Minggu, 04 Oktober 2020

Dari Balik Tirai

        Di seberang sebuah hotel, saat matahari tertutup awan.
        Wanita itu bersimpuh pada jalanan yang becek. Tangannya mempermainkan sisa-sisa hujan tadi malam. Rambut kusutnya beriap diterpa angin pagi, hingga tampak jelaslah wajah rupawannya. Sebuah longdress kumal membalut tubuh sintalnya yang kotor. Namun sobekan di beberapa bagian membuat kulit putihnya jelas terlihat.
        Ia tampak tertegun takkalah seorang pejalan kaki melemparkan kepingan uang rece padanya. Ditatapnya oarang tersebut dengan bibir komat kamit layaknya sedang melafalkan do'a atau mantra. Mungkin mengucapkan terima kasih atau mungkin juga berusaha menyapa dan mengajak berbincang-bincang pada pejalan kaki tersebut, karena di hari sepagi itu belum ada seorang pun yang bisa ia ajak bicara kecuali tetesan-tetesan air hujan yang masih menggenang. Bahkan mataharipun seakan enggan untuk sedikit beramah-tamah dan menghangatkan alam. Ia tetap bersembunyi dibalik awan hitam yang sejak semalam menggayuti.
        "Bukan, Bukan" bisiknya sambil menatap pejalan kaki tersebut. Ia pun segera menundukkan wajah sambil terus mempermainkan genangan air dengan jari-jari tangannya.
        Sebuah mobil mewah berhenti di halaman parkir hotel tersebut, dan tampaklah seseorang pria dan wanita berjalan menuju pintu hotel.
        Ia mengangkat wajah dan memandang kedua insan tersebut. Namun kemudian ia mengelengkan kepala dengan dahi mengkerut.
        "Bukan, bukan" gumanya. Wajahnya kembali merunduk.
        Hari beranjak siang. Hotel mulai ramai oleh para pengunjung dan jalan dipenuhi oleh kendaraan dan para pejalan kaki. Menegakkan wajah dan matanya meneliti satu persatu dari setiap orang yang dilihatnya.
        "Ah, bukan. Tak ada satupun. Tak ada...,," ucapnya lesu. Wajahnya menampakkan kekecewaan namun matanya tetap meneliti. Ia sama sekali tak memperdulikan kepingan-kepingan uang rece yang berhamburan di hadapannya, yang dilemparkan oleh para pejalan kaki.
        Matahari semakin meninggi dan membakar kulit. aan hitam musna seketika. Kesibukan kota siang itu mulai terlihat seperti biasanya. Kendaraan berlalu lalang menebar asap yang menyesakkan. Deru bis kota bersahutan dengan teriakan pengamen yang menyuguhkan tembang-tembang. Para pedagang kaki lima dan kedai-kedai makanan di penuhi pembeli. Harum makanan menggelitik hidung, membuat perut keroncongan di siang hari bolong begitu.
        Namun wanita tersebut seperti tak terganggu oleh suasana yang ada. Kedua matanya tetap memandangi dan meneliti para tamu hotel dan setiap yang lewat di hadapannya, namun berkali-kali pula ia menggelengkan kepala. Bibirnya terus berkomat kamit dan sesekali tangannya menggaruk tubuh yang dihinggapi lalat dan nyamuk.
        Ketika matahari telah bergulir ke sebelah barat, wanita itu tetap dalam penantian. Raut mukanya terlihat resah. Desisan sesekali terdengar dari mulut yang kadang diselingi oleh cipratan ludah.
    Hingga warna jingga membayangi langit dan kemudian matahari perlahan mulai tenggelam, kedua matanya masih tetap meneliti dan mencari-cari. Ia tak beranjak dari tempat itu kecuali saat mengais sisa makanan dari tong sampah.
        "Dia...mana dia? mengapa tak datang juga? Kemanakah dia?" Bibir keringnya bergumam. Tangannya mengusap wajah pucatnya. Matanya dengan nanar memandang orang-orang yang masih tersisa di penghujung hari. Lesu, lelah, putus asa... Akhirnya dengan lemas ia merebahkan tubuh dan dengan segera matanya terpejam. Rambut kusamnya menutupi wajah dan bagian dada yang sedikit terbuka. Sisa-sisa makanan yang tadi ia dapat dari tong sampah berceceran di sampingnya. Namun ia tak peduli. Ia tertidur dalam rasa lelah dan penat, beralsakan bumi, beratapkan langit, dan berselimutkan uadara malam gemintang berkelip, mengucapkan selamat malam padanya.
****
        Dimalam itu, di sebuah kamar hotel yang temaram, dua jiwa berpadu rindu, dua raga bertautan dalam cumbu. Seperti malam-malam sebelumnya, malam itu pun mereka lewati dengan penuh gairah. Beberapa adegan percintaan dan beberapa kisah romantis tercipata dalam beberapa malam di kamar itu, dan terukir menjadi sekelumit sejarah dalam kehidupan mereka. Dan setiap suatu malam berujung, mereka mulai lagi malam yang baru, dengan kisah cinta yang baru, namun dengan gelora yang tetap membara. Seperti halnya malam ini, keduanya terbuai keindahan yang tak berujung.
        "Roy..," terdengar bisikan seorang wanita.
        "Hmmmm..?" gumam sang pria.
        "Apakah yang kita lakukan ini benar?" Tanya wanita tersebut lirih.
        "Tentu saja. Kita saling mencintai. Lantas apa lagi?" Jawab si pria
        "Tapi, benarkah kau akan bertanggung jawab dan menikahiku?" bisik wanita tersebut
        "Menikahimu? Tentu saja. Tapi sementara, kita nikmati saja yang ada. Kau mencintaiku, aku mencintaimu, itu sudah cukup bagi kita,"
        "Tapi... Aku ingin secepatnya. Aku ingin kau segera menikahiku," suara wanita itu terderdengar resah.
        "Kenapa?"
        "Karena... karena aku lelah berbadan dua. Benih yang telah kau semaikan di rahimku ini telah tumbuh,"
        "Apa?" Tanya pria itu dengan nada terkejut.
        "Ya, aku hamil dan aku sangat bahagia. Bukankah kau pun begitu? Bukankah kaypun bahagia?" di balik temaramnya lampu, sekilas terlihat wajah riang wanita tersebut.
        Pria itu diam. Pikirannya berkecamuk. Wajahnya berubah pucat dan jantungnya berdegup kencang. Keringat dingin perlahan membasahi dahi.
        "Kenapa diam? Bukankah kau pun bahagia?" ulang wanita tersebut sambil memeluknya erat
        "Ya.. ya, aku bahagia" ucap pria tersebut dengan suara bergetar. Wanita itu senyum senang. Namun ia tak menangkap getaran pada suara kekasihnya.
****
        Roy memarkirkan mobilnya di tempat biasa, di depan sebuah hotel dimna ia sering menghabiskan waktu. Tempat dimna ia menikmati dan menjalani hidup sebagaimana adanya tanpa banyak terbebani. Ia menikmati hidupnya sebagaimana ia menikmati berbagai tubuh indah yang berhasil masuk dalam pelukannya.
        Saat itu, dari sebrang sana, sepasang mata tampak memperhatikanya. Mata itu terbeliak dengan wajah tegang. Kemudian sesat menyipit dengan kening berkerut. Namun lagi, mata itu terbeliak, Hal itu terjadi berulang-ulang. Mimik wajah pun berubah-ubah mengiringi gerakan mata.
        Roy membuka pintu mobil dan tanganya menyambut tangan kekasihnya. Sebuah senyum yang memikat dilemparkan Roy saat membuka pintu mobil. Dengan sedikit membukuk dan seulas kecupan di tangan sang kekasih, Roy mempersilahkan kekasihnya turun.
        Sepasang mata itu kembali terbeliak. Digosoknya mata itu dengan tanganya untuk meyakinkan apa yang sedang dilihatnya. Tiba-tiba ia berdiri. Dengan tertatih-tatih, ia berjalan menyebari jalan yang ramai menuju halaman parkir hotel. Bibirnya meringis kesakitan takkala ia rasakan peut buncitnya bergerak.
        "Roy..Roy," bibir keringatnya berteriak.
        Roy, yang sedang menggandeng kekasihnya dengan penuh cinta, menghentikan langkah dan menoleh seketika. Dilihatnya seoarang wanita dengan langkah tertatih-tatih menghampirinya. Pakaianya kumal dan tubuhnya menebar bau busuk. Kedua tangan wanita itu memegangi perut buncitnya.
        "Siapa dia?" Tanya gadis di samping Roy sambil menutupi hidungnya dengan tangannya.
        "Tau! Orang gila kayaknya," jawab Roy.
        "Tapi, Kenapa dia tau namamu?" gadis itu bertanya lagi. Roy menggedikan bahu dan segera berbalik arah. Namun sebuah tangan meraihnya
        "Roy, aku Lina. Aku menunggumu lama sekali. Bayi kita akan segera lahir," ujar wanita itu dengan wajah memelas.
        "Aku tak mengenalimu, dasar orang gila! Pegi sana, badanmu bau busuk," Roy menepis tangan itu dengan jijik.
        "Satpam, tolong singkirkan orang gila ini,. Mengganggu saja," teriak pada satpam.
        "Hush... pergi sana. Dasar orang gila," usir satpam sambil memamerkan pentungannya. Wanita itu pergi dengan tubuh terseok-seok.
****
        Wanita itu menyandarkan tubuh pada sebuah pohon besar. Wajahnya kusam dan kotor dengan bibir kering pecah-pecah. sang bayu mempermainkan rambutnya panjangnya yang kusut dan sesekali membuat longdress kumalnya tersingkap. Kaki yang telanjang terlihat kotor dan pecah-pecah. Kulitnya nampak diselimuti debu dan daki yang tertumpuk yang semuanya itu menebar bau tidak sedap. 
        Bibirnya komat-kamit dan sesekali kepalanya menggeleng. Tangannya menunjuk-nujuk dan kadang membentak setiap orang yang lewat didepannya. Derai tawa kerap keluar dari mulutnya yang dipenuhi busa ludah.
        Langit gelap, kilat menyambar, halilintar menggelegar. Tak terelakan, air hujan mengucur denga derasnya, membasahi setiap benda yang berada dibawahnya.
        Wanita itu berdiri tegak dengan wajah menantang langit. Kedua tangannya terentang keatas. Rambut panjangnya beriap mengikuti arah sang bayu. Derai tawa, yang sebenarnya mirip lengkingan, keluar dari bibir mengiringi gemuruhnya air hujan.
        Di seberang sana, dari balik tirai pada sebuah kamar hotel yang hangat, sepasang mata memperhatikannya.
        "Tungguhlah seseorang akan segera menyusulmu dan kau tidak akan sendirian lagi" gumamnya sambil menoleh pada tubuh indah di atas ranjang yang sedang tertidur lelap. Kemudian ia tersenyum aneh, senyum penuh misteri.

Jumat, 02 Oktober 2020

Dara Di Batas Usia

        Dara berkulit gelap itu termenung dengan tangan kiri tertopang ke dagu. Mata lelahnya menerobos pekatnya malam dari balik gorden yang sedikit tersingkap. Desah kegundaan tak henti keluar dari mulutnya. Sesekali disekanya air mata yang menitik melintasi pipi yang memang tak mulus. Tak mulu memang. Namun pipi tersebut masih bisa merasakan kulit punggung tangannya yang kini mulai mengendur seiring dengan kerut penuaan yang menghiasi bagian wajah.
        Malam semakin larut. Semilir angin hinggap di pucuk-pucuk yang kemudian bergoyang pelan. Dingin udara malam terasa menusung hingga ke tulang. Sang dara meringis. Ada segaris rasa sakit mengiris seiring hembusan angin. Ada setangkup haru mengoyak kala udara malam mencengkram. Ringkih. Pilu
        Dalam nafas yang terhela setiap waktunya. ada doa yang selalu terpanjat, sebagaimana doa saat itu, akan datangnya seseorang pendamping hidup. Seperti menjadi rutinitas, jika alam mulai gelap, ia akan mengintip malam melalui celah gorden yang terbuka, menembus kepekatan diantara gigilnya alam. selalu ia berharap, ada rahasia alam yang terkuak di gelap malam, yang dapat memberinya jawaban tentang teka-teki atas penantiaannya tersebut. dan diantara gelapnya semesta, langit raya dan gemintangnya adalah hal yang paling ia rindukan.
        Ada banyak kerlipan bintang disana. Sebersit harapan terlintas: satu dari ribuan kerlip cahaya tersebut akan jatuh melesat dengan pijarnya cahayanya, yang kemudian muncul dihadapannya sebagai seorang pangeran yang datang dikhususkan untuknya. Datang sebagai seseorang yang kemudian akan menemani dan menjadi pengisi kekosongan hatinya, menjadi penenang jiwanya yang gundah.
        Namun sayang, bintang jatuh dan pangeran hanyalah dongeng belaka, hanya cerita khayal semata. Tak ada bintang jatuh, tak ada pangeran, dan tak ada pula pendamping baginya. Hingga kini, hingga batas usia bagi lazimnya perempuan dewasa untuk berumah tangga, belum juga ia mendapat belahan jiwa.
        Empat puluh lima tahun. Ya, di usianya tersebut belum juga Tuhan memberkahinya jodoh. Cukuplah usia setua itu bagi seorang perempuan untuk mempunyai suami dan menimang dua atau tiga orang anak. Sebagaimana kawan-kawannya, kerabatnya, dan bahkan dua adik perempuannya yang sudah menikah melangkahinya. Dan tadi siang, tepatnya di tengah hari yang menyengat, adik bungsunya dengan ragu-ragu memberitahu dan meminta izin untuk melangkahinya pula. Sejenak ia terdiam, menatap sang adik yang menunggu dengan kepala tertunduk. Akhirnya ia mengangguk juga. Sang adik bersuka ria yang kemudian  memeluknya penuh dengan kegembiaraan. Air mata merembes, membasahi kelopak dan sudut-sudut matanya. Sang adik melepaskan pelukan, mundur perlahan, dan menatapnya dengan haru biru. Namun kemudian ia berujar.
        "Tak perlu meminta maaf. Tangis ini adalah tangis bahagia untukmu, bukan tangis kesedihan" Ucapnya. Namun percayalah! Hatinya saat itu meleleh, seperti melelehnya es krim di tangan keponakannya yang terbakar matahari siang tadi.
        Sungguh pilu hidup tanpa seoarang pendamping. Tak ada tempat untuk mengadu, tak ada penghibur dikala sendu. Dan seperti kebiasaan wanita tanpa pendamping, ia pun sibuk digunjing, menjadi buah bibir orang sekeliling. Dilempar kesan kemari tak ada henti-hentinya. Dirinya seolah menjadi cerita menarik yang sepertinya tak akan pernah usai. Cerita tentang perempuan yang akan tetap menjadi perawan karena tak menikah.
        Dulu sewaktu umurnya masih belia dan pipinya masih ranum, beberapa pria ingin mempersuntinya. Mereka datang dengan berbagai macam janji dan buah tangan. Ada yang datang dengan gelar dan kedudukan. Pun ada yang datang dengan sebongka cinta yang konon katanya bongkahan tersebut bisa berkuasa atas segalanya. Janjipun terbuai dari mulut mereka. Ada yang menjanjikan gunung mas. Ada yang menjanjikan takhta dan kejayaan. Dan pula ada yang menjanjikan lautan cinta dengan romantisme buta di dalamnya.
        Namun tak satupun dari mereka mampu menggoyahkan apalagi meruntuhkan hatinya. Ia memandang mereka dengan mata terpicing. Sebuah keyakinan dipegangnya kuat bahwa ini zaman moderen dimana seorang wanita akan mampu hidup sendiri setidaknya sampai semua mimpi dan angannya terkejar. Semua pinangan pun terpental, tak sanggup menembus dinding baja yang melingkupi hatinya. Dan sang dara terus berlari mengejar puncak kehidupan yang sebenarnya tak lebih dari sebuah fatamorgana. Ia meninggalkan semua di bawahnya dan tersenyum penuh kemenangan saat mencapai puncak mimpi.
        Detik bergulir, masa berselang. Beberapa letusan pesta kembang api di pergantian tahun telah berulang-ulang berlalu melewatinya. Lambat laun kulitnya mulai mengendur dan pengelihatannya merabun. Saat ia sadar, ia mendapati tak seorangpun di sekelilingnya. Kawan-kawan dan kerabat telah menjauh dan sibuk dengan urusan keluarga masing-masing. Pria pun sepertinya tak ada lagi yang tertarik padanya. Tak ada apapun dan seorangpun ia miliki kecuali sepi yang menikam. Seperti sepinya ubun-ubun malam yang kini selalu ia lalui dalam sesal dan penantian.

Diberdayakan oleh Blogger.

Blogroll

About