Minggu, 04 Oktober 2020

Dari Balik Tirai

        Di seberang sebuah hotel, saat matahari tertutup awan.
        Wanita itu bersimpuh pada jalanan yang becek. Tangannya mempermainkan sisa-sisa hujan tadi malam. Rambut kusutnya beriap diterpa angin pagi, hingga tampak jelaslah wajah rupawannya. Sebuah longdress kumal membalut tubuh sintalnya yang kotor. Namun sobekan di beberapa bagian membuat kulit putihnya jelas terlihat.
        Ia tampak tertegun takkalah seorang pejalan kaki melemparkan kepingan uang rece padanya. Ditatapnya oarang tersebut dengan bibir komat kamit layaknya sedang melafalkan do'a atau mantra. Mungkin mengucapkan terima kasih atau mungkin juga berusaha menyapa dan mengajak berbincang-bincang pada pejalan kaki tersebut, karena di hari sepagi itu belum ada seorang pun yang bisa ia ajak bicara kecuali tetesan-tetesan air hujan yang masih menggenang. Bahkan mataharipun seakan enggan untuk sedikit beramah-tamah dan menghangatkan alam. Ia tetap bersembunyi dibalik awan hitam yang sejak semalam menggayuti.
        "Bukan, Bukan" bisiknya sambil menatap pejalan kaki tersebut. Ia pun segera menundukkan wajah sambil terus mempermainkan genangan air dengan jari-jari tangannya.
        Sebuah mobil mewah berhenti di halaman parkir hotel tersebut, dan tampaklah seseorang pria dan wanita berjalan menuju pintu hotel.
        Ia mengangkat wajah dan memandang kedua insan tersebut. Namun kemudian ia mengelengkan kepala dengan dahi mengkerut.
        "Bukan, bukan" gumanya. Wajahnya kembali merunduk.
        Hari beranjak siang. Hotel mulai ramai oleh para pengunjung dan jalan dipenuhi oleh kendaraan dan para pejalan kaki. Menegakkan wajah dan matanya meneliti satu persatu dari setiap orang yang dilihatnya.
        "Ah, bukan. Tak ada satupun. Tak ada...,," ucapnya lesu. Wajahnya menampakkan kekecewaan namun matanya tetap meneliti. Ia sama sekali tak memperdulikan kepingan-kepingan uang rece yang berhamburan di hadapannya, yang dilemparkan oleh para pejalan kaki.
        Matahari semakin meninggi dan membakar kulit. aan hitam musna seketika. Kesibukan kota siang itu mulai terlihat seperti biasanya. Kendaraan berlalu lalang menebar asap yang menyesakkan. Deru bis kota bersahutan dengan teriakan pengamen yang menyuguhkan tembang-tembang. Para pedagang kaki lima dan kedai-kedai makanan di penuhi pembeli. Harum makanan menggelitik hidung, membuat perut keroncongan di siang hari bolong begitu.
        Namun wanita tersebut seperti tak terganggu oleh suasana yang ada. Kedua matanya tetap memandangi dan meneliti para tamu hotel dan setiap yang lewat di hadapannya, namun berkali-kali pula ia menggelengkan kepala. Bibirnya terus berkomat kamit dan sesekali tangannya menggaruk tubuh yang dihinggapi lalat dan nyamuk.
        Ketika matahari telah bergulir ke sebelah barat, wanita itu tetap dalam penantian. Raut mukanya terlihat resah. Desisan sesekali terdengar dari mulut yang kadang diselingi oleh cipratan ludah.
    Hingga warna jingga membayangi langit dan kemudian matahari perlahan mulai tenggelam, kedua matanya masih tetap meneliti dan mencari-cari. Ia tak beranjak dari tempat itu kecuali saat mengais sisa makanan dari tong sampah.
        "Dia...mana dia? mengapa tak datang juga? Kemanakah dia?" Bibir keringnya bergumam. Tangannya mengusap wajah pucatnya. Matanya dengan nanar memandang orang-orang yang masih tersisa di penghujung hari. Lesu, lelah, putus asa... Akhirnya dengan lemas ia merebahkan tubuh dan dengan segera matanya terpejam. Rambut kusamnya menutupi wajah dan bagian dada yang sedikit terbuka. Sisa-sisa makanan yang tadi ia dapat dari tong sampah berceceran di sampingnya. Namun ia tak peduli. Ia tertidur dalam rasa lelah dan penat, beralsakan bumi, beratapkan langit, dan berselimutkan uadara malam gemintang berkelip, mengucapkan selamat malam padanya.
****
        Dimalam itu, di sebuah kamar hotel yang temaram, dua jiwa berpadu rindu, dua raga bertautan dalam cumbu. Seperti malam-malam sebelumnya, malam itu pun mereka lewati dengan penuh gairah. Beberapa adegan percintaan dan beberapa kisah romantis tercipata dalam beberapa malam di kamar itu, dan terukir menjadi sekelumit sejarah dalam kehidupan mereka. Dan setiap suatu malam berujung, mereka mulai lagi malam yang baru, dengan kisah cinta yang baru, namun dengan gelora yang tetap membara. Seperti halnya malam ini, keduanya terbuai keindahan yang tak berujung.
        "Roy..," terdengar bisikan seorang wanita.
        "Hmmmm..?" gumam sang pria.
        "Apakah yang kita lakukan ini benar?" Tanya wanita tersebut lirih.
        "Tentu saja. Kita saling mencintai. Lantas apa lagi?" Jawab si pria
        "Tapi, benarkah kau akan bertanggung jawab dan menikahiku?" bisik wanita tersebut
        "Menikahimu? Tentu saja. Tapi sementara, kita nikmati saja yang ada. Kau mencintaiku, aku mencintaimu, itu sudah cukup bagi kita,"
        "Tapi... Aku ingin secepatnya. Aku ingin kau segera menikahiku," suara wanita itu terderdengar resah.
        "Kenapa?"
        "Karena... karena aku lelah berbadan dua. Benih yang telah kau semaikan di rahimku ini telah tumbuh,"
        "Apa?" Tanya pria itu dengan nada terkejut.
        "Ya, aku hamil dan aku sangat bahagia. Bukankah kau pun begitu? Bukankah kaypun bahagia?" di balik temaramnya lampu, sekilas terlihat wajah riang wanita tersebut.
        Pria itu diam. Pikirannya berkecamuk. Wajahnya berubah pucat dan jantungnya berdegup kencang. Keringat dingin perlahan membasahi dahi.
        "Kenapa diam? Bukankah kau pun bahagia?" ulang wanita tersebut sambil memeluknya erat
        "Ya.. ya, aku bahagia" ucap pria tersebut dengan suara bergetar. Wanita itu senyum senang. Namun ia tak menangkap getaran pada suara kekasihnya.
****
        Roy memarkirkan mobilnya di tempat biasa, di depan sebuah hotel dimna ia sering menghabiskan waktu. Tempat dimna ia menikmati dan menjalani hidup sebagaimana adanya tanpa banyak terbebani. Ia menikmati hidupnya sebagaimana ia menikmati berbagai tubuh indah yang berhasil masuk dalam pelukannya.
        Saat itu, dari sebrang sana, sepasang mata tampak memperhatikanya. Mata itu terbeliak dengan wajah tegang. Kemudian sesat menyipit dengan kening berkerut. Namun lagi, mata itu terbeliak, Hal itu terjadi berulang-ulang. Mimik wajah pun berubah-ubah mengiringi gerakan mata.
        Roy membuka pintu mobil dan tanganya menyambut tangan kekasihnya. Sebuah senyum yang memikat dilemparkan Roy saat membuka pintu mobil. Dengan sedikit membukuk dan seulas kecupan di tangan sang kekasih, Roy mempersilahkan kekasihnya turun.
        Sepasang mata itu kembali terbeliak. Digosoknya mata itu dengan tanganya untuk meyakinkan apa yang sedang dilihatnya. Tiba-tiba ia berdiri. Dengan tertatih-tatih, ia berjalan menyebari jalan yang ramai menuju halaman parkir hotel. Bibirnya meringis kesakitan takkala ia rasakan peut buncitnya bergerak.
        "Roy..Roy," bibir keringatnya berteriak.
        Roy, yang sedang menggandeng kekasihnya dengan penuh cinta, menghentikan langkah dan menoleh seketika. Dilihatnya seoarang wanita dengan langkah tertatih-tatih menghampirinya. Pakaianya kumal dan tubuhnya menebar bau busuk. Kedua tangan wanita itu memegangi perut buncitnya.
        "Siapa dia?" Tanya gadis di samping Roy sambil menutupi hidungnya dengan tangannya.
        "Tau! Orang gila kayaknya," jawab Roy.
        "Tapi, Kenapa dia tau namamu?" gadis itu bertanya lagi. Roy menggedikan bahu dan segera berbalik arah. Namun sebuah tangan meraihnya
        "Roy, aku Lina. Aku menunggumu lama sekali. Bayi kita akan segera lahir," ujar wanita itu dengan wajah memelas.
        "Aku tak mengenalimu, dasar orang gila! Pegi sana, badanmu bau busuk," Roy menepis tangan itu dengan jijik.
        "Satpam, tolong singkirkan orang gila ini,. Mengganggu saja," teriak pada satpam.
        "Hush... pergi sana. Dasar orang gila," usir satpam sambil memamerkan pentungannya. Wanita itu pergi dengan tubuh terseok-seok.
****
        Wanita itu menyandarkan tubuh pada sebuah pohon besar. Wajahnya kusam dan kotor dengan bibir kering pecah-pecah. sang bayu mempermainkan rambutnya panjangnya yang kusut dan sesekali membuat longdress kumalnya tersingkap. Kaki yang telanjang terlihat kotor dan pecah-pecah. Kulitnya nampak diselimuti debu dan daki yang tertumpuk yang semuanya itu menebar bau tidak sedap. 
        Bibirnya komat-kamit dan sesekali kepalanya menggeleng. Tangannya menunjuk-nujuk dan kadang membentak setiap orang yang lewat didepannya. Derai tawa kerap keluar dari mulutnya yang dipenuhi busa ludah.
        Langit gelap, kilat menyambar, halilintar menggelegar. Tak terelakan, air hujan mengucur denga derasnya, membasahi setiap benda yang berada dibawahnya.
        Wanita itu berdiri tegak dengan wajah menantang langit. Kedua tangannya terentang keatas. Rambut panjangnya beriap mengikuti arah sang bayu. Derai tawa, yang sebenarnya mirip lengkingan, keluar dari bibir mengiringi gemuruhnya air hujan.
        Di seberang sana, dari balik tirai pada sebuah kamar hotel yang hangat, sepasang mata memperhatikannya.
        "Tungguhlah seseorang akan segera menyusulmu dan kau tidak akan sendirian lagi" gumamnya sambil menoleh pada tubuh indah di atas ranjang yang sedang tertidur lelap. Kemudian ia tersenyum aneh, senyum penuh misteri.

Jumat, 02 Oktober 2020

Dara Di Batas Usia

        Dara berkulit gelap itu termenung dengan tangan kiri tertopang ke dagu. Mata lelahnya menerobos pekatnya malam dari balik gorden yang sedikit tersingkap. Desah kegundaan tak henti keluar dari mulutnya. Sesekali disekanya air mata yang menitik melintasi pipi yang memang tak mulus. Tak mulu memang. Namun pipi tersebut masih bisa merasakan kulit punggung tangannya yang kini mulai mengendur seiring dengan kerut penuaan yang menghiasi bagian wajah.
        Malam semakin larut. Semilir angin hinggap di pucuk-pucuk yang kemudian bergoyang pelan. Dingin udara malam terasa menusung hingga ke tulang. Sang dara meringis. Ada segaris rasa sakit mengiris seiring hembusan angin. Ada setangkup haru mengoyak kala udara malam mencengkram. Ringkih. Pilu
        Dalam nafas yang terhela setiap waktunya. ada doa yang selalu terpanjat, sebagaimana doa saat itu, akan datangnya seseorang pendamping hidup. Seperti menjadi rutinitas, jika alam mulai gelap, ia akan mengintip malam melalui celah gorden yang terbuka, menembus kepekatan diantara gigilnya alam. selalu ia berharap, ada rahasia alam yang terkuak di gelap malam, yang dapat memberinya jawaban tentang teka-teki atas penantiaannya tersebut. dan diantara gelapnya semesta, langit raya dan gemintangnya adalah hal yang paling ia rindukan.
        Ada banyak kerlipan bintang disana. Sebersit harapan terlintas: satu dari ribuan kerlip cahaya tersebut akan jatuh melesat dengan pijarnya cahayanya, yang kemudian muncul dihadapannya sebagai seorang pangeran yang datang dikhususkan untuknya. Datang sebagai seseorang yang kemudian akan menemani dan menjadi pengisi kekosongan hatinya, menjadi penenang jiwanya yang gundah.
        Namun sayang, bintang jatuh dan pangeran hanyalah dongeng belaka, hanya cerita khayal semata. Tak ada bintang jatuh, tak ada pangeran, dan tak ada pula pendamping baginya. Hingga kini, hingga batas usia bagi lazimnya perempuan dewasa untuk berumah tangga, belum juga ia mendapat belahan jiwa.
        Empat puluh lima tahun. Ya, di usianya tersebut belum juga Tuhan memberkahinya jodoh. Cukuplah usia setua itu bagi seorang perempuan untuk mempunyai suami dan menimang dua atau tiga orang anak. Sebagaimana kawan-kawannya, kerabatnya, dan bahkan dua adik perempuannya yang sudah menikah melangkahinya. Dan tadi siang, tepatnya di tengah hari yang menyengat, adik bungsunya dengan ragu-ragu memberitahu dan meminta izin untuk melangkahinya pula. Sejenak ia terdiam, menatap sang adik yang menunggu dengan kepala tertunduk. Akhirnya ia mengangguk juga. Sang adik bersuka ria yang kemudian  memeluknya penuh dengan kegembiaraan. Air mata merembes, membasahi kelopak dan sudut-sudut matanya. Sang adik melepaskan pelukan, mundur perlahan, dan menatapnya dengan haru biru. Namun kemudian ia berujar.
        "Tak perlu meminta maaf. Tangis ini adalah tangis bahagia untukmu, bukan tangis kesedihan" Ucapnya. Namun percayalah! Hatinya saat itu meleleh, seperti melelehnya es krim di tangan keponakannya yang terbakar matahari siang tadi.
        Sungguh pilu hidup tanpa seoarang pendamping. Tak ada tempat untuk mengadu, tak ada penghibur dikala sendu. Dan seperti kebiasaan wanita tanpa pendamping, ia pun sibuk digunjing, menjadi buah bibir orang sekeliling. Dilempar kesan kemari tak ada henti-hentinya. Dirinya seolah menjadi cerita menarik yang sepertinya tak akan pernah usai. Cerita tentang perempuan yang akan tetap menjadi perawan karena tak menikah.
        Dulu sewaktu umurnya masih belia dan pipinya masih ranum, beberapa pria ingin mempersuntinya. Mereka datang dengan berbagai macam janji dan buah tangan. Ada yang datang dengan gelar dan kedudukan. Pun ada yang datang dengan sebongka cinta yang konon katanya bongkahan tersebut bisa berkuasa atas segalanya. Janjipun terbuai dari mulut mereka. Ada yang menjanjikan gunung mas. Ada yang menjanjikan takhta dan kejayaan. Dan pula ada yang menjanjikan lautan cinta dengan romantisme buta di dalamnya.
        Namun tak satupun dari mereka mampu menggoyahkan apalagi meruntuhkan hatinya. Ia memandang mereka dengan mata terpicing. Sebuah keyakinan dipegangnya kuat bahwa ini zaman moderen dimana seorang wanita akan mampu hidup sendiri setidaknya sampai semua mimpi dan angannya terkejar. Semua pinangan pun terpental, tak sanggup menembus dinding baja yang melingkupi hatinya. Dan sang dara terus berlari mengejar puncak kehidupan yang sebenarnya tak lebih dari sebuah fatamorgana. Ia meninggalkan semua di bawahnya dan tersenyum penuh kemenangan saat mencapai puncak mimpi.
        Detik bergulir, masa berselang. Beberapa letusan pesta kembang api di pergantian tahun telah berulang-ulang berlalu melewatinya. Lambat laun kulitnya mulai mengendur dan pengelihatannya merabun. Saat ia sadar, ia mendapati tak seorangpun di sekelilingnya. Kawan-kawan dan kerabat telah menjauh dan sibuk dengan urusan keluarga masing-masing. Pria pun sepertinya tak ada lagi yang tertarik padanya. Tak ada apapun dan seorangpun ia miliki kecuali sepi yang menikam. Seperti sepinya ubun-ubun malam yang kini selalu ia lalui dalam sesal dan penantian.

Rabu, 30 September 2020

Atas Nama Cinta, Atas Nama Kesetiaan

        Atas nama cinta, atas nama kesetiaan dan kasih sayang. Demi tuhan, semua itu telah membelengguku begitu erat. Tanah basa itu perlahan mengering. Rumput dan pucuk-pucuk hijau menguning. Pohon-pohon meranggas dan alam mengerang setiap kali perputaran musim berganti. Namun aku tak bergeming, tetap mematung dalam belenggu cinta dan kesetiaan

    Tanah basah lagi, tanah kering lagi. rumput hijau lagi, rumput menguning lagi. Alam meradang. Perputaran waktu telah mencekik leher dan menyeretnya kedalam lingkaran ketuaan. Kulitnya semakin mengerut dan wajahnya kusam, Rumput dan pucuk-pucuk telah berganti beberapa generasi. 

        (Beberapa pinangan datang, namun semua berujung penolakan. Dan pinangan pun pulang sia-sia, namun tegar. Dengan senyum kemenangan: Atas nama cinta, atas nama kesetiaan)

        Atas nama cinta dan kesetiaan. Aku terbelenggu, tanganku terikat, dan kakiku terpasung dalam kesetiaan. Badanku semakin membesar dan tambun. Orok dalam rahimku menendang dan menerjang-nerjang. Sesaat dia menggeliat, kemudian dia. Aku menarik nafas lega.

        Aku teringat pada malam-malam terkutuk yang menyeretku pada kenistaan ini. Udara dingin, alam senyap, pekat memukat malam.

        "Rebahlah disampingku Dik. Aku akan menitipkan cinta ini padamu" ujarnya saat itu.

        "Tapi... apakah yang aku kita lakukan ini benar?" tanyaku ragu

        "Tentu saja. Kita saling mencintai. Lantas apa lagi?" ujarnya menenangkanku.

        Aku membenarkan perketaannya. Aku tak berkutik. Dan aku tak menolak saat tangannya melucuti kain yang kupakai satu persatu dan kemudian tubuh kekarnya menindihku. Semua itu, setaip gerakan tubuhnya dan juga penerimaanku, kujabarakan sebagai arti cintaku dan cintanya. Aku diam, atas nama cinta, atas nama kesetiaan.

        Malam yang ini itu berlalu. Kemudian kutemui malam-malam indah lainnya. Seperti sebelumnya, gulitanya alam pun terlewati dengan penuh gairah. Beberapa adegan percintaan dan kasih romantis tercipta dan terukir menjadi sekelumit sejarah dlam kehidupanku. Dan setiap suatu malam berujung, aku mulai lagi dengan malam yang baru, dengan adegan cinta yang baru, namun dengan gelora yang tetap membara. Lagi, lagi,lagi dan lagi

        Aku tak peduli pada malam yang mengingatkanku. Aku tak malu pada dinding yang menunduk sendu, pada tanah malam yang basah, pada udara yang meneteskan embun-embun pagi. Aku tak perduli, aku tak merasa malu. Atas nama cinta, atas nama kesetiaan

        Dan bahkan , saat mereka mengingatkanku, dengan lantang aku berteriak.

        "Persetan dengan petuah dan nasehat kalian. Matilah. Aku berada pada jalanku" ucapku penuh kemarahan. Semua atas nama cinta, atas nama kesetiaan.

        "Tunggulah aku, Dik. Aku akan kembali suatu saat. Telah kusematkan benih dirahimu, petanda aku akan kembali. Karena itu, setiahlah padaku, waktu akan menguji kesetiaanmu,"

        Dengan lugu, aku pun menggangguk. Sompret! Kenapa aku bisa sebego itu?

    Demi tuhan. Cinta itu telah mengekangku. Kesetiaan telah membelengguku. Dan kenistaan mengiringiku. Kecaman datang bertubi-tubi. Mulut-mulut nyinyir menusukku. Sinar mata penuh jijik menamparku berulang-ulang. Aku tertunduk. Rasa malu menggelayut. Perih mengiris-iris.

        "Hhhh..," desah penuh kebingungan keluar dari mulutku, Dadaku terasa sesak dan berat. Orok semakin gencar menendang-nendang perutku. Aku meringis. Atas nama cinta, atas nama kesetiaan. Shit!

        Demi malam yang kutaburi dengan kenistaan. Demi perbuatan terkutuk yang kulakukan. Demi cinta dan kesetiaan yang begitu kuagungkan. Lihatlah: aku terduduk lesu, terpuruk dalam belenggu cinta dan kesetiaan. Namun, kenapa cinta itu tak memperdulikanku sama sekali? Kenapa ia tak menoleh pada apa yang kusebut dengan pengorbanan? Pengorbanan yang memebelenggu dalam kata kesetiaan, hingga aku tak boleh berpaling; pengorbannan yang menggantungku pada kenistaan seumur hidup; pengorbanan yang membuat kecaman dan mulut nyinyir itu mencabikku. Apakah cinta dan kesetiaan itu adalah ayat-ayat yang harus selalu kuagungkan? Keparat!

        Tanah basa lagi, tanah kerng lagi. Aku masih tertunduk, merenda penyesalan. Kabar darinya tak kunjung datang, cintapun tak menyapa. Hanya aku yang terkubur dalam kubanggan keninaan dan keputusasaan. Aku menggigil kedinginan. Aku berteriak kepanasan.

      Tak ada yang peduli. Tidak juga dengan dirinya. Nadiku semakin melemah. Namun orok itu semakin menendang keras, petanda bahwa ia semakin kuat, dan tak lama lagi lahir.

        Atas nama cinta, atas nama kesetiaan. Ah.......

        


Minggu, 27 September 2020

Aku Memang Cantik

        Perkenalkan, Namaku Cantik. Orang tuaku menamakan begitu karena mereka menginginkanku menjadi anak cantik. Dan mujur, aku memang tumbuh menjadi wanita yang cantik.
        Aku memang cantik. semua orang yang mengenalku mengakui hal itu. Wajahku oval dengan hidung mancung dan mata yang indah. Bibirku merah segar meski tanpa pemoles. Kulitku putih halus dan nampak kemerah-merahan jika panas matahari menyengat.
        "Laksana buah ranum yang setiap lelaki ingin memetiknya" kata Om Naryo, salah satu fansku.
        Rambutku hitam bergelombang. Tubuhku sintal dengan dada membusung. Badanku akan terlihat gemulai jika aku berjalan.
        "Bak gitar atau biola yang setiap lelaki ingin memainkannya" ujar Om Deni, fansku yang lain.
        Aku memang cantik. Semua orang pasti mengakuinya. Jika ada yang tidak setuju dengan pendapat itu, maka orang itu biasanya iri dengan kecantikanku. Para lelaki hidung belang sangat memujaku. Mereka selalu mendekati dan berharap dapat menikmati tubuhku, membelai kulit putihku, dan merasakan segarnya bibir merahku.
        Tetapi banyak sekali wanita yang membenciku. Mereka tidak suka jika para suami atau ayah mereka mendekatiku.
****
        Suatu hari di rumah pak Nata
        "pantas saja beberapa hari ini nggak pulang. Rupanya ngebooking perempuan jalang itu lagi," teriak bu Ria, istri pak Nata
        "Sabar, Bu, sabar. mana ada aku pergi main perempuan? aku kan mencari uang untuk kamu. Nih...," jawab pak Nata tenang. Disodorkannya beberapa lembar uang lima puluh ribuan pasa istrinya. Masih dengan cemberut, bu Ria menerima uang itu.
        "Ya, sudah. Mandi dulu sana. Air hangatnya sudah siap," suara bu Ria melunak. Ia tak lagi sewot seperti sebelumnya.
        "Untung tak ketahuan," batin pak Nata sambil mengusap dada. Diingat lagi tadi malam saat ia menyalipkan beberapa lembar ratusan ribu pada belahan dada si Cantik.
****
        Aku memang cantik. Aku tak bosan mengatakan hal itu karena aku memang cantik. Banyak lelaki bertekuk lutut karena kecantikannku. Tetapi, sebenarnya modalku bukan hnya kecantikan wajah. Ada rahasia-rahasia lain yang kumiliki untuk membuat kaum adam tak berdaya. Ingin tahu rahasianya? Ssst.... ini antara kita saja. Orang lain tak usah tahu. Pertama, aku selalu bertutur kata halus dan lembut agar meraih simpati semua orang terutama para pria. Malahan, terkadang aku pun mengenakan kerudung gaul dan baju panjang. Bukan untuk aurat, melainkan untuk menutupi profesiku sebenarnya. Kedua, aku selalu memperlakukan lelaki sesuai dengan yang mereka inginkan. Aku tahu pasti dimana letak kelemahan mereka dan aku pun punya cara agar mereka bisa berpaling dari para istrinya. Dan yang ketiga, Sssst... ini yang paling rahasia, sebenarnya aku menggunakan sedikit pellet, susuk dan jampi-jampi dari mbah dukun kepercayaanku supaya profesiku ini laku keras.
****
        Dirumah pak Ryan 
        "Prang...," suara piring pecah membuka suasana pagi. Wajah pria intu terlihat  merah dan membesi. Piring yang barusan di lemparnya pecah berkeping-keping.
        "Aku tak suka setiap kali kamu menuduhku berbuat serong," teriaknya. Bu Novi, istrinya, terdiam dengan linangan air mata di pipi. Piring pecah dan sedikit tamparan dari sang suami cukup membuatnya ketakukan setengah mati.
        "Tapi... aku melihat kamu pergi dengan perempuan itu" ujar bu Novi, di sela isak tangis
        "Dengar! Aku pergi dengannya hanya urusan bisnis. Kamu dengar? Hanya untuk urusan bisnis. Tak lebih dari itu. Dasar perempuan tak tahu diuntung!" ujar gerang. Dibanting pintu dan kemudian ia pun pergi. Bayang si cantik menari-nari di pelupuk matanya. Ingin sekali hatinya untuk segerah memeluk boneka itu.
****
        Aku memang cantik. Aku takut dengan ketuaan yang menggerogoti karena aku telah memakai susuk dari mbah dukun. Aku pun tak takut dengan kearahan suamiku jika ia tahu keberadaanku dengan lelaki lain. Malahan, ia sangat mendukung profesiku karena ia tak perlu capek-capek cari uang. Anak-anakku pun, yang juga sama cantiknya sepertiku, mendukung pekerjaanku. Dan pada mereka, yang aku sendiri tak tahu lelaki mana yang menjadi bapak mereka, ku ajarkan bagaimana caranya menekuni bidang ini. Siapa tahu mereka tertarik dengan apa yang kulakukan. Karena mereka pun tahu bahwa profesiku ini sangat menjanjikan, hi..hi..hi..
        Mungkin ada sebagian yang heran kenapa keluargaku begitu kompak. Jawabannya adalah karena aku selalu menggunakan mantra penakluk dari mbah dukun kesayanganku. Selain itu, mungkin karena nasibku yang selalu mujur bahwa aku memiliki wajah cantik dan juga keluarga yang sangat mendukung.
****
        Di penghujung malam yang dingin
        Bu Dina masih bersimpu pada sajadahnya. Mulut komat-kamit dengan kedua tangan terangkat. Butiran air mata nenbasahi kelopak dan bulu-bulu matanya.
        "Ya Allah. Sadarkanlah suamiku dari apa yang selama ini diperbuatnya. Yang dia lakukan telah lebih dari sekedar menyakiti hamba sebagai istrinya, tetapi juga telah keluar dari jalan-Mu, yaitu selalu berzina dengan perempuan jalang. Kehidupan kami pun menjadi hancur setalah ia sering pergi pada perempuan itu. Hati ini terasa sangat sakit dan hamba yakin bahwa banyak wanita-wanita lain yang merasa sakit karena perselingkuhan suaminya. Karena itu, sdarkanlah mereka, suami hamba dan juga perempuan itu. Jika tidak, maka hamba serahkan semuanya pada-Mu, yang maha mengetahui dan menguasai"
****
        Kukatan sekali lagi, aku memang cantik. Aku tak bosan dan tak akan pernah bosan mengatakan kalimat itu, seperti halnya om Diki yang tak pernah bosan merayuku untuk menjadikan istri kesekiannya. Tapi aku tak mau sedikit pun untuk menjadi istri dari para penggemarkau. Yang kuinginkan dari mereka hanyalah uang, tak lebih dari itu. Masih kuingat kata-kata rayu om beristri tuju beranak sembilan ini.
        "Kamu begitu berbakat. Permainanmu lincah dan menggemaskan. Akan kuberi semua yang kamu minta jika bersedia menjadi istriku,"ujarnya.
        Tapi segala rayuan yang ia lontarkan bahwa aku cantik, bahwa aku hebat tak akan mempan bagiku. Aku tak perku rayuan itu, aku tak butuh kegombalan itu. Aku sudah merasa cukup puas jika berhasil membuat para pria bertekuk lutut, dan para wanita merasa sakit hati dan mengancamku. Ada kepuasan tersendiri jika aku melakukan hal itu. Dan selain itu, tentu karena uang. jika uang tersedia, maka si cantik dengan segala kehebatannya menjadi milikmu tak percaya?

Jumat, 25 September 2020

Akhir Sebuah Pagi

    Tubuhku masih tergolek diatas kasur empuk dengan mata terpejam seakan tak ingin mengakhiri sisa - sisa malam yang perlahan habis. Ingatanku dengan segar men-flash back kejadian menakjubkan di malam ini namun kurasakan dengan pasti sinar matahari telah mengintip, memaksa menerobos masuk melalui celah - celah jendela seakan ingin mengingatkan kalau hari tak lagi malam. dengkuran halus terdengar dari orang yang rebah di sampingku.
    Seulas senyum tersungging di bibirku. Masih dengan mata terpejam, kugerakkan tangan dan dengan lembut jari -jari halusku mulai menulusuri lekukan wajah di sampingku. Aku mengenal lengkukan wajah dan mengenal setiap bagian dari tubunhnya dengan baik dan bahkan sangat baik. Aku mengenali semua yang merupakan bagian dari dirinya seperti aku mengenali diriku.
    Kurasakan wajahku bersinar terang seterang matahari yang menyapa alam di luar sana. Dengan perasaan hangat dan lembut, ku-rewind rekaman tadi malam yang kusimpan rapat dalam memoriku dan kemudian ku putar lambat-lambat.
    Di sebuah kamar villa di kawasan Lembang yang sejuk, sebuah tempat yang jauh dari keramaian kota Bandung, sebuah tempat yang cukup nyaman untuk melepas semua lelah dengan segalah kepenatan, sebuah tempat yang cukup aman untuk melindungi diri dari peliknya problematika hidup, dan juga sebuah tempat yang mampu membawa beberapa tahun silam kembali dalam genggamanku.
    Tadi malam di tempat itu, ketika rembulan dengan malu-malu menampakan diri, ketika gemintang berkelip tajam tanpa terhalang mendung, ketika malam semakin pekat, ketika suara jangkrik dan binatang lainnya bersahutan jauh di luar sana, ketika angin berhembus lirih ketika tembok dan seluruh isi kamar itu diam membisu, aku dan dia terhanyut, larut dalam kerinduan yang makin berkarat.
    Kerinduan akana keindahan yang selama ini selalu kami inginkan, kerinduan akan saat-saat seperti itu, yang ternyata terjadi bahkan setelah bertahun-tahun perpisahan. Tak ada suara, tak ada kata-kata. Kebisuan kami menambah bisunya ruang itu. Hanya desahan nafas yang memburu, bertarung dengan gelapnya malam yang kian pekat.
    Seulas senyum tersunggih di bibirku. jari tanganku semakin lincah menelusuri tubuh yang rebah di sampingku. Mataku masih terpejam tanpa ada keinginan untuk membukanya.
    Sungguh, malam ini begitu berbaik hati kepadaku sehingga aku bisa bermimpi dengan indah. Aku bisa melewati malam ini dengan baik dan lancar tanpa harus terbebani dengan berbagai perasaan yang selalu menghinggapi setiap malamku: merasa jijik dengan bau keringat yang selalu terasa asing meski telah sering kucium bau itu, merasa risih mendengar deru nafas penuh birahi, merasa terganggu jika ada air ludah bercampur dengan air ludahku, juga merasa perih dan tertusuk hatiku hingga aku harus meneteskan air mata.
    Sungguh malam ini begitu menakjubkan. Ia mampu mengantarkan sebuah keindahan yang kuinginkan dari beribu malamku yang terenggut. Ia mampu mewujudkan mimpi dan kerinduan yang kian berkarat setiap detiknya. Ia mampu mengubah rasa jijik, risih, terganggu, atau rasa perih hati menjadi sebuah keinginan dan harapan untuk terus bisa merasakan damainya malam ini di malam-malam lainnya. Betapa keinginan itu terus membara, betapa hasrat itu tak pernah padam meski tahun-tahun telah aku lewati dengan berbagai dinamika kehidupan.
    Sentuhan jari-jari tanganku sepertinya tidak mengusik tidur lelepnya. Ia hanya menggeliat sejenak dan kemudian terlelap lagi. Akupun sama sekali tak berniat membangunkannya.
    Tiba-tiba bunyi nada polyphonic terdengar menggelitik telinga. Kuraih telpon genggam miliknya, dariman bunyi itu berasal. Dengan segerah aku mengetahui dari siapa panggilan tersebut. Pandanganku berpindah-pindah pada telpon genggam dan pada pria yang rebah disampingku. Haruskah aku membangunkannya? pikirku ragu. Namun bunyi tersebut tak pernah berhenti dan makin lama semakin kencang. Dengan hati-hati akhirnya ia kubangunkan dan kusodorkan benda itu padanya yang ia sambut dengan enggan.
    "Pagi....," sapanya dengan suara serak yang langsung mendapat jawaban dari sebrang,
    "Ya, Papa baru bangun. seminar kemarin sangat menguras energi sehingga terasa melelahkan," ujarnya.
    "Apa? Hp papa mati?O... ya, tadi malem sengaja dimatikan supaya tidak menggangu istirahat papa. Papa selalu capek hingga tertidur lelap dan tidak tahu lagi apa yang terjadi hingga mama membangunkanku," kulihat keningnya berkerut mendengar ocehan dari ujung sana.
    "Ya..ya, papa usahakan segera pulang. Mungkin sore atau malam ini akan tiba dirumah. Okay, baik-baik dirumah ya, bye-bye, mmuach....," katanya yang dengan segera mengakhiri pembicaraan tersebut dengan meletakkan kembali telpon genggam itu pada tempat semula. tanpa berkata apa-apa ia menarik selimut yang sedang kupakai dan kemudian membenamkan tubuhnya kedalam selimut tersebut.
    "Istrimu?" tanyaku dengan nada cemburu
    Ia tidak menjawab. Telunjuknya menempel di bibirku. jari-jari tangannya menyibakkan lembar-lembar rambut yang menutupi sebagian kening dan mataku. Kemudian dengan erat ia membenamkan wajahku di dada telanjangnya sehingga dapat kurasakan degup jantungnya.
    "Aku tak ingin pagi ini berakhir. Aku tak ingin lagi melewati malam-malam tanpamu. Aku ingin.... aku ingin selalu merasakan indahnya tadi malam," ucapku tersendat
    Ia membelai rambutku dan dengan lembut berkata.
    "kita tak ingin saat indah ini berakhir. Kita tak ingin mengakhiri malam, mengakhiri pagi dan mengakhiri segalanya. Dulu pun kita tak ingin mengakhiri kebersamaan kita meski kemudian semuanya berakhir."
    "Berjanjilah...," ucapku bergetar
    "Berjanjilah bahwa akan selalu ada hari lain, malam lain, dan kita akan selalu saling memiliki,"
    Ia melepaskan pelukannya dan terlentang dengan mata lurus menatap langit kamar. Dijadikan kedua tangan sebagai bantal. Desah nafas panjang terdengar darinya.
    "Aku tak menyangka kita akan bertemu lagi setalah bertahun-tahun perpisahan yang menyakitkan itu. Dan di sinilah kita sekarang, di sebuah tempat yang dulu selalu kita idam-idamkan. Apakah aku bermimpi?" desisnya
    "Tidak, kau tidak bermimpi, kita tidak sedang bermimpi. Kita sedang berusahan mewujudkan impian dan harapan kita dan aku yakin kita akan bisa melakukannya bersama-sama seperti apa yang kita inginkan dulu,"ujarku penuh semangat
    Ia terdiam. "Aku tahu kau terluka. Aku pun begitu. Kita sama-sama terluka. Hanya saja aku tidak bisa mencucurkan dan bersimbah air mata sepertimu..," Katanya tercekat. "Aku tak pernah berhenti mencintaimu. Tapi ingatlah kita masing-masing telah mempunyai keluarga dan tidak bisa meninggalkan mereka" lanjutnya kemudian.
    "Kau....kau tidak tahu betapa menderitanya aku melalui malam-malam menjijikan. mencium bau keringat orang yang telah tidak aku sukai, memperhatikannya, dan melahirkan anak untuknya. Kenapa aku tidak melahirkan anak untukmu? Kenapa? semua ini begitu menyakitkan" kataku disela isak tangis.
    Ia memejamkan mata. wajahnya menyeringai kesakitan: bibirnya bergetar. Perlahan dari sudut matanya kulihat butiran bening yang kemudian membasahi bulu-bulu matanya. Aku tertegub. Betapa ia pun merasakan sakit yang sama sepertiku.
    Begitulah, akhirnya pagi pun berakhir berlalu dalam kepedihan. Keindahan sekejap di malam itu tak mungkin lagi aku miliki. Dengan tegar namun hampa, kubuka gorden kamar; kubuka jendela. kubiarkan matahari menerobos langsung menerpa kulitku. Dan sepertinya bukan hanya matahari yang akan menerpaku, tapi akulah yang akan menyongsong dan menantangnya dengan segala ketegaran yang kumiliki.
    Kutatap hari dengan penuh kehampaan, kubiarkan rasa di hatiku hancur berkeping-keping hingga aku berharap tak akan ada lagi rasa dalam diriku. Biarlah rasa ini mati; biarlah gulita selalu menyelimuti hidupku karena bagiku bersinar atau tidaknya matahari tak berarti banyak.
    "Kapan seminarnya berakhir, Ma? cepat pulang ya, Nia kangen...," rengek suara dalam telpon genggamku. Aku tertegun. amataku menatap tajam, membela matahari yang kian memerah****

Diberdayakan oleh Blogger.

Blogroll

About