /></span></span></span></span></span></p><p style="text-align: justify;"><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> Aku tak peduli pada malam yang mengingatkanku. Aku tak malu pada dinding yang menunduk sendu, pada tanah malam yang basah, pada udara yang meneteskan embun-embun pagi. Aku tak perduli, aku tak merasa malu. Atas nama cinta, atas nama kesetiaan</span><br /></span></span></span></span></span></span></p><p style="text-align: justify;"><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> Dan bahkan , saat mereka mengingatkanku, dengan lantang aku berteriak.</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></p><p style="text-align: justify;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> "Persetan dengan petuah dan nasehat kalian. Matilah. Aku berada pada jalanku" ucapku penuh kemarahan. Semua atas nama cinta, atas nama kesetiaan.</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></p><p style="text-align: justify;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> "Tunggulah aku, Dik. Aku akan kembali suatu saat. Telah kusematkan benih dirahimu, petanda aku akan kembali. Karena itu, setiahlah padaku, waktu akan menguji kesetiaanmu,"</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></p><p style="text-align: justify;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> Dengan lugu, aku pun menggangguk. <i>Sompret!</i> Kenapa aku bisa sebego itu?</span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></p><p style="text-align: justify;"><span> </span>Demi tuhan. Cinta itu telah mengekangku. Kesetiaan telah membelengguku. Dan kenistaan mengiringiku. Kecaman datang bertubi-tubi. Mulut-mulut nyinyir menusukku. Sinar mata penuh jijik menamparku berulang-ulang. Aku tertunduk. Rasa malu menggelayut. Perih mengiris-iris.</p><p style="text-align: justify;"> "Hhhh..," desah penuh kebingungan keluar dari mulutku, Dadaku terasa sesak dan berat. Orok semakin gencar menendang-nendang perutku. Aku meringis. Atas nama cinta, atas nama kesetiaan. <i>Shit!</i><br /></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"> </span><i> </i>Demi malam yang kutaburi dengan kenistaan. Demi perbuatan terkutuk yang kulakukan. Demi cinta dan kesetiaan yang begitu kuagungkan. Lihatlah: aku terduduk lesu, terpuruk dalam belenggu cinta dan kesetiaan. Namun, kenapa cinta itu tak memperdulikanku sama sekali? Kenapa ia tak menoleh pada apa yang kusebut dengan pengorbanan? Pengorbanan yang memebelenggu dalam kata kesetiaan, hingga aku tak boleh berpaling; pengorbannan yang menggantungku pada kenistaan seumur hidup; pengorbanan yang membuat kecaman dan mulut nyinyir itu mencabikku. Apakah cinta dan kesetiaan itu adalah ayat-ayat yang harus selalu kuagungkan? <i>Keparat!</i><br /></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"> </span><i> </i>Tanah basa lagi, tanah kerng lagi. Aku masih tertunduk, merenda penyesalan. Kabar darinya tak kunjung datang, cintapun tak menyapa. Hanya aku yang terkubur dalam kubanggan keninaan dan keputusasaan. Aku menggigil kedinginan. Aku berteriak kepanasan.</p><p style="text-align: justify;"><span> </span><span> Tak ada yang peduli. Tidak juga dengan dirinya. Nadiku semakin melemah. Namun orok itu semakin menendang keras, petanda bahwa ia semakin kuat, dan tak lama lagi lahir.</span><br /></p><p style="text-align: justify;"><span><span> </span><span> Atas nama cinta, atas nama kesetiaan. Ah.......</span><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> </span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-834201427114120838.post-21204322583728725702020-09-27T05:53:00.007-07:002020-09-27T05:53:59.959-07:00Aku Memang Cantik<div style="text-align: justify;"> <span> Perkenalkan, Namaku Cantik. Orang tuaku menamakan begitu karena mereka menginginkanku menjadi anak cantik. Dan mujur, aku memang tumbuh menjadi wanita yang cantik.</span></div><div style="text-align: justify;"><span><span><span> </span><span> Aku memang cantik. semua orang yang mengenalku mengakui hal itu. Wajahku oval dengan hidung mancung dan mata yang indah. Bibirku merah segar meski tanpa pemoles. Kulitku putih halus dan nampak kemerah-merahan jika panas matahari menyengat.</span><br /></span></span></div><div style="text-align: justify;"><span><span><span><span> </span><span> "Laksana buah ranum yang setiap lelaki ingin memetiknya" kata Om Naryo, salah satu fansku.</span><br /></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"><span><span><span><span><span> </span><span> Rambutku hitam bergelombang. Tubuhku sintal dengan dada membusung. Badanku akan terlihat gemulai jika aku berjalan.</span><br /></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"><span><span><span><span><span><span> </span><span> "Bak gitar atau biola yang setiap lelaki ingin memainkannya" ujar Om Deni, fansku yang lain.</span><br /></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> Aku memang cantik. Semua orang pasti mengakuinya. Jika ada yang tidak setuju dengan pendapat itu, maka orang itu biasanya iri dengan kecantikanku. Para lelaki hidung belang sangat memujaku. Mereka selalu mendekati dan berharap dapat menikmati tubuhku, membelai kulit putihku, dan merasakan segarnya bibir merahku.</span><br /></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> Tetapi banyak sekali wanita yang membenciku. Mereka tidak suka jika para suami atau ayah mereka mendekatiku.</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: center;">****</div><div style="text-align: justify;"> <b>Suatu hari di rumah pak Nata</b><br /></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-weight: bold;"> </span><b> "</b>pantas saja beberapa hari ini nggak pulang. Rupanya ngebooking perempuan jalang itu lagi," teriak bu Ria, istri pak Nata<br /></div><div style="text-align: justify;"><span> <span> </span>"Sabar, Bu, sabar. mana ada aku pergi main perempuan? aku kan mencari uang untuk kamu. Nih...," jawab pak Nata tenang. Disodorkannya beberapa lembar uang lima puluh ribuan pasa istrinya. Masih dengan cemberut, bu Ria menerima uang itu.</span><br /></div><div style="text-align: justify;"><span><span> </span><span> "Ya, sudah. Mandi dulu sana. Air hangatnya sudah siap," suara bu Ria melunak. Ia tak lagi sewot seperti sebelumnya.</span><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span><span><span> </span><span> "Untung tak ketahuan," batin pak Nata sambil mengusap dada. Diingat lagi tadi malam saat ia menyalipkan beberapa lembar ratusan ribu pada belahan dada si Cantik.</span><br /></span></span></div><div style="text-align: center;"><span><span><span>****</span></span></span></div><div style="text-align: justify;"><span><span><span><span> </span><span> Aku memang cantik. Aku tak bosan mengatakan hal itu karena aku memang cantik. Banyak lelaki bertekuk lutut karena kecantikannku. Tetapi, sebenarnya modalku bukan hnya kecantikan wajah. Ada rahasia-rahasia lain yang kumiliki untuk membuat kaum adam tak berdaya. Ingin tahu rahasianya? Ssst.... ini antara kita saja. Orang lain tak usah tahu. Pertama, aku selalu bertutur kata halus dan lembut agar meraih simpati semua orang terutama para pria. Malahan, terkadang aku pun mengenakan kerudung gaul dan baju panjang. Bukan untuk aurat, melainkan untuk menutupi profesiku sebenarnya. Kedua, aku selalu memperlakukan lelaki sesuai dengan yang mereka inginkan. Aku tahu pasti dimana letak kelemahan mereka dan aku pun punya cara agar mereka bisa berpaling dari para istrinya. Dan yang ketiga, Sssst... ini yang paling rahasia, sebenarnya aku menggunakan sedikit pellet, susuk dan jampi-jampi dari mbah dukun kepercayaanku supaya profesiku ini laku keras.</span></span></span></span></div><div style="text-align: center;"><span><span><span><span>****</span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"><span><span><span><span> <b>Dirumah pak Ryan</b><b> </b></span><br /></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"><span><span><span><span><span style="font-weight: bold;"> </span><b> "</b>Prang...," suara piring pecah membuka suasana pagi. Wajah pria intu terlihat merah dan membesi. Piring yang barusan di lemparnya pecah berkeping-keping.<br /></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"><span><span><span><span><span> </span><span> "Aku tak suka setiap kali kamu menuduhku berbuat serong," teriaknya. Bu Novi, istrinya, terdiam dengan linangan air mata di pipi. Piring pecah dan sedikit tamparan dari sang suami cukup membuatnya ketakukan setengah mati.</span><br /></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"><span><span><span><span><span><span> </span><span> "Tapi... aku melihat kamu pergi dengan perempuan itu" ujar bu Novi, di sela isak tangis</span><br /></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> "Dengar! Aku pergi dengannya hanya urusan bisnis. Kamu dengar? Hanya untuk urusan bisnis. Tak lebih dari itu. Dasar perempuan tak tahu diuntung!" ujar gerang. Dibanting pintu dan kemudian ia pun pergi. Bayang si cantik menari-nari di pelupuk matanya. Ingin sekali hatinya untuk segerah memeluk boneka itu.</span><br /></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: center;"><span><span><span><span><span><span><span>****</span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> Aku memang cantik. Aku takut dengan ketuaan yang menggerogoti karena aku telah memakai susuk dari mbah dukun. Aku pun tak takut dengan kearahan suamiku jika ia tahu keberadaanku dengan lelaki lain. Malahan, ia sangat mendukung profesiku karena ia tak perlu capek-capek cari uang. Anak-anakku pun, yang juga sama cantiknya sepertiku, mendukung pekerjaanku. Dan pada mereka, yang aku sendiri tak tahu lelaki mana yang menjadi bapak mereka, ku ajarkan bagaimana caranya menekuni bidang ini. Siapa tahu mereka tertarik dengan apa yang kulakukan. Karena mereka pun tahu bahwa profesiku ini sangat menjanjikan, hi..hi..hi..</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> Mungkin ada sebagian yang heran kenapa keluargaku begitu kompak. Jawabannya adalah karena aku selalu menggunakan mantra penakluk dari mbah dukun kesayanganku. Selain itu, mungkin karena nasibku yang selalu mujur bahwa aku memiliki wajah cantik dan juga keluarga yang sangat mendukung.</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: center;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span>****</span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span> <b> Di penghujung malam yang dingin</b><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span style="font-weight: bold;"> </span><b> </b>Bu Dina masih bersimpu pada sajadahnya. Mulut komat-kamit dengan kedua tangan terangkat. Butiran air mata nenbasahi kelopak dan bulu-bulu matanya.<br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> "Ya Allah. Sadarkanlah suamiku dari apa yang selama ini diperbuatnya. Yang dia lakukan telah lebih dari sekedar menyakiti hamba sebagai istrinya, tetapi juga telah keluar dari jalan-Mu, yaitu selalu berzina dengan perempuan jalang. Kehidupan kami pun menjadi hancur setalah ia sering pergi pada perempuan itu. Hati ini terasa sangat sakit dan hamba yakin bahwa banyak wanita-wanita lain yang merasa sakit karena perselingkuhan suaminya. Karena itu, sdarkanlah mereka, suami hamba dan juga perempuan itu. Jika tidak, maka hamba serahkan semuanya pada-Mu, yang maha mengetahui dan menguasai"</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: center;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span>****</span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> Kukatan sekali lagi, aku memang cantik. Aku tak bosan dan tak akan pernah bosan mengatakan kalimat itu, seperti halnya om Diki yang tak pernah bosan merayuku untuk menjadikan istri kesekiannya. Tapi aku tak mau sedikit pun untuk menjadi istri dari para penggemarkau. Yang kuinginkan dari mereka hanyalah uang, tak lebih dari itu. Masih kuingat kata-kata rayu om beristri tuju beranak sembilan ini.</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> "Kamu begitu berbakat. Permainanmu lincah dan menggemaskan. Akan kuberi semua yang kamu minta jika bersedia menjadi istriku,"ujarnya.</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> </span><span> Tapi segala rayuan yang ia lontarkan bahwa aku cantik, bahwa aku hebat tak akan mempan bagiku. Aku tak perku rayuan itu, aku tak butuh kegombalan itu. Aku sudah merasa cukup puas jika berhasil membuat para pria bertekuk lutut, dan para wanita merasa sakit hati dan mengancamku. Ada kepuasan tersendiri jika aku melakukan hal itu. Dan selain itu, tentu karena uang. jika uang tersedia, maka si cantik dengan segala kehebatannya menjadi milikmu tak percaya?</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-834201427114120838.post-69594915733494479582020-09-25T03:02:00.005-07:002020-09-25T03:02:59.170-07:00Akhir Sebuah Pagi<span> Tubuhku masih tergolek diatas kasur empuk dengan mata terpejam seakan tak ingin mengakhiri sisa - sisa malam yang perlahan habis. Ingatanku dengan segar men-flash back kejadian menakjubkan di malam ini namun kurasakan dengan pasti sinar matahari telah mengintip, memaksa menerobos masuk melalui celah - celah jendela seakan ingin mengingatkan kalau hari tak lagi malam. dengkuran halus terdengar dari orang yang rebah di sampingku.</span><div><span><span> Seulas senyum tersungging di bibirku. Masih dengan mata terpejam, kugerakkan tangan dan dengan lembut jari -jari halusku mulai menulusuri lekukan wajah di sampingku. Aku mengenal lengkukan wajah dan mengenal setiap bagian dari tubunhnya dengan baik dan bahkan sangat baik. Aku mengenali semua yang merupakan bagian dari dirinya seperti aku mengenali diriku.</span></span></div><div><span> Kurasakan wajahku bersinar terang seterang matahari yang menyapa alam di luar sana. Dengan perasaan hangat dan lembut, ku-<i>rewind</i><i> </i>rekaman tadi malam yang kusimpan rapat dalam memoriku dan kemudian ku putar lambat-lambat.<br /></span></div><div><span><span> Di sebuah kamar villa di kawasan Lembang yang sejuk, sebuah tempat yang jauh dari keramaian kota Bandung, sebuah tempat yang cukup nyaman untuk melepas semua lelah dengan segalah kepenatan, sebuah tempat yang cukup aman untuk melindungi diri dari peliknya problematika hidup, dan juga sebuah tempat yang mampu membawa beberapa tahun silam kembali dalam genggamanku.</span><br /></span></div><div><span><span><span> Tadi malam di tempat itu, ketika rembulan dengan malu-malu menampakan diri, ketika gemintang berkelip tajam tanpa terhalang mendung, ketika malam semakin pekat, ketika suara jangkrik dan binatang lainnya bersahutan jauh di luar sana, ketika angin berhembus lirih ketika tembok dan seluruh isi kamar itu diam membisu, aku dan dia terhanyut, larut dalam kerinduan yang makin berkarat.</span><br /></span></span></div><div><span><span><span><span> Kerinduan akana keindahan yang selama ini selalu kami inginkan, kerinduan akan saat-saat seperti itu, yang ternyata terjadi bahkan setelah bertahun-tahun perpisahan. Tak ada suara, tak ada kata-kata. Kebisuan kami menambah bisunya ruang itu. Hanya desahan nafas yang memburu, bertarung dengan gelapnya malam yang kian pekat.</span><br /></span></span></span></div><div><span><span><span><span><span> Seulas senyum tersunggih di bibirku. jari tanganku semakin lincah menelusuri tubuh yang rebah di sampingku. Mataku masih terpejam tanpa ada keinginan untuk membukanya.</span><br /></span></span></span></span></div><div><span><span><span><span><span><span> Sungguh, malam ini begitu berbaik hati kepadaku sehingga aku bisa bermimpi dengan indah. Aku bisa melewati malam ini dengan baik dan lancar tanpa harus terbebani dengan berbagai perasaan yang selalu menghinggapi setiap malamku: merasa jijik dengan bau keringat yang selalu terasa asing meski telah sering kucium bau itu, merasa risih mendengar deru nafas penuh birahi, merasa terganggu jika ada air ludah bercampur dengan air ludahku, juga merasa perih dan tertusuk hatiku hingga aku harus meneteskan air mata.</span><br /></span></span></span></span></span></div><div><span><span><span><span><span><span><span> Sungguh malam ini begitu menakjubkan. Ia mampu mengantarkan sebuah keindahan yang kuinginkan dari beribu malamku yang terenggut. Ia mampu mewujudkan mimpi dan kerinduan yang kian berkarat setiap detiknya. Ia mampu mengubah rasa jijik, risih, terganggu, atau rasa perih hati menjadi sebuah keinginan dan harapan untuk terus bisa merasakan damainya malam ini di malam-malam lainnya. Betapa keinginan itu terus membara, betapa hasrat itu tak pernah padam meski tahun-tahun telah aku lewati dengan berbagai dinamika kehidupan.</span><br /></span></span></span></span></span></span></div><div><span><span><span><span><span><span><span><span> Sentuhan jari-jari tanganku sepertinya tidak mengusik tidur lelepnya. Ia hanya menggeliat sejenak dan kemudian terlelap lagi. Akupun sama sekali tak berniat membangunkannya.</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></div><div><span><span><span><span><span><span><span><span><span> Tiba-tiba bunyi nada polyphonic terdengar menggelitik telinga. Kuraih telpon genggam miliknya, dariman bunyi itu berasal. Dengan segerah aku mengetahui dari siapa panggilan tersebut. Pandanganku berpindah-pindah pada telpon genggam dan pada pria yang rebah disampingku. Haruskah aku membangunkannya? pikirku ragu. Namun bunyi tersebut tak pernah berhenti dan makin lama semakin kencang. Dengan hati-hati akhirnya ia kubangunkan dan kusodorkan benda itu padanya yang ia sambut dengan enggan.</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> "Pagi....," sapanya dengan suara serak yang langsung mendapat jawaban dari sebrang,</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> "Ya, Papa baru bangun. seminar kemarin sangat menguras energi sehingga terasa melelahkan," ujarnya.</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> "Apa? Hp papa mati?O... ya, tadi malem sengaja dimatikan supaya tidak menggangu istirahat papa. Papa selalu capek hingga tertidur lelap dan tidak tahu lagi apa yang terjadi hingga mama membangunkanku," kulihat keningnya berkerut mendengar ocehan dari ujung sana.</span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> "Ya..ya, papa usahakan segera pulang. Mungkin sore atau malam ini akan tiba dirumah. Okay, baik-baik dirumah ya, bye-bye, mmuach....," katanya yang dengan segera mengakhiri pembicaraan tersebut dengan meletakkan kembali telpon genggam itu pada tempat semula. tanpa berkata apa-apa ia menarik selimut yang sedang kupakai dan kemudian membenamkan tubuhnya kedalam selimut tersebut.</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> "Istrimu?" tanyaku dengan nada cemburu</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> Ia tidak menjawab. Telunjuknya menempel di bibirku. jari-jari tangannya menyibakkan lembar-lembar rambut yang menutupi sebagian kening dan mataku. Kemudian dengan erat ia membenamkan wajahku di dada telanjangnya sehingga dapat kurasakan degup jantungnya.</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> "Aku tak ingin pagi ini berakhir. Aku tak ingin lagi melewati malam-malam tanpamu. Aku ingin.... aku ingin selalu merasakan indahnya tadi malam," ucapku tersendat</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> Ia membelai rambutku dan dengan lembut berkata.</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> "kita tak ingin saat indah ini berakhir. Kita tak ingin mengakhiri malam, mengakhiri pagi dan mengakhiri segalanya. Dulu pun kita tak ingin mengakhiri kebersamaan kita meski kemudian semuanya berakhir."</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> "Berjanjilah...," ucapku bergetar</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> "Berjanjilah bahwa akan selalu ada hari lain, malam lain, dan kita akan selalu saling memiliki,"</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> Ia melepaskan pelukannya dan terlentang dengan mata lurus menatap langit kamar. Dijadikan kedua tangan sebagai bantal. Desah nafas panjang terdengar darinya.</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> "Aku tak menyangka kita akan bertemu lagi setalah bertahun-tahun perpisahan yang menyakitkan itu. Dan di sinilah kita sekarang, di sebuah tempat yang dulu selalu kita idam-idamkan. Apakah aku bermimpi?" desisnya</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> "Tidak, kau tidak bermimpi, kita tidak sedang bermimpi. Kita sedang berusahan mewujudkan impian dan harapan kita dan aku yakin kita akan bisa melakukannya bersama-sama seperti apa yang kita inginkan dulu,"ujarku penuh semangat</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> Ia terdiam. "Aku tahu kau terluka. Aku pun begitu. Kita sama-sama terluka. Hanya saja aku tidak bisa mencucurkan dan bersimbah air mata sepertimu..," Katanya tercekat. "Aku tak pernah berhenti mencintaimu. Tapi ingatlah kita masing-masing telah mempunyai keluarga dan tidak bisa meninggalkan mereka" lanjutnya kemudian.</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> "Kau....kau tidak tahu betapa menderitanya aku melalui malam-malam menjijikan. mencium bau keringat orang yang telah tidak aku sukai, memperhatikannya, dan melahirkan anak untuknya. Kenapa aku tidak melahirkan anak untukmu? Kenapa? semua ini begitu menyakitkan" kataku disela isak tangis.</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> Ia memejamkan mata. wajahnya menyeringai kesakitan: bibirnya bergetar. Perlahan dari sudut matanya kulihat butiran bening yang kemudian membasahi bulu-bulu matanya. Aku tertegub. Betapa ia pun merasakan sakit yang sama sepertiku.</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> Begitulah, akhirnya pagi pun berakhir berlalu dalam kepedihan. Keindahan sekejap di malam itu tak mungkin lagi aku miliki. Dengan tegar namun hampa, kubuka gorden kamar; kubuka jendela. kubiarkan matahari menerobos langsung menerpa kulitku. Dan sepertinya bukan hanya matahari yang akan menerpaku, tapi akulah yang akan menyongsong dan menantangnya dengan segala ketegaran yang kumiliki.</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span><span> Kutatap hari dengan penuh kehampaan, kubiarkan rasa di hatiku hancur berkeping-keping hingga aku berharap tak akan ada lagi rasa dalam diriku. Biarlah rasa ini mati; biarlah gulita selalu menyelimuti hidupku karena bagiku bersinar atau tidaknya matahari tak berarti banyak.</span><br /></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><div><span> "Kapan seminarnya berakhir, Ma? cepat pulang ya, Nia kangen...," rengek suara dalam telpon genggamku. Aku tertegun. amataku menatap tajam, membela matahari yang kian memerah****</span><br /></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-834201427114120838.post-58804056459097424222017-02-05T20:50:00.002-08:002017-02-05T20:50:29.728-08:00Kenanganku dan TentangnyaLima belas tahun aku menyimpan rahasia ini. Bahwa aku mengalami masa
kecil yang buruk. Kemurungan demi kemurungan pada semua hari yang
kulalui. Aku tidak dapat menceritakannya ke siapapun.<br />
Ya, aku mengalami pelecehan s*ksual semasa kecil. Oleh tetangga, dan
teman-temanku sendiri. Orangtuaku yang masih menganggap s*ksual sebagai
hal yang tabu dan tidak pantas untuk dibicarakan. Dan aku selalu
mengurungkan niatku untuk menceritakan hal ini kepada mereka.<br />
Aku lebih memilih untuk menutup rapat-rapat semua kenangan buruk itu.
Meski sering dada ini terasa penuh dan air mata pasti tak dapat
terbendung jika mengingatnya. Aku tau, hal ini berefek pada pola
pertemananku. Aku takut dengan anak laki-laki, dan aku lebih memilih
untuk menghindari mereka. Terlebih saat ada yang terlihat mulai
mendekatiku, aku takut, kenangan itu pasti muncul.<br />
<br />
Dimas namanya, teman kuliahku. Ia cukup tenar di antara teman-temanku.
Kata mereka ia cukup tampan, dan banyak pula temanku yang
mengidolakannya. Tapi aku? Aku lebih memilih diam saat mereka
membicarakan mengenai laki-laki. Terkadang beberapa temanku seperti
terheran, dengan sikapku saat mereka membicarakan dimas atau teman
laki-laki yang lain. Dan memang kadangkala aku malah pergi jika mereka
mulai memulai pembicaraan tentang laik-laki. Aku tak menjelaskan apapun
disitu.<br />
<br />
Diusia ini aku sadar, aku tidak akan bisa terus menerus menghindar dari
teman laki-laki. Aku berusaha untuk berteman dengan mereka, meski dengan
sangat terbatas. Aku berusaha selalu bersikap seolah aku tumbuh dengan
normal. Meski kadang mungkin aku tidak dapat menutupi kemurungan.
Ingatan demi ingatan itu masih sangat jelas. Terkadang keringat dingin
yang akhirnya menetes saat aku menahan dan menolak untuk mengingat
semuanya.<br />
Sampai pada suatu ketika, dimas menghampiriku dan menanyakan beberapa
hal terkait materi kuliah yang ia belum pahami. Dimas ternyata sangat
sopan. Bahkan ia tidak seperti teman laki-laki yang lain saat bertanya.
Ia memilih menggunakan kata-kata yang santun, dan lebih seperti meminta
tolong namun jangan sampai membebani.<br />
<br />
Awalnya aku agak canggung saat berbicara dengannya, namun tidak ada rasa
takut sama sekali. Seiring intensitas kami berbicara, rasa canggung
mulai hilang. Kesantunannyalah yang membuatku tidak merasa takut ataupun
canggung. Bisa dikatakan ia adalah satu-satunya laki-laki yang bisa
mengajakku berbicara untuk waktu yang cukup lama selain dari ayah dan
kakakku. Aku dengan leluasa menjawab apa yang menjadi pertanyaannya. Tak
jarang aku juga bertanya mengenai hal-hal yang belum aku pahami.<br />
Teman-teman cewekku mulai mengatakan kalau aku ada peningkatan. Aku
tidak lagi cupu seperti dulu. Mereka mengira aku dan dimas ada sesuatu,
namun aku menyangkalnya. Hubungan kami hanyalah sebatas teman dan tidak
lebih. Meski mereka tidak percaya, namun memang itulah yang terjadi
sampai detik ini.<br />
<br />
Setelah beberapa saat, aku dan Dimas mulai bertukar nomor hp. Obrolan
kami melalui hp juga hanya sebatas tanya jawab masalah tugas dan materi
kuliah, tidak lebih.<br />
Namun pada suatu ketika, dimas mengirim pesan yang berisi ajakan untuk
makan malam. Aku sedikit kaget. aku memang anak kos, tapi aku juga
jarang keluar malam. Menjadi kebiasaanku seperti saat masih sekolah,
tidak boleh keluar malam jika tidak ada alasan tepat.<br />
<br />
Lima belas menit belum kujawab pesan itu. Aku lebih memilih ke kamar
sahabatku, ira. Kami mengobrol tentang beberapa hal, hingga sampai pada
pembicaraan mengenai dimas. Ira adalah sahabatku yang paling dekat
diantara yang lain. Ia adalah teman kos sekaligus satu jurusan denganku.
Dan benar saja aku tidak dapat menyembunyikan banyak hal dari dia,
terkecuali masa laluku yang memang aku simpan rapat-rapat. Apalagi saat
itu ada pesan masuk dari dimas yang menanyakan kembali kesediaanku.<br />
<br />
Ira merebut hpku dan membaca pesan dari dimas. “What?? Dimas ngajakin kamu makan?” celotehnya<br />
“Iya” jawabku<br />
“Trus jawaban kamu?” tanyanya lagi<br />
“Aku masih bingung” jawabku lagi<br />
<br />
Ira sebenernya sudah mulai mencium gelagat dimas padaku, dan ia
membujukku untuk mau memenuhi ajakan dimas dengan berbagai cara. Dan
sampai pada kalimat yang membuat aku tersadar “Lel, harus ada orang yang
kamu percaya untuk melindungi kamu”. Entah kenapa dia bisa berkata
seperti itu, padahal aku tidak pernah menceritakan apapun tentang masa
laluku. Akhirnya aku membalas pesan dimas dan menerima ajakannya.<br />
<br />
Malam itu, dia menggunakan sepeda motor yang selalu ia pakai berangkat
kuliah untuk menjempuku. Aku tau dimas orang berada, namun hal itu tidak
pernah ia tampilkan dalam kesehariannya. Meski dikenal playboy, namun
ia tetap berpenampilan sederhana.<br />
<br />
Ia mengajakku makan malam di suatu rumah makan yang cukup nyaman.
Seperti kedai namun nyaman jika dipergunakan untuk mengobrol. Aku
memesan makanan sesuai sarannya. Kami mulai mengobrol dan kali ini bukan
tentang tugas atau materi kuliah. Dia menceritakan keluarga, sekolah,
dan aktifitas-aktifitasnya. Kali ini aku lebih banyak mendengarkan.<br />
Dan sampai pada pertanyaan ini aku terdiam dan tak bisa berkata-kata
“Lel, sebenarnya aku udah lama memperhatikan kamu. Maaf jika aku
lancang, namun jika aku boleh tau apa penyebab yang membuat kamu sering
murung?”<br />
Ia menghela nafas dan melanjutkan, “Mungkin jika aku boleh menebaknya sepertinya kamu menyimpan sesuatu. Iya, benar begitu?”<br />
Aku kembali tidak bisa berkata apa-apa. Keringat dinginku mulai
mengucur, dan sepertinya dimas mengetahuinya. Ia melanjutkan “Tidak
apa-apa kalau kamu tidak mau menjawabnya untuk saat ini dan kalau pada
suatu ketika kamu ingin menceritakannya aku siap untuk mendengarnya
kapanpun saat kamu membutuhkannya”.<br />
Ia menatapku dalam namun tetap terasa sejuk. “Lel, maaf mungkin apa yang
aku sampaikan akan membuatku kaget. Sudah lama aku menyimpan rasa
sayang sama kamu, aku harap kamu tidak tersinggung atau marah”.<br />
Aku akui, aku pun mulai ada rasa dengannya. Aku mulai mempercayai
seorang laki-laki dalam hidupku. Meski ada sedikit rasa takut
menyelimuti, namun entah kenapa aku juga tidak beranjak untuk
meninggalkannya. Aku berpikir dan menata hatiku. Aku meminta ijin untuk
menyelesaikan makan malamku sembari berpikir.<br />
<br />
“Mas, untuk pertanyaanmu yang pertama aku tidak bisa menjawabnya. Jika
memang pada suatu ketika harus aku ceritakan ke kamu maka akan aku
ceritakan. Terus terang aku kaget dengan pernyataanmu tadi. Aku mulai
mempercayaimu, aku bahagia atas ucapanmu tadi namun ada hal yang membuat
aku tidak bisa menjawabnya sekarang. Tolong jangan jauhi aku, dan tetap
seperti dimas yang kemarin karena aku bahagia mulai dapat percaya pada
seseorang” jelasku.<br />
Ia tersenyum hangat dan mengangguk tanda menyanggupinya. Selesai makan, ia mengantarkanku pulang ke kosku.<br />
<br />
Setelah makan malam itu, dimas tidak berubah. Bahkan ia lebih
melindungiku. Kehangatan dan kasih sayang selalu aku rasakan saat
bersamanya. Meski begitu tidak pernah ia melebihi batas. Ia
menggandengku hanya pada saat dimana aku membutuhkan bantuan, namun
melepasnya kembali setelah aku dirasa tidak membutuhkan. Ia juga menjadi
tempat keluh kesahku, saat aku mendapatkan kesulitan. Kedekatan kami
mungkin lebih dari sekedar sahabat.<br />
<br />
Dua bulan kami bersama dan ia meminta izin untuk pulang ke jakarta.
Sampai pada suatu hari aku mendengar kabar kalau ia ditimpa musibah di
sana. Ia terkena luka bakar saat ingin mematikan api dari wajan yang
menyala karena terlalu panas. Aku lemas mendengarnya. Aku ingin
menjenguk dan menemaninya, namun apa daya aku pasti tidak akan mendapat
izin dari orangtuaku. Aku hanya bisa menanyakan kabarnya lewat sms.
Jujur aku sangat merasa kehilangan. Ternyata aku mulai menyayanginya,
dan perasaanku kepadanya telah sangat dalam aku yakin.<br />
<br />
Dua bulan ia di Jakarta untuk menyembuhkan lukanya, sampai pada suatu
hari ia pulang tanpa memberiku kabar terlebih dahulu. Ia datang ke kosku
dengan tangan kanan dan kaki kanan masih berbalut perban.<br />
“Dimas…” mataku berkaca-kaca saat melihatnya. Seolah aku masih tak
percaya, ia hadir di depanku. Air mata ini tak terbendung lagi saat
menyadari kondisinya yang masih penuh dengan balutan perban. Namun ia
tetap tersenyum dengan hangat. “Hey lel… boleh duduk?”<br />
Aku yang masih kaget, sampai-sampai lupa tidak mempersilakan ia duduk.
Sontak aku membantunya untuk duduk karena ia masih terlihat sedikit
kepayahan. “Nggak papa kok, aku bisa” ucapnya.<br />
“Gimana kabar kamu?” ia mulai memecah keheningan.<br />
“Baik… aku baik” agak tergopoh kujawab pertanyaannya.<br />
Ia menceritakan peristiwa saat ia mendapat musibah itu. Dalam hatiku aku
sangat bersedih, aku yang selama ini ia obati namun tak bisa berbuat
apa-apa saat ia terluka. Tak sadar air mata ini tak terbendung saat ia
menceritakan proses pengobatan yang ia jalani saat berada di Rumah
Sakit.<br />
<br />
“Hey… aku nggak papa kok” ia berseloroh.<br />
Aku tersenyum. Apa yang bisa aku lakukan untuk sedikit meringankan rasa sakitmu? Dalam hati aku berkata.<br />
Tak terasa obrolan kami hingga larut. Kami asyik berbicara seperti
sedang melampiaskan rasa kangen satu sama lain. Karena memang itu yang
kami rasakan.<br />
Ia menggenggam tanganku erat, seolah berkata “kuatkan aku”. Dan entah kenapa genggaman itu tak kulepaskan.<br />
<br />
Dinginnya malam membuat kami saling mendekatkan badan, mencari
kehangatan. Ia mengelus pipiku, dan menatap wajahku dalam-dalam.
Perlahan ia mendekatkan wajahnya. Ia menciumku, dengan sangat lembut.
Ciuman pertama yang kualami, dan entah kenapa aku larut dalam ciuman
itu.<br />
Debar jantungku seolah terdengar sangat keras. Perasaan ini bercampur
aduk, antara rasa rindu, dan sedikit ingatan-ingatan masa lalu yang
muncul. Sedikit rasa yang meyakinkanku saat itu, aku ingin sedikit
meringankan rasa sakitnya, itu saja.<br />
<br />
Tentang ingatan-ingatan itu, sudah tidak terlalu terasa berat.
Berkatmu aku rasa. Aku semakin yakin bersamamu, jika pada saatnya nanti
kamu menjadi orang yang benar-benar aku percaya maka akan aku ceritakan
semua tentang masa laluku. Dan aku yakin, melalui perantaramu semua
kesakitanku dapat terobati.<br />
Malam itu pula aku menerima cintanya.<br />
<br />
Cerpen Karangan: Dinna L Fauzia<br />
Facebook: dinna.fauzia[-at-]facebook.com <br />
<br />
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-834201427114120838.post-5566879787186707462017-02-04T08:20:00.004-08:002017-02-04T08:20:53.683-08:00Jangan Bilang Lo Jatuh Cinta?“pokoknya lo harus jadi cewek gue. Gue gak bakal tahan dengan semua
cewek-cewek yang ngeganggu gue selama di sekolah nanti. Kau lo jadi
cewek gue apapun mau lo bakal gue turutin deh, janji.”<br />
<br />
Selama hampir tiga tahun aku tidak berpacaran hanya fokus untuk belajar
dan sekolah. Beberapa orang memang mencoba untuk mendekatiku tapi, aku
sepenuhnya menutup hatiku sejak terakhir kali dikhianati oleh mantan
pacarku dan sekarang setahun lalu Andrew teman masa kecilku kembali dan
bersekolah di tempat yang sama denganku. Dia langsung menjadi populer
dan digoda oleh banyak cewek di sekolahku membuatnya risih dan tidak
tahu apa yang harus dilakukan. Dan saat ini kami membuat janji untuk
menjauhkan dia dari hal-hal seperti itu jadi dia bisa fokus pada
pelajarannya dan meluluskan sekolahnya tahun ini tanpa menambah tahun
dan umur lagi. aku pikir aku harus menerimanya karena hanya dengan cara
ini aku dapat memenuhi permintaan kedua orangtua Drew agar membantunya
untuk lulus tahun ini.<br />
<br />
“oke. Dan permintaan pertama gue. Gue pengen nilai lo bisa diatas gue
minimal sama deh ama gue juga nilai semester lo. Buktiin kalau lo emang
serius pengen nyelesaiin sekolah dan gak bikin onar lagi. lagian gue
janji ama bokap nyokap lo untuk ngebuat lo lulus tahun ini.” Aku
menaikkan satu alis sebagai tantangan apa dia bisa menerima permintaanku
ini. Karena, aku tahu tidak ada cara lain lagi.<br />
“oke. Deal” ucapnya menyerahkan tangannya mengajakku bersalaman untuk perjanjian ini.<br />
“dan ini baru permintaan pertama.” Aku tersenyum kemenangan.<br />
<br />
Hari pun berlalu aku bisa mengatasi semua penggemar Drew dan membuat
mereka tidak mengganggu Drew lagi selama aku masih menjadi pacarnya.
Tapi, satu hal yang sedikit sulit diatasi teman-temanku yang menudingku
terus dengan pertanyaan kenapa tiba-tiba bisa pacaran dengan Drew dan
bagaimana aku bisa secepat itu punya hubungan dengan Drew mereka
benar-benar tidak percaya bahwa aku dan Drew berteman sejak kecil
makanya sekarang kami mudah sekali dekat dan lagi orangtua kami saling
mengenal kenapa gak mungkin bagi kami bisa berpacaran. Teman-temanku
hanya tidak menyangka karena selama ini aku bersikukuh tidak ingin
pacaran lalu tiba-tiba malah jadian dengan pangeran tampan sekolah.
Pangeran tampan? Bagi gue gak ada tampan-tampannya sama sekali tuh.<br />
<br />
Seperti permintaan Andrew agar aku selalu berada di dekatnya saat di
sekolah, menemaninya latihan basket dan kegiatan sekolah lainnya.
Seperti saat ini Drew latihan untuk pertandingan basket antar sekolah
dan aku hanya duduk di bangku penonton sambil membaca buku karena besok
ada ulangan sambil menunggu Andrew.<br />
<br />
“hei Senior. Lagi nungguin pacar lo ya?” ini dia si J atau nama aslinya Junior, aku memanggilnya J.<br />
“Hei J. Kok baru dateng lo udah latihan hampir setengah jam loh tu.”<br />
“iya nih Senior, gue abis ngambil ulangan susulan karena kemaren ini
sakit, tapi gue udah bilang pelatih bakal telat. Ya udah gue gabung
latihan dulu ya.” Ucap J dan sebelum meninggalkanku dia berkata lagi
“ternyata lo cocok juga ya sama cowok lo ini. Kalau gue tahu dari awal
tipe lo cowok populer kayak dia, harusnya gue udah ngelakuin itu dari
dulu.”<br />
Dasar si J, gimanapun juga dia mau jadi populer dia tetap junior dan
lagian bukan hanya namanya yang Junior umurnyapun lebih kecil dariku.
Aku gak mungkin bisa suka sama brondong.<br />
<br />
“akrab banget lo ama si Junior.” semua sudah selesai latihan dan menuju tempat istirahat tapi, Drew malah menemuiku.<br />
“apaan sih Drew. Apa sekarang lo bakal ngelarang gue ngobrol sama
Junior-junior gue sekarang. Ingat ya gue Cuma pacar lo yang ngebuat lo
supaya gak digangguin cewek-cewek satu sekolah. Jadi gak ada hak
cemburu-cemburuan deh”<br />
“lagian siapa yang cemburu. Gue nanya doang.” Drew berlari lagi
kelapangan setelah mengatakan hal seperti itu padaku. Aku gak yakin Drew
cemburu karena, gak mungkin Drew suka padaku. Dan aku pun gak mungkin
suka sama dia. Udahlah buat apa dipikirin.<br />
<br />
Andrew dan aku memang pernah di sekolah dasar yang sama dan karena
orangtua kami berteman Drew dan aku juga jadi dekat. Tapi, gak ada hal
mengenakkan dalam hubungan masa kecil kita. Aku dan Drew selalu saja
perang kalau berada di sekolah dan saat dengan orangtua kami, kami akan
menjadi anak-anak yang sangat penurut. Hmm memang masa kecil yang penuh
kepura-puraan.<br />
<br />
Sudah tiga bulan dan hasil ujian tengah semester membuat Drew
membuktikan bahwa dia telah menuruti permintaanku tentang nilai-nilainya
yang sangat memuaskan bahkan dia lebih baik dariku. Bagaimanapun juga
Drew harus lulus tahun ini.<br />
<br />
“Ta, lo dipanggil wakil kepala sekolah tuh.” Hani memberitahuku, tapi
ada apa dengan wakil kepala sekolah yang memanggilku. Apapun itu aku
langsung menuju ruang wakil kepala sekolah. Dan di sana sudah ada wali
kelasku juga. Pada intinnya pembicaraan ini tentang tes untuk masuk
Universitas di Australia. Ada undangan khusus dari Universitas di
Adeleide untuk sekolah kami. Dan walikelasku serta wakil kepala sekolah
ingin aku mengikuti tes itu. Dan katanya bukan hanya aku saja dari
Indonesia tapi, di sekolah ini mereka menganggap hanya akulah yang bisa
melakukan tes ini. Mungkin nilaiku memang tidak selalu terbaik di
sekolah tapi, kemampuanku di bidang jurnalistik membuat mereka yakin aku
akan bisa lulus dalam tes ini. Karena jurusan yang mereka tawarkan ya
memang untuk bidang jurnalistik saja. Aku menyanggupi keinginan wakil
kepala sekolah dan wali kelasku itu lagian aku pikir ini hal yang bagus
juga. Karena aku belum memikirkan kemana akan melanjutkan kuliahku
setelah sekolah di sini.<br />
“hei, sayang kantin bareng yuk.” Saat aku sedang memikirkan tentang tes
kuliah di Australia itu Drew datang mengagetkanku seperti biasa mengajak
makan siang di kantin. Aku gak akan bisa nolak. Jadi aku hanya
tersenyum mengangguk dan berjalan bersamanya ke kantin. Dia selalu
memanggilku sayang saat di sekolah.<br />
<br />
“eh, ngapain pegang-pegang tangan gue. Kuman tau” aku langsung
mengeluarkan semprotan pembersih tangan dari sakuku dan menyemprotkan ke
tanganku.<br />
“heh, dasar miss clean” Drew mengejekku. Aku gak tau sejak kapan tapi,
waktu aku kecil dulu pernah ada kejadian yang sangat tidak mengenakkan
untuk dikenang. Saat aku sedang belajar bersepeda aku tiba-tiba terjatuh
tepat di kotoran sapi. Hal itu sangat jorok, menjijikan bau dan
membuatku harus mandi berkali-kali untuk menghilangkan baunya dan
menghilangkan rasa kotornya dari tubuhku. Sejak saat itu aku benci
dengan hal yang kotor. Dan ingin selalu bersih itu menjadi kebiasaan
hingga sekarang ini.<br />
<br />
“gue ada permintaan.” Drew datang ke rumahku dan langsung menemuiku yang
sedang berada di tepi kolam berenang rumahku sambil baca novel terbaru
yang kubeli kemarin.<br />
“apaan sih lo datang-datang nantang gue. Mau apa lo?”<br />
“pergi jalan yuk.”<br />
“gak ah, pergi sendiri.”<br />
“eh, tapi lo kan cewek gue. Ayok pergi jalan sekarang.”<br />
“emang gini cara lo ajak cewek lo pergi jalan.” Kataku dan aku sadar Bundaku geleng-geleng kepala memperhatikan kami berdebat.<br />
“oke deh, pacarku ayo kita pergi jalan sayaaaanggg.” Ucapnya menekankan kata sayang.<br />
“jangan panggil sayang, jijik gue dengernya. Ya udah gue ganti pakaian
dulu. Gak usah ikut lo.” Aku merasa Drew akan mengikutiku ke kamarku.<br />
<br />
Drew membawaku jalan-jalan ke taman dan bermain sepeda. Dan seperti
biasa aku akan menyemprot sepeda ini karena sepeda ini pasti banyak
kumannya. Tapi, kenapa pembersihku tidak ada di tas. Apa mungkin
ketinggalan.<br />
“kenapa? gak bisa nemuin pembersih lo miss clean? Nih pake punya gue.”<br />
“loh lu kok??” Aku heran kenapa Drew juga memilikinya.<br />
“gue beliin itu buat lo. Hmm, gue selalu tau kan tentang lo, liat aja
merek dan aromanya sama.” Benar saja pembersih ini sama seperti yang
selalu kubeli. Kenapa Drew bisa sedetail ini. Tapi ya sudahlah kami
bersepeda bersama-sama mulai dari bersepeda santai dan akhirnya Drew
mengajakku balapan dimana Drewlah yang menang. Karena dia yang menang
aku harus mau diajak makan malam dengannya malam minggu besok. Walaupun
gak mau tapi, yang namanya janji ya tetap janji.<br />
<br />
Belakangan Drew makin perhatian padaku aku gak tau kenapa Drew jadi
sering menemaniku walau kami jarang makan di kantin saat istirahat hanya
duduk di kelas dan biasanya bagi dia itu membosankan. Sekarang kami
jadi sering bercanda saat hanya duduk di kelas sambil menunggu waktu
pelajaran berikutnya. Setelah pertandingan basket selesai Drew tidak
lagi aktif dalam club jadinya dia sering menemaniku mencari ide baru
untuk majalah sekolah ataupun yang berkaitan dengan jurnalis. Aku
sedikit aneh dengan perlakuan Drew belakangan tapi, ya anggap aja dia
benar-benar pengen nolongin.<br />
<br />
“wah, anak Bunda cakep banget. Mau kemana nak?” akhirnya sampai juga
malam minggu seperti janjiku aku akan makan malam dengan Drew.<br />
“mau pergi sama Drew bentar Bun.” Kenapa Bunda bilang aku cantik malam
ini? Padahal aku hanya berpakaian seperti biasanya dan ya aku memang
sedikit berdandan suatu hal yang memang jarang aku lakukan. Karena Drew
bilang gak harus formal aku hanya memakai jins, kaos dan sepatu kets
dengan rambut yang digerai dan tas.<br />
<br />
Beberapa menit kemudian Drew datang dengan motornya. Aku dan Drew
pamitan pada Bunda dan Ayah yang sedang nonton tv. Drew pun hanya
memakai kemeja dengan kaos dalam, jins serta kets dia memang bukan tipe
yang suka memakai jas dengan dasi atau apalah yang formal. Untungnya
satu hal ini yang menyamakan kita. Tapi hari ini di mataku Drew berbeda
walau hanya memakai kemeja dia terlihat lebih gimana ya? aku gak tau
gimana cara menggambarkannya bukan tampan tapi, menggoda. Astaga apa sih
yang lo pikiran Talia? Menggoda kata-kata dari mana pula itu?.<br />
<br />
“waw kafenya keren Drew. Jadi lo bawa gue ke sini.”<br />
“hmmm, keren kan kafenya gue tau kalau lo suka tempat-tempat kayak gini.
Yuk” Drew mengajak akau masuk ke dalam kafe. Kafe ini berbau klasik
dengan segala barang-barang lama dan kayu-kayunya. Sangat nyaman berada
di sini suasanya sangat-sangat klasik dengan suguhan live musik di
panggung yang gak begitu besar. Tempatnya juga gak gede-gede amat tapi,
rame banget.<br />
<br />
“woi, makan. bukannya ngeliatin gue terus. Kenapa sih lo?”<br />
“iya nih gue makan. Gak papa gue seneng aja bisa jalan sama lo. Kayaknya
kita udah beneran kayak orang pacaran ya.” Aku sedikit tersedak dengan
makananku karena kata-kata Drew barusan. “eh, hati-hati donk. Minum dulu
nih.” Drew menyodorkan air padaku dan aku bisa sedikit menenangkan
diri. Aku mengangguk berterima kasih atas perhatian Drew. <br />
<br />
Sepanjang malam di kafe itu kami banyak membicarakan hal-hal tanpa arah
mulai dari tentang pertandingan basket karena aku bertanya kenapa kita
bisa kalah, lalu bola, tentang politik bahkan waiters yang sedang lewat
pun bisa jadi bahan pembicaraan. Aku jadi merasa nyaman dengan Drew, gak
biasanya hal ini terjadi aku memang pacarnya tapi Cuma pacar bohongan.
Hanya saja rasa nyaman ini beda dari rasa nyaman dengan sahabat. Drew
tau banyak tentangku dan begitupun denganku segala perhatiannya padaku
bukan hanya karena kami pernah dekat sewaktu kecil tapi, mungkinkah ada
sesuatu di antara kami.<br />
<br />
Drew telah sampai di depan rumahku dan aku langsung turun dari motornya.
Setelah mengucapkan terima kasih aku langsung menuju ke rumah, tapi
saat aku akan balik badan Drew menahan tanganku.<br />
“tunggu.” Ucap Drew. “gue boleh minta sesuatu gak sama lo?” tanyanya.
“sebagai pacar.” Lanjutnya lagi. apa-apaan dia yang harusnya boleh minta
itu kan aku bukan dia.<br />
“maksud lo? Emang lo mau apa?” tanyaku yang juga penasaran.<br />
“boleh gue cium lo?” myGod kenapa dia tiba-tiba mau nyium gue. gak
mungkin, ini ciuman pertama gue dan gue gak mau ngelakuinya di depan
rumah. gila aja, orang-orang bisa liat seenggaknya ini bukan tempatnya
kalau Bunda sama Ayah liat gimana. Gak-gak gak boleh sekarang.<br />
“ngomong apaan sih lo, yang boleh minta itu kan Cuma gue kenapa jadi lo.
gak ada tuh di perjanjian kita. Lagian ngapain juga gue mau dicium sama
lo. Kita pacaran juga Cuma pura-pura supaya lo gak digangguin cewek
satu sekolah kan.”<br />
“gue gak minta dicium di bibir kok. Di kening doank, ya” ucapnya lagi
dan aku gak bisa bilang apa-apa lagi. Dengan cepat Drew maju ke depan
dan mencium keningku walau sebentar tapi, bekas bibirnya di keningku
sangat terasa, dan aku langsung menuju rumah setelah itu.<br />
<br />
Aku mengetuk-ngetukan kepalaku ke meja pagi ini, teringat ciuman yang
diberikan Drew tadi malam. Aku benar-benar gak bisa tidur dibuatnya. Aku
terus berpikir apa yang dia lakukan. Aku berjanji untuk tidak jatuh
cinta dulu seenggaknya sampai selesai UN dan lagi pula aku akan pergi ke
Australia. Tentang hal ini aku belum cerita ke siapapun kecuali Bunda
dan Ayah. Kenapa aku jadi berdebar-debar mikirin tentang Drew, terlebih
lagi tentang nilai Drew yang makin membaik aku sepertinya sudah bisa
menepati janjiku pada orangtua Drew agar dia lulus tahun ini. Karena dia
memang harus lulus tahun ini.<br />
<br />
“hai senior.”<br />
“hai juga Junior.” Lagi-lagi si J “lo tau gak? lo satu-satunya orang di
sekolah ini yang panggil gue senior. Apa sama seluruh senior lo manggil
kayak gini?”<br />
“gak, lo doank. Itu kan karena lo manggil gue Junior terus wak masih MOS.”<br />
“nama lo kan emang Junior. Trus salah gue manggil lo gitu?” junior
lantas menggelengkan kepalanya dan aku tanpa sadar tertawa akan hal itu
lalu J memotretku “J apa-apaan sih kok motret tanpa bilang ke gue sih,
ntar hasilnya jelek.”<br />
“ini namanya candid. Gak papa lo cantik kok sini.” Kami berdua langsung
tertawa mendengar statement J barusan dan dia terus-terusan memotretku.<br />
“kenapa fotoin gue mulu si J.”<br />
“senior lo tau gak, gue seneng banget lo panggil J. Karena lo satu-satunya yang panggil gue gitu.”<br />
“haha gak tau deh lucu aja manggil lo J. Dan lo juga terus-terusan
panggil gue Senior. Tapi, gue seneng juga lo panggil kayak gitu.”<br />
Aku dan J terus-terusan mengobrol dan bercanda dia bilang ingin banyak
menghabiskan waktu denganku karena sebentar lagi aku akan meninggalkan
sekolah ini makanya dia banyak memotoku dari tadi. Aku tau J pernah
bilang kalau dia suka padaku tapi, aku menolaknya karena umur kami dan
lagian aku memang tidak suka orang yang berumur lebih kecil dariku. <br />
<br />
Saat asik ngobrol dengan J seseorang datang dan menggenggam tanganku
sangat erat. Ternyata dari tadi dia memang telah memperhatikanku dan J
dengan muka masam dan terlihat sangat marah Drew berkata pada J “jangan
pernah lo gangguin cewek gue lagi.” aku bingung dan mengisyaratkan pada J
untuk tidak melawan lalu Drew menariku dan membaawaku ke atap sekolah.
Aku gak pernah tahu kalau ada jalan untuk ke atap sekolah karena
menurutku itu tempat yang tidak boleh dikunjungi oleh siswa tapi, Drew
tau ada jalan yang bisa menuju ke sana tanpa ketahuan guru. Setelah Drew
benar-benar melepas tanganku tapi, tanganku masih sakit karena kuatnya
genggamannya.<br />
<br />
“apa-apaan sih Drew. sakit tau. Kenapa lo bawa gue ke sini?” ucapku heran sekaligus marah padanya.<br />
“apa-apaan apanya? Lo tu yang ngapain sama Junior. Bercanda-canda kayak
gitu. Maksud lo apaan. Mau bikin gue cemburu? Sory ya gue gak bakal
cemburu. Tapi, gue gak suka lo dekat-dekat sama dia. Emang lo gak tau
dia tuh suka sama lo. Ya maksud gue dia itu modus dekatin lo.” Aku hanya
memandang Drew yang terus berbicara. “kenapa diam lo?”<br />
“ya, karena lo lagi ngomong gue diem. Sekarang udah selesai ngomongnya?”
Drew mengangguk. “jadi lo cemburu” tanpa diduga Drew menganguk lagi dan
dengan cepat berganti dengan gelengan lalu dia tersenyum sendiri
memegang dahinya dan mengangguk sekali lagi hanya sekali tapi, itu
membuatku gugup.<br />
“gimana mungkin gue gak cemburu lo kan cewek gue”<br />
“tapi gue kan Cuma cewek boongan lo. Apa jangan-jangan lo udah jatuh cinta ya sama gue?” Ucapku lagi dengan senyum menantang.<br />
“sekarang dengan jujur lo bilang deh ke gue selama beberapa bulan ini
jadi pacar boongan gue, lo gak pernah punya perasaan sama gue? Lo pikir
waktu pertama kali gue minta lo jadi pacar boongan gue itu apa
benar-benar Cuma boongan?” Drew berkata serius dan memaksaku memandang
wajahnya. Alis mata yang tebal, mata yang sedikit sayu serta bibir yang
begitu terbentuk sempurna sejenak aku sadar bahwa aku sudah jatuh cinta
padanya. Hal yang selama ini kuhindarkan. Tapi, aku gak pernah tau bahwa
aku memang sudah lama jatuh cinta padanya.<br />
“gue, gak tau Drew.” Aku bohong.<br />
“gak usah bohong lo. Gue tau perasaan lo yang sebenarnya. Itu tergambar
jelas di wajah lo. Lo juga jatuh cinta kan sama gue?” Drew mengambil
tanganku dan menggenggamnya erat, pasti dan tidak terlalu kuat. Aku
merasa nyaman dengannya. Tapi, kalau aku bilang cinta sekarang. Setelah
lulus aku harus ke Australia, Drew harus tau tentang ini. Saat aku akan
berkata apa yang selama ini aku pikirkan tentangnya tiba-tiba
penglihatanku jadi kabur dan aku mengedipkan mataku berkali-kali aku
sedikit sempoyongan karena tiba-tiba ada sesuatu mennyentuh bibirku
yaitu bibirnya Drew dan aku benar-benar terkejut dengan apa yang baru
saja dilakukan drew. Karena masih kaget aku menutup mataku dan
membiarkan Drew melakukan ciuman itu. Ciuman pertamaku terasa manis dan
membuat kepalaku berputar. Apa ini yang namanya jatuh cinta.<br />
<br />
Aku memang tidak tahu bagaimana jatuh cinta yang sebenarnya tapi aku
tahu bahwa saat aku merasakan kehilangan itu sangat menyakitkan saat
kita tidak bisa menggenggam tangan orang yang sangat kita sukai, saat
kita melihat dia tertawa dengan orang lain itu sangat menyakitkan. Lebih
baik kita memanfaatkan apa yang kita punya sekarang tanpa harus
menghindar dan menepis rasa itu. Karena menyadari rasa suka dan cinta
itu bukan suatu tindak kejahatan, untuk apa takut. Karena cinta dan rasa
sakit berkaitan lalu apa gunanya perasaan kalau kita gak pernah bahagia
karena cinta dan gak pernah sedih karena patah hati. Hati dan perasaan
itu dibuat agar kita merasakan seluruh rasa di dunia apapun rasa itu
akan sangat tidak berharganya hidup tanpa rasa<br />
<br />
Setelah kejadian atap sekolah itu aku dan Drew masih bersama. Drew
mengikutiku juga ke Australia tapi kita di jurusan yang berbeda. Dan
hingga sekarang sudah dua tahun kami bersama. Banyak hal ternyata yang
kami tau satu sama lain, kebiasaanku dan kebiasaan Drew kami saling
memahami ada untungnya berpacaran dengan sahabat yang bahkan tau diri
kita lebih dari kita sendiri.<br />
<br />
Cerpen Karangan: Lee Ghin Fhae (ghinfai)<br />
Blog: ghinafairuz.blogspot.com Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-834201427114120838.post-14847657133774403172017-02-04T08:15:00.000-08:002017-02-04T08:15:05.413-08:00Coba Lihat Langit Biru di Atas Sana“Coba lihat langit biru di atas sana.”<br />
Kata-kata itu selalu terngiang di otakku, berputar-putar dan
diulang-ulang berkali-kali. Kata-kata sederhana tetapi begitu istimewa
untukku.<br />
<br />
“Setiap kali kamu sedih, coba lihat langit biru di atas sana. Mereka
akan membuatku nyaman dan membuatmu melupakan kesedihanmu,” ujarnya
setiap kali aku meneleponnya sambil menangis.<br />
“Kalau kamu bahagia, coba lihat langit biru di atas sana. Berbagilah
kebahagiaanmu kepada alam juga. Barangkali alam juga akan memberikan
kebahagiaan yang sama untukmu,” ujarnya ketika kami bertemu disaat aku
sangat bahagia.<br />
<br />
“Kalau aku sedang pergi jauh, coba lihat langit biru di atas sana.
Tataplah awan putih di atas sana dan bayangkan wajahku,” ujarnya
mengingatkanku ketika aku mengantarkannya ke bandara untuk melepasnya
menerbangkan pesawat.<br />
“Intinya, apapun yang kamu rasakan coba lihat langit biru di atas
sana, semoga langit biru akan membantumu untuk memperbaiki ataupun
menambah kebahagiaanmu,” ujarnya sebelum ia terbang menuju Amerika untuk
menyelesaikan tugasnya sebagai pilot. Waktu itu aku mengangguk dan
menitikkan airmataku ketika tangannya menangkup pipiku.<br />
“Hey, this isn’t the first time. Biasanya kamu gak nangis. Malah
ketawa-ketawa. Kok tumben hari ini kamu menangis?” tanyanya yang
langsung kujawab dengan gelengan kepala yang begitu cepat.<br />
“Aku pergi dulu ya. Tunggu aku sampai aku pulang ya,” ujarnya kemudian
berjalan menuju pintu keberangkatan dan meninggalkanku sendiri yang
menatapnya dengan penuh airmata.<br />
<br />
Tak seberapa lama aku meninggalkan bandara, aku mendengar berita jika
ada pesawat menuju Amerika jatuh. Jantungku berdebar begitu cepat,
ketakutan jika pesawat itu adalah pesawat yang dipiloti Ben.<br />
Rasa takutku kemudian benar-benar menjadi kenyataan. Pesawat Ben jatuh.
Saat itu juga di antara para pasien rumah sakit yang begitu terkejut
menonton berita, aku menangis. Menangis begitu kencang. Tidak peduli
lagi aku adalah seorang dokter atau bukan. Airmataku terus-terusan
mengalir tanpa ada ujungnya.<br />
<br />
Aku kemudian mengingat kata-kata Ben untuk selalu melihat langit biru
ketika aku sedih. Aku kemudian menenangkan diriku terlebih dahulu dan
berjalan dengan pasti menuju lantai paling atas untuk menatap langit
biru yang selalu di bicarakan Ben. Tapi ketika aku tiba di lantai paling
atas, aku mendapati langit berwarna abu dan tidak menyuguhkan
kenyamanan untukku.<br />
Aku kembali menangis, membiarkan kesedihan dan ketakutanku untuk
terbebas bersama dengan tetesan airmata yang mengalir di pipiku. Setelah
aku mengeluarkan airmataku, aku langsung menuju bandara untuk mencari
tahu apakah Ben masih ada atau tidak.<br />
<br />
Ternyata ketika aku tiba di bandara dan membaca nama-nama korban
jiwa, nama Ben ada di urutan teratas. Aku tak dapat berkata apa-apa
lagi. Bahkan ketika sang manager memanggil namaku untuk mengucapkan bela
sungkawa, aku tidak mendengar sama sekali malah menangis begitu kencang
hingga dadaku terasa sakit.<br />
Hari ini, ketika aku menuju rumah sakit dan menatap langit biru
berharap agar tidak terjadi apa-apa pada Ben, ternyata langit biru yang
cerah itu sedang mengambil Ben secara paksa dari pelukanku.<br />
<br />
Cerpen Karangan: Anindhita Almadevy<br />
Blog: anindhitalma.weebly.com <br />
<br />
<br />
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-834201427114120838.post-58729162159693692712017-02-04T08:12:00.000-08:002017-02-04T08:12:04.149-08:00Takdir Cinta IndahSuasana kampung begitu tenang ketika mentari telah berlabuh di
peraduannya. Angin malam selalu membawa kerinduan masa lalu serta cahaya
purnama yang selalu tampak gagah di antara bintang-bintang. Aku selalu
ingin suasana yang seperti ini sepanjang hidupku. Namun aku tak mungkin
akan selalu di sini. Itu sama saja mengembalikanku dalam harapan yang
tak pernah terwujud hingga hari ini. Dan harapan itu telah tergantikan
olehnya yang kurasa lebih baik.<br />
<br />
“Kau sudah kembali?”<br />
Suara itu mengagetkanku saat menginjak anak tangga paling terakhir.
suara yang masih tetap sama empat tahun silam. Dia duduk di sebuah kursi
rotan menghadap ke timur sambil menatap cahaya rembulan, mengenakan
jilbab warna putih, jaket tebal warna pink. Wajahnya. Wajahnya mengalami
perubahan besar seperti memendam sesuatu, menunggu waktu yang entah
sampai kapan untuk mengungkapkannya. Aku berhenti sejenak, berdiri
beberapa meter darinya sekedar untuk menjawabnya.<br />
<br />
“Iya. Tapi hanya beberapa hari saja. Kau untuk apa ke sini?”<br />
“Mengapa kau bertanya itu? Apakah kau tidak tahu jika memang aku selalu di sini?”<br />
“Tidak. Memangnya untuk apa kau kemari?”<br />
“Aku hanya ingin di sini. Mengingat semuanya”<br />
“Mengingat apa?”<br />
“Mengingat diriku yang selalu kesepian. Kesepian dalam penantian selama empat tahun”<br />
“Penantian? Kau menanti siapa?<br />
“Dirimu”<br />
“Diriku? Aku tak pernah berharap kau menantiku. Untuk apa?”.<br />
“Lihatlah. Dirimu selalu saja sama. Tak pernah berubah. Aku selalu
berharap kau tak kembali tapi aku tetap ingin dirimu. Dan kau sama
sekali tak menyadarinya. Aku disesatkan oleh parasaanku sendiri dan kau
tak pernah berusaha untuk menunjukkan jalan meski hanya setapak”.<br />
Nada suaranya semakin berat, terdengar serak parau terbata-bata. Ah
tidak, lagi-lagi dia menangis. Air matanya nampak warna keemasan diterpa
cahaya lampu pijar lima watt. Angin dingin malam mengusap air mata di
wajahnya.<br />
<br />
Kembali kulangkahkan kaki meninggalkannya. Mungkin dia memang harus
sendiri untuk saat ini, kesendirian yang terus mengeruk luka yang
semakin dalam. Luka yang selalu ia paksakan untuk terus menganga.<br />
“Sejak kapan ia sering ke sini Bu?” bisikku pelan kepada ibu.<br />
“Ia selalu datang ke sini sejak kau pergi. Ia ingin tahu semua tentang
dirimu. Menanyakan mengapa engkau pergi dan mengacuhkannya begitu saja.
Sesekali ibu menemaninya sampai larut malam sambil ia terus bercerita
akan dirinya. Bahkan ia lebih banyak menghabiskan waktu di sini
dibandingkan rumahnya sendiri. Dia selau bilang jika ia berada di rumah
ini, maka engkau serasa selalu ada bersamanya. Ibu sering merasa iba
kepadanya. Nak, Bawakan teh ini untuknya!”<br />
”Jangan aku. Ibu saja yang membawanya!”<br />
“Baiklah. Tapi kau ikut ke teras juga! karena ibu tidak tahu sampai
kapan ia akan di situ. Ia hanya ingin dirimu dan dia ke sini hanya
untukmu. Temuilah dia meski hanya sesaat saja”<br />
<br />
Hening seketika saat aku duduk. Gadis itu masih menyisahkan isakan
dan air mata. Perlahan ibu mendekat lalu merangkulnya penuh kasih dan
cinta seolah gadis itu seperti anak kandungnya sendiri.<br />
Seperti bisa kurasakan raungan, perih dan rintihan hatinya yang
seakan membentakku dengan penuh kebencian. Dia membuang muka tak sudi
melihatku. Sementara aku hanya menatap segelas teh yang masih hangat
dengan aroma yang menyeruak ke dalam hidung.<br />
<br />
“Nak. Sampai kapan kau akan seperti ini? Hari ini Amran sudah kembali
dari perantauannya. Katakanlah semua hal yang membuatmu seperti ini!
Bukakankah kau selalu menanyakannya? Dia di sini hanya beberapa hari
saja. Jadi ungkapkanlah semuanya”<br />
Gadis itu terus terisak dalam pelukan ibu. Air mata terus meleleh.
Bahkan mungkin hanya menelan ludahnya pun akan terasa sangat sakit.<br />
<br />
“Amran. Apa kau tak pernah merasakan bagaimama hatiku lelah dalam
penantian? Penantian yang entah akan berujung kemana. Apa aku tak boleh
berharap? Apa aku tak pantas memiliki separuh dari hatimu? Apa yang
membuatmu sulit untuk menerimaku? Apa yang memyumpal mulutmu dan memilih
pergi?. Bang Amran, Apa salah jika aku yang seorang perempuan
mengungkapkannya terlebih dahulu? Bukankah niatku itu suci? Aku merasa
jika aku adalah wanita yang paling beruntung jika bisa bersamamu. Dan
hari itu aku datang kepadamu dan mengatakan semuanya. Akan tetapi kau
menggantungkan pertanyaanku dengan memilih untuk pergi dan menjauh”<br />
<br />
Gadis itu menghujamku dengan setumpuk pertanyaan yang membuat dadaku
semakin sesak. Aku tahu tak mudah menyapu bersih semua hal menyakitkan
itu. Berat bagiku untuk membuka mulut dan memberinya jawaban. Namun
sampai kapan ia akan seperti ini? Sampai kapan ia akan membunuh dirinya
dengan kesedihan yang semestinya ia harus belajar untuk menerimanya?<br />
<br />
“Aku tahu apa yang kau rasakan. Namun tak semestinya kau harus seperti
ini. Aku menghargai apa yang telah kau perjuangkan demi bisa hidup
bersamaku. Siapalah diriku ini? Setidaknya aku juga pernah melakukan hal
yang sama denganmu”<br />
<br />
“Melakukan hal yang sama? Kau tak melakukan apapun. Bahkan tak satu nada
pun yang keluar dari mulutmu ketika aku datang mengatakan niatku untuk
menjadi istrimu. Atau apa kau merasa harga dirimu terinjak lantas
dilamar oleh seorang wanita terlebih dahulu?”<br />
<br />
Nada suaranya semakin meninggi bercampur dengan udara angin malam yang
semakin dingin menembus lapisan epidermis kulit. Tapi sepenuhnya ini
bukan hanya karena kesalahanku. Dia yang membiarkan dirinya
terombang-ambing di tengah lautan tanpa arah yang jelas. Untuk apa dia
menantiku?<br />
<br />
“Indah. Apa kau tahu jika aku lebih dulu melakukan hal yang sama
sepertimu? Aku selalu resah jika membayangkan wajah dan nada suaramu
sedangkan kau sendiri tak ada di sampingku. Dan hari itu kuputuskan
untuk datang menemui ayah dan ibumu karena aku tak menemukan jalan untuk
bersamamu selain menikah. Akan tetapi mereka menolakku, bahkan
melemparkanku ke dalam jurang dengan kata-kata. Aku hanyalah pemuda
miskin yang tak punya apa-apa, setiap hari berteman dengan cangkul dan
caping, ayahku tak mempunyai kedudukan yang tinggi di mata penduduk
kampung. Bahkan ibuku pun tidak tamat Sekolah Dasar, mereka tak mampu
membawaku ke bangku kuliah dan hanya sampai Sekolah Menengah Akhir saja.
Dan semua itu berbanding terbalik dengan dirimu. Wajarlah jika ayahmu
yang seorang kepala desa menolak lamaranku. Dan untuk menghapus rasa
kecewa, aku memilih untuk pergi jauh dan lebih jauh lagi. Berharap jarak
dan waktu bisa menghapus semuanya dengan perlahan”<br />
<br />
Aku menarik nafas dengan teramat berat. Tangisnya kembali pecah.
Memecahkan keheningan malam yang menyelimuti kesedihannya. Aku hanya
bisa menelan ludah. Ibu memeluk Indah dengan semakin erat.<br />
<br />
“Indah. Aku minta maaf jika aku tak pernah memberitahumu yang sebenarnya
sebelum pergi. Kukira ayah dan ibumu akan mengatakan hal itu karena
engkau sedang tak berada di rumahmu saat aku datang untuk mengatakan
niatku itu. Aku tak mungkin memaksa dirimu untuk denganku tanpa anggukan
persetujuan dari orangtuamu. Karena pernikahan bukan hanya mengenai dua
insan yang saling mencintai, melainkan akan melibatkan dua keluarga
untuk menjadi satu. Maaf, sekali lagi maaf. Pekan depan aku harus
kembali ke Kalimantan, membawa ibuku hidup bersamaku di sana. Dan aku
telah dinanti oleh keluarga kecilku. Sudah ada bidadari dan pangeran
mungil tampan yang menjadi pelengkap hidupku di Borneo sana dalam dua
tahun terakhir ini.”<br />
<br />
TAMAT<br />
<br />
Cerpen Karangan: Goalijaya<br />
Blog: goalijaya.blogspot.co.id <br />
<br />
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-834201427114120838.post-30995380727301551972017-02-01T08:08:00.003-08:002017-02-01T08:08:48.897-08:00Sampai Akhir Menutup Mata“Ben, kamu udah bersyukur belum hari ini?”, pertanyaan yang sering
dilontarkan kawanku Andi setiap harinya yang membuatku tersadar betapa
pentingnya bersyukur atas kehidupan yang telah Tuhan berikan kepada
kita. Alasan Andi bertanya seperti itu kepadaku tak lain ia hanya ingin
membuatku ingat akan perjuangan para pahlawan yang rela mati demi
mengibarkan bendera merah putih yang menjadi kebanggaan bangsa
Indonesia. Sikap ramahnya membuatku semakin beruntung memiliki sahabat
seperti Andi, mungkin tak banyak orang yang seperti Andi di dunia ini.<br />
<br />
“Andi, kamu gak latihan hari ini?”, tanyaku kepada Andi yang sedang
memainkan game di ponselnya. “Kayaknya hari ini aku gak bisa latihan,
soalnya badanku kurang fit, Ben”, jawab Andi sambil menoleh ke arahku.
Tidak biasanya Andi seperti itu, mungkin ia terlalu lelah karena kemarin
telah berlatih renang dengan keras. Aku pun terpaksa harus berlatih
renang tanpa Andi hari ini.<br />
<br />
Aku dan Andi adalah atlet renang nasional yang tahun lalu ikut kejuaraan
renang di Thailand, namun hasilnya kurang memuaskan. Kami gagal
mempersembahkan medali emas bagi Indonesia. Dan tahun ini kami berharap
bisa mengumandangkan lagu Indonesia Raya di negeri orang. Bulan depan
aku dan Andi akan melewati masa karantina, maka dari itu kami harus
mempersiapkannya dari sekarang untuk mengikuti kejuaraan renang di
Singapura.<br />
<br />
Masa karantina pun telah dimulai, semua atlet renang termasuk aku dan
Andi sangat berlatih keras demi menampilkan yang terbaik di Singapura
nanti. Semangat begitu terpancar di wajah Andi yang selalu melontarkan
pertanyaan sakral kepadaku setiap harinya itu. “Ben, tahun ini kita
harus bisa kibarkan bendera Indonesia dan kumandangkan Indonesia Raya di
Singapura, bawa medali emas!”, ucap Andi kepadaku ketika sedang
latihan.<br />
<br />
Tak terasa, kami pun sudah berada di Singapura dengan semangat 45 yang
berkobar. Kebetulan kejuaraan ini bertepatan dengan bulan Agustus, bulan
dimmana Bung Karno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Andi sangat
berantusias untuk memberikan kado terindah bagi ulang tahun Indonesia
yang hanya beberapa hari lagi.<br />
<br />
Dua hari lagi aku akan bertanding melawan negara-negara lainnya yang
akan memperebutkan medali lewat cabang renang gaya punggung putra.
Sementara sehari setelahnya Andi akan berlaga di gaya bebas putra.
Meskipun Andi adalah seorang kristiani, tetapi ia sering menngingatkanku
akan berdoa atau solat terlebih dahulu sebelum bertanding.<br />
<br />
Hari ini aku gagal mengumandangkan Indonesia Raya di Singapura walaupun
pencapaianku hari ini lebih baik ketimbang tahun lalu karena di
kejuaraan tahun ini aku berhasil mempersembahkan medali perak bagi
Indonesia.<br />
<br />
Keesokan harinya giliran Andi sahabat terbaikku yang akan berjuang di
medan perang. Ketika bertanding Andi selalu menganggap semua lawannya
seperti para penjajah di masa lampau yang banyak menyengsarakan rakyat
Indonesia. Dengan begitu, Andi bisa lebih bersemangat dalam bertanding.
Tahun lalu Andi hanya mendapatkan medali perak dan tahun ini ia
menargetkan emas untuk dibawa pulang ke Indonesia.<br />
<br />
Semalam sebelum bertanding, Andi menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan
sangat lantang. Katanya, ia harus berlatih mengumandangkan lagu
Indonesia Raya untuk besok karena ia sangat yakin besok bisa menjadi
juara pertama di renang gaya bebas putra sehingga bisa mengumandangkan
lagu ciptaan W.R Soepratman itu.<br />
<br />
Hari yang ditunggu Andi pun telah tiba, ia sudah mempersiapkan
segala-galanya. Dan tak lupa Andi kembali mengingatkanku lagi dengan
pertanyaan sakralnya. Semua perlengkapan telah melekat di badan
atletisnya itu. Tak lama setelah bel berbunyi tanda dimulainya lomba,
Andi pun meluncur deras ke dalam kolam bak laut biru itu dan menyerahkan
semua hasilnya pada Sang Maha Kuasa.<br />
<br />
Andi harus menyelesaikan lomba ini dengan dua putaran. Pada putaran
pertama Andi berhasil memimpin, namun ketika berputar balik kecepatannya
terlihat menurun dan setelah itu tubuh Andi sekan tak terlihat lagi.
Andi tak berhasil menyelesaikan perjuangannya, ia tak sadarkan diri
ketika akan mendekati garis finish.<br />
<br />
Andi telah berpulang di Singapura, semua rombongan timnas renang
Indonesia termasuk aku sangat terpukul dengan kepergiannya terlebih Andi
adalah sahabat terbaikku selama ini. Namun perjuangannya tidaklah
sia-sia, impiannya untuk mengumandangkan lagu Indonesia Raya tidaklah
sepenuhnya gagal. Untuk menghormati dan memberikan selamat jalan kepada
Andi, lagu Indonesia Raya pun berkumandang di Singapura. Dan aku yakin,
Andi pun pasti ikut bernyanyi bersama kami.<br />
<br />
Aku bangga memiliki sahabat seperti Andi yang berjuang habis-habisan di
medan perang walaupun kondisinya tidak begitu baik hanya untuk bisa
kibarkan merah putih dan kumandangkan Indonesia Raya sampai akhir
hayatnya, sampai matanya benar-benar takkan pernah terbuka lagi.<br />
<br />
Cerpen Karangan: Erfransdo<br />
Blog / Facebook: erfransvgb.blogspot.com / Erfrans Do Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-834201427114120838.post-54602889325782533492017-02-01T08:03:00.001-08:002017-02-01T08:03:27.153-08:00Senyumanmu Adalah KebahagiaankuDi sebuah kota tepatnya di Surabaya, tinggallah seorang gadis kecil
berusia 14 tahun yang bernama Erwina Larissa Fatimah, dia lebih sering
disapa Ima. Gadis kecil bernama Ima sekarang telah menduduki bangku
kelas 3 SMP. Dia pun telah berhasil menempuh Ujian Nasional, kini
tinggal menunggu hasilnya saja. Sejak lama dia sudah mempunyai impian
untuk bisa masuk di salah satu SMAN komplek terfavorit di kota Surabaya.
Suatu hari dia berbincang-bincang dengan kedua orangtuanya untuk
merundingkan dimana dia akan melanjutkan pendidikannya.<br />
<br />
“Bu, Pak” kata Ima membuka pembicaraan pada orangtuanya yang sedang berkumpul di ruang tamu<br />
“Iya Nak?” jawab kedua orangtua yang hampir bersamaan<br />
“Bagaimana kalau nanti Ima mencoba untuk ikut tes RSBI dulu? Nanti kalau
tidak lulus baru ikut yang reguler” kata Ima sambil menatap muka kedua
orangtuanya secara bergantian. Terlihat guratan di wajah kedua
orangtuanya, yang menandakan mereka terlihat bingung mendengar ucapan
anaknya.<br />
“Kalau ibu sih terserah kamu saja yang penting kamu optimis”<br />
“Oh bagus itu, bapak malah bangga kalau kamu nanti bisa masuk sekolah
komplek. Pokoknya kamu belajar saja yang rajin, nanti bapak akan bekerja
keras untuk mendapatkan biayanya” Sahut bapaknya sambil melirik balik
ke arah istrinya<br />
“Emm… Makasih ya bu, pak. Ima janji Ima akan belajar rajin” jawab Ima
dengan melontarkan senyum lebar dan berangsur meninggalkan tempat itu<br />
<br />
Ima merebahkan tubuhnya di kasur kesayangannya. Memeluk guling
kesayangannya dan menatap langit-langit kamarnya yang terang benderang
terkena cahaya lampu kamarnya malam itu. Butiran-butiran air mata tak
henti-hentinya terjatuh di pipinya. Ya benar, Ima memang menangis.
Matanya sudah terlihat sangat sembab, merah, dan hidungnya pun merah.
Tak ada niatan sedikitpun darinya untuk menyeka air matanya yang sudah
membasahi pipinya itu, air mata itu ia biarkan jatuh dan melewati
pelipisnya hingga menembus ke bantalnya. Terdengar ketukan pintu
kamarnya, tetapi dia mengabaikan ketukan itu. Tak berapa lama kemudian
masuklah seorang wanita paruh baya ke kamarnya. “Kenapa kamu menangis
sayang?” tanya Ibu Nia mendekati ranjang anaknya dan memposisikan
dirinya di samping Ima<br />
“Ima baik-baik saja bu” jawabnya sambil menyeka sedikit air matanya menggunakan kedua tangannya<br />
“Cerita saja pada ibu”<br />
Flashback On<br />
“Kamu itu orang miskin, mana bisa masuk sekolah komplek yang elit itu!”
tukas seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah tetangga neneknya<br />
“Apa bapak kamu sanggup membiayai kamu selama sekolah di sekolahan elit
itu? Bapak kamu kan cuma seorang kurir. Gajinya saja tidak cukup untuk
uang makan satu bulan” sahut nenek Mini *Nenek Ima*. Ima hanya bisa
terdiam mendengar cacian orang-orang itu, dan yang paling membuatnya
sakit hati itu adalah neneknya. Yup, neneknya juga ikut-ikutan mencaci
dan merendahkan dirinya dan kedua orangtuanya. Kakek Ima yang mengetahui
hal itu langsung memanggil Ima, dan Ima berlari menghampiri kakeknya
itu. Tak disangka disana Ima bisa menumpahkan segala rasa sakitnya.
Melihat cucunya yang sedang terisak, kakeknya mendekati Ima dan berusaha
menenangkannya. “Memangnya benar kalau kamu ingin masuk ke sekolah
komplek itu Ima?” Tanya kakek Adi -Kakek Ima-<br />
“I..ya.. kek” jawab Ima tersengal-sengal, dia masih terisak dalam
tangisnya “Jangan dengarkan kata mereka, gapailah impianmu Ima. Kalau
kamu nanti bisa masuk ke sekolah komplek itu, orangtuamu akan bangga
padamu begitupun dengan kakekmu ini”<br />
“Iya kek, Ima ingin membahagiakan ibu dan bapak kek, makanya Ima berniat
mencoba ikut tes RSBI di sekolah komplek karena Ima ingin mengangkat
derajat orangtua Ima agar kita tidak dicaci maki orang-orang lagi” Ima
pun tak kuasa menahan air matanya, seketika saja air mata itu tumpah dan
kakek pun merangkul erat cucunya yang sedang sedih itu<br />
Flashback Off<br />
<br />
“Sudahlah Nak, jangan dimasukkan ke dalam hati. Mereka hanya sirik
dengan keluarga kita. Kan mereka tidak tau bagaimana kemampuan Ima.
Jangan sedih ya sayang” Ibu Ima merangkul erat anaknya, sebenarnya
hatinya pun juga turut terluka karena mendengar cacian-cacian
orang-orang itu, terlebih lagi ibu mertuanya.<br />
“Abaikan saja kata-kata mereka, toh mereka juga tidak ikut membiayai
sekolah kamu nantinya. Sekarang tugas kamu hanyalah belajar saja”
tiba-tiba bapak Ima masuk dan sontak membuat kaget istri dan anaknya
yang sedang berpelukan itu<br />
<br />
Hari yang ditunggu telah tiba, kini tiba waktunya pengumuman hasil tes
RSBI yang telah diikuti oleh Ima kemarin. Ima sangat berharap bahwa
dirinya nanti bisa diterima di salah satu dari tiga sekolah komplek
tersebut. Tapi harapan Ima seolah pupus lantaran namanya tidak ada dalam
daftar nama siswa yang diterima di dua sekolah komplek yang ia pilih.
Ima merasa sedikit kecewa karena hanya sedikit saja selisih nilainya
dengan nilai terendah di sekolah komplek tersebut. ‘Mungkin memang benar
kata orang-orang, sekolah itu tak pantas untukku. Aku ini terlalu
miskin untuk bersekolah di sana’ pikirnya dalam hati Setelah dia tak
dapat diterima di sekolah komplek itu, dia pun mengikuti pendaftaran
reguler yang diadakan oleh pemkot Surabaya melalui pendaftaran online.
Pendaftaran dimulai hari ini, dan itu artinya Ima pun segara
mendaftarkan diri. Setelah memasuki hari ketiga pendaftaran, nama
‘Erwina Larissa Fatimah’ sudah tidak ada dalam daftar nama di tiga
sekolah yang ia pilih. Itu artinya posisinya tergeser oleh siswa yang
nilai NEM nya lebih tinggi darinya. Ia pun tak putus asa, akhirnya
orangtuanya mendaftarkannya ke sekolah swasta yang terkenal sedikit
elit. Ya, sekarang Ima bersekolah di sana.<br />
<br />
Tiga tahun telah berlalu, Ujian Nasional juga telah dilaluinya dengan
lancar. Masih sama seperti yang dulu, Ima hanya tinggal menunggu hasil
dari kerja kerasnya selama tiga tahun di masa putih abu-abu ini. Dan
juga dia menunggu pengumuman peserta yang diterima di PTN. Seminggu
kemudian, pengumuman itu ditempel indah di mading yang terletak di dekat
pintu masuk sekolah. Ratusan siswa kelas XII yang sudah bergerombol
sejak tadi pagi langsung bergegas mendekati papan pengumuman itu, tak
terkecuali Ima. Dan hasilnya pun memuaskan, Ima lulus dengan nilai yang
tinggi dan dia pun juga diterima di salah satu PTN terkemuka di Surabaya
dengan jurusan yang ia pilih, yaitu Ekonomi Pembangunan. Yup, berarti
sebentar lagi Ima akan menjadi ‘Mahasiswi Ekonomi Pembangunan’. Dia
sangat senang dan segera pulang untuk memberitahukan berita bahagia ini
kepada ibu dan bapaknya.<br />
<br />
“Ibuuuuuu… Bapaakkkkk…” teriak Ima lantang saat ia masih berada di
halaman rumahnya Orangtuanya yang mendengar teriakan anaknya itu
langsung bergegas menuju sumber suara itu. Dari kejauhan mereka melihat
sesosok gadis kecil mereka telah berubah menjadi gadis remaja yang
beranjak dewasa dengan senyuman yang mengembang di bibirnya. “Ada apa
sih? Kok teriak-teriak seperti itu?” sahut ibunya yang masih terlihat
memakai celemek biru di badannya<br />
“Aku lulus bu, aku lulus pak” jawabnya sambil mendekati dan menciumi
tangan ibunya lalu berpindah menciumi tangan bapaknya “Alhamdulillah,
terus bagaimana dengan nilai kamu nak?” tanya bapaknya yang juga turut
mengembangkan senyumannya<br />
“Nilaiku memuaskan pak, dan ada satu berita lagi bu, pak” serunya<br />
“Berita apa?” ucap ibu dan bapak hampir bersamaan<br />
“Tak lama lagi anak kalian ini akan menjadi Mahasiswi Ekonomi
Pembangunan bu, pak” serunya lagi sambil memegang tangan kedua
orangtuanya lagi<br />
“Itu artinya kamu diterima di universitas itu nak?” Tanya ibunya. Ima pun hanya mengangguk pelan tanda mengiyakan<br />
“Alhamdulillah, bapak sama ibu bangga punya anak seperti kamu. Semoga
kamu tidak mengecewakan kita nantinya ya?” Senyuman lebar terukir di
sudut bibir bapak, begitupun dengan ibu. Mereka terlihat sangat senang<br />
<br />
4 tahun kemudian<br />
“Selamat ya nak, kamu sudah menjadi sarjana sekarang” ucap ibu disertai
dengan tetesan air mata bahagia yang menetes dari sudut matanya “Makasih
bu, pak ini semua berkat kalian juga. Kalian yang selalu menyemangati
Ima hingga Ima bisa jadi seperti ini. Ima sangat senang karena ibu sama
bapak bisa mendampingi Ima wisuda”<br />
“Iya nak, kamu sudah berhasil membuktikan kemampuanmu kepada orang-orang
yang dulu mencacimu. Sekarang mereka akan tau bagaimana hebatnya anak
bapak yang satu ini” ucap bapak sambil mencium kening anak semata
wayangnya itu. Suasana menjadi sangat mengharukan, semuanya pun ikut
menangis.<br />
<br />
Dua bulan setelah Ima menjadi Sarjana Ekonomi, dia pun kini bekerja di
sebuah divisi keuangan di salah satu perusahaan ternama di Surabaya.
Gaji dari hasil kerjanya pun telah ia kumpulkan, selama beberapa bulan
uang itu sudah terkumpul cukup banyak. Tanpa basa-basi lagi Ima pun
memberikan uang dari hasil keringatnya kepada orangtuanya.<br />
“Bu, Ima ada sedikit rezeki untuk ibu dan bapak” ucap Ima yang
menghampiri ibunya di ruang tamu sambil menyodorkan amplop berwarna
coklat muda yang dari tadi dibawanya<br />
“Kamu simpan saja uang ini, ini kan hasil kerja kamu nak” ucap ibu
sambil mengembalikan amplop itu lagi ke tangan Ima “Tidak bu, Ima ingin
memberangkatkan ibu dan bapak untuk umroh. Itu kan impian kalian sejak
dulu? Sekarang Ima sudah bisa mewujudkan impian itu bu. Ima bisa!” jawab
Ima sambil menaruh amplop itu ke tangan ibunya lagi dan tangannya ikut
mendekap tangan ibunya yang bertujuan untuk menahannya supaya ibunya
tidak mengembalikan uang pemberiannya lagi. Hal yang tak disangka
olehnya pun terjadi, kini ibunya menangis di hadapannya. Iya, ibunya
memang menangis, lebih tepatnya lagi menangis bahagia. Setelah itu
ibunya segera memberitahukan kepada suaminya bahwa sebentar lagi mereka
bisa menunaikan ibadah umroh. Atas kerja kerasnya selama ini akhirnya
Ima bisa membahagiakan kedua orangtuanya itu, ‘Akhirnya Ima bisa
mewujudkan impian kalian, senyumanmu adalah kebahagiaanku ibu… bapak…’
batin Ima yang sedang mengantarkan keberangkatan kedua orangtuanya di
bandara<br />
<br />
<br />
TAMAT<br />
<br />
Cerpen Karangan: Endah Sulistyo Rini<br />
Blog / Facebook: endahsr30.blogspot.co.id / Endah Sulistyo Rini D’LinstarUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-834201427114120838.post-74195105041257680142017-01-30T05:33:00.000-08:002017-01-30T05:34:42.601-08:00Saat TerakhirDuar. Kilat menyambar. Dahyat. Memekakkan telinga. Langit malam meruntuhkan air. Ya! Buncahan hujan deras menghantam bumi. Teramat sangat malah. Membuat jalanan banjir. Angin malam berkesiur kencang. Dingin membeku. Awan hitam mendominasi. Kelam. Gemintang indah tertutup. Terhalang. Gemerlap lampu-lampu musnah sudah. Ibu Kota ini memang benar-benar layaknya zaman batu. Gelap. Hanya sesekali cahaya kilat membuat terang. Sekejap.<br />
<br />
Apa yang sebenarnya diinginkan takdir langit pada malam ini? Entahlah. Tak ada yang tahu. Apa pula yang sedang terjadi? Entahlah. Di kamar yang serba putih, Dimas meratap. Ya! Yang ia mampu perbuat sekarang hanyalah meratap. Diam seribu bahasa. Melihat Dewi terbaring lemah. Tak berdaya. Wajahnya pucat bagai seorang mayat. Tapi ia masih bernafas. Selang-selang menghujam tubuhnya yang semakin ringkih dan ringkih. Matanya sayu masih setengah membuka. Mencoba mengutarakan isi hati. Entahlah. Benar-benar tak karuan malam ini. Beribu-ribu kilat terus menyambar. Membawa pedih. Sama seperti hatinya sekarang. Berbagai sesal menghantui tiap detik beku di kamar ini. Dokter memvonis bahwa usia Dewi tak akan lama lagi. Tinggal menghitung hari saja. Kankernya sudah menjalar-jalar ke seluruh tubuh. Stadium 4. Sangat parah. Dan di kamar yang serba putih ini, mungkin ajal akan menjemputnya. Entahlah. Dimas hanya mampu meratap. Terus menerus. Perasaannya bercampur aduk antara amarah dan sesal. Rasanya ingin sekali ia mencabik-cabik mulut dokter bajingan itu. DOKTER SOK TUHAN!!! Berani-beraninya ia membatasi umur manusia. DOKTER LAKNAT. DOKTER B-A-J-I-N-G-A-N. Batinnya berteriak parau. Memilukan.<br />
<br />
Di kamar yang serba putih ini, Dewi kian kalang kabut dengan sakit yang dideritanya. Menangis basah. Menahan sakit. Namun, tak kuasa membrontak. Ia sudah lemas. Tak berdaya. Matanya sayu masih membuka. Menghipnotis Dimas yang melihatnya iba.<br />
“APAKAH AKU CANTIK?”<br />
<br />
“Dimas…” Dewi berteriak. Berlari terpongah-pongah ke arah Dimas yang berada di seberang jalan. “Tunggu aku…” Apa yang ada di benak perempuan itu sebenarnya. Berlari tanpa melihat arah. Menyeberang jalan seenaknya saja. Untunglah jalanan senggang.<br />
Dimas menghentikan langkah. Terpaku sejenak. Menunggu Dewi yang masih berlari tak peduli arah. Tak lama, ia sudah di hadapan. Nafasnya ngos-ngosan. Sedikit tetes peluh di dahi menyembul.<br />
“Berangkat ke kampusnya bareng yaa.” Ia tersenyum. Lesung di pipi menambah menawan. Sungguh ayunya. Dimas tak kuasa menatap lamat-lamat wajah cantik itu. Jantungnya terasa sangat berderap jika di dekatnya. Apalagi jika senyuman itu terhias. Bagai sedang di kutub, badannya langsung membeku tak berkutik. Salah tingkah. Tapi, ada tanda tanya besar dalam hatinya. Dewi, seorang anak direktur perusahaan ternama, kaya raya, mobil melimpah, kenapa malah memilih berangkat ke kampus bersama Dimas, laki-laki kere yang hidup ngekos di tengah hamparan apartemen Ibu kota, berangkat dengan naik metro mini yang asapnya macam rumah kebakaran. Bukankah ia punya banyak mobil ber-AC yang adem dan mulus? Inilah yang membuat bingung Dimas selama beberapa bulan terakhir setelah mengenalnya.<br />
<br />
Ya! Sudah tiga bulan ini mereka menjalin pertemanan. Hanya sebatas teman. Dan apakah mereka juga menginginkan hubungan itu hanya sebatas teman saja? Entahlah. Dimas, sudah lama ia memendam rasa kepada Dewi. Tapi, ia tahu diri. Minder. Seorang anak orang rendahan mana mungkin bisa menjadi kekasih seorang anak direktur yang kaya raya, cantik pula. Benar-benar bagai punuk merindukan bulan. Mungkin tidak! Bagaikan punuk merindukan Neptunus, planet terjauh di tata surya. Dan itu menandakan kalau hubungan mereka tak akan pernah terjadi. Tidak pernah terbesit dalam hati Dimas kalau ia akan menjalin hubungan dengan Dewi sebagai seorang kekasih, melamarnya, menikahinya, mempunyai anak bersamanya, mempunyai cucu dari anak-anak mereka dan hingga akhirnya mati bersama dalam pelukan cinta antara seorang kakek dan nenek. Tak pernah terbesit pikiran seperti itu dalam diri Dimas. Setiap kali ia membayangkan bagaimana menjalin hubungan kekasih dengannya, di saat itu pula ia selalu mengandaskan pikirannya dalam-dalam. Tak mungkin anak seorang direktur kaya mau dengan laki-laki kere. Dan karena itulah ia selalu memendam rasa. Hingga saat ini pun ia masih memendamnya. Tak mau diungkapkan. Ia terlalu malu untuk mengungkapnya. Ia hanya LAKI-LAKI KERE YANG NGEKOS DI ANTARA HAMPARAN APARTEMEN IBU KOTA.<br />
<br />
“Hai, kok melamun.” Dewi menggertak kecil. Mengagetkan Dimas. Melempar senyum yang manis itu.<br />
“Oh, iya…” Dimas memalingkan muka. Salah tingkah. Menatap Dewi. Sebentar. Ia tak kuasa menatap Dewi lamat-lamat. Apalagi menatap mata beningnya yang memesona. Ia benar-benar tak kuasa “Kenapa, Dew?”<br />
“Kita berangkat ke kampusnya bareng yaa.” Ia kembali meminta untuk yang kedua kalinya.<br />
Dimas membuang jauh-jauh tanda tanya besar itu. Juga pendaman cintanya. Mungkin saja Dewi ini adalah seorang anak yang merakyat. Tak sombong. Mau bergaul dengan siapa saja walaupun orang itu adalah orang yang kere. Dan ia melakukan ini bukan karena adanya cinta yang terbelit di hatinya juga. Dimas yakin kalau Dewi tidak melakukannya karena diam-diam ia juga mencintai Dimas. Mana mungkin anak seorang direktur cinta dengan laki-laki kere. MUSTAHIL<br />
“Iyaa. Ayo berangkat.”<br />
<br />
Whong… Sebuah metro mini melintas. Deru knalpotnya membuat bising. Pun asapnya. Menutup muka Dewi yang putih mengkilap bagai mutiara. Dan kini muka itu ternoda dengan asap hitam polusi. Kalau begini laki-laki mana yang tak tega kala melihat seorang perempuan begitu tersiksa dengan asap itu. Apalagi cantik pula. Dan semua ini masih menjadi teka-teki dalam diri Dimas. Kenapa seorang anak direktur kaya yang punya banyak mobil ber-AC dan mulus malah lebih memilih naik metro mini bising dan penuh kebul?<br />
<br />
Di perjalanan, mereka hanya mengobrol sesuatu yang sama yang selalu mereka bicarakan tiap hari. Dewi selalu bercerita pada Dimas dengan apa-apa yang terjadi dengannya. Seakan-akan Dimas itu adalah diary curahan hatinya. Semuanya tercurah ke dalam telinga Dimas. Tanpa satupun yang terlewat.<br />
“Hai, Dim. Kau tahu, sebenarnya aku sedang suka dengan seseorang.” Dewi menggumam.<br />
Mendengar itu Dimas terperangah. Hatinya bergejolak. Oh Tuhan, siapakah yang dicintainya? Ia ragu. Tak mungkin Dewi mencintai dirinya yang kere dan rendahan.<br />
“Oh, iya? Benarkah? Siapa?” Tanya Dimas. Melempar senyum walau itu hanya sebatas senyum palsu.<br />
“Cie, yang kepo cie…” Dewi tersenyum manis. Merasa pancingannya berhasil membuat Dimas bertanya-tanya.<br />
Pipi Dimas memerah. Padahal ia mejawab itu karena tak enak dengan sikap Dewi yang sering curhat dengannya. Jika reaksinya datar-datar saja, mungkin Dewi tak akan tersenyum seperti itu. Ia tak tega. Ia selalu ingin melihat senyum Dewi yang memesona. Tapi, pipi Dimas benar-benar memerah kali ini. Apakah ini sebuah tanda? Apakah pertanyaan itu bukan sebuah tanya akting belaka? Dan apakah senyum itu bukan senyum palsu yang sesungguhnya? Entahlah.<br />
“Kamu mau tau nggak siapa?” Dewi bersuara. Tersenyum indah. Memesona.<br />
“Emang siapa?” Tanya Dimas. Memasang wajah berpura-pura ingin tahu sekali. Walau mungkin wajahnya tidak dibuat-buat. Ia memang benar-benar ingin mengetahuinya.<br />
“Tuh,” jawab Dewi sambil menunjuk ke suatu arah. Telunjuknya menuding ke sopir bus mini yang sudah tua. Kumis tebal. Wajah glopot dan berslampir handuk kecil di lehernya.<br />
“Sialan. Kamu itu sukanya bercanda.” Dimas kesal. Merasa tertipu. Mencubit pipi Dewi yang lembut. Ia tersenyum. Lesung pipinya membuat hati berbunga-bunga. Anak-anak rambut yang menutup dahi ikut bergoyang. Benar-benar cantik sekali.<br />
“Ih, kamu mah, main cubit-cubit aja. Aku bukan boneka tau.” Dewi bergumam. Membalas cubitan Dimas dengan satu gelitik di pinggang. Mereka bergurau.<br />
Dan entah kenapa, tanpa sadar, mungkin setelah mereka lelah bergurau, Dewi menyandarkan kepalanya pada bahu Dimas. Di tengah riuhnya knalpot bobrok metro mini, ia bagai merasakan sedang berdua saja di suatu alam yang tenang. Milik mereka berdua. Lagi pula, Dimas juga tak keberatan jika bahunya dipinjam perempuan seperti dia. Tapi, hatinya menolak. Apakah ia pantas untuknya? Ia hanya laki-laki kere. Sedangkan Dewi adalah seorang anak direktur perusahaan ternama yang kaya raya.<br />
<br />
Tiga bulan berlalu. Dewi dan Dimas kini semakin dekat saja. Tiap hari berangkat kampus bersama. Bercanda di metro sambil selalu menunjuk ke arah supir metro mini yang selalu ganti tiap minggu. Dan Dimas selalu menanggapinya dengan cubitan di pipi Dewi yang selalu membentuk teluk kala ia tersenyum. Atau terkadang juga menjitak kepalanya lembut. Bukan jitakan keras. Mungkin lebih tepatnya membelai. Ya! Dimas kian merasakan perasaannya semakin bergejolak. Tapi, semakin cintanya bergejolak, semakin pula minder itu menguasai dirinya. Lagi-lagi ia berpikir kalau dirinya sama sekali tak pantas mencintai seorang perempuan seperti Dewi. Apalagi kalau Dewi mencintainya. Ia bahkan tak bisa membayangkan bagaimana terpiuhnya hati Dewi jika ia harus hidup berdamping dengan laki-laki kere, miskin seperti dia. Walau ia sebenarnya tahu kalau Dimas hanyalah seorang anak pedagang sayur di desa yang pergi ke Ibu Kota untuk bersekolah. Tapi, bagi Dimas itu sama saja. Ia tak ingin Dewi tersiksa karenanya. Oleh Karena itu, sampai sekarang pun ia belum bisa mengungkapkan perasaan yang diderma batinnya sejak lama. Ia ragu. Teramat sangat malah.<br />
<br />
Satu minggu berlalu, di suatu malam yang indah bermilyar gemintang, Dewi mengajak Dimas makan malam bersama. Entahlah. Dimas tak tahu apa maksud makan malam ini. Tapi ia tak enak untuk berkata tidak. Karena itulah ia menyanggupinya. Lama ia menunggu. Satu jam. Dua jam. Tiga jam. Dewi sama sekali tak datang. Dimas mulai punya firasat buruk. Tak pernah sekalipun Dewi mengingkari janjinya. TAK PERNAH. Tapi malam ini, ia tak memegang kata-katanya.<br />
<br />
Keesokan harinya, Di suatu pagi hening yang penuh dengan tetesan embun, Dimas merasakan suatu yang berbeda. Pagi itu, sama sekali tak terdengar teriakan Dewi yang lembut memanggil namanya. Menyuruhnya berhenti. Tak ada suara itu. Ia terheran. Ke mana dia? Ke mana panggilan “Dimas…” yang selalu terlontar tiap pagi? Ke mana hentakan kaki buru-buru yang mengejar dirinya? Ke mana kalimat “Berangkat ke kampusnya bareng ya…” Ke mana? Ke mana? Ke mana Dewi sebenarnya?<br />
<br />
Dimas menunggu. Mungkin saja Dewi kesiangan. Tapi, sampai satu jam pun ia tak kunjung datang. Akhirnya berangkatlah Dimas seorang diri. Tak ditemani seorang perempuan manis yang selalu menggelitiki pinggangnya. Yang selalu ia cubit pipi teluknya. Di tengah riuhnya dialog orang dan mekakkannya deru knalpot bobrok metro, ia kesepian. Hanya memandang ke luar jendela dengan tatapan kosong yang tak bermakna.<br />
<br />
Tiga minggu berlalu. Sudah genap satu bulan Dewi menghilang tanpa sebab sejak ketidakhadirannya di makan malam itu. Dimas semakin bergoncang. Di mana dia? Di mana dia sebenarnya. Ia bertanya pada teman satu kampusnya yang mengambil jurusan sama dengan Dewi mengenai perihal menghilangnya Dewi. Namun, ia tak tahu. Bahkan sudah sebulan juga Dewi tak berangkat ke kampus tanpa memberi surat keterangan satupun. Dan ini membuat Dimas semakin bingung. Di mana Dewi sebanarnya?<br />
<br />
Satu minggu lagi berlalu. Setelah mencari-cari keberadaan Dewi, akhirnya segelintir infomasi terkuak juga di telinganya. Pada suatu malam yang terselimut awan mendung yang sangat gelap, salah seorang temannya menelepon. Mengabarkan bahwa DEWI SEDANG SEKARAT.<br />
Kabar itu begitu amat mencengangkan baginya. Dan karena itu, pada malam itu juga, ia hujan-hujanan menuju rumah sakit. Hujan semakin deras membuncah bumi. Disertai dengan kilatan petir dan teriakan guntur. Amat sangat mengerikan. Tapi ia tak peduli. Yang ada di dalam benaknya sekarang adalah Dewi, wanita yang amat sangat dicintainya. S-E-D-A-N-G S-E-K-A-R-A-T.<br />
<br />
Hampir tengah malam, ia sampai di rumah sakit. Tubuhnya basah kuyup. Menggigil kedinginan. Tapi ia tak peduli. Orang yang sangat dicintainya sedang sekarat. Terbaring tak berdaya di kamar yang serba putih. Dan ia harus menemuinya.<br />
Setelah melihat Dewi yang sekarang, sungguh dunia bagai sedang diguncang gempa yang sangat dahsyat. Teramat sangat Dimas terperanjat. Matanya terbelalak. Berkali-kali hatinya mengamuk tak percaya. Sungguh. Ia benar-benar tak percaya. Seluruh Dewi yang dikenalnya, kini sudah 180 derajat berubah. Rambutnya yang indah terurai kini sudah tak lagi ada di ubun-ubunya. Ia botak. Wajahnya pucat bagaikan mayat. Tubuhnya ringkih. Teramat sangat malah. Tulang-tulangnya bahkan terukir di kulitnya. Ia sangat kurus. Menyedihkan. Matanya sayu setengah menutup. Tak berdaya. Orangtuanya bilang, kanker telah menggrogotinya banyak tubuh Dewi. Semuanya sudah menjalar-jalar hingga ke organ-organ vital. Dan dokter memvonis kalau umur Dewi tinggal menghitung hari saja. Dan di sela-sela pandangan sayu itu Dewi berucap.<br />
<br />
“APAKAH AKU CANTIK?”<br />
Apa maksudnya. Dimas benar-benar tak tahu apa maksud Dewi.<br />
“APAKAH AKU CANTIK?” Dewi bertanya lagi. Suaranya semakin serak dan parau.<br />
“Apa maksumu, Dew?” Dimas bertanya. Tanya yang seharusnya tak ia lontarkan saat itu.<br />
“Kau jawab saja aku, APAKAH MENURUTMU AKU INI CANTIK?” Dewi bertanya lagi. Tangan ringkihnya menggenggam pergelangan Dimas yang basah kuyup oleh hujan.<br />
Dimas menelan ludah. Perasaannya kocar-kacir tak karuan. Firasat buruk semakin mengguncang tiada henti. Akhirnya, ia mengangguk, mengiyakan.<br />
“Apakah.. kau.. mau tau.. sese..orang yang aku cintai?” Dewi bertanya. Pertanyaan yang sama ketika waktu di metro.<br />
Lagi-lagi Dimas hanya mampu mengangguk. Sudah tak kuasa ia berkata. Hatinya sedang menangis melihat orang yang sangat dicintainya sedang menahan sakit. Tanpa air mata hatinya meingkuk. Memilukan.<br />
<br />
Kemudian pelan ia berkata sambil menunjuk ke suatu arah. Ke sebuah cermin yang menampakkan Dewi dan Dimas. “Yang., a..ku cintai.. adalah… A..” Kata-katanya terputus pada huruf A. “A..” Ia mencoba berkata. Menahan sakit yang diderma. Sakit seribu sakit. “Ak…”<br />
<br />
Dan apa yang sedang diinginkan takdir langit malam tadi? Dewi pun kini sudah menghadap Sang kuasa. Ia tersenyum beku. Lesung pipinya terukir abadi. Bendera kuning berkibar. Perkuburan ramai. Dewi kini sudah dikebumikan. Orangtuanya menangis melepas kepergian anak semata wayangnya. Tapi, yang teramat sangat kehilangan adalah Dimas. Sampai sekarang pun ia tak tahu siapa orang yang dicintai Dewi. “AK…” Siapa ak itu. Tapi itu tidaklah penting. Sekarang tak ada lagi orang yang ia belai lembut rambutnya. Tak ada lagi orang yang selalu tersenyum padanya setiap pagi di metro. Tak ada lagi orang yang ia cubit pipinya. Pipi yang selalu membentuk teluk ketika tersenyum. Dewi sudah tiada. Dan sebelum meninggalkan Dimas sendirian di perkuburan yang sudah menyepi, orangtua Dewi menyerahkan sepucuk surat. Surat yang ditulis Dewi ketika masa-masa perjuangannya melawan kanker. Surat yang ditujukan kepadanya.<br />
<br />
Kepada: Dimas Aksara<br />
Dari: Dewi Andita<br />
<br />
Hai, Dim. Mungkin tak sepantasnya aku bicara seperti ini. Maaf karena aku tak datang menepati janjiku untuk bertemu makan malam. Aku benar-benar tak menyangka tuhan tak akan mengijinkannya. Sebelum aku pergi, aku ingin mengungkapkan sesuatu yang aku pendam selama ini. Mungkin tak sepantasnya aku bicara ini. Kalau pun kau akan menerimanya, semuanya pasti akan terlambat. Tak berarti. Tapi, aku akan tetap mengungkapkannya. Dan dari hati aku yang paling dalam, aku merasa nyaman berada di dekatmu. Entahlah. Aku tak bisa menjelaskan rasa itu. Mungkin dengan tiga kata kau akan paham. AKU CINTA KAMU.<br />
<br />
Ya. Aku sangat mencintaimu, Dim. Aku tau mungkin kau tak mempedulikanku. Kau hanya berusaha menanggapi apa yang aku lakukan. Tapi, yang kulakukan semua adalah karena aku mencintaimu, Dim. Sungguh. Apa kau tahu kenapa aku selalu ingin bersamamu ketika berangkat ke kampus? Itu karena aku ingin selalu bersamamu setiap pagi. Aku selalu kesepian, Dim. Orangtuaku tak mempedulikanku. Mereka hanya peduli pekerjaan mereka. Bahkan setelah aku divonis oleh dokter menderita kanker satu tahun yang lalu. Dan kau adalah satu-satunya penyemangat hidupku.<br />
<br />
Apa kau tahu kenapa aku selalu menuding supir metro ketika hendak memberitahukan orang yang aku cintai. Apa kau tahu? Kau pasti mengira kalau aku menuding supir itu. Tidak, Dim. Aku tidak sedang menuding supir itu. Yang kutuding adalah cermin. Kaca spion metro yang lebar. Yang menampakkan wajahmu yang sendu. Ya. Itulah yang aku tunjuk. Dan itulah orang yang AKU CINTAI.<br />
<br />
Terima kasih, Dim. Terima kasih telah menjadi penyemangat hidupku. Terima kasih sudah mewarnai hidup kelamku. Terima kasih. Kau benar-benar sepereti namamu. AKSARA. Kau memang seperti tulisan yang aku coretkan di setiap buku diaryku, hanya kaulah yang tahu apa yang aku coretkan itu<br />
<br />
Salam Manis<br />
<br />
<br />
Dewi Anandita<br />
<br />
<br />
Dan setelah membaca surat itu. Badan Dimas mendadak menjadi kaku tak berdaya. Tak disangka ternyata orang yang amat sangat dicintainya ternyata juga mencintainya. Tapi, semua sudah terlambat. Ia kini sudah tiada. Dimas pun menangis. Berteriak parau. Menyesali dengan apa yang telah dilakukannya. Maka dengan penuh rasa bersalah ia belai nisan bertuliskan “Dewi Anandita” seperti halnya ia mengelus rambut “Dewi Anandita” ketika di metro…<br />
<br />
Cerpen Karangan: Aris Fatah Yasin<br />
Facebook: Aris Fatah YasinUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-834201427114120838.post-83090186048025246732017-01-30T05:21:00.003-08:002017-01-30T05:22:04.511-08:00Mimpi PerpisahanSuara pintu diketuk membuyarkan lamunanku.<br />
“Masuk,” ucapku dari dalam.<br />
“Non, di bawah ada orang yang ingin bertemu dengan non,” ucap Bi Minah. Aku mengernyitkan dahiku berpikir siapa yang datang. Seseorang ingin menemuiku? Aku lalu memutuskan untuk turun ke bawah dan memeriksanya sendiri. Baru saja aku berjalan di anak tangga pertama, tubuhku langsung kaku. Dia. Untuk apa dia kemari? Bukankah dia sudah puas menghancurkan hidupku. Aku hendak berbalik dan masuk kamar sebelum dia memanggil namaku.<br />
“Dania,” panggilnya lirih yang masih bisa kudengar.<br />
<br />
Aku tertegun. Suaranya terdengar putus asa tetapi lembut dan penuh kasih sayang. Setelah lama tidak berjumpa dengannya, ini adalah pertama kalinya dia menyebut namaku. Tak terasa, satu tetes air mata membasahi pipiku. Aku menangis. Hal terakhir yang ingin aku lakukan akhirnya terjadi juga. Satu tetes dua tetes. Lama-lama air mata itu turun semakin deras. Aku tidak bisa memungkiri bahwa aku sangat merindukannya. Tapi, setelah dia meninggalkanku selama bertahun-tahun apakah dia pantas kurindukan. Aku terlantar, hidup tanpa kasih sayang dari Ibuku. Iya. Orang itu adalah Ibuku.<br />
<br />
“Dania, mama mohon nak. Jangan benci mama seperti ini, mama tidak sanggup nak mama tidak sanggup. Mama lebih baik mati dari pada harus merasakan kebencianmu,” Nada bicara mama terdengar memilukan di telingaku.<br />
“Maaf, saya tidak mengenal anda. Sebaiknya anda pergi dari sini,” ucapku dengan susah payah. Aku berusaha menahan isakan tangisku. Tapi hal itu sia-sia. Tangisku pecah bersamaan dengan tangis mama. Ruangan ini penuh dengan tangisan memilukan dari aku dan mama. Aku lalu mengusap air mata yang membasahi pipiku dan pergi masuk ke dalam kamar. Aku tidak peduli dengannya. Egoku mengalahkan semuanya. Bukankah dia sendiri yang meninggalkanku, lalu untuk apa dia kembali.<br />
<br />
Aku merebahkan tubuhku di atas kasur berukuran queen size. Mataku menatap langit-langit kamar berwarna putih. Aku memikirkan apakah yang aku lakukan ini salah. Sebagian dari diriku berkata bahwa yang kulakukan ini sudah sangat benar. Tapi, sebagian diriku juga mengatakan bahwa yang kulakukan ini salah. Tidak seharusnya aku membenci perempuan yang telah melahirkanku ke dunia ini. Memikirkan hal ini membuatku pusing. Aku memutuskan untuk mendengarkan lagu saja. Kuraih ponselku yang tergeletak di atas nakas. Lagu In The Name of Love milik Charlie Puth terdengar indah di telingaku. Lama-kelamaan mataku semakin berat dan beberapa menit setelahnya aku sudah larut ke dalam alam mimpi.<br />
<br />
Pukul 15.00 aku terbangun dari tidurku. Aku lalu bangkit dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi untuk mandi. Tak sampai 15 menit, acara mandiku sudah selesai. Aku memutuskan untuk menggunakan celana jeans di atas lutut dan sweater berwarna biru muda. Aku lalu memasukkan ponselku ke dalam saku celana. Juga tak lupa kubawa earphone. Aku keluar dari kamarku dan turun ke bawah melalui anak tangga. Aku tidak melihat sosok perempuan itu lagi di sini melainkan seorang laki-laki duduk di sofa sedang berbicara dengan Bi Minah. Aku tidak bisa melihat wajahnya karena posisi dia duduk membelakangiku. Aku lalu berdeham kecil dan membuat laki-laki itu menoleh.<br />
<br />
“Nah, ini dia non Dania sudah datang. Silakan mengobrol dulu, Bibi ke belakang dulu ya,” pamit Bi Minah padanya.<br />
“Hai,” sapanya ramah<br />
“Mengapa kau ada di sini?” tanyaku bingung tanpa membalas sapaannya.<br />
“Aku hanya berkunjung saja. Memangnya tidak boleh?” jawabnya<br />
“Boleh saja. Lalu untuk urusan apa kau datang kemari?” Dia terlihat gugup saat aku menanyakan hal itu.<br />
“Aku ingin mengajakmu mengelilingi kompleks. Apakah kau mau?” tawarnya padaku. Aku menimang-nimang tawarannya. Kebetulan sekali aku juga ingin mencari udara segar setelah kejadian tadi siang. Berjalan-jalan sendirian akan terasa sangat membosankan. Mungkin tidak ada salahnya aku menerima tawarannya. “Kebetulan, aku juga sedang ingin mencari udara segar. Berjalan sendirian aku rasa akan sangat membosankan, jadi tidak ada salahnya aku menerima tawaranmu,” jawabku menyuarakan pikiranku.<br />
<br />
Dia lalu bangkit dan berjalan keluar. Aku mengikutinya di belakang. Tidak lupa aku pamit pada Bi Minah yang sudah aku anggap sebagai ibu kandungku sendiri sebelum keluar dari rumah. Aku dan dia berjalan bersebelahan. Dia tampak kaku berada di sebelahku. Aku mengeluarkan ponselku dan memasangkan earpohone di telingaku yang sebelumnya sudah terhubung dengan ponselku.<br />
<br />
“Dania,” panggil Dani. Iya, nama laki-laki itu adalah Dani. Dia adalah mantan pacarku Aku menolehkan kepalaku ke arahnya dan menaikkan sebelah alisku sebagai respon.<br />
“Aku ingin menanyakan sesuatu padamu,” ucapnya serius sambil menatap mataku.<br />
“Silakan,” sahutku. Entah mengapa jantungku berdegup cepat saat dia menatap mataku. Aku akui aku masih menyimpan sedikit perasaan padanya dan belum bisa melupakan dia seutuhnya atau istilah zaman sekarang adalah move on.<br />
“Tadi pagi aku melihat seorang perempuan. Dia mirip sekali dengan dirimu. Saat dia datang, dia terlihat takut dan saat pulang dia menangis. Siapa dia Dania? Mengapa perempuan itu menangis? Pertanyaan Dani membuatku terkejut. Rumahku dan Dani memang berhadapan, jadi ia bisa tahu siapa yang datang ke rumahku.<br />
Menceritakan sedikit beban di pundakku kepada Dani mungkin perlu. Aku berbatuk kecil sebelum bercerita.<br />
“Wanita itu. Wanita yang kau lihat tadi. Dia adalah ibuku. Dia datang lagi setelah belasan tahun menghilang dan menelantarkan diriku. Kenapa dia melakukan ini Dan? Kenapa? Dia datang hanya untuk melihatku, dan aku meninggalkan dia sendirian di ruang tamu setelah aku mengusirnya. Aku tidak bisa memaafkan kesalahannya dulu.,” Tak sadar aku meneteskan air mata. Tetesan air mata itu lalu berubah menjadi sebuah tangisan. Aku menangis untuk yang kedua kalinya dalam sehari.<br />
<br />
Tidak diduga, Dani menghapus air mata yang membasahi pipiku. Dia lalu merengkuhku ke dalam pelukannya dan membawaku duduk di sebuah bangku yang tersedia di taman.<br />
“Aku harus apa Dan? Aku harus apa?” ucapku sesenggukan.<br />
“Shut. Sudah jangan menangis lagi,” Ucapan Dani menenangkanku. Aku merasa nyaman berada di dekapannya.<br />
Setelah aku mulai tenang, Dani kembali berbicara “Mungkin ibumu pernah melakukan kesalahan dulu dengan meninggalkanmu sendirian. Tapi bukankah dia sudah berusaha untuk menebus kesalahannya dengan datang menemuimu dan meminta maaf. Menurutku, kau harus melupakan segala kebencianmu. Toh, apa untungnya kau membenci dirinya? Kau harus ingat saat kau berada dalam kandungan ibumu. Dia rela melakukan apa pun untukmu. Menjagamu, membawamu ke mana saja. Dia senang saat dirimu menendang dari dalam perutnya. Sekarang temui dia dan minta maaflah padanya. Itu akan menyelesaikan masalahmu Dan,”<br />
Aku tertegun mendengar ucapan Dani. Dani begitu dewasa dan bijak. Aku beruntung dulu pernah memilikinya. Tiba-tiba ponsel di sakuku berdering. Nama Bi Minah tertera di layar ponsel. Tidak biasanya Bi Minah menelepon seperti ini. Aku lalu berdiri dari duduk<br />
<br />
“Halo bi,” sapaku. Terdengar nada gelisah dari seberang telepon.<br />
“Halo Non, ada kabar yang menyedihkan yang harus bibi sampaikan ke non,” jawab bibi.<br />
Tiba-tiba hatiku mendadak cemas. Kabar menyedihkan apa yang akan disampaikan oleh bibi. Terjadi keheningan selama beberapa detik sebelum Bibi kembali bersuara.<br />
“Nyonya non,” ucap bibi sambil menangis<br />
“Mama kenapa bi,” aku berteriak cemas<br />
“Nyonya tertabrak mobil Non. Sekarang kondisinya kritis,”<br />
Deg.<br />
Jantungku serasa berhenti berdetak mendengar kabar dari Bi Minah. Mama kecelakaan? Kritis?<br />
“Bi.. bibi jangan bercanda. Ini tidak lucu bi,” ucapku sambil tertawa getir<br />
“Buat apa bibi bercanda non, nyonya sekarang dirawat di City Hospital,” ucap Bi Minah.<br />
“Ya sudah bi, aku ke sana sekarang,” ucapku sambil berusaha menahan bedanku yang terasa lemas sekali. Aku jatuh terduduk di taman itu.<br />
“Daniaaa,” teriak Dani panik yang mungkin karena melihat aku terjatuh. Terdengar derap langkah dari belakang yang ternyata adalah Dani.<br />
“Ada apa Dan?” tanyanya panik. Aku tidak mampu menjawab pertanyaan. Aku hanya dapat menangis dan itu malah membuat Dani semakin panik.<br />
“Dania, tenang. Semua akan baik-baik saja. Ceritakan semuanya padaku,” ucapan Dani membuat tangisku mulai berhenti sedikit demi sedikit. Aku lalu menceritakan semuanya pada Dani. Dia terlihat kaget namun hal itu tidak berlangsung lama. Dia lalu bangkit dan mengulurkan tangannya padaku.<br />
“Kita ke rumah sakit sekarang,” ucapnya. Aku menerima uluran tangannya dan berjalan bersama menuju ke rumah.<br />
<br />
Sesampainya di rumah, aku langsung mengganti celana jeans pendekku menjadi celana jeans panjang. Aku lalu mengambil ponselku yang satu lagi untuk berjaga-jaga karena baterai ponsel yang tadi kubawa saat berjalan bersama Dani tinggal 80%. Aku lalu mengambil kunci mobil yang tergeletak di atas meja belajarku. Setelah memastikan semuanya lengkap, aku turun ke bawah. Aku memberikan kunci mobilku pada Dani. Dia menerimanya dan berjalan keluar dari rumah menuju garasi dengan aku yang berada di belakangnya. Tak lama kemudian, mobil yang kami tumpaki meninggalkan garasi dan berjalan dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit. Selama di perjalanan, aku tak berhenti meremas sabuk di hadapanku. Aku terlalu cemas.<br />
<br />
Tidak sampai 1 jam, kami berdua sudah sampai di rumah sakit. Aku turun duluan, sedangkan Dani memarkirkan mobil di basement. Aku langsung menuju ruang IGD karena tadi sebelum berangkat, Bi Minah memberitahu bahwa mama belum bisa dipindahkan ke ruang inap dan masih berada di IGD. Sesampainya di depan ruang IGD, aku duduk di bangku yang sudah disediakan pihak rumah sakit. Aku menunggu dokter yang masih menangani mama. Bangku di sebelahku bergerak tanda ada yang duduk di sebelahku. Aku menolehkan wajahku dan ternyata orang itu adalah Dani. Aku langsung memeluk dirinya. Dani kaget menerima perlakuan seperti ini dariku dan hampir saja ia terjungkal ke belakang. Dia lalu balas memelukku dan mengusap rambutku perlahan sambil terus membisikan bahwa mama akan baik-baik saja.<br />
<br />
Dokter yang menangani mama keluar dari ruangan itu dan berjalan ke arah kami.<br />
“Anda, keluarga dari Ibu Dinda?” tanya dokter itu pada kami berdua.<br />
“Iya dok. Saya anaknya. Bagaimana keadaan mama saya dok?” jawab dan tanyaku pada dokter itu.<br />
“Ibu anda mengalami benturan yang sangat keras dan itu membuatnya kehilangan banyak darah. Saat ini persediaan darah golongan AB sedang kosong di bank darah. Kami harus cepat mencari pendonor darah jika tidak, nyawa ibu anda tidak bisa diselamatkan,” Ucapan dokter sukses membuat diriku menutup mulutku dengan tangan. Badanku tiba-tiba terasa lemas. Pandanganku mulai kabur dan hal terakhir yang aku dengar adalah teriakan cemas Dani memanggil namaku.<br />
<br />
Kulihat sebuah cahaya. Di mana aku? Apakah aku sudah meninggal? Cahaya tersebut lama-kelamaan semakin mengecil dan menampakan sosok mama.<br />
“Mama,” gumamku. Aku lalu berlari ke arah mama dan memeluknya erat seolah-olah aku tidak akan mempunyai kesempatan untuk memeluk mama.<br />
“Ma, aku minta maaf ya soal tadi pagi. Egoku mengalahkan semuanya. Tapi sekarang aku sadar kalau mama melakukan itu pasti ada alasannya. Apakah mama mau memaafkanku?” ucapku sambil menangis.<br />
Mama mengelus rambutku pelan. Dia lalu menangkup wajahku dan aku bisa melihat sorot mata kelegaan di matanya. “Mama sudah memaafkan kamu nak,”<br />
“Mama janji sama Dania ya kalau mama bakal sembuh supaya kita bisa belanja bersama, bercanda bersama, dan bercerita bersama,” ucapku dengan mata berbinar seperti anak kecil yang baru saja dibelikan es krim oleh orangtuanya. Kulihat, sorot mata mama berubah menjadi sedih. Kenapa ini?<br />
“Hal itu tidak akan pernah terjadi nak. Mama sekarang sudah tidak berada lagi di dunia ini. Mama sudah tenang sekarang nak,” ucapan mama membuatku tidak mengerti.<br />
“Maksud mama?” tanyaku bingung.<br />
“Kamu lihat cahaya di belakangmu?” ucap mama sambil menunjuk ke belakangku.<br />
“Itu adalah panggilan bahwa kini sudah saatnya mama pergi meninggalkan kamu dan dunia ini nak,” lanjut mama diiringi tangisanku yang pecah. Aku tidak percaya ini. Aku baru saja bertemu dan berbaikan dengan mama setelah belasan tahun lamanya kami berpisah dan sekarang? Mama akan pergi selama-lamanya dariku. Tidak. Ini tidak boleh terjadi.<br />
“Tidak. Mama tidak boleh ke mana-mana. Mama harus tetap di dunia ini untuk menjagaku,” ucapku sambil mengeratkan pelukanku pada mama.<br />
“Tidak bisa nak. Ini semua sudah takdir. Mama harus pergi,” ucap mama melepaskan pelukan kami dan berjalan ke arah cahaya itu.<br />
“Ma.. mamaa,” teriakku tadi tidak membuat mama berhenti berjalan. Ketika mama sudah hampir masuk ke dalam cahaya itu, ia berbalik badan<br />
“Selamat tinggal nak. Jaga dirimu baik-baik. Mama akan selalu mengawasimu dari sana. Mama selalu berada di dalam hatimu nak,” ucap mama lalu masuk ke dalam cahaya itu. Cahaya itu lalu menghilang dari pandanganku.<br />
<br />
Aku terbangun. Mimpi itu begitu nyata. Apa arti dari semua mimpi tadi? Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Ruang inap. Kenapa aku bisa di sini. Bagaimana keadaan mama?<br />
Pintu terbuka membuatku menampilkan Dani. Dia datang dengan wajah frustasi dan lelah. Ada apa ini?<br />
“Kau sudah sadar rupanya Dan,” Ekspresi wajahnya berubah drastis saat berbicara denganku.<br />
“Dani, mama mana? Bagaimana keadaannya? Apakah dia sudah membaik?” tanyaku beruntun. Tubuhnya terlihat menegang saat aku menanyakan hal ini.<br />
“Dia sudah tenang Dan,” jawab Dani.<br />
“Syukurlah,” ucapku lega.<br />
“Aku ingin menemuinya sekarang Dan,’ lanjutku sambil berdiri dari ranjang rumah sakit. Dani membantuku berdiri dan menuntunku berjalan menuju ruang IGD. Badanku masih lemas, tetapi hal itu tidak kupedulikan. Yang ingin kulakukan sekarang adalah pergi menemui ibu dan memeluknya serta meminta maaf secara langsung kepada mama.<br />
Saat sampai di sana, aku bertemu dengan dokter yang menangani mama.<br />
<br />
“Bagaimana keadaan mama saya dok? Apakah dia sudah membaik,” tanyaku pada dokter. Dokter tersebut terlihat sedih.<br />
“Maafkan kami. Kami sudah berusaha sekuat mungkin untuk menyelamatkan ibu anda, tetapi.. tuhan berkehendak lain. Ibu anda tidak bisa tertolong,”<br />
Jleb.<br />
Serasa ada ribuan pisau tajam yang menancap di tubuhku setelah sang dokter menyelesaikan ucapannya. Mama pergi? Mama pergi untuk selama-lamanya. Inikah maksud dari mimpi tadi. Mimpi perpisahanku dengan mama. Aku jatuh terduduk di lantai. Air mata mengalir deras membasahi kedua pipiku. Dani berusaha menenangkan diriku dengan mengelus rambut dan lenganku. Tetapi, usahanya sia-sia. Aku menangis dalam diam. Tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Aku berdiri dari dudukku dengan sisa tenaga yang kumiliki.<br />
“Bolehkah saya menemui mama saya dok?” tanyaku pada dokter tersebut yang dijawab dengan anggukan kepala olehnya. Aku langsung masuk ke dalam ruang IGD dengan memakai baju khusus yang memang disediakan khusus bagi pengunjung yang ingin memasuki ruang IGD. Kulihat mama terbaring kaku di atas ranjang. Aku lalu berjalan mendekatinya dengan Dani di sebelahku. Aku berusaha menahan air mata yang sudah mengumpuk di pelupuk mata dan siap pecah kapan saja. Kupegang wajah mama yang tenang tetapi dingin. Dani di belakang mengelus pundakku seolah-olah memberi kekuatan.<br />
“Mama, aku sudah memaafkanmu sejak dulu ma. Aku menyesal kenapa aku malah mengusirmu tadi pagi bukannya menghabiskan waktu denganmu ma. Kalau boleh memilih, aku lebih baik ikut mama pergi dari mana harus menjalani hidupku seperti ini ma. Tapi, aku tidak akan pernah melakukan hal itu karena aku tahu bahwa kau tidak akan menyukai perbuatan itu,” ucapku sambil menangis dengan senyum yang menghiasi wajahku, lalu pergi dengan berlari dari ruangan itu.<br />
<br />
<span style="font-family: "verdana" , "helvetica" , sans-serif;"><span style="background-color: white; font-size: 12px; line-height: 24px;">Setelah mengurus semua biaya rumah sakit, aku pulang ke rumah dengan mobil jenazah. Rumah sudah ramai didatangi oleh sanak saudaraku dan juga tetanggaku. Aku lalu turun dari mobil tersebut. Dani menghampiriku dan memeluk diriku. Pelukannya terasa nyaman bagiku. Aku lalu masuk ke dalam rumah. Mama sudah dikafani dan juga dishalati. Aku menyesal karena tidak bisa ikut menyalatinya karena aku sedang datang bulan. Karena sudah malam, kami tidak mungkin menguburkan mama hari ini. Mama akan dikuburkan besok pagi.</span></span><br />
<span style="font-family: "verdana" , "helvetica" , sans-serif;"><span style="background-color: white; font-size: 12px; line-height: 24px;"><br /></span></span>
<span style="background-color: white; font-size: 12px; line-height: 24px;"><span style="font-family: "verdana" , "helvetica" , sans-serif;">Suara alarm membangunkanku dari tidur. Aku tertidur di sofa dengan Dani ada di sofa seberang. Orang-orang menyiapkan keranda yang akan digunakan mama. Aku menatap kegiatan itu dengan pandangan kosong.</span></span><br />
<span style="background-color: white; font-size: 12px; line-height: 24px;"><span style="font-family: "verdana" , "helvetica" , sans-serif;"><br /></span></span>
<span style="font-family: "verdana" , "helvetica" , sans-serif;"><span style="font-size: 12px; line-height: 24px;">Jaga dirimu baik-baik. Mama akan selalu mengawasimu dari sana. Mama selalu berada di dalam hatimu nak.</span></span><br />
<span style="font-family: "verdana" , "helvetica" , sans-serif;"><span style="background-color: white; font-size: 12px; line-height: 24px;"></span></span><br />
<span style="font-family: "verdana" , "helvetica" , sans-serif;"><span style="font-size: 12px; line-height: 24px;">Ucapan mama saat di dalam mimpi mengiang di telingaku. Aku lalu bangkit dan membangunkan Dani. Laki-laki itu tampak sangat lelah.</span></span><br />
<span style="font-family: "verdana" , "helvetica" , sans-serif;"><span style="font-size: 12px; line-height: 24px;"><br /></span></span>
<span style="font-family: "verdana" , "helvetica" , sans-serif;"><span style="font-size: 12px; line-height: 24px;">Setelah semuanya siap, mama lalu dimasukkan ke dalam keranda. Aku dan saudaraku yang lain saling berpelukan saat mengiringi mama menuju peristirahatan terakhir.</span></span><br />
<span style="font-family: "verdana" , "helvetica" , sans-serif;"><span style="font-size: 12px; line-height: 24px;"><br /></span></span>
<br />
<span style="font-family: "verdana" , "helvetica" , sans-serif;"><span style="font-size: 12px; line-height: 24px;">Mama sudah selesai dikuburkan sejak beberapa menit yang lalu, tetapi aku tetap tidak bergeming dari tempat itu. Aku menatap nisan bertuliskan Dinda Syifana Azka binti H. Dino. Lahir: New York, 27 April 1978 Wafat: Jakarta, 14 Agustus 2016.</span></span><br />
<span style="font-family: "verdana" , "helvetica" , sans-serif;"><span style="font-size: 12px; line-height: 24px;"><br /></span></span>
<span style="font-family: "verdana" , "helvetica" , sans-serif;"><span style="font-size: 12px; line-height: 24px;">“Mama yang tenang ya di sana. Dania akan selalu mendoakan mama setiap saat. Dania bakal jaga diri Dania dengan baik ma. Dani juga bakal bimbing Dania kalau Dania berbuat salah,” ucapku tersenyum sambil mengelus nisan mama.</span></span><br />
<br />
<span style="font-family: "verdana" , "helvetica" , sans-serif;"><span style="font-size: 12px; line-height: 24px;">Aku lalu bangkit bersamaan dengan Dani. Kami bergendengan tangan lalu berjalan meninggalkan makam yang masih basah itu. Mulai hari ini semua akan berjalan sebagaimana mestinya. Semua akan jadi baik mulai sekarang.</span></span><br />
<span style="font-family: "verdana" , "helvetica" , sans-serif;"><span style="font-size: 12px; line-height: 24px;"><br /></span></span>
<span style="font-family: "verdana" , "helvetica" , sans-serif;"><span style="font-size: 12px; line-height: 24px;">TAMAT</span></span><br />
<span style="font-family: "verdana" , "helvetica" , sans-serif;"><span style="font-size: 12px; line-height: 24px;"><br /></span></span>
<span style="font-family: "verdana" , "helvetica" , sans-serif;"><span style="font-size: 12px; line-height: 24px;">Cerpen Karangan: Chessa Firdaus Puspitaningrum</span></span><br />
<br />
<span style="font-family: "verdana" , "helvetica" , sans-serif;"><span style="font-size: 12px; line-height: 24px;">Facebook: chessa firdaus puspitaningrum</span></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-834201427114120838.post-47821975411930990742017-01-30T04:46:00.000-08:002017-01-30T04:46:02.550-08:00Diam Diam Aku MencintaimuDari balik jendela, aku terus memandanginya. Sesosok pria bertubuh tinggi semampai, mata yang lembut, serta tampan paras wajahnya menambah kesempurnaan dalam dirinya. Mataku pun tak henti-hentinya menatap makhluk yang berhasil merebut hatiku. Menyita seluruh penglihatanku, juga mengisi imajinasi dalam pikiranku.<br />
Cukup melihatnya dari jauh saja, sudah membuatku merasa tenang. Apalagi ditambah senyum manis yang mengembang dari bibirnya, membuatku merasa makin bahagia. Bagiku dapat melihatnya adalah alasan terbesar, menapakkan kaki ke sekolah. Karena itulah aku tak ingin kehilangan kesempatan untuk memandangnya, barang seharipun.<br />
<br />
Sudah lebih dari setahun, aku memendam rasa padanya. Tapi aku tak punya cukup keberanian untuk mengatakan isi hatiku. Jantungku selalu berdegup kencang, kala berpapasan dengan dirinya. Bibirku pun seakan terbungkam, tak mampu mengucapkan berbagai kata yang bergejolak dalam hati. Jadi tak ada hal lain yang bisa kulakukan, selain memperhatikannya secara diam-diam dan berharap ia mengerti perasaanku.<br />
<br />
Tak ada yang tau tentang perasaanku ini. Kecuali aku dan Tuhan. Ehh… tidak, masih ada satu orang lagi. Dia adalah Fika, yang tak lain sahabat baikku. Itu pun lantaran Fika terus mendesakku, mengapa aku suka tempat duduk di dekat jendela. Kemudian waktu bel istirahat berbunyi, bukannya bergegas ke kantin, malah pilih tetap tinggal dan menatap keluar jendela. Alasannya agar bisa melihat Rendy. Kakak kelas yang telah membuatku tak berhenti memikirkannya.<br />
<br />
“Woiii!!!” gertak seseorang menepuk bahuku.<br />
“Fika!” seruku menyadari kalau dialah yang menggetkanku.<br />
“Nah kan, mulai lagi deh kebiasaannya!” celotehnya kemudian.<br />
“Hehehe…” sahutku nyengir.<br />
Begitulah kebiasaan yang sering kulakukan. Duduk di balik jendela, memperhatikan Rendy dari jauh. Fika sudah hafal betul dengan kebiasaanku ini. Tapi mau gimana lagi, cuma itu yang bisa kuperbuat.<br />
“Lagian kamu ngapain sih, cuma ngeliatin dia mulu! Kan udah dibilangin, samperin dia! Ajak ngobrol! Dengan begitu kalian kan bisa tambah akrab. Nggak perlu diam-diam kayak gini!” tukasnya.<br />
“Sssttt… udah jangan cerewet!” sergahku mengangkat telunjuk ke depan bibir. “Kamu kan tau sendiri alasannya. Jadi nggak perlu aku jelasin lagi.”<br />
“Iya aku tau! Tapi mau sampai kapan? Keburu dianya lulus, malah nggak bakalan ketemu lagi!” nampak Fika mulai geram. Aku cuma tersenyum tipis melihat ekspresi wajahnya.<br />
<br />
Entah apa yang merasuki pikirkanku. Namun hanya dengan memandang lelaki itu saja sudah cukup bagiku. Tanpa harus mengungkapkan perasaanku padanya. Semua berawal dari kejadian satu setengah tahun yang lalu, ketika aku akan memasuki tahun ajaran baru di sekolah yang baru.<br />
Bagiku masuk SMA adalah ancaman terbesar. Semua gara-gara mendengar cerita dari kakakku. Katanya sebelum masuk kelas 1, harus melewati Masa Orientasi Siswa yang menakutkan lebih dulu. Hukuman pun pasalnya akan dijatuhkan, jika melakukan kesalahan.<br />
Bayang-bayang ucapan kakak, selalu menggema di telingaku. Membuatku semakin takut untuk menghadapi masa MOS yang berlangsung selama tiga hari. Ternyata benar, bentakan demi bentakan pun datang dari senior. Namun aku tidak sendirian, melainkan bersama teman-teman baru lainnya yang juga menjalani MOS.<br />
Tapi ketakutan itu seraya sudah melekat di dalam bayanganku. Hingga pada hari kedua, aku pun tak kuat menahan ketakutanku. Air mata pun keluar, aku menangis disaksikan oleh teman-teman satu kelompok. Malu bukan main rasanya, tapi aku tak mampu membendungnya lagi. Sebab bentakan senior kali ini, amat menyeramkan.<br />
<br />
“Hey! Kenapa nangis?! Cengeng sekali!” gertak senior tersebut.<br />
“Hiks… hiks… hiks…” aku tak memberikan jawaban apapun, selain menangis.<br />
“Kamu punya mulut kan? Ayo jawab aku! Jangan hanya diam saja!” bentaknya lagi.<br />
“Tap… tap… tap…” terdengar suara langkah kaki mendekat. “Cika!” panggilnya kemudian. Sontak kami berdua menoleh ke arah suara itu datang. Ternyata senior yang lain. Aku tak berani lama-lama menatapnya, lantas langsung menundukkan pandanganku. “Kamu urus kelompoknya Gandi saja!” tukas cowok itu.<br />
“Tapi dia gimana?” tunjuk senior yang barusan membentakku. Aku hanya diam saja mendengar obrolan mereka.<br />
“Biar dia jadi urusanku.”<br />
“Baiklah, aku pergi!” sahutnya beranjak pergi.<br />
Sementara senior yang menggantikannya berdiri tepat di hadapanku. Aku masih menundukkan kepala, tak berani menatap wajahnya.<br />
“Hey, siapa namamu?” tanyanya kemudian.<br />
“Hiks… hiks… Jeni…” sahutku terbata-bata. Isak tangis tak dapat kuhentikan.<br />
“Jeni, sekarang angkat dagumu!” suruhnya dengan nada pelan.<br />
“Tidak! Aku nggak mau,” balasku menggeleng dan tetap menundukkan pandanganku.<br />
“Kenapa?”<br />
“Aku takut…”<br />
“Apa yang kamu takutkan?”<br />
“Aku takut dibentak lagi.”<br />
“Aku tidak akan membentakmu. Jadi sekarang angkat dagumu, dan lihatlah siapa yang mengajakmu bicara.”<br />
Aku pun perlahan memberanikan diri untuk mengangkat daguku, dan memandang pria yang tengah berdiri di hadapanku. Tapi rasa takut masih saja menyelimuti hatiku.<br />
“Sekarang gimana? Apa kau juga takut padaku?” tanyanya menatapku. Sorot matanya yang teduh, bersamaan dengan sebuah senyuman tipis meredakan rasa takutku. Ia nampak berbeda sekali dengan senior yang sebelumnya. “Jeni, kenapa kau diam saja? Apa kamu tidak mendengar pertanyanku?” imbuhnya.<br />
“Ahh… iya. Maaf kak… aku masih sedikit takut. Kalau tiba-tiba saja kakak membentakku, seperti kak Cika.”<br />
“Tidak ada yang perlu kamu takutkan, selama kamu tidak melakukan kesalahan,” tukasnya seraya memandangku penuh ketenangan. “Kamu juga harus tau Jeni, kak Cika maupun senior yang lain pasti punya alasan kenapa mereka bersikap begitu,” lanjutnya.<br />
“Tapi apa harus pakai dibentak segala kak?” sergahku.<br />
“Jeni, dengarkan aku. Ketika kamu dibentak, apa yang kamu rasakan?”<br />
“Takut.”<br />
“Benar! Lalu apa yang kamu lakukan untuk melawan rasa takutmu?” aku hanya menggeleng. “Ketika kamu merasa takut, maka kamu harus melakukan sesuatu untuk melawannya bukan?” tukasnya lagi.<br />
“Iya,” sahutku mengangguk pelan.<br />
“Lalu gimana caranya?” tanyanya sembari mendekatkan wajahnya. Sementara aku cuma menggeleng tak mengerti. “Caranya, kau harus menjadikan dirimu lebih kuat. Sehingga kau tidak perlu takut lagi. Dan kau juga harus ingat satu hal! Selama kamu tidak pernah melakukan kesalahan, maka jangan takut.” Mendengar ucapannya membuatku merasa lebih tenang. Rasa takut pun mendadak hilang. Tatapannya yang teduh, membuatku ingin terus menatap matanya.<br />
<br />
Semenjak itulah, aku menaruh hati padanya. Dalam benakku selalu penuh dengan bayangan wajahnya, senyum manisnya, juga tatapannya yang menyejukkan. Hari-hariku tak bisa berhenti memikirkannya. Rendy sering muncul dalam khayalanku.<br />
Takdir pun seakan memihakku. Kami kerap dipertemukan dalam beberapa kesempatan. Seperti di kantin, koridor sekolah, perpustakaan, dan lapangan. Beruntung, kak Rendy ternyata tidak melupakanku. Padahal sebelumnya aku sudah merasa cemas, jika ia tak mengingatku.<br />
<br />
Aku masih sangat ingat, untuk pertama kalinya kami kembali dipertemukan seminggu usai MOS berakhir.<br />
“Jeni!” serunya saat kami berpapasan di depan kantin.<br />
“Kak Rendy!” balasku tersenyum bahagia karena ia mengingatku.<br />
“Bagaimana kabarmu?”<br />
“Baik kak. Sangat baik malah,” sahutku sembari tersenyum lebar padanya. Aku benar-benar merasa senang bisa bertemu dengannya.<br />
“Kau berada di kelas apa?”<br />
“Kelas 10 IPS 2.”<br />
“Ohh… baguslah! Gimana dengan teman-temanmu? Kau tidak suka menangis lagi bukan?” godanya.<br />
“Kakak Rendy! Jangan begitu donk!” bentakku sedikit kesal.<br />
“Jangan cemberut, kan aku cuma bercanda. Jadi gimana dengan teman barumu?”<br />
“Mereka semua baik kok.”<br />
“Syukurlah…”<br />
“Kakak sendiri di kelas apa?”<br />
“Kenapa? Mau mencariku ya? Tenang saja, nggak perlu nyari. Aku pasti datang ke tempatmu!” celotehnya. Sontak aku dibuat salah tingkah.<br />
“Kakak! Ngomong apa sih?! Kan aku cuma nanya!” sergahku, menutupi rasa maluku.<br />
“Hahaha… kamu lucu sekali ya… aku ada di kelas 11 IPA 3. Kalau butuh apa-apa, kau bisa mencariku disana.”<br />
“Hehehe…” balasku nyengir, dia seakan bisa membaca pikiranku.<br />
“Loh, kok malah ngobrol terus? Bukannya kamu kesini mau makan?” tanyanya kemudian.<br />
“Iya.”<br />
“Ya udah, gih sana makan! Nanti malah kurusan lagi!” ledeknya.<br />
“Kakak ini, sukanya ngledekin mulu!” gerutuku.<br />
“Bercanda Jeni,” ujarnya mengusap kepalaku. Membuatku semakin jatuh hati padanya. “Kalau begitu aku balik duluan.”<br />
“Iya kak,” sahutku terus menatap punggunya hingga menghilang dari pandanganku.<br />
<br />
Itulah pertama kalinya kami berdua bisa ngobrol banyak, tanpa rasa canggung. Namun setelahnya aku harus berkutat dengan perasaanku sendiri, yang makin besar padanya. Ya, hari berikutnya kami jadi sering bertemu, namun tak banyak obrolan yang kami bicarakan. Sebab aku sudah gugup lebih dulu, saat berhadapan dengannya.<br />
Walaupun sebetulnya ingin berlama-lama dengannya, tapi nyatanya aku tak sanggup. Nyaliku terlalu ciut, untuk menghadapinya. Ujung-ujungnya aku harus memaksakan diri, untuk lari darinya. Sebelum ia berpamitan pergi lebih dulu.<br />
Sampai naik ke kelas dua pun, nyaliku tetap sama tidak berubah sama sekali. Aku masih tidak berani berdekatan dengannya. Sedangkan cintaku justru semakin besar. Tapi apa dayaku, hanya diam-diam memandang dan memperhatikannya dari kejauhan, itulah yang bisa kulakukan.<br />
<br />
Terkadang aku merasa benci dan kesal, kala melihatnya bersama wanita lain. Rasanya ingin sekali mendatanginya, dan mengatakan agar ia tak berdekatan dengan gadis lain. Namun tak ada yang mampu kuperbuat, selain marah dengan diriku sendiri karena tak bisa mendekatinya.<br />
<br />
Sudah lebih dari satu setengah tahun aku menyembunyikan perasaanku padanya. Semacam secret admirer, begitulah aku menyebut diriku sendiri. Sebab memang benar aku hanya dapat mengagumi dan diam-diam mencintainya. Tanpa berani mengakui perasaanku padanya.<br />
<br />
Fika selalu rewel soal perasaanku. Setiap hari ia tak henti-hentinya mengingatkanku. Agar aku mau mengungkapkan perasaanku pada Rendy. Sebelum cowok itu lulus, dan pergi dari sekolah ini. Tapi mau bagaimana lagi, aku tak berani melakukannya. Entah karena takut cintaku akan bertepuk sebelah tangan, ataukah takut jika sikapnya akan berubah padaku.<br />
<br />
Aku sadar, mungkin waktuku akan berlalu sangat cepat. Akan tetapi tak ada yang mampu kulakukan selain diam dan menyembunyikan cintaku padanya. Aku benar-benar takut, sampai-sampai tak memiliki cukup keberanian untuk mengakui perasaanku padanya. Jangankan mengutarakan kebenaran hatiku, berhadapan dengannya saja aku mendadak kelu.<br />
Diam-diam mencintainya, itulah yang bisa kulakukan. Meskipun ia tak pernah mengetahuinya, tak mengapa bagiku. Asalkan aku tetap dapat menikmati keindahannya. Memperhatikan setiap detail langkahnya. Serta melihat senyuman yang mengembang di wajahnya. Begitulah aku secara diam-diam mencintainya.<br />
<br />
Cerpen Karangan: Putri Andriyas<br />
Blog / Facebook: Www.putriandriyas.wordpress.com / Putri AndriyasUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-834201427114120838.post-38955321271209379462017-01-30T04:39:00.001-08:002017-01-30T04:39:00.260-08:00Gantungan Mimpi Di Negeri Merah PutihHanya seorang anak perempuan kecil yang berangan-angan untuk bisa tumbuh menjadi seorang perempuan yang besar. Tak banyak kata yang bisa tuk dikatakan hanya tangisan kecil yang selalu menghantui hati perempuan itu, nisa namanya lengkapnya annisafiah. Betapa besarnya pengorbanan yang dilakukan anak perempuan kecil ini, rela tuk mengorbankan masa kecilnya dengan memikul kayu bakar setiap harinya, dimana seharusnya ia tertawa bersama teman-temannya tapi lain hal dengan anak ini.<br />
<br />
“nek nisa mau sekolah dulu” pamit nisa kepada neneknya, nisa tiggal berdua bersama nenek nya di rumah yang bercatkan biru namun telah pudar dimakan usia, tidak luas bak sebuah istana raja hanya tumbukan bata yang berpoleskan semen yang tampak usang. Berawal dari janji akan pulang ketika telah mendapatkan uang yang banyak tuk mengubah nasibnya kedua pasang suami istri ini mengadu nasib ke negeri xxxxxxx, dengan mata yang berbinar binar nek ijah ibu dari ibu nisa rela melepaskan anak beserta menantunya tuk bekerja. Perempuan cantik yang kini telah menua hanya setuju dengan keputusan yang telah diambil oleh kedua insan itu dengan meninggalkan buah hatinya nisa yang dulu masih berusia 3 tahun kecilnya. “nak jangan nakal ya, nurut sama nenek, nanti kalo ibu udah dapat banyak uang, ibu sama bapak akan pulang” mengelus pipi lembut nisa seraya meneteskan air matanya. Kini bocah kecil itu telah tumbuh berusia 11 tahun, 8 tahun sudah nisa tak mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu. Kuatnya bocah ini tak muluk-muluk untuk tenggelam dalam kesedihan, nisa belajar dengan rajin kini ia telah duduk di bangku kelas 6 sd, mimpinya hanyalah untuk bisa menjadi seorang designer terkenal dengan modal kecakapannya dalam memainkan pensil, dia selalu berprestasi di sekolahnya, walaupun dalam keterbatasan ia tak habis akal, dengan semangatnya ia menjadi tukang sapu di sekolahnya, demi membantu sang nenek membayar spp sekolahnya.<br />
<br />
Pagi pagi buta ia telah ada di sekolah dengan memegang sapu, ia keliling menyapui kelas satu demi satu, dengan ditemani bapak penjaga sekolah nisa dengan semangatnya menyapu seluruh ruangan di sekolahnya, 300 ribu lah yang ia selalu dapatkan setiap bulannya dan itu pun tak langsung dapat dipegang oleh dirinya, ia hanya mendapat 100 ribu setiap bulan dari hasil sapuan setiap paginya, karena 200 ribu digunakannya untuk membayar sekolah. Sungguh seharusnya pemerintah sedikit melirik dengan bocah bocah pejuang seperti nisa ini, dimana ia termasuk anak yang berprestasi dan juga berlatar belakang tidak mampu harus diperhatikan seperti dibebaskan dari pungutan biaya sekolah apapun, hanya orang pintarlah yang bisa menelaah hal-hal seperti ini, sungguh kejamnya negeriku ini.<br />
<br />
Pagi hari seorang nisa dibuka dengan memegang sapu dan dipertengahan hari anak ini harus pergi ke sawah milik tetangganya untuk membersihkan keong yang menjadi hama di lahan sawah milik tetangganya. Satu demi satu keong ia ambil tanpa rasa takut akan lumpur di sawah dan matahari yang dengan teriknya menerpa kulit lembutnya, bocah ini tetap semangat bekerja. Setelah usai bekerja pun nisa hanya diupah 20 ribu dan ia pun memutar otaknya untuk mengolah keong hasil tangkapannya tidak menjadi sia-sia karena biasanya keong ini tidak dibutuhkan oleh pemiliknya atau biasanya dibuang saja, lalu nisa membawa keong hasil tangkapannya ke rumah, sebagian ia jual untuk pakan itik atau bebek, sebagian lagi ia berikan kepada neneknya untuk diolah menjadi 15 tusuk sate keong, tak banyak warga yang menyukai keong, tapi bukan ia jajakan ke warga namun ia bawa pagi harinya untuk dijajakan ke teman-temannya di sekolah. Tak setiap hari ia mendapat panggilan untuk membersihkan sawah, hanya minggu minggu tertentu saja ia mendapatkan panggilan, sungguh malang nasib nisa.<br />
<br />
Beda nisa beda pula neneknya, neneknya kini yang telah menua dimana ia seharusnya telah duduk menikmati hari tuanya, ia pun harus turut mencari nafkah demi butiran beras, sama halnya dengan nisa ia harus bekerja seharian di pabrik rumahan milik juraganya sebagai pembuat kerupuk bawak, kerupuk yang diolah dari campuran kulit sapi ataupun kerbau, dan pekerjaan nek ijah pun tak sampai disitu saja, ia harus bekerja kembali ia harus memetik sayuran labu siam, itu pun bukan kebun miliknya, sekali lagi ia tak diupah dengan lembaran rupiah ia hanya diupah dengan beberapa buah labu siam. Entah dari mana mereka berdua bisa bertahan hidup, hanya dengan semangat mereka bisa bertahan hidup di bumi yang penuh dengan pengkhianatan. Mereka berdua sangat bersyukur bisa hidup di negeri yang sangat subur yang sampai ilalang pun bebas tumbuh dimana saja walaupun mereka harus hidup di tanah yang berlambangkan merah putih.<br />
<br />
Banyak mimpi yang telah nisa gantungkan di hidupnya, tak ada gambaran hidup yang suram bagi dirinya, ia sangatlah kuat, hatinya yang tegar dengan kesabaran ia menunggu kembali kedatangan kedua orangtuanya, walaupun 8 tahun sudah berlalu tanpa adanya kiriman uang yang telah dijanjikan sebelumnya tak ada rasa benci yang terpaut dalam hatinya, betapa bersihnya hati anak ini. Susu pun dulu ia tak sempat mencicipinya, namun ia tumbuh dengan pengorbanan hidupnya yang tanpa mengeluh, ia sadar betul tak guna untuk berlarut dalam keluhan, ia harus menggantungkan mimpinya dan kelak ia percaya mimpinya kan hilang karena telah digapainya dengan kesuksesan yang berarti.<br />
<br />
Cerpen Karangan: Novita Lesa<br />
Facebook: facebook.com/novita.lesa.9Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-834201427114120838.post-11232931836087669342017-01-30T04:35:00.000-08:002017-01-30T04:35:54.065-08:00Benang WaktuHari itu masalah menerpaku layaknya hujan badai. Rasanya banyak sekali kesalahan yang kubuat di sekolah hari itu. Kepalaku pusing layaknya roller coaster dan hatiku serasa diremukkan pada hari itu. Aku sangat menyesal aku harap aku dapat mengulang kembali waktu dan memperbaiki kesalahanku walau hanya 1 hari saja.<br />
<br />
Sore yang mendung tapi perasaanku lebih mendung, aku yang tenggah tertunduk lesu di ruang kelas sendirian memikirkan masalah yang datang kepadaku pada hari ini. Kesedihan menenggelamkanku terlalu dalam sampai aku tidak sadar kalau semua orang sudah pulang, “Malangnya nasib ini mecahin kaca kelas, ngilangin buku tugas, nyakitin hati temen, berantem… masalah apa lagi yang akan kubuat hari ini… huuufft” ujarku sambil menghela nafas. Aku bergegas pulang karena langit sore datang bersama gumpalan awan hitam yang seakan-akan menyertai kesedihanku.<br />
<br />
Rumah tempat yang nyaman dimana aku bisa melepas semua beban ini, hanya rumah yang ada di benakku pada saat aku meniti arah menuju rumah. Sesuatu menarik perhatianku, seorang perempuan yang tidak asing lagi Rei namanya.<br />
<br />
Rei, wanita yang kusakiti hari ini. Aku menjatuhkan kotak pensilnya, dari tatapan matanya dia pasti membenciku. Kesempatan sore ini tidak akan kulewatkan, aku ingin minta maaf kepadanya. Aku berlari menghampirinya, dia melihat ke arahku “Awas!” teriaknya. Dengan sigap aku menghindari mobil truck yang akan menabrakku, “Terimakasih rei…” ujarku. Belum cukup kemalangan pada hari itu keanehan pun datang menghampiri, Rei tiba tiba menghilang! Perasaanku campur aduk. Aku berlari menuju rumah, rumahku istanaku, sesampainya di rumah aku langsung kuterjunkan tubuhku ke kasur empuk dan aku pun tertidur.<br />
<br />
Pagi yang cerah, kulangkahkan kakiku ke sekolah walaupun hati dan pikiranku tidak secerah pagi itu dengan harapan semua akan jadi lebih baik. Pandanganku tertuju pada kaca kelas yang ternyata sudah diperbaiki “Baguslah” ujarku. Bel istirahat berdendang, aku berjalan menuju kantin. Di koridor kelas aku bertemu dengan Rei dan tanpa sengaja aku menyenggolnya dan membuat kotak pensilnya jatuh, seketika aku ingat kejadian kemarin yang rasanya terulang lagi “Ini kan kejadian kemarin? Kenapa bisa terjadi lagi, sama persis lagi!?” pertanyaan yang terlinta di pikiranku. Aku tidak mau mengulangi kesalahan yang sama, tidak seperti kemarin aku lari setelah menabraknya, kali ini aku minta maaf dan memberikan gelang berwarna biru pink yang kubuat di kelas kesenian tadi. Kelihatannya dia tidak marah, matanya juga bilang begitu diiringi oleh senyum kecil di bibirnya.<br />
<br />
Setelah jajan di kantin aku berjalan menuju kelas, eh ternyata ada yang bermain bola di dekat kelas. Langsung saja aku ikut bermain, pada saat aku ingin menendang bola sesuatu terlintas di pikiranku “Ya benar ternyata aku mengulangi hari kemarin!” Aku tidak jadi menendang bola karena aku tahu aku akan memecahkan kaca kelas jika itu kulakukan.<br />
<br />
Aku sempatkan pergi ke WC dulu karena kebelet pipis, ternyata Boy sudah menunggu di sana untuk memberiku pelajaran “Yup benar benar seperti kemarin” ujarku. Untuk menghindari konflik aku memilih memberinya uang, dari pada masuk ruang guru.<br />
<br />
Langit mulai memerah, aku pulang dengan rasa gembira walaupun sedikit bingung dengan apa yang kualami hari ini tapi aku tidak teralalu peduli tentang itu. Sesampainya di rumah aku tidur bersama senyuman di pipi.<br />
<br />
“Nak ternyata kamu sudah sadar” suara ibu terdengar samar. Aku shock karena bangun dengan balutan perban “Apa yang terjadi bu!?” tanyaku dengan bingung “Kamu jatuh ke dalam got karena menghindari truck… untung Rei menelepon ibu” ujar ibuku. Ternyata semuanya hanyalah mimpi, lebih baik aku istirahat karena aku sudah mulai pulih dan besok aku harus sekolah.<br />
<br />
Di sekolah kulihat jendela kelas yang pecah, ternyata semuanya memang cuma mimpi “Huuft” aku menghela nafas. Pada jam istirahat aku berjalan di koridor kelas, tanpa sengaja aku berpapasan dengan Rei. Saat kutoleh dia tersenyum, pandanganku tertuju pada gelang pink biru yang terbalut manis di pergelangan tangganya. Gelang itu… itu kan pemberianku, Ya benar akulah yang membuatnya, apa aku benar-benar bermimpi?<br />
<br />
Cerpen Karangan: Novita Lesa<br />
Facebook: www.facebook.com/novita.lesa.9Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-834201427114120838.post-5413307990730013662017-01-30T04:30:00.000-08:002017-01-30T04:31:11.929-08:00Tak Bisakah Kita Hanya Bersahabat?<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; text-align: justify;">
<div style="text-align: left;">
Kenalkan namaku Bintang, saat ini tengah menempuh kuliah semester 4 di salah satu Universitas Swasta. Aku tidak sendirian, ada sahabat baik yang selalu setia menemaniku. Namanya Dion, pria bertubuh kurus, tinggi, dan berambut hitam lurus. Kita sudah bersahabat lama, lebih tepatnya semenjak duduk di bangku SMA.</div>
<div style="text-align: left;">
Dimanapun aku berada, pasti ada Dion. Semua teman-teman mengetahui tentang persahabatan kami. Mereka juga tau, kalau kami tidak dapat dipisahkan. Bahkan dalam berbagai kegiatan sekolah, kita berdua selalu terlibat bersama-sama. Kalau Dion tidak ikut, maka aku pun akan melakukan hal yang sama. Begitu pula sebaliknya.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Aku masih ingat betul, persahabatan kami mulai diuji waktu kelulusan sekolah tiba. Awalnya Dion menemuiku, dan mengatakan keinginannya untuk melanjutkan kuliah ke luar kota. Terang saja, aku kaget dengan keputusannya. Namun usai berpikir selama beberapa hari, ternyata aku tidak sanggup jauh darinya. Aku merasa ada yang kurang dalam hidupku.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Aku takut tidak bisa bertemu maupun bercanda tawa lagi dengannya. Sebab cuma bersama dia, hari-hari yang kulewati terasa menyenangkan. Aku bisa melakukan berbagai hal konyol, tanpa merasa canggung sedikitpun. Dia pun juga dapat mencairkan suasana hatiku yang sedang buruk.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Malam itu aku pergi ke rumahnya, untuk memintanya tidak pergi dan tetap tinggal di kota ini saja. Beruntung, Dion menyanggupi permintaanku. Alhasil dia mengubah keputusannya, dan memilih tinggal. Kami pun akhirnya masuk ke Universitas yang sama. Hanya saja jurusan yang diambil berbeda. Aku memilih jurusan Ekonomi, sementara Dion memilih jurusan Teknik Sipil. Meskipun berbeda jurusan, tapi tidak jadi masalah. Asalkan kita masih bisa saling bertemu dan menghabiskan waktu bersama.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Persahabatan kami terus berlanjut, Dion selalu menyempatkan waktu untuk menemuiku di sela-sela kuliahnya. Tak hanya sekedar mengajak untuk makan bersama, juga membicarakan kejadian-kejadian lucu di kelasnya. Aku pun selalu dibuat tertawa terbahak-bahak oleh ceritanya. Kebiasaan kami tidak berubah sedari dulu, melainkan masih terbawa hingga sekarang. Dia juga sering mengantarku pulang dengan sepeda motornya.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Sampai suatu saat sikapnya mulai berubah. Dia jadi dingin terhadapku, dan tidak pernah menemuiku lagi. Beberapa kali kami berpapasan, namun dia langsung pergi begitu saja tanpa berucap apapun. Aku jadi merasa bingung dan cemas. Sebab tidak biasanya dia bersikap seperti itu. Dan ini sudah waktu yang cukup lama kalau memang dia marah, karena kejadian beberapa minggu lalu.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
“Bintang! Tunggu!” teriak Dion menarik tanganku.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
“Apa? Aku harus bergegas pergi!”</div>
<div style="text-align: left;">
“Kenapa kau buru-buru sekali? Baru juga ketemu, udah mau pergi lagi?” keluhnya.</div>
<div style="text-align: left;">
“Iya aku tau, tapi Lintang sudah menungguku,” sahutku cemas, memikirkan Lintang yang sedang menungguku di taman.</div>
<div style="text-align: left;">
“Lintang lagi, kapan kamu ada waktu buatku?!” sentaknya melotot ke arahku. Baru kali aku melihat sorot matanya yang nampak kesal, tidak seperti biasanya.</div>
<div style="text-align: left;">
Aku kembali berpikir, mengapa dia menanyakan hal itu. Bukankah dia tau kalau aku dan Lintang berpacaran, jadi waktuku sudah pasti akan lebih banyak bersamanya. “Nanti kalau urusanku dengan Lintang udah selesai, aku pasti menemuimu lagi.”</div>
<div style="text-align: left;">
“Ya, terus saja begitu. Dari kemarin kan kamu juga selalu bilang begitu, tapi ujungnya kamu tidak lagi menemuiku!” ketusnya membuatku makin bingung.</div>
<div style="text-align: left;">
“Dion, kenapa kamu berbicara seperti itu? Kamu tau kan, aku dan Lintang pacaran. Bahkan kamu adalah orang pertama yang mengetahuinya.”</div>
<div style="text-align: left;">
“Iya aku tau kalau kalian pacaran. Tapi apa kamu lupa, kalau aku yang lebih dulu mengenalmu dari pada dia!”</div>
<div style="text-align: left;">
“Apa maksudmu? Kau tau dengan pasti, kalau kita sudah saling mengenal sejak dulu. Lalu kenapa sekarang, kau mempertanyakan apa aku lupa atau tidak?”</div>
<div style="text-align: left;">
“Kalau kamu ingat, lalu kenapa hanya untuk mengobrol denganku saja kau tidak ada waktu?”</div>
<div style="text-align: left;">
Benar juga ucapannya, semenjak jadian dengan Lintang, aku memang lebih sering menghabiskan waktu bersama pacarku, ketimbang dengan Dion. Bahkan kami juga jarang mengobrol seperti dulu. Aku jadi merasa bersalah padanya. Tapi aku tidak bisa membiarkan Lintang sendirian terlalu lama. “Dion, aku mohon mengertilah. Bukan begitu maksudku, tapi saat ini waktunya sedang tidak tepat. Lintang lagi nungguin aku.”</div>
<div style="text-align: left;">
“Ya, oke aku mengerti. Pergilah!” usirnya memalingkan muka.</div>
<div style="text-align: left;">
Aku jadi merasa makin bersalah padanya. “Dion, jangan bersikap seperti ini donk?” pintaku sambil menyenggol lengannya.</div>
<div style="text-align: left;">
“Kamu sekarang benar-benar berubah. Tidak seperti Bintang yang aku kenal dulu!” lanjutnya berbalik menatapku, nampak kesal.</div>
<div style="text-align: left;">
“Apa maskudmu? Aku masih sama dengan Bintang yang kamu kenal. Tak ada yang berubah dariku.”</div>
<div style="text-align: left;">
“Tidak! Kamu bohong! Kamu berubah, semenjak kenal dengan cowok itu!” serunya menatap tajam mataku. Aku pun jadi bergidik melihat tatapannya yang penuh kemarahan.</div>
<div style="text-align: left;">
“Kamu ngomong apa sih?!” sahutku bingung dengan perkataannya.</div>
<div style="text-align: left;">
“Aku pikir, setelah memutuskan untuk tetap tinggal buat kamu. Kamu akan terus berada di sisiku. Nyatanya tidak! Kamu justru semakin jauh, lebih tepatnya sejak kenal Lintang. Kamu jadi sering menghabiskan waktu dengannya, dari pada bersamaku.”</div>
<div style="text-align: left;">
Mendengar ucapannya membuatku semakin bingung. Apa yang tengah ia bicarakan, menurutku ini diluar batas kewajaran sebagai seorang sahabat. Kalau dia memang benar sahabatku, harusnya dia mengerti keadaanku. Dan membiarkanku menghabiskan waktu bersama Lintang, karena memang dia itu pacarku.</div>
<div style="text-align: left;">
“Dion, hentikan! Apa yang kamu bicarakan? Omonganmu sudah ngelantur kemana-mana!” bentakku. Dion pun menatapku heran, aku lekas mendekatkan wajahku padanya. “Dion mengertilah, kau adalah sahabatku. Begitu pula sebaliknya, aku ini sahabatmu. Kita tidak akan terus bersama-sama, apalagi sekarang. Lintang adalah pacarku, pastilah aku mengutamakan dia. Bukannya aku tidak memikirkanmu, tapi mengertilah kalau aku juga harus ada buatnya,” jelasku sembari memegang bahunya.</div>
<div style="text-align: left;">
“Wushh…!!!” Dion menyingkap tanganku dari pundaknya, dan ngeloyor pergi tanpa berucap apapun. Aku terus menatap punggungnya yang perlahan menghilang dari pandanganku.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Semenjak itulah, kita tidak lagi saling bertegur sapa satu sama lain. Dion tidak lagi mendatangi ataupun mengajakku pergi. Aku memang berpacaran dengan Lintang, kita sering keluar bareng. Sekedar untuk nonton film maupun makan malam bersama. Tapi entah kenapa, akhir-akhir ini justru pikiranku dipenuhi oleh bayangan Dion. Canda tawanya, tingkahnya yang konyol, serta perhatiannya memenuhi isi kepalaku. Aku sampai tidak sadar, kalau sedari tadi Lintang ada di sampingku.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
“Bintang, kamu paham kan dengan apa yang aku bicarakan?” tanyanya.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
“Hah… apa?” kagetku bingung tidak mengerti sama sekali.</div>
<div style="text-align: left;">
“Kamu melamun ya? apa ada yang mengganggu pikiranmu?” tanya Lintang lagi, meraih tanganku.</div>
<div style="text-align: left;">
“Sedikit…”</div>
<div style="text-align: left;">
“Apa kamu masih memikirkan soal Dion?”</div>
<div style="text-align: left;">
“Aku cuma kepikiran, kenapa sikapnya mulai berubah. Kamu lihat sendiri kan sikapnya kemarin? Waktu kita papasan sama dia?”</div>
<div style="text-align: left;">
“Iya,” sahut Lintang mengangguk. Kemarin kita memang sempat bertemu dengan Dion, tapi dia langsung melengos waktu melihat aku bersama Lintang.</div>
<div style="text-align: left;">
“Sudah beberapa minggu ini, sikapnya dingin padaku. Kita juga tidak lagi saling mengobrol. Kamu tau kan, kalau dia sahabat baikku. Melihat sikapnya seperti sekarang, tentu saja itu mengganggu pikiranku.”</div>
<div style="text-align: left;">
“Iya aku paham,” sahut Lintang menarik tubuhku dan menyandarkan kepalaku di dadanya. Dengan lembut ia mengusap kepalaku. “Besok, coba kamu temui dia. Ajak dia bicara baik-baik. Siapa tau, dengan begitu hubungan kalian bisa kembali membaik,” lanjutnya. Inilah yang membuatku nyaman bersamanya. Sikapnya yang penuh kasih, menjadikanku terus ingin bersamanya.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Keesokannya aku langsung menemui Dion, sesuai saran dari Lintang. Seperti dugaanku, dia menghindariku. Namun aku tidak menyerah begitu saja, dan bergegas mengejarnya. Menurutku persoalan ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Aku masih belum paham, tentang sikapnya yang mendadak berubah.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
“Dion! Tunggu!” teriakku menarik lengannya. Langkahnya pun terhenti.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
“Apa?!” sahutnya ketus.</div>
<div style="text-align: left;">
“Kita harus bicara, aku tidak bisa melihatmu terus menghindariku!”</div>
<div style="text-align: left;">
“Aku rasa tidak ada lagi yang harus kita bicarakan. Lagian bukankah ini maumu?”</div>
<div style="text-align: left;">
“Tidak Dion, kamu salah!” bentakku.</div>
<div style="text-align: left;">
“Apanya yang salah? Kamu sendiri kan yang bilang, kalau kita tidak akan terus bersama-sama! Aku paham maksudmu. Jadi pergilah, temui pacarmu itu!”</div>
<div style="text-align: left;">
“Dion, kamu salah paham. Bukan itu maksudku!” aku menghela napas sejenak, mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan maksudku padanya. “Dion kau adalah sahabat baikku, jadi mana mungkin aku tidak memikirkanmu. Pastilah aku memikirkanmu. Tapi kau harus mengerti, kalau sekarang aku berpacaran dengan Lintang. Sudah pasti waktuku terbagi untuknya. Nanti kalau kamu bertemu seorang wanita yang mampu membuatmu jatuh cinta, kau pasti juga akan memberikan waktumu untuknya, bukan lagi untukku. Maka dari itu aku bilang, kalau kita tidak akan bersama-sama terus. Karena suatu saat kita akan menemukan tambatan hati masing-masing.”</div>
<div style="text-align: left;">
“Aku paham maksudmu Bintang, jadi biarkan saja semua seperti sekarang!” ketusnya melangkah melewatiku.</div>
<div style="text-align: left;">
“Mana bisa aku membiarkanmu terus menghindariku?!” teriakku.</div>
<div style="text-align: left;">
Ia pun berbalik dan berjalan mendekatiku. “Lalu apa yang harus aku lakukan?” tanyanya menatapku tajam.</div>
<div style="text-align: left;">
“Aku ingin kita seperti dulu, bisa bercanda tawa bersama lagi.”</div>
<div style="text-align: left;">
“Tidak Bintang. Aku tidak bisa.” sahutnya menggeleng.</div>
<div style="text-align: left;">
“Kenapa tidak?”</div>
<div style="text-align: left;">
“Kamu tidak akan pernah mengerti. Kamu menganggapku sahabat bukan? Itulah mengapa aku bilang kalau kamu tidak akan pernah ngerti.”</div>
<div style="text-align: left;">
“Apanya yang tidak aku ngerti? Kalau kamu bilang, pasti aku ngerti.”</div>
<div style="text-align: left;">
“Oke! Kalau itu maumu, aku akan mengatakannya padamu,” tukasnya. Nampak ia sedang mengambil sesuatu dari kantong celana. Ternyata Dion mengeluarkan sebuah dompet, tapi aku masih tidak mengerti maksdunya. “Kamu lihat?!” serunya menyodorkan dompet, terlihat ada fotoku bersama dirinya.</div>
<div style="text-align: left;">
“Itu kan foto kita?”</div>
<div style="text-align: left;">
“Iya memang benar ini foto kita. Tapi kamu tidak tau kan, kenapa aku menyimpannya di sini?” aku pun menggeleng. “Kau menganggapku sahabat bukan?” tanyanya, aku mengangguk pelan. “Tapi aku tidak begitu, aku menganggapmu lebih dari sekedar sahabat. Kau mungkin masih belum paham tentang apa yang aku rasakan. Karena aku tidak bisa mengatakan perasaanku dengan mudah. Namun aku masih berharap, kalau suatu saat kau akan mengerti.”</div>
<div style="text-align: left;">
Rasanya seakan mendapati letusan kembang api, yang mampu menggetarkan hati. Begitu pula dengan yang tengah aku rasakan sekarang ini. Jantungku berdebar tidak karuan, makin penasaran dengan apa lagi yang ingin ia katakan.</div>
<div style="text-align: left;">
“Aku sudah mencoba mengatakannya padamu, ketika aku memutuskan untuk tetap tinggal di kota ini. Apa kau tau, kenapa? itu aku lakukan buat kamu! Aku tidak ingin meninggalkanmu. Karena keputusanku pula, perasaanku padamu jadi semakin bertambah. Andai saja, waktu itu kau tidak menahanku. Mungkin saja aku bisa mengakhiri perasaanku saat itu juga.”</div>
<div style="text-align: left;">
“Dion…” ucapku lirih tak menyangka, kalau Dion bakalan mengatakan hal demikian.</div>
<div style="text-align: left;">
“Ya Bintang, kau sudah mengerti bukan sekarang?”</div>
<div style="text-align: left;">
“Bagaimana bisa kau memiliki perasaan sedalam itu padaku. Bukankah kita selama ini bersahabat?”</div>
<div style="text-align: left;">
“Iya aku tau kalau kita bersahabat. Lalu aku harus gimana, kalau nyatanya perasaan itu muncul begitu saja dalam hatiku?! Katakan!!!” gertaknya menatap mataku. Aku melihat kemarahan dalam matanya, yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Aku pun cuma tertunduk, tidak berani menatap matanya.</div>
<div style="text-align: left;">
“Tapi aku mencintai Lintang… dan aku tidak mungkin meninggalkannya…”</div>
<div style="text-align: left;">
“Aku paham! Karena itulah, aku menjauh darimu!”</div>
<div style="text-align: left;">
“Dion, tidak bisakah kita hanya sekedar bersahabat? Aku tidak ingin kehilangan sahabat sepertimu…”</div>
<div style="text-align: left;">
“Tidak Bintang! Tidak lagi! Lebih baik kita saling menjauh, dari pada harus terus bersama!” tandasnya melangkah pergi meninggalkanku.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Kini aku sadar, mengapa beberapa minggu ini sikapnya dingin terhadapku. Ternyata dia mencintaiku, hanya saja tidak mengatakannya padaku. Aku pun juga tidak pernah melihatnya sebagai seorang laki-laki yang menunjukkan perhatian kepada wanita yang dicintainya. Aku hanya melihatnya sebagai sahabat.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Cerpen Karangan: Putri Andriyas</div>
<div style="text-align: left;">
Blog / Facebook: www.putriandriyas.wordpress.com / Putri Andriyas</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
</div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-834201427114120838.post-29374662808287804532017-01-30T04:21:00.001-08:002017-01-30T04:21:12.839-08:00Dilema Hati Seorang PerempuanEntahlah sudah berapa lama aku termenung di sudut kamarku, akau masih tak habis pikir mengapa semua ini terjadi, sejak pertemuan denganmu seminggu yang lalu membuat aku semakin gundah gulana, kamu begitu tampan, begitu gagah dan begitu baik, tak semua orang bisa mendekatimu walau hanya untuk sekedar jadi sahabat, tapi aku sebagian kecil dari orang-orang yang selalu mengejarmu mendapat anugerah sebesar ini, ada kalanya kadang aku tak bisa berkata-kata kalau bertemu kamu, aku masih ingat, jauh sebelum aku mengenal kamu, kamu adalah lelaki yang selalu menjadi idamanku, dan sering kali aku bermimpi bertemu dan bercakap-cakap dengan dirimu, entahlah apakah ini hanya kebetulan atau memang kita ditakdirkan untuk bersatu, aku juga tak tahu.<br />
<br />
Perkenalan kita berawal di sebuah bukit namanya bukit pegassingan yang berada di sembalun pulau lombok, saat ini ada acara outbond yang diselenggarakan oleh komunitas anak-anak pecinta alam, di sanalah aku pertama kali bertemu denganmu walau di dalam mimpi kita sering kali bertemu walau sebelumya kita tidak pernah saling kenal. Hawa yang sejuk dan dingin di daerah sembalun membuat aku kedinginan, aku duduk di dekat tenda dan sedang membuat api unggun malam itu, kebetulan saat itu ada acara perkenalan semua anggota outbond dan aku duduk berdekatan dengan dia malam itu, dia mulai membuka percakapan lebih dahulu, “hai apa kabar, aku akbar dan nama kamu siapa?”, “oh baik kak, namaku dira, gimana khabrnya kakak juga”, “aku baik” jawabnya “dan ngomong-ngomong kamu sekolah dimana”, “aku sekolah di SMAN 1 selong kak, kalau kakak sekolah dimana?”, “aku sekolah di SMAN 1 mataram” katanya, “kamu ngambil jurusan apa dik?”, “aku ambil jurusan IPA (sains) kak, kalau kakak jurusan apa?”, “jurusan IPA juga kelas XII sekarang kalo adik kelas berapa”, “adik baru masuk SMA kak, kelas X”. Itulah awal perkenalanku dengan kak Akbar, selama seminggu kita disana dan banyak acara yang kita ikuti dan kebetulan selalu dalam satu tim yang sama membuat aku semakin dekat dengan dia.<br />
<br />
Pada malam terakhir di perkemahan dan di atas bukit peggasingan, akbar mengutarakan isi hatinya, dia mengatakan ingin selalu menjadi sahabat sekaligus pacar, aku kaget sekali walau jujur aku memang mengidolakannya, tapi kenapa sebersit keraguan muncul tiba-tiba dalam hatiku, “maaf kak, malam ini aku tidak bisa menjawabnya, aku masih belum bisa secepat itu kak, aku juga maasih kecil belum pernah merasakan yang namanya cinta, aku mohon sama kakak untuk mengerti posisi dan kondisiku”, itu yang aku katakan pada kak akbar, kak akbar hanya diam tidak berkata apa-apa. Aku tidak tahu apa dia marah, benci atau entah apa yang ada dalam pikirannya, sejujurnya aku ingin menjadi kekasihnya, tapi di lain pihak hati ini memberontak, jangan… jangan… kamu belum mengenal dia, itulah kata hatiku.<br />
<br />
Akhirnya kami pun selesai dengan acara outbond di bukit peggasingan sembalun, pada waktu kami berpisah akbar bilang, “aku tetap menunggu jawabanmu, walau aku tahu saat ini kamu masih meragukanku, tapi percayalah saat ini aku tidak punya kekasih, dulu memang pernah aku dekat sama seseorang tapi kita sudah putus, kapanpun aku tunggu jawabanmu”. Itulah percakapan terakhirku dengannya, dan aku juga tidak tahu nomor handphonenya, aku hanya tahu dia punya FB nama akunnya AKBAR MAULANA FASYA, sejak saat itu aku tidak pernah bertemu dengannya, walau aku pernah minta pertemanan, tapi sampai saat ini belum ada konfirmasi dari dia.<br />
<br />
Akhirnya aku juga disibukkan oleh aktifitasku sehari-hari di sekolah dan aku juga aktif di kegiatan OSIS, di OSIS juga aku ketemu dengan kakak kelasku namanya Olin, dia juga sangat baik dan penuh perhatian padaku, sampai suatu malam ada SMS masuk, “maaf dira, aku olin, jujur aku tidak pernah bisa nyenyak tidur, konsentrasi belajarku juga buyar, karena wajahmu selalu terbayang, malam ini aku ingin mengungkapkan bahwa aku tulus mencintaimu dan ingin menyayangimu dengan sepenuh hati”, aku semakin bingung di sisi lain aku ingin menjadi kekasih akbar tapi sampai sekarang aku tidak ada kontak dengannya, di satu sisi ada olin yang begitu tulus ingin menyayangiku, aku jadi bingung, akhirnya aku ambil air wudhu dan sholat malam mohon petunjuk-Nya yang terbaik buat aku dan semuanya, entahlah hanya waktu yang akan bisa menjawabnya tapi hatiku sudah tenang, apapun yang terjadi terjadilah dan aku tidak akan menyakiti siapa-siapa, besok aku akan menemui olin dan menceritakan semuanya, dan semoga akbar juga ada kabarnya sehingga aku bisa menentukan pilihan…<br />
<br />
Cerpen Karangan: Muhamad Jamaludin<br />
Facebook: Muhamad Jamaludin<br />
<div>
<br /></div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-834201427114120838.post-73380279223562318342017-01-29T03:31:00.000-08:002017-01-29T03:31:57.902-08:00Perjalanan HidupkuNamaku Syakila, aku lahir dan dibesarkan di kota yang tak pernah sepi
Jakarta namanya. Hari-hariku selalu indah, ditambah orangtuaku yang
selalu menyayangiku dengan sepenuh hatinya dan mereka tak pernah
meninggalkanku. Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti
hari, hari berganti minggu, minggu bulan hingga tahun. Tak terasa kini
usiaku sudah 12 tahun.<br />
Semua hal indah itu kini menghilang begitupun dengan mimpi indahku, aku
yang tak pernah ditinggalkan oleh kedua orangtuaku kini mereka pergi
jauh dariku. Bukan pergi untuk selamanya, tempat yang memisahkan.<br />
Siang itu aku dan kedua orangtuaku, pergi ke rumah kakek. Letaknya
lumayan jauh, Sukabumi tepatnya. Saat itu, sedang hari raya dimana semua
orang sibuk untuk mudik sama denganku. Aku terus merengek ingin mudik
ke rumah kakek. Tapi, entah kenapa ayah dan ibuku memintaku untuk tidak
mudik dahulu. Namu, karena mereka sangat sayang kepadaku ditambah aku
yang terus merengek, akhirnya kami mudik bersama. Ayah dan ibuku merasa
berat meningglkan rumah. Akhirnya kita pun pergi bersama dengan
menggunakan mobil yang kami miliki. Aku heran dengan sikap mereka,
tiba-tiba mereka membawa semua berkas penting dan perhiasan serta uang
yang mereka biasa simpan di lemari. Aku tak memperlihatkan keherananku,
kami pergi dengan segudang harta yang kami miliki dengan mobil kami.
Setibanya di rumah kakek, aku langsung memeluknya. Aku adalah cucu
kesayangan kakek, karna kakek hanya memiliki satu anak yaitu ibuku dan
juga satu cucu yaitu aku.<br />
Hari itu hari Kamis, setiap hari Kamis kakekku selalu pergi ke dokter
untuk chek up. Aku, ayah dan ibuku mengentarnya ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit kakek diperikasa oleh dokter, aku dan ibu
menemani kakek masuk ke ruang periksa. Sedangkan ayahku menunggu di
luar, ketika kami sedang di dalam, ayahku mendapatkan telepon, bahwa
rumah kami kebakaran dan semuanya habis tidak ada yang tersisa. Ayahku
yang gelisah tidak langsung memberitahu kami, karena ayah tahu kalau
kakek memiliki penyakit jantung.<br />
Setelah selesai chek up, kami pulang ke rumah. Selama di jalan ayahku
gelisah dan ayahku merasa sangat sedih. Selama di mobil ibuku bertanya
kepada ayahku “ayah, kenapa? Kok kelihatannya gelisah. Apa yang ayah
gelisahkan?” tanya ibuku sambil membelai bahu ayahku sedangkan aku duduk
dengan kakek di belakang. “tidak, ayah tidak kenapa kenapa.” Jawab ayah
yang terus fokus melihat jalan.<br />
Sesampainya di rumah, ibuku mengantar kakek ke kamar dan meninggalkan
kakek denganku berdua. Karena aku selalu ingin tidur bersama kakek.
Disamping itu, ibuku menghampiri ayah di kamar yang sedari tadi gelisah.
“ayah, ayah kenapa. Ada yang ayah sembunyikan dari ibu. Ayah jujur sama
ibu.” Tanya ibu sembari duduk di samping ayah. “ibu… bu” ucap ayahku
tersendat-sendat. “kenapa ayah? Kenapa?” Tanya ibu. “rumah kita bu,
rumah kita.” Jawab ayah. “Kenapa dengan rumah kita ayah, kenapa.” Tanya
ibu, yang sudah memiliki firasat tidak baik. “rumah kita… kebakaran.”
jawab ayah sambil memeluk ibu. Ayah dan ibuku menangis, sedangkan kakek
yang mendengarkan di balik pintu langsung menggendongku pergi ke kamar.
Bukannya kakekku gak peduli, bahkan dia sangat peduli namun kakek punya
cara sendiri.<br />
Ayah dan ibuku yang terus menangis mereka tak menyangk bagaikan
disambar petir. “pantas saja aku rasanya ingin membawa semua barang
berharga yang kita miliki ternyata ini jawabannya.” Kata ibuku sambil
melepaskan pelukan dari ayahku. “ibu yang sabar yah, ayah tahu bukan
hanya ibu yang merasa terpukul tapi ayah juga.” kata ayahku sambil
menenangkan ibu.<br />
Sudah 3 jam ayah dan ibuku menangis, mata yang sembab itu tidak
membuat mereka mengantuk. Mereka hanya melamun, malam itu, tepatnya
pukul 01.00, Ayah dan ibuku menghampiriku yang sedang tertidur pulas,
padahal aku tahu mereka menghampiriku dan mengkecup keningku. Mereka
langsung memeluk kakek, aku pun terbangun. “Ayah, ibu kenapa kok kalian
ada disini. Ayah dan ibu gak tidur.” Tanyaku yang pura-pura tidak tahu
apa-apa.<br />
Mereka kembali meneteskan air mata dari mata mereka yang sembab. “Kok ayah sama ibu nangis” aku langsung memeluk kakek.<br />
“kalian yang sabar, mungkin ini semua cobaan untuk kalian dari Allah.
Jangan menangis, biarkan semuanya berjalan, mengalir seperti air. Semua
yang kita miliki di dunia ini hanya sebatas titipan.” Ucap kakek sambil
beranjak dari tidurnya dan mengusap tangan ayah dan ibuku. “rumahmu,
anakmu, suamimu itu samua hanya sebatas titipan.” Lanjut kakek dengan
mengankat dagu ibuku yang tertunduk.<br />
Aku yang saat itu sedang memeluk kakek, langsung terbangun dan memeluk
ayah dan ibu. “ayah, ibu memangnya ada apa?” Tanyaku. “nak, kita
sekarang pulang dulu yah, kita lihat dulu rumah kita.” Ucap ayahku.
Mereka tidak memberitahuku bahwa rumah kami kebakaran. Mungkin karena
mereka tidak ingin membuat aku menangis. “kalian lihat dulu saja rumah
kalian, setelah itu kalian pulang lagi ke kisini.” ucap kakekku. “iya
yah, kami pamit dulu. Kami pasti langsung pulang lagi ke rumah ayah.
Ayah hati-hati yah disini. Kami pamit ya yah.” Ucap ibuku sembari
pamitan sama kakek dan aku digendong ayah untuk masuk ke mobil.<br />
Sesampainya di rumah kami, aku, ayah dan ibu benar-benar sedih dan
terpukul melihat rumah yang sedari dulu kami tempati kini habis terbakar
oleh api. Kami pun memeriksa puing-puing rumah barang kali ada yang
tersisa. Ternyata benar ada satu benda yang tidak habis terbakar, yaitu
Al-Quran. Kami langsung mengambil Al-Quran itu. Tidak ada lagi yang
tersisa selain Al-Quran itu. Rencana selanjutnya kami akan
mebersihkannya dan lahannya akan kami jual. Kami akan tinggal sementara
di rumah kakek.<br />
Paginya kami pulang ke rumah kakek, dan memberikan Al-Quran yang
tidak terbakar itu kepada kakek. Detik berganti menit, menit berganti
jam, tam berganti hari, hari berganti minggu, minggu bulan hingga tahun.
3 tahun lamanya kami menumpang di rumah kakek, ayahku yang merasa bahwa
kita tidak bisa selamanya tinggal di rumah kakek berencana pindah ke
luar pulau karena adanya tuntutan pekerjaan yang mengharuskannya pindah.
Ibuku yang sangat patuh dan menyayangi ayah ikut pindah bukan berarti
ibuku tidak sayang kepadaku tapi, ini juga untuk kebaikannku. Aku yang
tidak bisa meninggalkan sekolahku karena sebentar lagi ujian tidak
memungkinkanku untuk ikut bersama ayah dan ibuku. Akhirnya ayah dan
ibuku pindah ke Kalimantan dan aku tetap tinggal bersama kakekku di
Sukabumi.<br />
Waktu terus berlalu, aku yang tetap berama kakek hingga aku lulus
SMA. Kakekku yang sangat menyayangiku, terus menemaniku 4 tahun lamanya.<br />
Aku sangat rindu kepada ayah dan ibuku, selama 4 tahun itu ayah dan ibu
belum pulang juga untuk menemuiku. Mereka hanya mengirim aku uang saku
hanya lewat ATM. Selama aku jauh dari ayah dan ibuku tiada hari tanpaku
teteskan air mata. Aku sangat sedih, aku tak pernah menyangka perjalanan
hidupku akan seperti ini. Kakekku yang selalu menguatkannku, kakekku
yang tak pernah jenuh melihatku menangis.<br />
Seusai SMA, aku dan kakek berencana untuk pergi menemui ayah dan ibu
di Kalimantan. Hari itu hari Minggu, aku dan kakek sudah memesan tiket
pesawat. Aku mengabari ibuku bahwa aku akan pergi ke sana. Dan ibuku
akan menjemput aku dan kakekku di Bandara. Sedangkan ayahku yang sedang
bekerja tidak bisa menemani ibu untuk menjemputku.<br />
Entah kenapa, kakiku serasa terpaku di bumi ini dan berat rasanya
untukku melangkahkan kaki. Berbeda dengan kakek yang sangat bahagia
karena akan bertemu dengan ibu dan ayahku. “kek, sudah siap.” Tanyaku
ketika hendak masuk ke taksi. “sudah, kalau kamu.” Tanya kakek kepadaku.
“sudah kek, ayo kek masuk taksinya sudah menunggu.” Lanjutku. Kakek pun
naik ke mobil, saat aku naik bajuku tiba tiba robek tersangkut di pintu
taksi. “kakek, bajuku robek.” “tidak apa apa nak, sedikit ini kan.”
Ucap kakek. Kami pun beranjak pergi meninggalkan rumah. Hatiku terus
gelisah, aku terus berdzikir mengingat Allah. Tak berapa lama aku
menengok ke jendela sampingku dan AaaaAAAaAaa aku tak sadarkan diri dan
aku tak bisa melihat apa-lagi semuanya terasa gelap…<br />
Mobil taksi yang ditumpangiku tertabrak truck.<br />
Di rumah sakit….<br />
Ketika aku tersadar, ternyata aku ada di rumah sakit. Aku melihat ayah,
ibu dan kakek sedang menangisi aku. Sedikit demi sedikit aku gerakkan
jemari tanganku dan menandakan aku siuman dari koma. Ayahku langsung
memanggil dokter. Mereka hanya bisa menangis dan dokter memeriksaku.
Setelah selesai dokter memeriksa, ayahku di suruh dokter untuk ke
ruangannya, sedangkan kakek dan ibuku menemaniku.<br />
“aku ada dimana? Kenapa aku ada di sini?” Tanyaku dangan terbata-bata.
Ibu yang tak bisa berkata hingga akhirnya kakek menjelaskan semuanya
kepadaku. Ternyata aku koma selama 1 minggu. Melihat kakek dan ibuku
menangis aku pun ikut menangis.<br />
Setelah beberapa hari siuman, aku ingin mencoba beranjak dari tempat
tidur. Tapi, kakiku sangat berat sekali. Aku memanggil semuanya dan aku
menjerit. Mereka semua langsung menghampiriku<br />
“Kenapa nak kenapa?” Tanya ibuku.<br />
“kakiku bu kakiku.”<br />
“Kenapa dengan kakimu nak?”<br />
“Aku tidak bisa menggerakkan kakiku. Ibu kenapa dengan kakiku?”<br />
Ayah hanya bisa menangis melihatku, dan kakekku pun sama.<br />
“Nak, yang sabar yah. Ini semua ujian dari Allah, kamu yang sabar yah.” Ucap ibuku menenangkanku sabil memeluk dan mengis.<br />
“ayah, kakek aku gak mau, aku gak mau… tolong aku yah, kek tolong aku.”<br />
“kamu pasti bisa sembuh, yakin dan berdo’a” Ucap kakekku.<br />
Hari demi hari berlalu, aku sudah mulai menerima takdirku. Berbagai
macam pengobatan sudah aku lakukan, namun belum ada yang aku rasakan.<br />
Setelah kecelakaan itu, ayah dan ibuku pindah kembali ke rumah kakek.
Ayaha meninggalkan pekerjaannya dan mencari pekerjaan baru. Kami pun
hidup bahagia, meskipun di usiaku yang ke-19 ini aku memiliki kaki yang
tidak sempurna.<br />
Selesai<br />
Cerpen Karangan: Siti Nurfauzi<br />
Facebook: NurfauziUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-834201427114120838.post-29076694063277398842016-10-08T08:03:00.002-07:002016-10-08T08:03:21.461-07:00Sekolah Ke 13Ku tak mengerti apa arti hidup. Disaat aku sudah merasa patut untuk
disayangi orang lain, hal itu bagaikan kesalahan. Semua orang selalu
meengungkit hal yang sudah berlalu. Bagi mereka, tak ada bedanya dulu
dan sekarang. Apakah mereka tak mengenal kata PERUBAHAN? Apakah mereka
kekurangan kamus untuk itu? Ah, aku tak mengerti. Seperti tak ada kata
teman dalam hidupku. Semuanya sama. Menjauhiku. Memusuhiku.
Mencacimakiku tanpa ampun. Hanya sebab satu hal: masa lalu yang kelam.<br />
<br />
Kelam? Tak begitu kelam saat aku melakukannya. Tapi, saat aku
mengenangnya itulah yang disebut kelam. Disaat semua preman hitam
menarikku ke bawah jembatan. Berjalan menuju bawah tanah. Amat sunyi.
Dan lampu pertama dinyalakan. Kami berpesta ria. Menghisap. Menyuntik.
Meminum. Awalnya ku tak faham. Namun, kukembangkan senyumku dan mengerti
apa artinya KESENANGAN dan KEBEBASAN. Lampu warna-warni terus
berkedip-kedip. Musik keras terus menggema. Hingga kegiatan ini terus
berlanjut hampir 1 bulan. Kegiatan di bawah tanah usai sekolah bersama
preman-preman berusia jauh di atasku. Ibu mengetahuinya. Beliau
melarangku kesana lagi. Juga mengonsumsi apa itu nark*ba, minuman keras,
rok*k, dan semacamnya. Katanya, lelaki kecil sepertiku sangat tidak
pantas melakukan semua hal haram tersebut. Tapi, tanpa kulakukannya
tubuhku terasa nyeri.<br />
<br />
Pada akhirnya, wanita itu menyeretku menuju tempat yang sangat
kubenci hingga saat ini. Yaitu rumah sakit jiwa atau lebih tepatnya,
Panti Rehab. Dimana semua orang bernasib sama sepertiku. Merasakan
kesakitan dan kenyerian ini. Tak ada lagi alat penghisap, pil-pil
kesenangan, minuman penenang. Kuhabiskan 3 bulan saja disini. Lalu,
kumasuki sekolah di kota yang jauh dari tanah lahirku. Guna menjauhi
pelopor dari perusak secuil hidupku. Berharap bisa melupakan semua hal
di bawah tanah dengan lampu warna-warni yang berkedip atau musik
menggema di seluruh penjuru ruangan. Kini aku berada di kota damai tanpa
ada yang mengetahui aibku pada usia 11 tahun.<br />
<br />
Masa senang di sekolah memang tak selalu bertahan lama. Di sekolah
pun, tak ada yang sukses memendam aib atau rahasia. Secerdik apapun
pasti akan banyak yang mengetahuinya. Pada masa SMP, sudah belasan
sekolah di Jawa Timur kutapaki. Sedikit saja aibku menyebar, banyak yang
membullyku. Tak tahan dengan itu semua, aku segera migrasi ke sekolah
lain. Nomaden. Mungkin itu sebutannya.<br />
<br />
Buk! Tendangan itu. Ku tak kuasa menahannya. Sekolah ke-13ku jajaki.
Baru 2 minggu berkenalan dengan warga sekolah, aibku tersebar. Mereka
memberiku julukan Pecandu, Raja G*nja, Wisk*y Bangs*t. “AKU SUDAH BUKAN
PECANDU!!!” teriakku sejadi-jadinya disela mereka menendangku. “Sekali
pecandu tetap pecandu!” “Dasar Raja G*nja!” argh! Sakit sekali. Apakah
mereka mencoba membunuhku? Guru-guru yang mengerti ini pun
mengabaikanku. Hanya karena mereka tau bahwa yang dibully ini merupakan
seorang pecandu. Bukan murid baik-baik.<br />
Pulang sekolah, jika aku berkata pada ibu pasti beliau marah. Bayangkan!
Ini sekolah ke-13. Aku sudah berkali-kali pindah sekolah bahkan kota.
Bertahan? Sangat menutup kemungkinan.<br />
<br />
Ah! Kursi itu menghantam tubuhku yang terdampar di lantai. Satu per
satu anak meninggalkanku dengan tendangan-tendangan mereka yang mungkin
membekas. Kukumpulkan seluruh tenaga untuk menyingkirkan kursi yang
meniduriku. Perlahan aku berusaha berdiri. Yup! Tubuhku telah tegak.
Berjalan tertatih ke luar kelas. Meratapi nasib di kursi koridor depan
kelas. Perih. Pelipisku berdarah. Berdenyut. Banyak memar di tangan dan
kakiku. Bersandar dan mengatur nafas lebih dulu kulakukan. Setelahnya
adalah berpikir. Apa yang kulakukan saat ini? Hanya bersandar dan
membiarkan pelipis.<br />
Aw, tanganku menyeka ujung bibir. Berdarah juga. Darah ini mengucur
perlahan. Apakah arti hidup ini? Tak ada orang yang mengerti. Dunia ini
tak adil. Kalau begitu, untuk apa kita hidup? Apakah di dunia yang harus
kita lakukan adalah menggantung tali dan lompat dengan memasukkan
kepala dalam lubang tersebut? Atau menggoreskan kaca di lengan? Atau
loncat di gedung tertinggi sekalipun? Pengecut sepertiku boleh
melakukannya kan? Kenapa tidak?<br />
<br />
“Kevin.” Suara perempuan. Sapaan persahabatan. Dia duduk di dekatku.
Melepas sleyer hitam yang menguntai telapak dan punggung tangannya.
Membersihkan darah yang mengalir dari pelipis dan ujung bibirku. “Ke…
kenapa kamu…” entah mengapa suaraku tercekat tak bisa melanjutkan kata
setelahnya. “Kenapa aku tak membenci dan membullymu seperti yang lain?”
dia mengatakan terlebih dahulu apa yang ingin kukatakan. Aku hanya
mengangguk kecil. “because i’m different and you limited edition in
here.” Jawabnya dengan serius. “thanks.” Jawabku agak dingin. Baru
pertama ini ada orang yang menggunjingku limited edition.<br />
<br />
Gadis ini… kutatap wajahnya lamat-lamat. Lentikan bulu mata di ujung
kelopak matanya bagaikan bulan sabit. Melengkung sempurna. Lensa matanya
berwarna coklat terang nampak berkilau. Pipi tembamnya merah alami.
Semerah senja. “aku percaya kalau kamu sudah bukan pecandu.” dia menarik
kembali sleyer tersebut.<br />
“Ya. Itu sudah berlalu 3 tahun silam.”<br />
“Dan jika darahmu dites, memang benar ada virus nark*ba walau kamu sudah
direhab dan tak mengonsumsinya lagi.” Terangnya yang aku sendiri sudah
mengetahui.<br />
“Virus itu akan hilang sepenuhnya dalam tubuhku 5-10 tahun setelah masa rehab.”<br />
“Memangnya, berapa lama kamu di Panti Rehab?”<br />
“3 bulan. Merupakan waktu yang singkat. Tapi aku sudah sembuh.”<br />
“I’m believe you” gadis itu mengacak-acak rambutku. Sungguh nyaman berbincang dengannya.<br />
<br />
Plak! Tamparan yang entah keberapa kali. Baru kemarin berdarah dan
kering, sekarang ditampar bertubi-tubi. Diriku dan Rehan dikerumuni
banyak anak. Lelaki sebaya denganku itu berulang kali menampar dan
bertanya apa yang kemarin kulakukan bersama Shena di tempat duduk
koridor depan kelas. Telah kujawab jujur, ia menamparku kembali semakin
menggebu-gebu. Terus membentakku. Ia memberiku sebuah ponsel yang di
dalamnya sudah terpasang video. Hei! Dimana itu? Siapa itu? Kursi
koridor depan kelas. Aku dan Shena ada di dalam layar ponsel. Kejadian
kemarin sepulang sekolah terekam. Siapa yang merekamnya?<br />
Tanpa kubertanya, Shena membelah kerumunan. Mendekati Rehan. Mereka
berpelukan. Ah, aku hampir lupa bahwa mereka adalah sepasang kekasih.
Sudah dapat kutebak sebelum kata-kata itu keluar dari mulut busuk Shena.
“Akulah pemilik video tersebut. Sengaja kulakukan sebelum aku
menemuimu. Ponsel itu kuletakkan di rimbunan semak-semak. Dimana ponsel
dan semak-semak menyaksikan kemesraan kita berdua.” Sunggingan kesinisan
membuat hatiku semakin ingin menyapanya ‘bajingan.’<br />
“Kemarin yang kamu katakan?-” belum sempat aku melanjutkan kata-kata. Rahangku mulai mengeras.<br />
“Mana mungkin aku menganggapmu limited edition dan hanya aku yang tak
membencimu? Kemarin adalah rekayasa belaka, Wisk*y Bangs*t!”<br />
“Lenyaplah kau ditelan bumi. Tak pantas lagi berada di hadapanku. Hanya
membuat kerusuhan di dunia!” baik, kuterima kata-katanya. Memanglah
sudah muak aku dengan semua ini. Aku tak paham roda kehidupan. Apa arti
hidup? Mana keadilan hidup? Ingin rasanya aku mengundang malaikat
pencabut nyawa. Tolonglah aku! Lepaskan dari kesengsaraan ini! Dimana
roda kehidupan yang selalu berputar? Kapan aku berada di atas dan
menindas yang di bawah? Mengapa selalu aku yang di bawah dan ditindas?<br />
<br />
Dari kecil aku selalu hidup dengan penuh tekanan. Aku frustasi dan
memilih seretan preman. Aku mengonsumsi nark*ba dan semacamnya pada usia
yang sangat labil. Dari dulu aku tak pernah mendapatkan sekolah yang
menyeganiku. Seharam apakah tubuhku? Sekarang semua menindasku. Tak satu
pun percaya denganku. Shena yang kukira bebeda ternyata itu busuk!<br />
<br />
Berlarilah aku dari seluruh kerumunan. Ke luar gerbang sekolah. Ku
sempat melihat ke belakang, semua mengikutiku. Mengejar. Itu ungkapan
yang lebih layak. Sampai pada penyeberangan menuju ladang rumput yang
luas. Jalan itu sangat ramai, tapi tak kurisaukan. Terobos dengan
pejaman mata. Seluruh kendaraan membunyikan klaksonnya keras-keras.
Tetap berlari. Biarlah orang-orang itu mengejarku. Dan… suara berdebum
disertai teriakan orang-orang di sekitar membuat kepalaku berputar.
Tubuhku di atas ladang rumput berputar menghadap jalan raya. Re…
Reehaa..n… semua mengerumuninya. Aku pun juga mendekat. Anak-anak yang
mengejarku juga ikut mengerumuni. Ada yang berteriak. Mobil yang
menabraknya tak patut merasa bersalah. Seharusnya Rehan berhenti dan
melihat kondisi jalan. Salah siapa dia meniruku? Sekarang apa? Kepala
Rehan dipenuhi darah. Bagian tubuh yang lain tak jauh beda. Dia tak
sadarkan diri. Sebentar, mengapa ia tak segera dilarikan ke rumah sakit?
Di mana teman-temannya? Oh, sepertinya mereka tak sudi karena kondisi
menggenaskan Rehan. Tanpa ba-bi-bu, langsung saja kuangkat tubuh merah
Rehan sekuat tenagaku. dan shena segera memanggil mobil sekolah untuk
mengantar Rehan ke rumah sakit terdekat. Namun sekarang, kumulai
berganti pertanyaan, apa arti pertemanan? Di saat Rehan merasa perlu
bantuan, semua temannya tak segan membantu. Hanya aku, Shena, dan sopir
mobil yang mengantar Rehan menuju rumah sakit. Di mana semuanya yang
biasa membantu Rehan untuk menindasku?<br />
<br />
“Kevin, maafkan aku. Kuharap kamu bisa menjadi pengganti Rehan
untukku.” Tercekat aku mendengarnya. “Yang kukatakan kemarin benar,
you’re limited edition.” Dia memelukku erat dalam tangis. Sekarang
menangislah sepenuhnya dalam punggungku. “Kuingin katakan, yang rekayasa
adalah tadi pagi bukan kemarin. Dan pemilik ponsel serta video itu
adalah teman Rehan, bukan aku. Diriku hanyalah kekasih Rehan yang
bersedia untuk diperbudak.”<br />
<br />
Kini aku mengerti arti kehidupan yang adil. Hidup adalah
sebab-akibat. Diriku menjadi sebab bagi Rehan yang kini telah tiada. Dan
Shena adalah sebab bagi hidupku. Apakah hidup ini adil? Ya. Rehan
selalu berteman sangat baik dengan semuanya dan bebas menindas orang.
Tanpa disadari, teman-teman itu mengkhianatinya. Mereka hanya ingin
berteman dengan Rehan pada kemakmuran saja. Tak sudi menolong pada saat
ia susah. Itulah balasannya. Shena, ia menjadi kekasih Rehan dan
mendapat apa yang diinginkannya. Itu menyenangkan. Dibalik itu semua,
Shena juga harus rela diperbudak Rehan beserta gengnya. Adil bukan?
Sekarang aku sendiri mendapat pelukan persahabatan dari yang menindasku
kemarin kemarin dan kemarin. Atas jasaku yang menyelamatkan Rehan walau
pada akhirnya tak tertolong. Aku juga menjadi juara kelas serta
pengganti Shena yang lebih baik dari Rehan. Tak ada lagi panggilan
Pecandu, Raja G*nja, atau Wisk*y Bangs*t. Inilah sekolah SMP terakhirku.
Yaitu sekolah ke-13. Dengan teman-teman yang tulus menyeganiku. Hidupku
adalah akibat bagi teman-teman.<br />
<br />
Cerpen Karangan: Hayah<br />
Facebook: Hayah Nisrine Firda / Hayah NisrinaUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-834201427114120838.post-1844494053442964102016-10-08T07:58:00.005-07:002016-10-08T07:58:49.759-07:00Maafkan Aku Atas Keputusanku IniONE STEP CLOSER, lagu itu membangunkanku dari mimpi indah siang ini.
Segera kulihat jam di hp menunjukkan jam 13.00 wib. Aku langsung bangun,
mengambil handuk dan sabun menuju kamar mandi. Mandi yang hanya 15
menit ini membuatku merasa kurang nyaman, yang biasanya bisa memerlukan
waktu setengah jam buat mandi. Aku juga gak tahu kenapa aku betah banget
di kamar mandi. Aku siap-siap ganti baju dan kerudung yang cocok
kukenakan untuk aku kuliah hari ini. Lagu dari linkin park mnyadarkanku
kembali akan waktu yang sudah mulai menunjukkan jam 14.00 wib. Wajarlah
aku panik karena ini pertemuan keduaku masuk kelas filsafat kependidikan
yang sebelumnya hanya kelas online, ini itu mata kuliah yang umum jadi
kami yang biasa satu kelas jadi gak satu kelas lagi.<br />
<br />
“Astagfirullahhalazim” ucapku dengan memegang dada yang baru saja
membuka pintu gerbang kostku, ada laki-laki yang menabrakku. “Aduh, Ta
kamu itu ngagetin aku aja.” Kata seorang laki-laki yang juga berpapasan
saat membuka pintu gerbang. “Aduh maaf kak, lagi buru-buru nih udah jam 2
aku ada kelas.” Ucapku dengan berlari melewati laki-laki itu. Dia
menarik tanganku untuk kembali. “Udah sini aku anter biar gak telat,
pake motor.” Tawarannya padaku. “Ah serius nih kak? Ya udah ayo cepet
kak.”<br />
<br />
Sesampai di kampus, aku langsung berlari menuju ruang kelas.
Dikarenakan masih baru aku belum hafal dengan ruang kelasku. Aku sibuk
melihat ke layar hp sambil berlari kecil, dan brugh… Semua isi di tas ku
jatuh berantakan di lantai.<br />
“Aduh kenapa aku hari ini sial banget sih.” Kesalku. Aku sibuk dengan
membereskan barang-barangku yang terjatuh. “Maaf, ya aku gak sengaja
tadi gak lihat-lihat.” Membantu memberesi semua barang-barangku<br />
Aku langsung masuk ke kelas dan meminta maaf kepada dosen yang sudah ada
di depan, karena aku telat. Untunglah dosennya memberikan aku izin
untuk masuk. Aku langsung mencari teempat duduk yang kosong.<br />
<br />
“Ok teman-teman kumpulkan tugas yang bapak minta kemarin ke depan
sekarang.” Memberikan intruksi kepada semua mahasiswa untuk mengumpulkan
tugas<br />
Aku membuka-buka tasku dan fd yang sudah aku persiapkan sebelumnya malah
hilang. Aku panik mencari mungkin terjatuh di bawah saat aku
menggeledah tadi.<br />
“Kamu cari fd warna merah yang ada namanya CINTA?” terdengar suara
laki-laki di sampingku itu. “Iya kamu kok tahu?” tanyaku heran. “Ini fd
nya tadi pas kamu tabrakan sama aku di depan kelas barangmu jatuh semua
dan satu nih yang belum kamu masukan ya fd ini.” Menyodorkan fd dengan
menjelaskan. “Wah makasih ya kak, aduh kalau sampai ilang bisa gawat
nih.” “Makanya lebih hati-hati lagi. Ya udah sana gih kedepan kumpulin.”
Tanpa menjawab aku langsung berlari ke depan untuk ngumulin “Makasih ya
kak, udah ditemuin fd nya. Oh ya aku cinta, kakak?” tanyaku dengan
mengulurkan tangan. “Aku Raka, gak usah panggil kak deh kita kan satu
angkatan.” “Iya maaf Raka, oh ya sekali lagi makasih ya.” Sambil senyum
ke Raka sebagai tanda ucapan terimakasihku padanya dan rasa seneng juga
fd ku ketemu<br />
<br />
Tiga jam pelajaran selesai. Dosen dan semua mahasiswa langsung keluar
kelas. Aku yang masih sibuk dengan membereskan barang-barangku dan
mengecek hp ku yang sedari tadi bergetar tanpa aku lihat. 5 pesan dari
Fahmi yang isinya sama yaitu “kamu pulang jam berapa nanti aku jemput
ya.” Oh ya Fahmi itu laki-laki yang nabrak aku di depan kost sekaligus
yang anterin aku tadi dan juga dia itu cowok yang sering ke kostan ku
karena yang punya kost itu adalah tantenya ya bisa dibilang dia juga
ikut jaga sih. “ini aku udah keluar kelas kak” balasku singkat<br />
“Siapa Cin, cowokmu ya?” tanya Raka “Gak, ini kak Fahmi dia temenku dia
sering ke kostan karena dia itu ponakan dari ibu kostku.” Jelasku
panjang lebar. “Oh gitu, kamu langsung pulang Cin?” “Ya Ka aku langsung
pulang, tinggal nunggu kak Fahmi katanya mau jemput.” “Aku temenin ya,
sambil nunggu kak Fahmi.” “Beneran nih, makasih ya.”<br />
<br />
Gak lama motor kak Fahmi terlihat mendekati kami yang sedang duduk di kampus.<br />
“Lama nunggu ya Ta? Maaf ya.” “Gak kok kak, makasih ya udah mau jemput.
Oh ya nih kenalin dulu temenku namanya Raka.” Kataku dengan menunjuk ke
arah Raka. “Fahmi.” Dengan menjulurkan tangan. “Raka kak.” “Raka aku
balik dulu ya, makasih dah nemenin.” “Ya Cin sama-sama, hati-hati ya.”
“Raka balik dulu ya.” Kata Fahmi<br />
Sesampai di kost aku dan Fahmi tidak langsung masuk ke dalam kami ngobrol-ngobrol di luar gerbang dahulu.<br />
“Ta tadi itu cowokmu ya? Sok-sok berlaga dikenalin temen lagi.” Ujar
Fahmi. “Emang kenapa kak, kakak cemburu ya? Hehehe gak kok dia itu
temen. Aku juga baru kenal sama dia. Tadi baru aja pas di kelas. Awalnya
gak tau kalau da itu temen sekelas untu filsafat pendidikan ini. Untung
aja tadi ada dia kak, fd ku dia yang nemuin fd tugasku.”<br />
“Tapi kayaknya dia suka sama kamu deh.” “Alah kakak ini ada-ada aja
kenal aja baru, masak suka. Oh ya kakak kenapa tiba-tiba nganterin aku
tadi pake jemput segala lagi biasanya kan gak pernah mau nganterin aku”
“Gak lagi pengen aja. Ya udah aku balik dulu ya udah sore juga.” “Lah
gak pamitan dulu sama tante, tante ada kan di dalem?” “Gak ada, keluar
tadi pas aku jemput kamu.<br />
<br />
—<br />
<br />
Syukur deh Ta jika yang tadi itu cumen temen kamu, tapi kenapa aku
ngerasa kalau dia itu ada lebih. Tapi kenapa juga ya aku gak suka kalau
kamu deket sama orang lain selain aku, oh Tuhan apakah ini yang
dinamakan cinta atau hanya rasa kagum. Oh Tuhan, kalaupun memang kami
adalah jodoh dekatkan kami, dan kalaupun memang kami tidak berjodoh
jauhkan kami dan berikanlah aku dan dia jodoh yang terbaik kelak. Amin..
etttsss kenapa aku jadi ngelantur kaya gini, ah udah lah gak usah
dpikir.<br />
<br />
—<br />
<br />
Kenapa tiba-tiba kak Fahmi mau nganterin aku ya, biasanya kan gak
pernah mau. Kami aja selalu berantem kaya kucing sama tikus. Ah udah
lah. Oh ya Raka baik juga ya sama aku, untung aja dia tadi nemuin fd
aku, kalau gak wah parah bisa gak dapet nilai aku. Mukanya imut banget,
pertemuan aku juga gak sengaja kami bertabrakan di depan ruang kelas dan
dia membantuku membereskan barang-barang. Tapi kok bisa ya aku gak tau
dia padahal kami kan satu kelas, ah ya udah lah.<br />
<br />
—<br />
<br />
Kenapa aku ngerasa ada yang aneh ya Cin saat pertama kali aku
ngelihat kamu. Maaf ya Cin kalau tadi itu cuma rekayasa aku saja supaya
aku bisa ngobrol sama kamu dan bisa kenalan sama kamu. Semoga kamu gak
tau ya soal ini. Aku takut kalau kamu tau soal ini nanti kamu marah sama
aku dan kamu gak mau lagi deket sama aku. Bego banget sih aku kenapa
tadi gak minta no kamu, kenapa aku biarin dia pergi tadi. Ah sudah lah
mungkin besok bisa ketemu lagi.<br />
<br />
—<br />
<br />
Aku dan kak Fahmi mulai dekat dan tidak lagi berantem. Entah kenapa
aku merasa semakin nyaman sama dia. Dia sering ngajak aku keluar dan
telpon aku gak jelas. Dan entah kenapa juga aku selalu ngangkat telepon
darinya. Hingga suatu saat aku curhat ke dia bahwa aku suka sama
seseorang pada pandangan pertama. Awalnya dia sih gak terlalu baik dalam
merespon. Begitupun dengan aku dan Raka kami semakin dekat dengan
berjalannya waktu. Dia selalu luangin waktu untuk aku. Hingga suatu hari
dia ngajak aku katemuan sama dia di taman kota.<br />
<br />
“Mau kemana Ta? Tak anterin yuk.” Tawarnya padaku. “Boleh juga ada
tukang ojek yang nawarin gratis, hahaha bercanda kak.” “Wah parah kamu,
masak disamain sama tukang ojek, ganteng-ganteng gini hehehe. Ya udah
ayo naik mau kemana?” “Wah pd banget kamu kalau ganteng. Ke taman kota
ya.” “Tapi emang aku ganteng kan? Hehehe” “Ya ya deh ngalah.”<br />
<br />
Sampai di taman kota aku langsung menuju ke Rama yang ada di kursi pojok taman yang sebelumnya sudah kami sepakati.<br />
“Hai Ka, mau ngomong apa? Kayaknya serius banget” ujarku santai. “Hai
Cin, sini duduk.” Dengan membersihkan bangku disampingnya. “Makasih, oh
ya mau ngomong apa?” “Gini Cin, sebenarnya sejak pertama kali aku ketemu
sama kamu aku itu sudah kagum sama kamu. Tapi lama kelamaan rasa kagum
itu berubah jadi rasa suka. Maaf kalau ini terlalu cepat buat kamu. Tapi
aku memang suka sama kamu.” “Aku juga suka sama kamu Ta.” Tiba-tiba
terdengar suara dari belakang kami dan setelah aku nengok dia adalah kak
Fahmi. “Iya Ta aku suka sama kamu dan Raka juga suka sama kamu, kamu
yang mutusin kamu suka sama siapa, aku atau Raka?” ujarnya lanjut “Jujur
aku gak bisa jawab sekarang, siapapun yang aku pilih nanti kalian
nerima keputusannku dan menghargai keputusanku nantinya. Gini aja
seminggu lagi kita bertiga ketemu lagi disini jam 4 sore. Kasih waktu
aku berfikir.” “Ok kami akan tunggu, seminggu lagi kami akan kemari lai
untuk mengetahui jawaban darimu, bukan begitu Raka?” ujar Fahmi pada
Raka “Ok kalau memang ini yang terbaik aku setuju.”<br />
<br />
Aku memutuskan untuk pulang. Setiap waktu aku memikirkan semua ini.
Jika aku salah mengambil keputusan bisa fatal akibatnya. Sampai-sampai
aku tidak fokus dalam pelajaran. Raka temen tapi akhir-akhir ini aku
juga gak tau pasti kenapa aku suka memikirkan dia. Kak Fahmi dia udah
aku anggap sebagai kakak dan sahabat aku sendiri. Tapi di sisi lain juga
aku ada rasa nyaman sama dia. Seminggu telah berlalu kini aku sudah
yakin atas keputusanku demi kebaikan kita bertiga. Sore ini aku
berangakat menuju taman kota lebih awal.<br />
<br />
“Ta udah disini aja, udah lama?” “Gak kok kak baru.” “Ta, aku harap
nanti keputusanmu tepat dan bener-bener yang kamu suka.” “Hai semua,
maaf ya aku telat.” Kata Raka. “Gak kok Ka, makasih ya udah mau datang
kesini.” Kataku tak bersemangat “setelah aku pikir-pikir dan aku
pertimbangin selama seminggu ini…” lanjutku. “Siapa Ta yang kamu pilih.”
Potong Fahmi. “Tapi kalian janti ya, hargai keputusanku ini?” tanyaku
pada mereka. “Iya kami janji.” Jawab Fahmi dan Raka. “Aku memutuskan
untuk… tidak memilih kalian berdua.” Jawabku menyakinkan diri. “Kenapa
begitu Cin?” tanya Raka heran. “Aku gak mau menyakiti kalian berdua
dengan keputusanku ini, tapi ini yang terbaik buat kita. Kita jalani aja
sebagai sahabat Raka, dan untuk kak Fahmi aku sudah nganggap kamu
sebagai kakakku sendiri. Aku mohon hargai keputusanku ini dan maaf atas
keputusan yang ku buat ini. Semoga kalian bisa menemukan cewek yang
lebih baik lagi dariku.”<br />
<br />
Cerpen Karangan: Lucky Rusyita<br />
Facebook: Lucky Rusyita<br />
lucky rusyita mahasiswa semester 4 di UKSW salatigaUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-834201427114120838.post-76729191662876656442016-10-08T07:54:00.002-07:002016-10-08T07:54:41.613-07:00Penyesalan Dikemudian Hari“hai Aina, sendirian aja, Vera kemana?” tanya Reno.<br />
“hai juga, iya nih Vera sedang di kelas” jawab Aina.<br />
Aina memang dekat dengan Reno. Reno mencintai Aina, tapi Aina tidak tau
dan Aina mencintai Deri yang merupakan geng di sekolahnya dan Deri
terkenal playboy.<br />
“Na kamu nanti sore ada acara gak”<br />
“emm kayaknya gak ada deh, emang kenapa?”<br />
“kalo gak ada nanti kita ngabuburit bareng yuk”<br />
“ok,”<br />
<br />
Saat Aina dan Reno berbicara, Deri mengupingnya. Deri memantau kalau
Aina menyukainya, dan Deri hanya akan memanfaatkan Aina saja, karena
Aina termasuk anak paling pintar di sekolah.<br />
Saat Aina akan berangkat menemui Reno, Deri sms dia untuk ngabuburit
bersamanya, Aina tidak menolaknya, bahkan Aina melupakan Reno yang
menunggunya di taman.<br />
“hai Aina, kita ke mall yuk”<br />
“hai juga Deri, kenapa gak ke taman saja”<br />
Saat aina mengucapkan taman, aina teringat pada seseorang, ya dia adalah Reno yang menunggunya<br />
“ya tuhan”<br />
“kenapa na?” tanya Deri pura pura gak tau, Deri sengaja ingin memisahkan
Aina dengan Reno, karena dia tau Reno akan menyatakan cintanya, jika
Reno pacaran sama Aina maka dia tidak akan bisa memanfaatkan Aina.<br />
Aina langsung mengambil hp, dan ingin menelepon Reno, tapi Deri
melarangnya “mungkun dia udah pulang, lagian ini juga hujan” kata Deri.
entah kenapa Aina langsung mempercayainya, karena hp Aina juga sudah
mati karena baterainya habis. Akhirnya Aina buka sama Deri dan bukanya
Reno yang masih menunggunya di taman dan juga kehujanan.<br />
<br />
Sesampainya di rumah aina mengecas hpnya dan ternyata ada 6 pesan
dari Reno “Aina kamu dimana, aku menunggumu di taman” dia mengirimkan
pesan itu sampai 6 kali dan dia baru saja Reno mengirim kan pesan lagi
“Aina kamu dimana, aku masih menunggumu di taman sampai sekarang” aina
kaget dan dia berlari menuju taman menerjang hujan lebat. Sesampainya di
taman ternyata tidak ada siapa siapa, Aina kecewa dengan Reno, Aina
pikir dia telah ditipunya, Aina menangis.<br />
<br />
Sudah 2 hari Reno tidak masuk sekolah, Aina berfikir kalau Reno tidak
masuk sekolah karena dia takut akan dimarahi Aina karena dia telah
menipunya. Hari ke 3 Reno masuk sekolah dengan wajah agak pucat, tapi
Aina tidak memperhatikannya, saat dia berpapasan dengannya, Aina tidak
menjawab sapaan Reno. saat Aina sedang duduk di depan perpus Reno
menghampirinya Aina akan pergi tapi ditahan Reno.<br />
“na kamu kenapa sih”<br />
“kamu masih nanya aku kenapa, penipu!”<br />
“kok kamu gitu”<br />
“kenapa kamu sms aku kalau kamu masih di taman, apa kamu tau malam malam
hujan aku bela belain nemui kamu di taman, tapi nyatanya apa kamu tidak
ada disana, ya aku minta maaf karena aku lupa nemuin kamu di taman, itu
karena Deri mengajaku jalan”<br />
“apa Deri, aku bisa jelasin kenapa aku gak ada di taman, karena,”<br />
“sudah, aku gak butuh penjelasan” Aina memotong perkataan Reno dan langsung pergi meninggalkanya.<br />
<br />
“andai kamu tau yang sebenarnya na, tapi aku sudah cukup senang
karena ternyata kamu mengkawatirkan ku.” Reno berkata sangat pelan
sambil memperhatikan Aina yang berjalan meninggalkannya.<br />
<br />
1 minggu berlalu, selama satu minggu Aina menjauh dari Reno, tidak
membicarakannya sama sekali. bahkan Aina tidak mau mendengarkan saat
Vera menyebut namanya atau membicarakannya. Vera yang mengetahui
kebenarannya sama sekali tidak bisa berkata kata.<br />
<br />
Keesokan hariya Aina mendengar jika Reno ada di rumah sakit, ternyata
sudah satu minggu dia disana. Aina merasa sangat cemas, dia mumutuskan
untuk menemuinya.<br />
“Ren kamu kenapa”<br />
“tenang saja aku hanya sakit biasa saja, jangan cemaskan aku.”<br />
Malam harinya saat Aina sedang di musola rumah sakit itu dia mendapat
kabar kalau Reno telah tiada. Aina mendengar hal itu dia langsung lari
sambil menangis munuju tempat Reno disana sudah ada Vera, dan
orangtuanya yang sedang menangis, Vera yang menyadari ada Aina dia
langsung memeluknya.<br />
<br />
1 minggu sudah kepergian Reno, Aina masih juga sedih.<br />
“aku mencintaimu Reno”<br />
Vera ternyata mendengar perkataan yang baru saja Aina katakan.<br />
“Aina,”<br />
“Vera, sejak kapan kamu di sini”<br />
“itu gak penting, ada hal yang harus aku sampaikan”<br />
“apa?”<br />
Vera memberikan sebuah surat yang isinya<br />
<br />
to Aina<br />
ania, sebenarnya aku suka sama kamu sejak lama. tapi aku sadar cintamu bukan untukku.<br />
Aina, sebenarnya saat hujan itu aku masih ada di taman, aku sudah
menelepon kamu tapi tidak aktif, lalu aku sms kamu. bahkan hujan pun tak
kupedulikan, aku hanya ingin hari hari terakhirku bisa bersamamu, tapi
setelah aku mengirimkan sms terakhirku kepalaku terasa pusing dan aku
tidak sadarkan diri.<br />
Tapi aku senang karena kamu telah menghampiriku di taman walau aku tak melihatnya.<br />
I LOVE YOU, AINA<br />
Reno.<br />
<br />
Aina menangis saat membaca surat itu, ternyata dia sudah salah faham
tentang Reno, dia telah menyesal, dia baru menyadari kalau dia mencintai
Reno.<br />
“aku, aku sangat menyesal Ver,”<br />
pesan: jangan pernah menyia nyiakan orang yang mencintaimu, karena kamu akan menyesal jika dia meninggalkanmu.<br />
<br />
Cerpen Karangan: Ayuk<br />
Facebook: ayuex prettUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-834201427114120838.post-27920871074711842582016-01-21T23:24:00.003-08:002016-01-21T23:24:32.771-08:00Pandangan Senja “Cahaya senja menutup alur kita berdua..” Sepenggal lirik lagu yang hampir
setiap hari menjadi penghantar tidurku ini ternyata mengundangku ke dalam
keadaan yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya. Keadaan yang membuatku
menghindari apa yang seharusnya aku cari. Dan membenci apa yang harusnya aku
cintai. Di sinilah aku belajar kapan seharusnya kita membohongi perasaan kita
sendiri. Dan kapan seharusnya kita jujur dengan perasaan kita. Semua ku kira
akan berjalan baik-baik saja. Namun apa daya, keadaan ini mengantarkan batinku
kembali lagi jatuh ke dunia Cinta yang berusaha aku hindari.<br />
<br />
Namaku Sekar. orangtuaku memberikan nama ini dengan harapan agar di suatu
hari nanti, aku berhasil mengindahkan kehidupanku sendiri layaknya bunga–bunga
yang mengindahkan taman dengan warna–warna indahnya. Sayang, baru saja ku
mencicipi awal remajaku, aku sudah dituntut hidup hanya bersama Mama. Ya! Tanpa
sosok Ayah. Aku adalah anak tunggal yang baru saja kehilangan Ayah sejak Ayahku
terkena Kanker dan pergi meninggalkan aku dan Mamaku. Wajar saja jika setiap
saat aku merasa kesepian. Ditambah lagi Mama yang bekerja di luar kota. Ya, ini
membuatku merasa aku hanya sebatang kara di dunia ini. Usiaku belum genap 15
tahun. Dan aku baru saja duduk di bangku SMA. Aku memilih melanjutkan sekolah
menengahku di Sekolah Ilmu Sosial. Di mana ternyata tempat ini menjadi perantara
menuju masa remajaku yang sebenarnya. Dan dari sinilah kisahku berawal.<br />
—<br />
“Sekar! Mau sampai berapa kali lagi Mama teriak-teriak? Cepat bangun!” Ya,
seperti biasa, setiap pagi Mama selalu menjerit-jerit di depan kamarku. Ini
memang karena aku cukup sulit untuk bangun. Jam weker yang ku tempatkan tepat di
samping bantalku saja gagal membangunkan tidurku. Apalagi Mama yang setiap hari
di luar kamar merangkap menjadi speaker aktifku.<br />
<br />
Pagi yang cerah di hari yang cerah untuk bersekolah. Ya walaupun perjalanan
ke sekolah selalu ku tempuh dengan berjalan kaki, namun hal ini tidak sedikit
pun mematahkan semangatku yang cerah ini. Untung saja hari ini hujan tidak turun
seperti kemarin. Basahnya aspal dan banyaknya kubangan air menemani langkahku
menuju sekolah. Ku fokuskan pikiranku ke pelajaran yang akan ku dapatkan nanti.
Satu per satu ku ingat lagi materi-materi yang akan dites nanti. Dan sudah ku
bayangkan pula bagaimana ekspresi guru matematika apabila aku tidak bisa
menjawab soalnya. Itu hal yang lumrah, hanya saja yang ku sedikit tidak terima,
kenapa aku harus berhadapan lagi dengan matematika? Sedangkan aku sengaja
sekolah di Ilmu Sosial untuk menghindari pelajaran–pelajaran semacam itu. <br />
<br />
Belum selesai ku merenungi angka–angka yang cukup menyesakkan batinku,
tiba-tiba saja dari arah belakang pengendara motor melaju cepat melewatiku.
Bukan hanya melewatiku, tetapi dia juga melewati kubangan air yang kebetulan
berada tepat di sampingku. Pastinya air kumuh tersebut mengenaiku dan mengotori
seragamku. Aku terkejut dan hanya bisa berteriak ke arah pengendara yang tidak
mau bertanggung jawab tersebut. Bukan karena rambut atau sepatuku yang basah,
tapi karena hari ini adalah hari Senin dimana aku mengenakan seragam yang
seharusnya putih dan sekarang tidak mungkin bisa aku putihkan kembali semudah
membalikkan telapak tangan. <br />
<br />
“Bagaimana ini? apa mungkin aku nekat bolos aja ya? gak mungkin aku sekolah
dalam keadaan kayak gini. Tapi kalau aku gak sekolah, aku gak bakal dapat nilai
matematika nih..” Gumamku. Akhirnya aku memilih untuk melanjutkan langkahku
menuju sekolah. Aku tidak memikirkan lagi sanksi apa yang aku dapatkan karena
seragam kotor ini. Yang aku pikirkan hanyalah nilai tes matematika nanti.
Sebenci–bencinya aku dengan matematika, aku tidak pernah berniat untuk bolos
dari pelajarannya. Ya, benar saja. Sanksi dan omelan dari guru aku dapatkan. Di
samping terlambat masuk kelas, seragam yang kotor menjadi alasan hukumanku hari
ini. “itu baju atau lap pel kar?” tanya Dela salah satu teman seperjuanganku.
“udah, gak usah dibahas.” jawabku sinis.<br />
<br />
Siang ini aku memilih pulang dengan Dela. Dan untunglah Dela mau mengorbankan
jaketnya kepadaku untuk menutupi seragamku yang penuh dengan noda menjijikkan.
Karena tidaklah mungkin aku berjalan kaki lagi dalam keadaan yang mengenaskan
ini. Tak sengaja ku melirik motor yang ada di sebelah motor Dela di mana motor
itu sepertinya tidak asing bagiku. Dan setelah ku ingat–ingat, ternyata motor
itu adalah motor yang hampir menyerempetku tadi pagi. <br />
“Del, kamu tahu siapa yang punya motor ini?” tanyaku.<br />“tahulah. Itu kan
motor Kak Edwin.” jawab Dela.<br />“Hah? Siapa tuh?” tanyaku lagi.<br />“masa kamu
gak tahu? Itu kan Kakak kelas paling keren di sini..” Jawab Dela.<br />
<br />Tak Lama,
datanglah laki–laki yang disebut–sebut bernama Edwin yang langsung pergi dengan
motornya itu. Iya, keren sih, tetapi sayang caranya dia untuk ngotorin baju
orang tidak ada keren–kerennya. Mataku memandang tajam kepergian Kakak itu.
Seakan aku benar–benar dendam dengannya. <br />
“udahlah kar! Gak mungkin banget kamu bisa dapetin Kak Edwin..” Kata Dela
tiba-tiba yang membuyarkan pandanganku.<br />“hah? Apa sih Del? Ngawur banget
ngomongnya..” Balasku.<br />“alah, sekarang aja ngomong gitu. Ntar aja naksir..”
Kata Dela meledekku.<br />“apaaaa? Kalau disuruh milih ya, mendingan aku mati
ketabrak ojek deh dari pada naksir sama dia. Asal kamu tahu ya, gara–gara dia
tuh seragam aku kotor gini. Gara gara dia juga aku kena hukuman..” Omelku kepada
Dela. <br />
Perkataanku ini ternyata membuat Dela mematikan mesin motor dan balik
memandangku penuh rasa ingin tahu.<br />
<br />“jadi, Kak Edwin yang ngotorin bajumu
ini?” tanya Dela serius.<br />“iya! Udah tampang sombong, jutek, gak mau tanggung
jawab lagi..” Keluhku.<br />“udah cepat naik!” Sepertinya Dela kesal dengan
keluhanku mengenai Kak Edwin. Tetapi itu memang kenyataan yang terjadi.<br />
“Aku pulang.” teriakku sambil membuka pintu rumah. “Aduh mampus! Bajuku…”
saat ku teringat dengan seragam yang tak mungkin ku perlihatkan di hadapan
Mamaku, aku pun bergegas masuk kamar tanpa sepengetahuan Mama. Tapi,
terlambat!<br />“Sekar!” Teriak Mama. Belum saja aku sempat membuka pintu kamar,
Mama sudah memanggilku. Mau tidak mau aku harus mengadap Mama. Kepalaku menunduk
dan perlahan ku menghampiri Mama. “habis ngapain kamu? Tawuran?” Perlahan
kepalaku terangkat dan berbicara pelan.<br />“ee… eee.. tadi tadi keserempet..”
Kataku terbata–bata.<br />
<br />
Lengkap sudah hari ini. Terlambat ke sekolah, hukuman, omelan dari guru dan
bukan itu saja. Dela sepertinya kesal denganku bahkan sampai rumah Mama ikutan
marah–marah gara–gara seragamku yang kotor. Wah, ini semua gara–gara Kakak
sombong itu. Semenjak kejadian inilah aku mulai memvonis Kak Edwin itu orang
yang paling aku sebelin di sekolah itu. Tidak peduli berapa banyak temanku yang
mengidolakannya dan tidak peduli jika hanya aku yang tidak menyukainya, yang
pasti karenanya persahabatanku mulai berantakan.<br />
—<br />
Bel berdering sungguh cepat, menandakan pelajaran pertama akan dimulai. Namun
keberuntungan jatuh ke kelasku. Jam pertama ini ternyata merupakan jam kosong.
Kebetulan guru pengajarnya tidak dapat hadir. Itu artinya 3 jam kedepan aku bisa
bebas dari guru killer matematika. Suasana kelas semakin lama semakin tidak
karuan. Maka, aku memilih untuk ke luar dari kelas. Di depan kelas tampak Dela
yang sedang duduk membaca buku novel kesukaannya. Aku pikir aku harus
mendatanginya dan menanyakan hal kemarin. Untuk memastikan dia tidak marah
denganku. <br />
<br />
“Del, kamu marah sama aku?” tanyaku. Dela memandangku dan menutup
novelnya.<br />“enggak, biasa aja.” jawabnya. Pandangan kami seketika saja teralih
menuju lapangan basket yang berada tepat di depan kelas kami. Ku melirik Dela
yang tampak tersimpul senyum saat ia tahu jika salah satu dari pemain basket itu
adalah Kak Edwin. Bukan hanya Dela. Beberapa teman–teman perempuan kelasku yang
lain ternyata juga menyaksikan Kak Edwin yang sedang bermain basket. Karena ku
merasa mulai risih dengan keadaan ini aku pun bangun dan berniat untuk masuk
kelas. <br />
“mau ke mana?” tanya Dela.<br />“tiba–tiba aja kepalaku pusing, aku masuk dulu
ya..” Jawabku. Belum saja aku masuk ke kelas tiba–tiba kepala bagian belakangku
terkena sesuatu. Hantaman bola basket yang cukup keras itu membuatku kaget dan
bersimpuh jatuh. Sambil memegang kepala aku pun berbalik badan. Ternyata
pelakunya tidak lain adalah Edwin. Teman-temanku yang lain menghampiriku dan
menanyakan keadaanku. Langsung saja aku meringis kesal saat aku tahu ternyata
Edwin yang mengenaiku bola. <br />
“sial, jadi pusing beneran kan.” gumamku.<br />“kamu gak apa–apa?” tanya Dela
sambil menyentuh bahuku.<br />“enggak kenapa-kenapa kok..” Jawabku sambil menoleh
ke atas. Betapa kagetnya aku ternyata Edwin sudah ada di depanku.<br />
<br />Semua
teman–temanku kagum akan kedatangannya. Ya semua. Kecuali aku.<br />“maaf gak
sengaja.” kata Edwin sambil mengambil bola basket yang berada di dekatku.
Bukannya menolong atau sekedar menanyakan keadaan, ia malah mengambil bola dan
pergi begitu saja. Dan ini membuatku bertambah kesal. Aku pun bangun dan
benar–benar masuk ke dalam kelas.<br />
“lihat kan Del, idolamu tuh!” Kesalku.<br />“kan dia gak sengaja kar..” Balas
Dela. Tidak mau bertengkar dengan Dela aku pun mengalah dan memilih untuk
menyimpan kesalku sendiri. Rugi juga jika aku mengeluh di hadapan teman–temanku.
Termasuk Dela, yang benar-benar memuja sosok Edwin si Kakak kelas Sombong, sok
keren, dan gak pernah mau bertanggung jawab itu.<br />
<br />
Tak lama, jam kosong itu pun berakhir dengan singkat. Salah satu guru masuk
ke kelasku. Seketika saja kegaduhan kelas terhenti. Kami kira guru itu akan
mengajar atau marah–marah tidak jelas karena kegaduhan kami. Ternyata ia datang
dengan tujuan memberikan pengumuman mengenai tour yang akan dilaksanakan minggu
depan. Tour ini dilaksanakan oleh kelas 1 dan kelas 2 dengan rute yang sama.
Segala hal telah diumumkan oleh guru itu hingga menghabiskan jam pelajaran.
Bahagia rasanya mendapatkan pengumuman ini. Sakit kepala karena hantaman bola
tadi sudah ku lupakan.<br />
“wah, aku gak sabar nih buat tour. Pasti seru..” Kata Dela.<br />“iya, kapan
lagi bisa kumpul bareng temen-temen ya kalau bukan pas itu.” jawabku.<br />
—<br />
Hari ini Dela berjanji akan menginap di rumahku. Hitung–hitung hari ini kami
berencana membuat tugas yang sangat menumpuk dan belajar untuk ulangan besok.
Ini pertama kalinya aku tidak merasakan kesepian di rumah ini. Sosok Dela
menambahkan anggota penghuni rumah untuk sementara. “sering–sering aja nginep di
sini Rin, biar aku ada temen..” Kataku memelas.<br />“ya enggak sering-sering
banget kan Kar. Tapi kalau ada waktu pasti aku temenin kamu kok..” Ujar Dela
dengan bijaknya. Kami pun bergadang untuk menyelesaikan tugas–tugas ini. <br />
“ya ampun, ini kapan selesainya ya? Mana udah jam 2 lagi..” Keluh
Dela.<br />“aku udah gak kuat nih. Mana kita belum belajar buat ulangan..” Kataku.
Kami pun memilih untuk<br />
<br />
melanjutkan tugas dan tanpa tersadar kami ketiduran di
ruang tamu dengan keadaan buku yang berserakan.<br />
Jam weker di kamarku berdering sangat kencang hingga membangunkan Dela yang
tertidur di lantai. Dela mecoba membangunkanku dan tidaklah mungkin dia
berhasil. Akhirnya dia bersiap-siap sendiri. Tidak lama, aku pun ikut terbangun
dan terkejut dengan keadaanku pada saat itu. “astagaaaa!! belum belajarrr!!”
teriakku.<br />
<br />“apa sih nak, pagi–pagi udah ribut sendiri. Sana cepetan mandi!
Dela udah hampir selesai tuh..” Omel Mama.<br />
“Duh mati kita Del. Kita belum belajar sama sekali..” Kataku sambil
mengeluarkan buku ke atas meja.<br />“udah, pasrah aja dah. Mau gimana lagi.” kata
Dela sambil membuka korden jendela kelas.<br />“Del, anter aku ke toilet yuk.”
ujarku pada Dela sambil menarik tangannya menuju ke luar kelas. Belum sampai di
toilet ternyata Edwin dan teman–temannya sedang berkumpul di teras dekat toilet.
<br />
“itu orang ngapain sih pakai acara nongkrong di sana, mana semua jalan ke
toilet dihabisin lagi.” gumamku. Langkahku pun terhenti dan mencoba mencari
toilet lainnya.<br />“Kar, katanya mau ke toilet?” tanya Dela bingung.<br />“Toilet
gak cuma 1 kali Del.” kataku yang langsung berlari ke toilet lainnya. <br />
<br />
Tapi sayang sekali, toilet yang satu ini cukup seram dan kata orang–orang
toilet ini cukup angker. Ku hanya dapat menghela napas dan menelan ludah ketika
berada di depannya. Tapi konyolnya aku, aku malah tetap memilih masuk ke toilet
angker itu dibanding balik kembali ke toilet yang dijaga oleh Edwin dkan
kawan-kawan. Karena sudah tidak ada pilihan lain lagi. Keberuntungan jatuh
padaku saat itu. Ternyata toilet itu tak seseram yang aku bayangkan. Yang ku
temui hanyalah gerombolan kecoa dan tikus–tikus saja.<br />
“ngapain sih kamu ngerelain dirimu masuk ke toilet angker demi ngindarin Kak
Edwin? Untung aja tadi gak terjadi apa–apa. Nah kalau misalnya tadi kamu
ngelihat apa–apa gimana coba?” kata Dela marah.<br />“kamu masih aja
bangga–banggain orang kayak gitu. Kamu tuh sadar dong, dia ngasi pengaruh gak
baik buat fans-nya. Lagian aku heran deh, apa sih yang dilihat dari sosoknya
yang sombong dan sok keren gitu..” Balasku.<br />
<br />“iya itu cuma menurutmu! Dan
hanya kamu yang berpikiran negatif ke Kak Edwin..” Tuding Dela. <br />
“itu karena aku yang ngalamin sendiri Del!” Balasku lagi.<br />“ya udah
terserah kamu! Emang dasarnya aja kamu gak pernah bisa mikir positif ke orang
lain.” sahut Dela dan pergi meninggalkanku.<br />“heh, iya emang dasarnya ya..”
Siapa yang nyerempet orang lain terus main kabur gitu aja? Siapa yang buat
sahabatnya sendiri sial? Siapa yang buat kepalaku pusing karena bola basket?
Sekarang siapa yang jadi penyebab aku nekat masuk ke toilet angker itu? Dan
siapa yang buat aku berantem sama Dela? Aku benci Edwin!<br />
<br />
Sesuatu terberat yang aku alami kali ini adalah berantem sama Dela. Bayangkan
saja, aku sekelas bahkan sebangku dengan Dela. Tapi kami malah cuek–cuekan. Dan
tidak berbicara sedikt pun. Jujur ini sulit, namun apa daya. Dela pasti mulai
membenciku. Aku juga heran, sebenarnya sihir apa yang digunakan oleh Edwin
hingga orang tergila–gila dengannya. Ini termasuk sahabatku Dela. Pendapat kami
yang kontraslah menjadi penyebab hancurnya hubungan kami saat ini. Entah apa
yang akan terjadi, hanya waktu yang dapat menjawabnya. Berhari–hari aku dan Dela
saling diam tak berbicara sedikit pun. Tapi aku percaya suatu saat nanti akan
ada suatu keadaan yang memaksa kami untuk kembali berbicara.<br />
<br />
Upacara Penurunan bendera pada hari ini memang sangat mencekam. Panas mentari
yang cukup terik membuat kami sebagai peserta tak dapat menahan diri untuk
berteduh. Namun tidaklah mungkin hal itu kami lakukan. Saat itu, kelasku
kebetulan berbaris paling pinggir. Ya bisa dibilang berbaris di area yang paling
terkena sinar matahari. Wajar saja salah satu dari kami jatuh pingsan karena
tidak kuat. Salah satu yang ku maksud adalah Dela. Teman–teman panik dengan
kejadian ini, itu termasuk aku. Kalau boleh dibilang, aku adalah orang terpanik
ketika Dela pingsan. Karena seumur–umurku mengenal Dela, baru kali ini dia jatuh
pingsan seperti ini. <br />
<br />
Kejadian ini merupakan awal komunikasiku terhadap Dela kembali seperti
semula. “kamu gak apa kan Del?” tanyaku ketika Dela sudah sadar dan berbaring di
ranjang UKS.<br />“aku kenapa coba?” Tanya Dela lemas.<br />“ya elah, kamu sih,
pasti belum sarapan ya? Sampai pingsan gini..” sahutku.<br />Aku pun memberikannya
air hangat. Dari tadi aku belum melihat petugas UKS menghampiri kami. Sampai
akhirnya.<br />
<br />
“aku haus juga nih. Bentar ya Del, aku ambil air dulu.” kataku sambil
berbalik badan menuangkan air. Ketika itu, ku dengar suara pintu UKS yang
berdecit tanda terdapat seseorang yang memasuki UKS ini. Aku pikir itu adalah
petugas UKS yang sedang piket. “Hmm akhirnya ada juga yang ngurusin kita ya
Del.” gumamku. Saat ku berbalik badan sambil meneguk segelas air, betapa
terkejutnya aku melihat Edwin yang sedang memberikan obat kepada Dela. Aku pun
terbatuk karena kagetku terjadi bersamaan saat aku meneguk air. <br />
“kamu sakit juga?” tanya Kak Edwin dengan tampang datar tanpa
ekspresinya.<br />“siapa? Aku?” tanyaku ragu.<br />“emang selain Dela, siapa lagi
yang ada di sini?” tanyanya lagi.<br />
<br />Astaga ini kali pertamanya aku berceloteh
tidak penting dengan Edwin. Ternyata dia adalah salah satu Petugas UKS? Wah,
bisa kiamat sekolah ini kalau dia jadi petugas UKS. Apalagi nanti kalau dia jadi
dokter. Bisa mati tuh semua pasiennya. Tunggu dulu. Ini tidak penting bukan?<br />
Akhirnya aku dan Dela kembali normal. Mimpi burukku selama ini akhirnya
berakhir. Apapun yang terjadi sebelumnya antara aku dan Dela mulai kami lupakan.
Kami pun saling bercerita dan kembali saling mengisi satu sama lain. “aaaa aku
seneng banget Kar… Tahu gini setiap hari aja aku pingsan ya..” Katanya sambil
tersenyum bahagia.<br />“gak boleh ngomong gitu Del..” Jawabku.<br />“Bayangin aja
kar, Kak Edwin ternyata udah tahu namaku..” Sahutnya dengan bahagia.<br />“ehmm,
sampai mas-mas sol sepatu juga bakalan tahu namamu kali Del.” jawabku sambil
memandang namanya yang sudah terjarit rapi di dada kanannya.<br />“eh.. abaikan
kar.” sahutnya sambil menunduk melirik nama di dadanya.<br />
<br />
Tak terasa hari ini merupakan hari yang kami tunggu. Tour Sekolah. Kami semua
bersenang ria dalam mengikuti semua kegiatan. Cerahnya langit sangat mendukung
kami dalam beraktivitas di pesisir pantai dan di atas perahu yang kami naiki.
Banyak pelajaran yang kami dapatkan pada Tour kali ini. Waktu begitu cepat
berlalu hingga tiba saatnya kami harus kembali ke sekolah. Akhir tempat wisata
kami adalah taman kupu–kupu. Kebetulan aku memang sangat mencintai mahluk
terbang ini. Ku menemukan seekor kupu–kupu dengan warna yang cukup cantik. Ku
terus memandangi kupu–kupu tersebut hingga ku tak menyadari ternyata rombonganku
sudah hilang. Aku pun bergegas mengejar rombonganku sampai di parkiran tempat
para bus ditempatkan. <br />
“waduh, bus kelasku yang mana ya?”<br />
<br />
Aku cukup sulit untuk membedakan tiap bus yang ada di sana. Aku hanya
menjadikan pohon–pohon di sekitarnya sebagai patokan. Dan seingatku bus kelasku
parkir di sebelah pohon jepun. Tidak tunggu lama lagi, aku pun langsung saja
bergegas masuk menuju bus tersebut. Sesampai di dalam bus, pintu bus langsung
ditutup, ini menandakan bus ini menungguku untuk berjalan. Tanpa disadari,
ternyata aku salah memasuki bus. Aku sempat terkejut dan bingung melihat
orang–orang di dalam bus yang semuanya asing bagiku. Aku hanya bisa menelan
ludah melihat keadaan ini. Langsung saja aku menghampiri sopir bus dan
memintanya untuk berhenti karena aku yang salah menaiki bus. Tetapi sayang
sekali, bus tidak bisa dihentikan begitu saja. Mau tidak mau aku harus ikut bus
tersebut. <br />
<br />
Tepatnya bus Kakak kelas. Dengan menahan rasa malu, aku mulai mencari tempat
duduk kosong, dan betapa tidak beruntungnya aku karena tempat duduk kosong hanya
ada di samping Edwin. Argumen orang mengenai dunia itu sempit ternyata benar.
Jika boleh memilih, mendingan aku duduk di dalam toilet bus dari pada aku harus
duduk bersama Edwin. Tapi tidaklah mungkin hal itu aku lakukan. Akhirnya dengan
berat hati aku pun duduk di samping Edwin. Ternyata ada yang lebih buruk dari
pada berantem dengan Dela, yaitu. Duduk bareng laki-laki sinis, sombong, dan
parasit bagi organisme di sekitarnya.<br />
<br />
Sepanjang perjalanan aku benar-benar jengkel dengan keadaan ini. Aku yang
biasanya ribut, onar, dan ramai seketika saja sepi sunyi dan kalem. Ini
gara-gara aku yang salah masuk bus dan berakibat fatal seperti ini. Seperti
tidak ada orang lain yang aku pilih selain Edwin. Berarti dugaanku benar.
Teman–teman kelasnya saja tidak mau dekat dengan Edwin bahkan duduk satu kursi
pun tidak ada yang mau. “mending kek ada yang aku ajak ngomong gitu.” gumamku.
<br />
“masih sakit?” tanya Edwin yang cukup mengagetkanku.<br />“siapa? Aku?” tanyaku
sambil menoleh ke arah Edwin.<br />“gak punya stok pertanyaan yang lain ya selain
itu?” sahut Edwin dengan tampang datarnya. “jawab kek!” suruh Edwin.<br />“enggak,
biasa aja.” jawabku cuek.<br />“kenapa bisa salah bus kalau gitu?” bertanya sambil
membuka halaman novel.<br />“ehm, ketinggalan rombongan tadi..” Kataku terbata.
Kenapa aku jadi ngeladenin semua pertanyaannya dia ya? Lama kelamaan Edwin malah
berbicara lebih basa-basi lagi dari itu. <br />
“namamu siapa?” Tanya Edwin.<br />
<br />“hah? Aku?” Pertanyaan yang selalu ku respon
dengan pertanyaan membuatnya cukup kesal denganku.<br />“siapa lagi yang ada di
sampingku kalau bukan kamu?” Sahutnya.<br />“Sekar.” jawabku singkat.<br />“hey,
kamu niru nama Ibukku ya?” cetusnya.<br />“ya mana aku tahu kalau Ibumu namanya
sama sepertiku..” Jawabku cuek. <br />
“hahaha bercanda. Ya bagus dong kalau sama. Itu artinya di sini aku bisa
nganggep kamu jadi Ibukku. Tenang aja, Ibukku cantik kok..” Aku tidak menyangka
sama sekali. Ternyata Edwin yang ku vonis sombong, sok keren dan tidak
bertanggung jawab itu ternyata asyik dan humoris. Lama–kelamaan pembicaraan kami
semakin dekat dan tidak canggung. Dan aku mulai menemukan hal berbeda dari
Edwin. <br />
“kenapa Kakak gak duduk sama temen yang lain?” tanyaku spontan.<br />“hmm,
karena aku punya feeling kalau akan ada kejutan di bus ini.” jawabnya.<br />
<br />
Karena mulai kehabisan topik pembicaraan, aku pun memilih untuk berdiam diri.
Tiba–tiba Edwin mengulurkan salah satu untaian pendengar musiknya ke hadapanku
dan langsung memasangkannya ke telinga kiriku. Aku sempat terkejut dengan apa
yang dilakukannya. Tapi yang membuatku lebih terkejut adalah lagu yang
diputarkannya sama seperti lagu yang sering ku jadikan pengantar tidurku. <br />
“Kakak suka lagu ini?” tanyaku.<br />“banget. Tepatnya sih cuma lirik lagu ini
yang paling aku hafal..”<br />
<br />Seketika saja semua dugaanku terhadapnya lenyap
begitu saja. Segala kesalahan yang telah ia lakukan padaku secara sengaja maupun
tidak sengaja ku lupakan semudah ini. Dugaanku ini berubah menjadi sesuatu yang
berbeda. Aku pun tidak mengerti maksud dari perasaanku ini.<br />
Sepanjang perjalanan hingga sampai di sekolah, aku tertidur dengan posisi
menyender di bahu Edwin dan pendengar musik masih terpasang di telingaku. Aku
pun terbangun dan cukup panik dengan keadaan ini. “maaf kak.” kataku sambil
melepas pendengar musik di telingaku.<br />“maaf gak aku bangunin. Takut ganggu.”
sahut Edwin sambil bangun dari kursi dan ke luar dari bus.<br />
“ya ampun, Sekar kamu di mana sih tadi?” tanya Dela panik. Tidak mau membuat
mereka penasaran.<br />
<br />
Akhirnya aku hanya mengatakan kalau aku tadi berada di bus
para guru.<br />Seharusnya malam ini aku sudah pulas terlelap tidur. Namun
kejadian tadi membuatku tidak bisa membohongi perasaanku terhadap Edwin. Dela
dan teman–teman yang lain sudah menganggap aku membenci Edwin. Tapi, secepat ini
perasaanku berubah hanya karena kejadian singkat yang cukup konyol itu. Apa
jadinya jika mereka tahu hal ini. Apapun yang terjadi dengan perasaanku ini, aku
berkomitmen tidak akan memberitahu kepada siapa pun termasuk pada Dela.<br />
<br />
Hari demi hari ku lewati dengan sewajarnya. Di luar aku memang terlihat masih
membenci Edwin. Namun di dalam, aku sudah memvonis Edwin adalah cinta pertamaku,
yang tidak penting untuk ku ceritakan pada orang lain. Biarlah perasaan ini
bermain dengan sendirinya. Untuk pertama kalinya. Seorang laki–laki hinggap
dengan mudahnya di hatiku. “Kak Edwin keren banget ya kalau lagi main basket..”
Kata salah satu temanku.<br />“mana? Biasa aja sih.” sahutku sinis. Ya, seperti
yang aku bilang tadi. Di luar aku memang sok membenci. Namun di dalam, aku
benar–benar kagum dengannya.<br />
Saat ku melintas di depan kelas Edwin bersama Dela, ku melirik ke dalam dan
ku tersenyum saat ia memandangku.<br />“Cie senyum senyum sendiri..” Kata
Dela.<br />“ha? Enggak.” sahutku menyembunyikan hal ini. <br />
<br />
Tak bisa berlama–lama lagi aku menyembunyikan hal ini. Terutama kepada Dela.
Namun di samping itu aku tidak mau mengaku jika sekarang Edwin menjadi cinta
pertamaku, bahkan saat Edwin menawarkanku pulang bersamanya di depan
teman–temanku. Tidak mungkin aku menerima ajakannya begitu saja. Sedangkan aku
harus menyembunyikan perasaanku ini. Hal ini sangat mengejutkan teman–temanku
dan jujur saja aku menyesal saat itu. Namun, Penyesalanku yang sebenarnya
terjadi saat ku mendustai perasaanku sendiri. Dan saat itu aku tak bisa
memaafkan diriku sendiri.. sampai kapanpun.<br />
<br />
Senja itu entah mengapa perasaanku menyuruhku untuk berjalan kaki pulang.
Padahal saat itu Dela sudah menawarkanku beberapa kali utuk ikut dengannya. Tapi
ku kira lebih baik aku berjalan kaki. Aku mulai menikmati perjalananku.
Pikiranku melayang entah ke mana hingga aku tak menyadari sebuah truk sampah
besar melaju ke arahku dengan cepatnya. Aku baru tersadar saat truk itu
membunyikan belnya. Namun, tidaklah mungkin aku dapat menghindari laju truk itu
dengan cepat. Kalau pun aku berusaha menghindarinya itu pasti akan sia-sia.
Solusi satu-satunya adalah pasrah. Pandanganku kosong ke hadapan truk yang
melaju ke arahku. “Ayah, aku datang.” kataku sambil memejamkan mata. <br />
<br />
Kejadian itu berlalu sangat cepat. Tubuhku terasa terbawa dan terdorong ke
pinggir jalan. Bukan karena truk. Tetapi karena seseorang yang mendorongku. Saat
aku membuka mata ku kira aku akan bertemu Ayah. Namun ternyata aku masih ada di
sekitar jalan tadi. “aku masih hidup..” Kataku. Aku telah diselamatkan
seseorang. Aku langsung berlari menghampiri kerumunan orang yang berada di
tengah jalan. “Delaaaaa…” teriakku sambil menyelip di antara kerumunan orang.
<br />
<br />
“Sekar, apa yang terjadi?” teriak Dela yang menggenggam tanganku dari
belakang. Aku menoleh ke arahnya dan aku sangat terkejut.<br />“apa?” teriakku
kaget dengan mata terbelalak. Ternyata bukan Dela yang menyelamatkanku. Lalu
siapa yang terbaring di jalan ini? Secepat kilat aku masuk lagi di antara
kerumunan tersebut. Tak ku sangka. “Kak Edwin?” teriakku histeris.<br />
<br />
Aku langsung bersimpuh di samping Edwin yang tak sadarkan diri. Darah
bersimbah di antara kepala dan hidungnya. Seragam putihnya diselimuti dengan
lautan darah. Ku tak bisa berkata apapun melihat apa yang ku lihat. Air mataku
memberontak ingin ke luar. Sekujur tubuhku gemetar dan jantungku berdebar
kencang. Saat suara ambulans terdengar, orang–orang mengangkat Edwin dengan
cepat. Aku masih tak sanggup berdiri. Aku hanya memandangi kerumunan orang yang
pergi satu per satu. Termasuk Dela yang ikut mengantarkan Edwin dengan
ambulans.<br />
<br />
Pandangan kosongku akhirnya tertuju ke suatu benda. Benda itu tidak lain
adalah seuntai pendengar musik milik Edwin yang tergeletak di jalan tersebut.
Aku pun menggambil dan mengamatinya. Seketika saja di pikiranku terlintas
kejadian di bus dulu saat Edwin memasangkan benda ini ke telingaku, saat Edwin
hampir menyerempetku, saat Edwin mengenaiku bola basket, saat aku tertidur di
bahu Edwin, saat Edwin memberikan senyum pertamanya kepadaku dan ku tak bisa
bayangkan ke nekatannya menyelamatkan nyawaku tadi. Air mataku makin mengalir
deras dan aku langsung berlari menuju Rumah Sakit menyusul Edwin.<br />
<br />
Sesak rasanya dada ini ketika hari itu adalah hari terakhir Edwin. Betapa tak
percayanya aku, mengetahui kepergian Edwin hanya karena menyelamatkan
nyawaku.<br />“apa yang sudah aku lakukan? Aku membunuh cinta pertamaku?” Tak ada
lagi yang bisa menghentikan tangisku. Kehilangan ini sangat membunuh batinku.
Yang ada di pikiranku saat itu hanyalah aku akan menyusul Edwin. Aku akan
dibenci semua orang karena kecelakaan itu. Aku hanya bisa memeluk Mama dan Dela.
Aku kehabisan kata–kata lagi. Ketakutan, Kesedihan, dan rasa tidak percaya.
Hanya itu yang ku kenal saat itu.<br />
<br />
Bendera Kuning menghiasi rumah duka Edwin. Acara pemakaman berlalu sangat
singkat. Aku sudah dapat membayangkan betapa mirisnya keluarga Edwin. Termasuk
pengagum–pengagumnya. Bukan hanya mereka. Aku pun merasa kehilangan sosok Edwin
yang setiap hari aku hindari. Penyesalan karena membohongi perasaan sendiri
telah menghantuiku. Belum sempat Edwin tahu jika dia adalah cinta pertamaku.
Belum sempat teman–temanku tahu kalau sebenarnya selama ini aku menyembunyikan
perasaan cinta terhadap Edwin. Walaupun keluarga dan teman–teman Edwin sudah
memaafkanku, tetapi diriku sendiri tidak akan bisa memaafkan apa yang telah ku
lakukan selama ini.<br />
<br />
Hari mulai senja, di dalam kamar aku menyender di sisi tembok sambil
mendengarkan lagu penghantar tidurku. Aku mengambil bingkai foto Ayah dan
pendegar musik milik Edwin yang tergeletak di jalan saat itu. Tak sanggup ku
menahan air mata yang menyesakkan batinku ini. Ku hanya bisa menangis sambil
memandangi kedua benda itu. <br />
<br />
“Ayah, sekarang Sekar tahu, betapa beratnya menjadi seorang remaja. Bukan
karena tugas yang menumpuk di sekolah. Tapi karena sakitnya mengikhlaskan orang
yang kita sayang. Sekar janji, Sekar tidak akan pernah berbohong lagi. Sekar
tidak akan pernah gengsi dan munafik dengan apapun itu. Sekar tidak mau
kehilangan orang yang Sekar sayang untuk ketiga kalinya. Ayah, Sekar titip Kak
Edwin ya. Dia baik kok. Dia tidak akan menyakiti Ayah di sana. Dan Ayah harus
tahu, kalau dia adalah cinta pertamaku..” <br />
<br />
“Maafkan aku Kak Edwin.”<br />“Cahaya senja menutup alur kita berdua..”<br />
<br />
<br />
Cerpen Karangan: Cintya Kardev<br />Facebook: Cintya KaruniadeviUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-834201427114120838.post-16312611871495953422016-01-21T23:15:00.007-08:002016-01-21T23:15:48.715-08:00Dia, My First LoveCinta, aku tidak begitu paham apa itu cinta. Bicara soal cinta aku
benar-benar payah. Hal yang konyol di usiaku yang 20 tahun aku belum pernah
pacaran. Menyedihkan, bukan? Apa aku tidak laku atau aku gadis tak normal? Haha,
jangan sampai itu terjadi dalam hidupku. Tapi apa aku pernah Jatuh Cinta? <br />
Entahlah aku tak yakin apa aku jatuh cinta. Ada seseorang yang menarik
perhatianku sampai sekarang dan aku belum bisa melupakannya. Dia teman
sekelasku, 3 tahun sekelas bukankah waktu yang cukup lama untuk saling mengenal.
Tapi tidak dengan kami berdua, dia pria pendiam bahkan sangat pendiam. Jangankan
untuk mengobrol seperti yang lain betegur sapa saja bisa ku hitung berapa
kali.<br />
<br />
Andrean Girsang namanya, pria keturunan Batak, dia siswa satu-satunya berbeda
keyakinan dengan kami mungkin hal itulah yang membuatnya sedikit pendiam.
Tampan, rajin, pandai bermain berbagai alat musik, ditambah suaranya yang merdu
gadis mana yang tidak tegila-gila padanya, tapi tidak denganku sejak dia
meperkenalkan diri di depan kelas aku tidak begitu tertarik dengannya. Tapi
suatu hari entah setan apa yang merasukinya, atau dia geger otak, atau dia salah
makan entah apalah itu. Dia berubah.<br />
Ruang kesenian begitu ramai, suara riuk pikuk terdengar di setiap sudut
ruangan. Pinjam ini, pinjam itu semua nampak begitu riuh. Aish, aku mendesah
kesal mendapati kuasku satunya hilang. Ratih seingatku dia yang meminjamnya, aku
segera menghampirinya dengan wajah kesal. “Aish kau ini kalau sudah
dikembalikan.” Gerutuku kesal.<br />
<br />
“Hehehe. Maaf Mega lupa.” Rengeknya manja. Aku kembali lagi ke tempatku dan
melewati Andre.<br />“Jangan lihat.” Aku terkesiap kaget saat dia menutupi
lukisannya dengan badannya.<br />“Hah. Siapa yang mau lihat orang cuma lewat
doang.” Ucapku seraya pergi. <br />
Bukan Mega jika tidak jail, aku membalikkan badanku hendak melihat lukisannya
tapi usahaku gagal.<br />“Apa?” Pekiknya sedikit keras.<br />“Aish.” Aku kali ini
benar kembali ke tempatku, entah sejak kapan dia mengikutiku.<br />“Wow. Jelek
sekali.” Aku terkejut dengan sigap aku menutupi lukisanku dengan badanku sama
seperti yang dia lakukan tapi bandannya lebih tinggi mampu menepisku.<br />“Kau?
Sejak kapan kau di sini?”<br />“Jelek…” Ejeknya pada lukisanku. <br />
<br />
Aku berlari ke tempat dia tadi berharap dapat membalasnya ejekannya, namun
nihil lukisannya tak ada lagi di tempat. Dengan raut yang kesal aku kembali ke
tempatku dan masih diikuti olehnya. “Jelek…” Lagi-lagi kata itu ke luar dari
bibirnya.<br />“Masa bodoh yang penting aku buat.” Cecarku kesal.<br />“Jelek… Jelek
banget.” Terus dan terus dia mengejek lukisanku, tapi herannya aku bukan kesal
malah ketawa karena aku tidak pungkiri jika lukisanku memang Jelek.<br />
“Cie… Cieee… Ciee…” Kami terdiam saat seruan sorak teman-teman kepada
kami.<br />“Cie, Mega sama Andre pacaran ya?” Goda Riani teman karibku.<br />“Apa
sih, emang kita ngapain?” Jawabku sedikit gugup.<br />
<br />Kami kembali membenarkan
posisi, aku kembali menghadap lukisanku, dan dia kembali ke
tempatnya.<br />Wajahku sedikit merona aku bisa rasakan dari hawa yang ku rasakan
begitu panas.<br />
Sejak kejadian itu dia benar-benar telah berubah. Setiap kali bertemu
denganku dia selalu mengejekku, dia bahkan berani minta tulis padaku, dan hal
apapun yang aku lakukan pasti jadi bahan ejekannya. Dengan perubahannya harusnya
aku bahagia setidaknya ada perubahan pada dirinya, tapi kenapa aku merasa sedih.
Iya, aku sedih semakin hari aku bersamanya ada sesuatu yang mengusik hatiku yang
amat aku sadari itu. Cinta. Aku jatuh cinta padanya haruskah itu terjadi,
mengingat siapa aku, siapa dia, apa rasa ini boleh terjadi? <br />
<br />
Yang aku takutkan bukan beda keyakinan, tapi cintaku yang sepihak karena aku
tahu dia menyukai gadis lain yang tak lain temanku sendiri. Ku putuskan untuk
menjauhinya agar rasaku tidak semakin dalam. Sesak yang ku rasa satu hari tidak
bicara dengannya aku begitu kosong, sepi, dan tak bergairah. Saat dia menegurku
aku hanya tersenyum, saat dia mengejekku aku hanya tersenyum. Inikah nasib cinta
sepihak. Hubungan kami semakin renggang, dia juga tidak peduli dengan
perubahanku. <br />
<br />
Hari terakhir UN, dia datang menghampiriku yang tengah sibuk maaf-maafan
dengan teman-teman yang lain.<br />“Hei!.” Aku tersenyum saat dia menyapaku, sudah
berapa lama aku tak mendengar suaranya.<br />“Hei!.” Aku berjalan
menghapirinyanya, ku ulurkan tanganku padanya.<br />“Aku minta maaf.” Ucapku
seraya tersenyum manis.<br />“Aku yang harusnya minta maaf karena aku sering
mengejekmu.” Balasnya sambil meraih tanganku. <br />
Hening, kami berdua terdiam dalam hening, “Mau foto kenangan denganku?”
Mimikku terlihat bingung dengan ucapannya. “Besok aku akan pulang ke Medan ya
apa salahnya jika aku mau berfoto dengan kawan sekelas.” Aku tidak dapat
berkata-kata, lidahku terasa kelu.<br />
<br />Secepat inikah dia harus pergi, “Oh.
Begitu.” Hening lagi, lidahku benar-benar kelu, aku tidak tahu harus berkata apa
sesak rasanya hingga aku mengeluarkan kata konyol. Aku berseru pada teman
sekelas memberitahu mereka bahwa dia akan pergi. Aku menatap wajahnya datar dia
menatapku lekat, seketika wajah ceriaku pudar, entah kenapa aku takut menatap
matanya.<br />
“Benarkah? Andre jadi kau besok pulang ke Medan?” Tanya Adit.<br />“Iya
Dit.”<br />“Kau tidak beri tahu kami jika kau pulang besok?”<br />“Iya ini memang
mendadak, aku saja terkejut.” Bug. Pukulan ringan dari Bobi yang mendarat di
perutnya membuatnya sedikit menjerit.<br />“B*rengsek kau, secepat itukah kau
harus pergi?”<br />“Demi karir sobat, aku pikir kalian mengerti.” Semua
teman-teman sekelas mendekatinya, semua sibuk berfoto terkecuali aku yang
menjauh.<br />
<br />
Semua bersorak riang melihat papan pengumuman ketika nama mereka terpapar
kata LULUS. Aku celingak-celinguk mencari seseorang di keramian, ku cari dia di
antara teman-temannya, tidak ada. Huft, aku mendengus sedih karena tidak
mendapatinya di antara ratusan siswa. Aku berjalan tanpa tahu arah, aku
benar-benar sedih. Tiba-tiba langkahku terhenti di depan kelas musik, ku
langkahkan kakiku masuk. Piano, ku lihat sosok pria tengah bermain piano di
sana, dia melirik ke arahku dan tersenyum. Ku balas senyum manis itu. <br />
<br />
Aku berjalan mendekatinya semakin dekat pria itu semakin menghilang.
Halusinasi, aku berhalusinasi. Aku duduk depan piano, mengingat saat dia bermain
piano. Tanpa sadar jemariku mulai menari pada tuts piano. I Think I Love You,
aku memainkan lagu dari Byul artis Korea. Aku masih ingat ketika aku memintanya
memainkan lagu itu dengan paksa meski dengan raut masam dia menuruti
permintaanku. Lagu pertama saat belajar piano darinya. Tanpa sadar air mataku
menetes, begitu sedihkah cinta pertamaku. Sesulit inikah Jatuh Cinta, sesakit
inikah Jatuh Cinta?<br />
<br />
<br />
Cerpen Karangan: Mega Wati<br />Facebook: Mega WatiUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-834201427114120838.post-25816857796615172812016-01-21T23:14:00.000-08:002016-01-21T23:14:02.066-08:00Cinta Pertama Tak TerlupakanNamaku Ridha usiaku 17 tahun aku sudah selesai sekolah di bangku SMK. Inilah
kisah cintaku 4 tahun yang lalu. Berawal dari ketika aku masih SMP, waktu itu
aku hanya naksir pada tetanggaku Dedhy yang beda 3 tahun dariku. Aku meminta
nomor ponselnya dari salah satu temannya, ku coba mengirimkannya sms dengan nama
samaranku Ifha. Sekitar seminggu kami saling smsan, akhirnya Dedhy mengajakku
untuk ketemuan. Tapi aku malu, maklum baru pertama kali diajak ketemuan sama
cowok. Jadi aku minta sahabatku Ifha untuk menemuinya sebentar sore. <br />
“Ifha, lo mau gak menolongku?”<br />“emm.. memangnya apa?”<br />“mm.. entar sore
lo ke rumahku ya”<br />“mau ngapain?” Ifha yang penasaran.<br />“Begini, entar sore
Dedhy mau bertemu denganku, kan dia tahunya nama gue tu Ifha. Jadi lo yang akan
menemuinya. Gue temenin kok. Mau yaa” rengekku kepada Ifha.<br />“What? Dedhy
gebetan lo dan tetangga lo juga kan” Ifha kaget, tapi sebelumnya dia udah tahu
kalau namanya yang aku pakai untuk dekat dengan Dedhy.<br />“hehehe, iya plis
tolongin aku ya.”<br />“Oke, baiklah”<br />
Sore harinya..<br />
Aku menemani Ifha bertemu dengan Dedhy di depan rumah,
tidak lama kemudian Dedhy pun datang. Setelah sejam mereka berbincang-bincang
akhirnya Dedhy kembali ke rumahnya. Ifha pun begitu. Tapi setelah pertemuan itu
Dedhy yang aku harapkan akan jadi pacarku, ternyata menyukai Ifha sahabatku,
tapi Ifha gak suka sama Dedhy karena dia tahu kalau aku naksir sama Dedhy. <br />
<br />
Silih berganti waktu rasa sukaku sedikit demi sedikit menghilang, tapi aku
dan Dedhy masih berteman dengan baik. Aku pun sering datang ke rumahnya bermain
kartu, ngobrol, dan main tenis. Aku dan teman-temanku berencana akan ke rumahnya
sore ini, kebetulan dia gak sibuk. Dedhy dan sepupunya bernama Khydung sedang
bermain tenis di kolom rumahnya, aku dan temanku pun datang menghampirinya yang
sedang asyik bermain. Aku, Ifha, dan Dedhy asyik ngobrol di belakang dan temanku
yang lainnya bermain tenis. Selesai permainan hari ini. Malam pun tiba, aku
tidak mendengarkan ponselku berdering tanda panggilan masuk, setelah ku cek
ponselku 1 panggilan tak terjawab nomor tak dikenal. Aku mengirim sms ke nomor
tadi. <br />
“Siapa ya?”<br />“Aku Khyidung.” jawabnya.<br />
Itulah awal dari perkenalan kami, aku dan dia semakin dekat. Dia mengatakan
kalau dia belum punya pacar jadi aku berniat mencarikannya pacar, tapi katanya
dia suka sama aku. Aku menerimanya tepat tanggal 29 Desember 2010. Kami lalui
masa-masa pacaran, meskipun hanya saling melihat dari kejauhan itu pun kalau dia
ke rumah Dedhy tetanggaku. Kami pernah bertemu secara langsung tapi cuma
sebentar dan hanya sekali. Cukup sebulan kami pacaran. Aku mengakhiri hubungan
ini dengan alasan yang tidak jelas. <br />
“Hmm.. sebaiknya kita bersahabat saja,” Kataku lewat sms.<br />“Terserah kamu
saja,” jawabnya singkat, mungkin dia kecewa.<br />Mulai saat itu hubungan kami
renggang, dia minta balikan tapi aku tidak tahu apa maksud dari perkataannya,
yaa.. karena aku masih polos dan baru pertama kali pacaran. <br />
<br />
Sehari setelah aku putus dengan Khyung, aku baru merasa kehilangan dan
membuatku terpuruk. Aku merasa sepi tidak ada lagi sms darinya yang penuh dengan
kata-kata manis, aku menangis sampai mataku bengkak. Di sekolah temanku bertanya
apa yang terjadi padaku dan mencoba menghiburku. Sebenarnya saat itu aku masih
mencintai Khydung sampai sekarang, mau gimana lagi semuanya sudah berakhir. Dia
sekarang udah gak ada kabar mungkin karena sibuk kuliah. Meskipun telah banyak
pria yang aku kenal rasa cintaku ini tak pernah sedikit pun pudar untuknya. Aku
berharap suatu saat nanti aku dan dia dipertemukan kembali di kehidupan yang
akan datang. <br />
The End<br />
<br />
<br />
Cerpen Karangan: Ridha Michael<br />Facebook: Ridha MichaelUnknownnoreply@blogger.com0