Minggu, 05 Februari 2017

Kenanganku dan Tentangnya

Lima belas tahun aku menyimpan rahasia ini. Bahwa aku mengalami masa kecil yang buruk. Kemurungan demi kemurungan pada semua hari yang kulalui. Aku tidak dapat menceritakannya ke siapapun.
Ya, aku mengalami pelecehan s*ksual semasa kecil. Oleh tetangga, dan teman-temanku sendiri. Orangtuaku yang masih menganggap s*ksual sebagai hal yang tabu dan tidak pantas untuk dibicarakan. Dan aku selalu mengurungkan niatku untuk menceritakan hal ini kepada mereka.
Aku lebih memilih untuk menutup rapat-rapat semua kenangan buruk itu. Meski sering dada ini terasa penuh dan air mata pasti tak dapat terbendung jika mengingatnya. Aku tau, hal ini berefek pada pola pertemananku. Aku takut dengan anak laki-laki, dan aku lebih memilih untuk menghindari mereka. Terlebih saat ada yang terlihat mulai mendekatiku, aku takut, kenangan itu pasti muncul.

Dimas namanya, teman kuliahku. Ia cukup tenar di antara teman-temanku. Kata mereka ia cukup tampan, dan banyak pula temanku yang mengidolakannya. Tapi aku? Aku lebih memilih diam saat mereka membicarakan mengenai laki-laki. Terkadang beberapa temanku seperti terheran, dengan sikapku saat mereka membicarakan dimas atau teman laki-laki yang lain. Dan memang kadangkala aku malah pergi jika mereka mulai memulai pembicaraan tentang laik-laki. Aku tak menjelaskan apapun disitu.

Diusia ini aku sadar, aku tidak akan bisa terus menerus menghindar dari teman laki-laki. Aku berusaha untuk berteman dengan mereka, meski dengan sangat terbatas. Aku berusaha selalu bersikap seolah aku tumbuh dengan normal. Meski kadang mungkin aku tidak dapat menutupi kemurungan. Ingatan demi ingatan itu masih sangat jelas. Terkadang keringat dingin yang akhirnya menetes saat aku menahan dan menolak untuk mengingat semuanya.
Sampai pada suatu ketika, dimas menghampiriku dan menanyakan beberapa hal terkait materi kuliah yang ia belum pahami. Dimas ternyata sangat sopan. Bahkan ia tidak seperti teman laki-laki yang lain saat bertanya. Ia memilih menggunakan kata-kata yang santun, dan lebih seperti meminta tolong namun jangan sampai membebani.

Awalnya aku agak canggung saat berbicara dengannya, namun tidak ada rasa takut sama sekali. Seiring intensitas kami berbicara, rasa canggung mulai hilang. Kesantunannyalah yang membuatku tidak merasa takut ataupun canggung. Bisa dikatakan ia adalah satu-satunya laki-laki yang bisa mengajakku berbicara untuk waktu yang cukup lama selain dari ayah dan kakakku. Aku dengan leluasa menjawab apa yang menjadi pertanyaannya. Tak jarang aku juga bertanya mengenai hal-hal yang belum aku pahami.
Teman-teman cewekku mulai mengatakan kalau aku ada peningkatan. Aku tidak lagi cupu seperti dulu. Mereka mengira aku dan dimas ada sesuatu, namun aku menyangkalnya. Hubungan kami hanyalah sebatas teman dan tidak lebih. Meski mereka tidak percaya, namun memang itulah yang terjadi sampai detik ini.

Setelah beberapa saat, aku dan Dimas mulai bertukar nomor hp. Obrolan kami melalui hp juga hanya sebatas tanya jawab masalah tugas dan materi kuliah, tidak lebih.
Namun pada suatu ketika, dimas mengirim pesan yang berisi ajakan untuk makan malam. Aku sedikit kaget. aku memang anak kos, tapi aku juga jarang keluar malam. Menjadi kebiasaanku seperti saat masih sekolah, tidak boleh keluar malam jika tidak ada alasan tepat.

Lima belas menit belum kujawab pesan itu. Aku lebih memilih ke kamar sahabatku, ira. Kami mengobrol tentang beberapa hal, hingga sampai pada pembicaraan mengenai dimas. Ira adalah sahabatku yang paling dekat diantara yang lain. Ia adalah teman kos sekaligus satu jurusan denganku. Dan benar saja aku tidak dapat menyembunyikan banyak hal dari dia, terkecuali masa laluku yang memang aku simpan rapat-rapat. Apalagi saat itu ada pesan masuk dari dimas yang menanyakan kembali kesediaanku.

Ira merebut hpku dan membaca pesan dari dimas. “What?? Dimas ngajakin kamu makan?” celotehnya
“Iya” jawabku
“Trus jawaban kamu?” tanyanya lagi
“Aku masih bingung” jawabku lagi

Ira sebenernya sudah mulai mencium gelagat dimas padaku, dan ia membujukku untuk mau memenuhi ajakan dimas dengan berbagai cara. Dan sampai pada kalimat yang membuat aku tersadar “Lel, harus ada orang yang kamu percaya untuk melindungi kamu”. Entah kenapa dia bisa berkata seperti itu, padahal aku tidak pernah menceritakan apapun tentang masa laluku. Akhirnya aku membalas pesan dimas dan menerima ajakannya.

Malam itu, dia menggunakan sepeda motor yang selalu ia pakai berangkat kuliah untuk menjempuku. Aku tau dimas orang berada, namun hal itu tidak pernah ia tampilkan dalam kesehariannya. Meski dikenal playboy, namun ia tetap berpenampilan sederhana.

Ia mengajakku makan malam di suatu rumah makan yang cukup nyaman. Seperti kedai namun nyaman jika dipergunakan untuk mengobrol. Aku memesan makanan sesuai sarannya. Kami mulai mengobrol dan kali ini bukan tentang tugas atau materi kuliah. Dia menceritakan keluarga, sekolah, dan aktifitas-aktifitasnya. Kali ini aku lebih banyak mendengarkan.
Dan sampai pada pertanyaan ini aku terdiam dan tak bisa berkata-kata “Lel, sebenarnya aku udah lama memperhatikan kamu. Maaf jika aku lancang, namun jika aku boleh tau apa penyebab yang membuat kamu sering murung?”
Ia menghela nafas dan melanjutkan, “Mungkin jika aku boleh menebaknya sepertinya kamu menyimpan sesuatu. Iya, benar begitu?”
Aku kembali tidak bisa berkata apa-apa. Keringat dinginku mulai mengucur, dan sepertinya dimas mengetahuinya. Ia melanjutkan “Tidak apa-apa kalau kamu tidak mau menjawabnya untuk saat ini dan kalau pada suatu ketika kamu ingin menceritakannya aku siap untuk mendengarnya kapanpun saat kamu membutuhkannya”.
Ia menatapku dalam namun tetap terasa sejuk. “Lel, maaf mungkin apa yang aku sampaikan akan membuatku kaget. Sudah lama aku menyimpan rasa sayang sama kamu, aku harap kamu tidak tersinggung atau marah”.
Aku akui, aku pun mulai ada rasa dengannya. Aku mulai mempercayai seorang laki-laki dalam hidupku. Meski ada sedikit rasa takut menyelimuti, namun entah kenapa aku juga tidak beranjak untuk meninggalkannya. Aku berpikir dan menata hatiku. Aku meminta ijin untuk menyelesaikan makan malamku sembari berpikir.

“Mas, untuk pertanyaanmu yang pertama aku tidak bisa menjawabnya. Jika memang pada suatu ketika harus aku ceritakan ke kamu maka akan aku ceritakan. Terus terang aku kaget dengan pernyataanmu tadi. Aku mulai mempercayaimu, aku bahagia atas ucapanmu tadi namun ada hal yang membuat aku tidak bisa menjawabnya sekarang. Tolong jangan jauhi aku, dan tetap seperti dimas yang kemarin karena aku bahagia mulai dapat percaya pada seseorang” jelasku.
Ia tersenyum hangat dan mengangguk tanda menyanggupinya. Selesai makan, ia mengantarkanku pulang ke kosku.

Setelah makan malam itu, dimas tidak berubah. Bahkan ia lebih melindungiku. Kehangatan dan kasih sayang selalu aku rasakan saat bersamanya. Meski begitu tidak pernah ia melebihi batas. Ia menggandengku hanya pada saat dimana aku membutuhkan bantuan, namun melepasnya kembali setelah aku dirasa tidak membutuhkan. Ia juga menjadi tempat keluh kesahku, saat aku mendapatkan kesulitan. Kedekatan kami mungkin lebih dari sekedar sahabat.

Dua bulan kami bersama dan ia meminta izin untuk pulang ke jakarta. Sampai pada suatu hari aku mendengar kabar kalau ia ditimpa musibah di sana. Ia terkena luka bakar saat ingin mematikan api dari wajan yang menyala karena terlalu panas. Aku lemas mendengarnya. Aku ingin menjenguk dan menemaninya, namun apa daya aku pasti tidak akan mendapat izin dari orangtuaku. Aku hanya bisa menanyakan kabarnya lewat sms. Jujur aku sangat merasa kehilangan. Ternyata aku mulai menyayanginya, dan perasaanku kepadanya telah sangat dalam aku yakin.

Dua bulan ia di Jakarta untuk menyembuhkan lukanya, sampai pada suatu hari ia pulang tanpa memberiku kabar terlebih dahulu. Ia datang ke kosku dengan tangan kanan dan kaki kanan masih berbalut perban.
“Dimas…” mataku berkaca-kaca saat melihatnya. Seolah aku masih tak percaya, ia hadir di depanku. Air mata ini tak terbendung lagi saat menyadari kondisinya yang masih penuh dengan balutan perban. Namun ia tetap tersenyum dengan hangat. “Hey lel… boleh duduk?”
Aku yang masih kaget, sampai-sampai lupa tidak mempersilakan ia duduk. Sontak aku membantunya untuk duduk karena ia masih terlihat sedikit kepayahan. “Nggak papa kok, aku bisa” ucapnya.
“Gimana kabar kamu?” ia mulai memecah keheningan.
“Baik… aku baik” agak tergopoh kujawab pertanyaannya.
Ia menceritakan peristiwa saat ia mendapat musibah itu. Dalam hatiku aku sangat bersedih, aku yang selama ini ia obati namun tak bisa berbuat apa-apa saat ia terluka. Tak sadar air mata ini tak terbendung saat ia menceritakan proses pengobatan yang ia jalani saat berada di Rumah Sakit.

“Hey… aku nggak papa kok” ia berseloroh.
Aku tersenyum. Apa yang bisa aku lakukan untuk sedikit meringankan rasa sakitmu? Dalam hati aku berkata.
Tak terasa obrolan kami hingga larut. Kami asyik berbicara seperti sedang melampiaskan rasa kangen satu sama lain. Karena memang itu yang kami rasakan.
Ia menggenggam tanganku erat, seolah berkata “kuatkan aku”. Dan entah kenapa genggaman itu tak kulepaskan.

Dinginnya malam membuat kami saling mendekatkan badan, mencari kehangatan. Ia mengelus pipiku, dan menatap wajahku dalam-dalam. Perlahan ia mendekatkan wajahnya. Ia menciumku, dengan sangat lembut. Ciuman pertama yang kualami, dan entah kenapa aku larut dalam ciuman itu.
Debar jantungku seolah terdengar sangat keras. Perasaan ini bercampur aduk, antara rasa rindu, dan sedikit ingatan-ingatan masa lalu yang muncul. Sedikit rasa yang meyakinkanku saat itu, aku ingin sedikit meringankan rasa sakitnya, itu saja.

Tentang ingatan-ingatan itu, sudah tidak terlalu terasa berat. Berkatmu aku rasa. Aku semakin yakin bersamamu, jika pada saatnya nanti kamu menjadi orang yang benar-benar aku percaya maka akan aku ceritakan semua tentang masa laluku. Dan aku yakin, melalui perantaramu semua kesakitanku dapat terobati.
Malam itu pula aku menerima cintanya.

Cerpen Karangan: Dinna L Fauzia
Facebook: dinna.fauzia[-at-]facebook.com


Sabtu, 04 Februari 2017

Jangan Bilang Lo Jatuh Cinta?

“pokoknya lo harus jadi cewek gue. Gue gak bakal tahan dengan semua cewek-cewek yang ngeganggu gue selama di sekolah nanti. Kau lo jadi cewek gue apapun mau lo bakal gue turutin deh, janji.”

Selama hampir tiga tahun aku tidak berpacaran hanya fokus untuk belajar dan sekolah. Beberapa orang memang mencoba untuk mendekatiku tapi, aku sepenuhnya menutup hatiku sejak terakhir kali dikhianati oleh mantan pacarku dan sekarang setahun lalu Andrew teman masa kecilku kembali dan bersekolah di tempat yang sama denganku. Dia langsung menjadi populer dan digoda oleh banyak cewek di sekolahku membuatnya risih dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dan saat ini kami membuat janji untuk menjauhkan dia dari hal-hal seperti itu jadi dia bisa fokus pada pelajarannya dan meluluskan sekolahnya tahun ini tanpa menambah tahun dan umur lagi. aku pikir aku harus menerimanya karena hanya dengan cara ini aku dapat memenuhi permintaan kedua orangtua Drew agar membantunya untuk lulus tahun ini.

“oke. Dan permintaan pertama gue. Gue pengen nilai lo bisa diatas gue minimal sama deh ama gue juga nilai semester lo. Buktiin kalau lo emang serius pengen nyelesaiin sekolah dan gak bikin onar lagi. lagian gue janji ama bokap nyokap lo untuk ngebuat lo lulus tahun ini.” Aku menaikkan satu alis sebagai tantangan apa dia bisa menerima permintaanku ini. Karena, aku tahu tidak ada cara lain lagi.
“oke. Deal” ucapnya menyerahkan tangannya mengajakku bersalaman untuk perjanjian ini.
“dan ini baru permintaan pertama.” Aku tersenyum kemenangan.

Hari pun berlalu aku bisa mengatasi semua penggemar Drew dan membuat mereka tidak mengganggu Drew lagi selama aku masih menjadi pacarnya. Tapi, satu hal yang sedikit sulit diatasi teman-temanku yang menudingku terus dengan pertanyaan kenapa tiba-tiba bisa pacaran dengan Drew dan bagaimana aku bisa secepat itu punya hubungan dengan Drew mereka benar-benar tidak percaya bahwa aku dan Drew berteman sejak kecil makanya sekarang kami mudah sekali dekat dan lagi orangtua kami saling mengenal kenapa gak mungkin bagi kami bisa berpacaran. Teman-temanku hanya tidak menyangka karena selama ini aku bersikukuh tidak ingin pacaran lalu tiba-tiba malah jadian dengan pangeran tampan sekolah. Pangeran tampan? Bagi gue gak ada tampan-tampannya sama sekali tuh.

Seperti permintaan Andrew agar aku selalu berada di dekatnya saat di sekolah, menemaninya latihan basket dan kegiatan sekolah lainnya. Seperti saat ini Drew latihan untuk pertandingan basket antar sekolah dan aku hanya duduk di bangku penonton sambil membaca buku karena besok ada ulangan sambil menunggu Andrew.

“hei Senior. Lagi nungguin pacar lo ya?” ini dia si J atau nama aslinya Junior, aku memanggilnya J.
“Hei J. Kok baru dateng lo udah latihan hampir setengah jam loh tu.”
“iya nih Senior, gue abis ngambil ulangan susulan karena kemaren ini sakit, tapi gue udah bilang pelatih bakal telat. Ya udah gue gabung latihan dulu ya.” Ucap J dan sebelum meninggalkanku dia berkata lagi “ternyata lo cocok juga ya sama cowok lo ini. Kalau gue tahu dari awal tipe lo cowok populer kayak dia, harusnya gue udah ngelakuin itu dari dulu.”
Dasar si J, gimanapun juga dia mau jadi populer dia tetap junior dan lagian bukan hanya namanya yang Junior umurnyapun lebih kecil dariku. Aku gak mungkin bisa suka sama brondong.

“akrab banget lo ama si Junior.” semua sudah selesai latihan dan menuju tempat istirahat tapi, Drew malah menemuiku.
“apaan sih Drew. Apa sekarang lo bakal ngelarang gue ngobrol sama Junior-junior gue sekarang. Ingat ya gue Cuma pacar lo yang ngebuat lo supaya gak digangguin cewek-cewek satu sekolah. Jadi gak ada hak cemburu-cemburuan deh”
“lagian siapa yang cemburu. Gue nanya doang.” Drew berlari lagi kelapangan setelah mengatakan hal seperti itu padaku. Aku gak yakin Drew cemburu karena, gak mungkin Drew suka padaku. Dan aku pun gak mungkin suka sama dia. Udahlah buat apa dipikirin.

Andrew dan aku memang pernah di sekolah dasar yang sama dan karena orangtua kami berteman Drew dan aku juga jadi dekat. Tapi, gak ada hal mengenakkan dalam hubungan masa kecil kita. Aku dan Drew selalu saja perang kalau berada di sekolah dan saat dengan orangtua kami, kami akan menjadi anak-anak yang sangat penurut. Hmm memang masa kecil yang penuh kepura-puraan.

Sudah tiga bulan dan hasil ujian tengah semester membuat Drew membuktikan bahwa dia telah menuruti permintaanku tentang nilai-nilainya yang sangat memuaskan bahkan dia lebih baik dariku. Bagaimanapun juga Drew harus lulus tahun ini.

“Ta, lo dipanggil wakil kepala sekolah tuh.” Hani memberitahuku, tapi ada apa dengan wakil kepala sekolah yang memanggilku. Apapun itu aku langsung menuju ruang wakil kepala sekolah. Dan di sana sudah ada wali kelasku juga. Pada intinnya pembicaraan ini tentang tes untuk masuk Universitas di Australia. Ada undangan khusus dari Universitas di Adeleide untuk sekolah kami. Dan walikelasku serta wakil kepala sekolah ingin aku mengikuti tes itu. Dan katanya bukan hanya aku saja dari Indonesia tapi, di sekolah ini mereka menganggap hanya akulah yang bisa melakukan tes ini. Mungkin nilaiku memang tidak selalu terbaik di sekolah tapi, kemampuanku di bidang jurnalistik membuat mereka yakin aku akan bisa lulus dalam tes ini. Karena jurusan yang mereka tawarkan ya memang untuk bidang jurnalistik saja. Aku menyanggupi keinginan wakil kepala sekolah dan wali kelasku itu lagian aku pikir ini hal yang bagus juga. Karena aku belum memikirkan kemana akan melanjutkan kuliahku setelah sekolah di sini.
“hei, sayang kantin bareng yuk.” Saat aku sedang memikirkan tentang tes kuliah di Australia itu Drew datang mengagetkanku seperti biasa mengajak makan siang di kantin. Aku gak akan bisa nolak. Jadi aku hanya tersenyum mengangguk dan berjalan bersamanya ke kantin. Dia selalu memanggilku sayang saat di sekolah.

“eh, ngapain pegang-pegang tangan gue. Kuman tau” aku langsung mengeluarkan semprotan pembersih tangan dari sakuku dan menyemprotkan ke tanganku.
“heh, dasar miss clean” Drew mengejekku. Aku gak tau sejak kapan tapi, waktu aku kecil dulu pernah ada kejadian yang sangat tidak mengenakkan untuk dikenang. Saat aku sedang belajar bersepeda aku tiba-tiba terjatuh tepat di kotoran sapi. Hal itu sangat jorok, menjijikan bau dan membuatku harus mandi berkali-kali untuk menghilangkan baunya dan menghilangkan rasa kotornya dari tubuhku. Sejak saat itu aku benci dengan hal yang kotor. Dan ingin selalu bersih itu menjadi kebiasaan hingga sekarang ini.

“gue ada permintaan.” Drew datang ke rumahku dan langsung menemuiku yang sedang berada di tepi kolam berenang rumahku sambil baca novel terbaru yang kubeli kemarin.
“apaan sih lo datang-datang nantang gue. Mau apa lo?”
“pergi jalan yuk.”
“gak ah, pergi sendiri.”
“eh, tapi lo kan cewek gue. Ayok pergi jalan sekarang.”
“emang gini cara lo ajak cewek lo pergi jalan.” Kataku dan aku sadar Bundaku geleng-geleng kepala memperhatikan kami berdebat.
“oke deh, pacarku ayo kita pergi jalan sayaaaanggg.” Ucapnya menekankan kata sayang.
“jangan panggil sayang, jijik gue dengernya. Ya udah gue ganti pakaian dulu. Gak usah ikut lo.” Aku merasa Drew akan mengikutiku ke kamarku.

Drew membawaku jalan-jalan ke taman dan bermain sepeda. Dan seperti biasa aku akan menyemprot sepeda ini karena sepeda ini pasti banyak kumannya. Tapi, kenapa pembersihku tidak ada di tas. Apa mungkin ketinggalan.
“kenapa? gak bisa nemuin pembersih lo miss clean? Nih pake punya gue.”
“loh lu kok??” Aku heran kenapa Drew juga memilikinya.
“gue beliin itu buat lo. Hmm, gue selalu tau kan tentang lo, liat aja merek dan aromanya sama.” Benar saja pembersih ini sama seperti yang selalu kubeli. Kenapa Drew bisa sedetail ini. Tapi ya sudahlah kami bersepeda bersama-sama mulai dari bersepeda santai dan akhirnya Drew mengajakku balapan dimana Drewlah yang menang. Karena dia yang menang aku harus mau diajak makan malam dengannya malam minggu besok. Walaupun gak mau tapi, yang namanya janji ya tetap janji.

Belakangan Drew makin perhatian padaku aku gak tau kenapa Drew jadi sering menemaniku walau kami jarang makan di kantin saat istirahat hanya duduk di kelas dan biasanya bagi dia itu membosankan. Sekarang kami jadi sering bercanda saat hanya duduk di kelas sambil menunggu waktu pelajaran berikutnya. Setelah pertandingan basket selesai Drew tidak lagi aktif dalam club jadinya dia sering menemaniku mencari ide baru untuk majalah sekolah ataupun yang berkaitan dengan jurnalis. Aku sedikit aneh dengan perlakuan Drew belakangan tapi, ya anggap aja dia benar-benar pengen nolongin.

“wah, anak Bunda cakep banget. Mau kemana nak?” akhirnya sampai juga malam minggu seperti janjiku aku akan makan malam dengan Drew.
“mau pergi sama Drew bentar Bun.” Kenapa Bunda bilang aku cantik malam ini? Padahal aku hanya berpakaian seperti biasanya dan ya aku memang sedikit berdandan suatu hal yang memang jarang aku lakukan. Karena Drew bilang gak harus formal aku hanya memakai jins, kaos dan sepatu kets dengan rambut yang digerai dan tas.

Beberapa menit kemudian Drew datang dengan motornya. Aku dan Drew pamitan pada Bunda dan Ayah yang sedang nonton tv. Drew pun hanya memakai kemeja dengan kaos dalam, jins serta kets dia memang bukan tipe yang suka memakai jas dengan dasi atau apalah yang formal. Untungnya satu hal ini yang menyamakan kita. Tapi hari ini di mataku Drew berbeda walau hanya memakai kemeja dia terlihat lebih gimana ya? aku gak tau gimana cara menggambarkannya bukan tampan tapi, menggoda. Astaga apa sih yang lo pikiran Talia? Menggoda kata-kata dari mana pula itu?.

“waw kafenya keren Drew. Jadi lo bawa gue ke sini.”
“hmmm, keren kan kafenya gue tau kalau lo suka tempat-tempat kayak gini. Yuk” Drew mengajak akau masuk ke dalam kafe. Kafe ini berbau klasik dengan segala barang-barang lama dan kayu-kayunya. Sangat nyaman berada di sini suasanya sangat-sangat klasik dengan suguhan live musik di panggung yang gak begitu besar. Tempatnya juga gak gede-gede amat tapi, rame banget.

“woi, makan. bukannya ngeliatin gue terus. Kenapa sih lo?”
“iya nih gue makan. Gak papa gue seneng aja bisa jalan sama lo. Kayaknya kita udah beneran kayak orang pacaran ya.” Aku sedikit tersedak dengan makananku karena kata-kata Drew barusan. “eh, hati-hati donk. Minum dulu nih.” Drew menyodorkan air padaku dan aku bisa sedikit menenangkan diri. Aku mengangguk berterima kasih atas perhatian Drew. 

Sepanjang malam di kafe itu kami banyak membicarakan hal-hal tanpa arah mulai dari tentang pertandingan basket karena aku bertanya kenapa kita bisa kalah, lalu bola, tentang politik bahkan waiters yang sedang lewat pun bisa jadi bahan pembicaraan. Aku jadi merasa nyaman dengan Drew, gak biasanya hal ini terjadi aku memang pacarnya tapi Cuma pacar bohongan. Hanya saja rasa nyaman ini beda dari rasa nyaman dengan sahabat. Drew tau banyak tentangku dan begitupun denganku segala perhatiannya padaku bukan hanya karena kami pernah dekat sewaktu kecil tapi, mungkinkah ada sesuatu di antara kami.

Drew telah sampai di depan rumahku dan aku langsung turun dari motornya. Setelah mengucapkan terima kasih aku langsung menuju ke rumah, tapi saat aku akan balik badan Drew menahan tanganku.
“tunggu.” Ucap Drew. “gue boleh minta sesuatu gak sama lo?” tanyanya. “sebagai pacar.” Lanjutnya lagi. apa-apaan dia yang harusnya boleh minta itu kan aku bukan dia.
“maksud lo? Emang lo mau apa?” tanyaku yang juga penasaran.
“boleh gue cium lo?” myGod kenapa dia tiba-tiba mau nyium gue. gak mungkin, ini ciuman pertama gue dan gue gak mau ngelakuinya di depan rumah. gila aja, orang-orang bisa liat seenggaknya ini bukan tempatnya kalau Bunda sama Ayah liat gimana. Gak-gak gak boleh sekarang.
“ngomong apaan sih lo, yang boleh minta itu kan Cuma gue kenapa jadi lo. gak ada tuh di perjanjian kita. Lagian ngapain juga gue mau dicium sama lo. Kita pacaran juga Cuma pura-pura supaya lo gak digangguin cewek satu sekolah kan.”
“gue gak minta dicium di bibir kok. Di kening doank, ya” ucapnya lagi dan aku gak bisa bilang apa-apa lagi. Dengan cepat Drew maju ke depan dan mencium keningku walau sebentar tapi, bekas bibirnya di keningku sangat terasa, dan aku langsung menuju rumah setelah itu.

Aku mengetuk-ngetukan kepalaku ke meja pagi ini, teringat ciuman yang diberikan Drew tadi malam. Aku benar-benar gak bisa tidur dibuatnya. Aku terus berpikir apa yang dia lakukan. Aku berjanji untuk tidak jatuh cinta dulu seenggaknya sampai selesai UN dan lagi pula aku akan pergi ke Australia. Tentang hal ini aku belum cerita ke siapapun kecuali Bunda dan Ayah. Kenapa aku jadi berdebar-debar mikirin tentang Drew, terlebih lagi tentang nilai Drew yang makin membaik aku sepertinya sudah bisa menepati janjiku pada orangtua Drew agar dia lulus tahun ini. Karena dia memang harus lulus tahun ini.

“hai senior.”
“hai juga Junior.” Lagi-lagi si J “lo tau gak? lo satu-satunya orang di sekolah ini yang panggil gue senior. Apa sama seluruh senior lo manggil kayak gini?”
“gak, lo doank. Itu kan karena lo manggil gue Junior terus wak masih MOS.”
“nama lo kan emang Junior. Trus salah gue manggil lo gitu?” junior lantas menggelengkan kepalanya dan aku tanpa sadar tertawa akan hal itu lalu J memotretku “J apa-apaan sih kok motret tanpa bilang ke gue sih, ntar hasilnya jelek.”
“ini namanya candid. Gak papa lo cantik kok sini.” Kami berdua langsung tertawa mendengar statement J barusan dan dia terus-terusan memotretku.
“kenapa fotoin gue mulu si J.”
“senior lo tau gak, gue seneng banget lo panggil J. Karena lo satu-satunya yang panggil gue gitu.”
“haha gak tau deh lucu aja manggil lo J. Dan lo juga terus-terusan panggil gue Senior. Tapi, gue seneng juga lo panggil kayak gitu.”
Aku dan J terus-terusan mengobrol dan bercanda dia bilang ingin banyak menghabiskan waktu denganku karena sebentar lagi aku akan meninggalkan sekolah ini makanya dia banyak memotoku dari tadi. Aku tau J pernah bilang kalau dia suka padaku tapi, aku menolaknya karena umur kami dan lagian aku memang tidak suka orang yang berumur lebih kecil dariku. 

Saat asik ngobrol dengan J seseorang datang dan menggenggam tanganku sangat erat. Ternyata dari tadi dia memang telah memperhatikanku dan J dengan muka masam dan terlihat sangat marah Drew berkata pada J “jangan pernah lo gangguin cewek gue lagi.” aku bingung dan mengisyaratkan pada J untuk tidak melawan lalu Drew menariku dan membaawaku ke atap sekolah. Aku gak pernah tahu kalau ada jalan untuk ke atap sekolah karena menurutku itu tempat yang tidak boleh dikunjungi oleh siswa tapi, Drew tau ada jalan yang bisa menuju ke sana tanpa ketahuan guru. Setelah Drew benar-benar melepas tanganku tapi, tanganku masih sakit karena kuatnya genggamannya.

“apa-apaan sih Drew. sakit tau. Kenapa lo bawa gue ke sini?” ucapku heran sekaligus marah padanya.
“apa-apaan apanya? Lo tu yang ngapain sama Junior. Bercanda-canda kayak gitu. Maksud lo apaan. Mau bikin gue cemburu? Sory ya gue gak bakal cemburu. Tapi, gue gak suka lo dekat-dekat sama dia. Emang lo gak tau dia tuh suka sama lo. Ya maksud gue dia itu modus dekatin lo.” Aku hanya memandang Drew yang terus berbicara. “kenapa diam lo?”
“ya, karena lo lagi ngomong gue diem. Sekarang udah selesai ngomongnya?” Drew mengangguk. “jadi lo cemburu” tanpa diduga Drew menganguk lagi dan dengan cepat berganti dengan gelengan lalu dia tersenyum sendiri memegang dahinya dan mengangguk sekali lagi hanya sekali tapi, itu membuatku gugup.
“gimana mungkin gue gak cemburu lo kan cewek gue”
“tapi gue kan Cuma cewek boongan lo. Apa jangan-jangan lo udah jatuh cinta ya sama gue?” Ucapku lagi dengan senyum menantang.
“sekarang dengan jujur lo bilang deh ke gue selama beberapa bulan ini jadi pacar boongan gue, lo gak pernah punya perasaan sama gue? Lo pikir waktu pertama kali gue minta lo jadi pacar boongan gue itu apa benar-benar Cuma boongan?” Drew berkata serius dan memaksaku memandang wajahnya. Alis mata yang tebal, mata yang sedikit sayu serta bibir yang begitu terbentuk sempurna sejenak aku sadar bahwa aku sudah jatuh cinta padanya. Hal yang selama ini kuhindarkan. Tapi, aku gak pernah tau bahwa aku memang sudah lama jatuh cinta padanya.
“gue, gak tau Drew.” Aku bohong.
“gak usah bohong lo. Gue tau perasaan lo yang sebenarnya. Itu tergambar jelas di wajah lo. Lo juga jatuh cinta kan sama gue?” Drew mengambil tanganku dan menggenggamnya erat, pasti dan tidak terlalu kuat. Aku merasa nyaman dengannya. Tapi, kalau aku bilang cinta sekarang. Setelah lulus aku harus ke Australia, Drew harus tau tentang ini. Saat aku akan berkata apa yang selama ini aku pikirkan tentangnya tiba-tiba penglihatanku jadi kabur dan aku mengedipkan mataku berkali-kali aku sedikit sempoyongan karena tiba-tiba ada sesuatu mennyentuh bibirku yaitu bibirnya Drew dan aku benar-benar terkejut dengan apa yang baru saja dilakukan drew. Karena masih kaget aku menutup mataku dan membiarkan Drew melakukan ciuman itu. Ciuman pertamaku terasa manis dan membuat kepalaku berputar. Apa ini yang namanya jatuh cinta.

Aku memang tidak tahu bagaimana jatuh cinta yang sebenarnya tapi aku tahu bahwa saat aku merasakan kehilangan itu sangat menyakitkan saat kita tidak bisa menggenggam tangan orang yang sangat kita sukai, saat kita melihat dia tertawa dengan orang lain itu sangat menyakitkan. Lebih baik kita memanfaatkan apa yang kita punya sekarang tanpa harus menghindar dan menepis rasa itu. Karena menyadari rasa suka dan cinta itu bukan suatu tindak kejahatan, untuk apa takut. Karena cinta dan rasa sakit berkaitan lalu apa gunanya perasaan kalau kita gak pernah bahagia karena cinta dan gak pernah sedih karena patah hati. Hati dan perasaan itu dibuat agar kita merasakan seluruh rasa di dunia apapun rasa itu akan sangat tidak berharganya hidup tanpa rasa

Setelah kejadian atap sekolah itu aku dan Drew masih bersama. Drew mengikutiku juga ke Australia tapi kita di jurusan yang berbeda. Dan hingga sekarang sudah dua tahun kami bersama. Banyak hal ternyata yang kami tau satu sama lain, kebiasaanku dan kebiasaan Drew kami saling memahami ada untungnya berpacaran dengan sahabat yang bahkan tau diri kita lebih dari kita sendiri.

Cerpen Karangan: Lee Ghin Fhae (ghinfai)
Blog: ghinafairuz.blogspot.com

Coba Lihat Langit Biru di Atas Sana

“Coba lihat langit biru di atas sana.”
Kata-kata itu selalu terngiang di otakku, berputar-putar dan diulang-ulang berkali-kali. Kata-kata sederhana tetapi begitu istimewa untukku.

“Setiap kali kamu sedih, coba lihat langit biru di atas sana. Mereka akan membuatku nyaman dan membuatmu melupakan kesedihanmu,” ujarnya setiap kali aku meneleponnya sambil menangis.
“Kalau kamu bahagia, coba lihat langit biru di atas sana. Berbagilah kebahagiaanmu kepada alam juga. Barangkali alam juga akan memberikan kebahagiaan yang sama untukmu,” ujarnya ketika kami bertemu disaat aku sangat bahagia.

“Kalau aku sedang pergi jauh, coba lihat langit biru di atas sana. Tataplah awan putih di atas sana dan bayangkan wajahku,” ujarnya mengingatkanku ketika aku mengantarkannya ke bandara untuk melepasnya menerbangkan pesawat.
“Intinya, apapun yang kamu rasakan coba lihat langit biru di atas sana, semoga langit biru akan membantumu untuk memperbaiki ataupun menambah kebahagiaanmu,” ujarnya sebelum ia terbang menuju Amerika untuk menyelesaikan tugasnya sebagai pilot. Waktu itu aku mengangguk dan menitikkan airmataku ketika tangannya menangkup pipiku.
“Hey, this isn’t the first time. Biasanya kamu gak nangis. Malah ketawa-ketawa. Kok tumben hari ini kamu menangis?” tanyanya yang langsung kujawab dengan gelengan kepala yang begitu cepat.
“Aku pergi dulu ya. Tunggu aku sampai aku pulang ya,” ujarnya kemudian berjalan menuju pintu keberangkatan dan meninggalkanku sendiri yang menatapnya dengan penuh airmata.

Tak seberapa lama aku meninggalkan bandara, aku mendengar berita jika ada pesawat menuju Amerika jatuh. Jantungku berdebar begitu cepat, ketakutan jika pesawat itu adalah pesawat yang dipiloti Ben.
Rasa takutku kemudian benar-benar menjadi kenyataan. Pesawat Ben jatuh. Saat itu juga di antara para pasien rumah sakit yang begitu terkejut menonton berita, aku menangis. Menangis begitu kencang. Tidak peduli lagi aku adalah seorang dokter atau bukan. Airmataku terus-terusan mengalir tanpa ada ujungnya.

Aku kemudian mengingat kata-kata Ben untuk selalu melihat langit biru ketika aku sedih. Aku kemudian menenangkan diriku terlebih dahulu dan berjalan dengan pasti menuju lantai paling atas untuk menatap langit biru yang selalu di bicarakan Ben. Tapi ketika aku tiba di lantai paling atas, aku mendapati langit berwarna abu dan tidak menyuguhkan kenyamanan untukku.
Aku kembali menangis, membiarkan kesedihan dan ketakutanku untuk terbebas bersama dengan tetesan airmata yang mengalir di pipiku. Setelah aku mengeluarkan airmataku, aku langsung menuju bandara untuk mencari tahu apakah Ben masih ada atau tidak.

Ternyata ketika aku tiba di bandara dan membaca nama-nama korban jiwa, nama Ben ada di urutan teratas. Aku tak dapat berkata apa-apa lagi. Bahkan ketika sang manager memanggil namaku untuk mengucapkan bela sungkawa, aku tidak mendengar sama sekali malah menangis begitu kencang hingga dadaku terasa sakit.
Hari ini, ketika aku menuju rumah sakit dan menatap langit biru berharap agar tidak terjadi apa-apa pada Ben, ternyata langit biru yang cerah itu sedang mengambil Ben secara paksa dari pelukanku.

Cerpen Karangan: Anindhita Almadevy
Blog: anindhitalma.weebly.com



Takdir Cinta Indah

Suasana kampung begitu tenang ketika mentari telah berlabuh di peraduannya. Angin malam selalu membawa kerinduan masa lalu serta cahaya purnama yang selalu tampak gagah di antara bintang-bintang. Aku selalu ingin suasana yang seperti ini sepanjang hidupku. Namun aku tak mungkin akan selalu di sini. Itu sama saja mengembalikanku dalam harapan yang tak pernah terwujud hingga hari ini. Dan harapan itu telah tergantikan olehnya yang kurasa lebih baik.

“Kau sudah kembali?”
Suara itu mengagetkanku saat menginjak anak tangga paling terakhir. suara yang masih tetap sama empat tahun silam. Dia duduk di sebuah kursi rotan menghadap ke timur sambil menatap cahaya rembulan, mengenakan jilbab warna putih, jaket tebal warna pink. Wajahnya. Wajahnya mengalami perubahan besar seperti memendam sesuatu, menunggu waktu yang entah sampai kapan untuk mengungkapkannya. Aku berhenti sejenak, berdiri beberapa meter darinya sekedar untuk menjawabnya.

“Iya. Tapi hanya beberapa hari saja. Kau untuk apa ke sini?”
“Mengapa kau bertanya itu? Apakah kau tidak tahu jika memang aku selalu di sini?”
“Tidak. Memangnya untuk apa kau kemari?”
“Aku hanya ingin di sini. Mengingat semuanya”
“Mengingat apa?”
“Mengingat diriku yang selalu kesepian. Kesepian dalam penantian selama empat tahun”
“Penantian? Kau menanti siapa?
“Dirimu”
“Diriku? Aku tak pernah berharap kau menantiku. Untuk apa?”.
“Lihatlah. Dirimu selalu saja sama. Tak pernah berubah. Aku selalu berharap kau tak kembali tapi aku tetap ingin dirimu. Dan kau sama sekali tak menyadarinya. Aku disesatkan oleh parasaanku sendiri dan kau tak pernah berusaha untuk menunjukkan jalan meski hanya setapak”.
Nada suaranya semakin berat, terdengar serak parau terbata-bata. Ah tidak, lagi-lagi dia menangis. Air matanya nampak warna keemasan diterpa cahaya lampu pijar lima watt. Angin dingin malam mengusap air mata di wajahnya.

Kembali kulangkahkan kaki meninggalkannya. Mungkin dia memang harus sendiri untuk saat ini, kesendirian yang terus mengeruk luka yang semakin dalam. Luka yang selalu ia paksakan untuk terus menganga.
“Sejak kapan ia sering ke sini Bu?” bisikku pelan kepada ibu.
“Ia selalu datang ke sini sejak kau pergi. Ia ingin tahu semua tentang dirimu. Menanyakan mengapa engkau pergi dan mengacuhkannya begitu saja. Sesekali ibu menemaninya sampai larut malam sambil ia terus bercerita akan dirinya. Bahkan ia lebih banyak menghabiskan waktu di sini dibandingkan rumahnya sendiri. Dia selau bilang jika ia berada di rumah ini, maka engkau serasa selalu ada bersamanya. Ibu sering merasa iba kepadanya. Nak, Bawakan teh ini untuknya!”
”Jangan aku. Ibu saja yang membawanya!”
“Baiklah. Tapi kau ikut ke teras juga! karena ibu tidak tahu sampai kapan ia akan di situ. Ia hanya ingin dirimu dan dia ke sini hanya untukmu. Temuilah dia meski hanya sesaat saja”

Hening seketika saat aku duduk. Gadis itu masih menyisahkan isakan dan air mata. Perlahan ibu mendekat lalu merangkulnya penuh kasih dan cinta seolah gadis itu seperti anak kandungnya sendiri.
Seperti bisa kurasakan raungan, perih dan rintihan hatinya yang seakan membentakku dengan penuh kebencian. Dia membuang muka tak sudi melihatku. Sementara aku hanya menatap segelas teh yang masih hangat dengan aroma yang menyeruak ke dalam hidung.

“Nak. Sampai kapan kau akan seperti ini? Hari ini Amran sudah kembali dari perantauannya. Katakanlah semua hal yang membuatmu seperti ini! Bukakankah kau selalu menanyakannya? Dia di sini hanya beberapa hari saja. Jadi ungkapkanlah semuanya”
Gadis itu terus terisak dalam pelukan ibu. Air mata terus meleleh. Bahkan mungkin hanya menelan ludahnya pun akan terasa sangat sakit.

“Amran. Apa kau tak pernah merasakan bagaimama hatiku lelah dalam penantian? Penantian yang entah akan berujung kemana. Apa aku tak boleh berharap? Apa aku tak pantas memiliki separuh dari hatimu? Apa yang membuatmu sulit untuk menerimaku? Apa yang memyumpal mulutmu dan memilih pergi?. Bang Amran, Apa salah jika aku yang seorang perempuan mengungkapkannya terlebih dahulu? Bukankah niatku itu suci? Aku merasa jika aku adalah wanita yang paling beruntung jika bisa bersamamu. Dan hari itu aku datang kepadamu dan mengatakan semuanya. Akan tetapi kau menggantungkan pertanyaanku dengan memilih untuk pergi dan menjauh”

Gadis itu menghujamku dengan setumpuk pertanyaan yang membuat dadaku semakin sesak. Aku tahu tak mudah menyapu bersih semua hal menyakitkan itu. Berat bagiku untuk membuka mulut dan memberinya jawaban. Namun sampai kapan ia akan seperti ini? Sampai kapan ia akan membunuh dirinya dengan kesedihan yang semestinya ia harus belajar untuk menerimanya?

“Aku tahu apa yang kau rasakan. Namun tak semestinya kau harus seperti ini. Aku menghargai apa yang telah kau perjuangkan demi bisa hidup bersamaku. Siapalah diriku ini? Setidaknya aku juga pernah melakukan hal yang sama denganmu”

“Melakukan hal yang sama? Kau tak melakukan apapun. Bahkan tak satu nada pun yang keluar dari mulutmu ketika aku datang mengatakan niatku untuk menjadi istrimu. Atau apa kau merasa harga dirimu terinjak lantas dilamar oleh seorang wanita terlebih dahulu?”

Nada suaranya semakin meninggi bercampur dengan udara angin malam yang semakin dingin menembus lapisan epidermis kulit. Tapi sepenuhnya ini bukan hanya karena kesalahanku. Dia yang membiarkan dirinya terombang-ambing di tengah lautan tanpa arah yang jelas. Untuk apa dia menantiku?

“Indah. Apa kau tahu jika aku lebih dulu melakukan hal yang sama sepertimu? Aku selalu resah jika membayangkan wajah dan nada suaramu sedangkan kau sendiri tak ada di sampingku. Dan hari itu kuputuskan untuk datang menemui ayah dan ibumu karena aku tak menemukan jalan untuk bersamamu selain menikah. Akan tetapi mereka menolakku, bahkan melemparkanku ke dalam jurang dengan kata-kata. Aku hanyalah pemuda miskin yang tak punya apa-apa, setiap hari berteman dengan cangkul dan caping, ayahku tak mempunyai kedudukan yang tinggi di mata penduduk kampung. Bahkan ibuku pun tidak tamat Sekolah Dasar, mereka tak mampu membawaku ke bangku kuliah dan hanya sampai Sekolah Menengah Akhir saja. Dan semua itu berbanding terbalik dengan dirimu. Wajarlah jika ayahmu yang seorang kepala desa menolak lamaranku. Dan untuk menghapus rasa kecewa, aku memilih untuk pergi jauh dan lebih jauh lagi. Berharap jarak dan waktu bisa menghapus semuanya dengan perlahan”

Aku menarik nafas dengan teramat berat. Tangisnya kembali pecah. Memecahkan keheningan malam yang menyelimuti kesedihannya. Aku hanya bisa menelan ludah. Ibu memeluk Indah dengan semakin erat.

“Indah. Aku minta maaf jika aku tak pernah memberitahumu yang sebenarnya sebelum pergi. Kukira ayah dan ibumu akan mengatakan hal itu karena engkau sedang tak berada di rumahmu saat aku datang untuk mengatakan niatku itu. Aku tak mungkin memaksa dirimu untuk denganku tanpa anggukan persetujuan dari orangtuamu. Karena pernikahan bukan hanya mengenai dua insan yang saling mencintai, melainkan akan melibatkan dua keluarga untuk menjadi satu. Maaf, sekali lagi maaf. Pekan depan aku harus kembali ke Kalimantan, membawa ibuku hidup bersamaku di sana. Dan aku telah dinanti oleh keluarga kecilku. Sudah ada bidadari dan pangeran mungil tampan yang menjadi pelengkap hidupku di Borneo sana dalam dua tahun terakhir ini.”

TAMAT

Cerpen Karangan: Goalijaya
Blog: goalijaya.blogspot.co.id


Rabu, 01 Februari 2017

Sampai Akhir Menutup Mata

“Ben, kamu udah bersyukur belum hari ini?”, pertanyaan yang sering dilontarkan kawanku Andi setiap harinya yang membuatku tersadar betapa pentingnya bersyukur atas kehidupan yang telah Tuhan berikan kepada kita. Alasan Andi bertanya seperti itu kepadaku tak lain ia hanya ingin membuatku ingat akan perjuangan para pahlawan yang rela mati demi mengibarkan bendera merah putih yang menjadi kebanggaan bangsa Indonesia. Sikap ramahnya membuatku semakin beruntung memiliki sahabat seperti Andi, mungkin tak banyak orang yang seperti Andi di dunia ini.

“Andi, kamu gak latihan hari ini?”, tanyaku kepada Andi yang sedang memainkan game di ponselnya. “Kayaknya hari ini aku gak bisa latihan, soalnya badanku kurang fit, Ben”, jawab Andi sambil menoleh ke arahku. Tidak biasanya Andi seperti itu, mungkin ia terlalu lelah karena kemarin telah berlatih renang dengan keras. Aku pun terpaksa harus berlatih renang tanpa Andi hari ini.

Aku dan Andi adalah atlet renang nasional yang tahun lalu ikut kejuaraan renang di Thailand, namun hasilnya kurang memuaskan. Kami gagal mempersembahkan medali emas bagi Indonesia. Dan tahun ini kami berharap bisa mengumandangkan lagu Indonesia Raya di negeri orang. Bulan depan aku dan Andi akan melewati masa karantina, maka dari itu kami harus mempersiapkannya dari sekarang untuk mengikuti kejuaraan renang di Singapura.

Masa karantina pun telah dimulai, semua atlet renang termasuk aku dan Andi sangat berlatih keras demi menampilkan yang terbaik di Singapura nanti. Semangat begitu terpancar di wajah Andi yang selalu melontarkan pertanyaan sakral kepadaku setiap harinya itu. “Ben, tahun ini kita harus bisa kibarkan bendera Indonesia dan kumandangkan Indonesia Raya di Singapura, bawa medali emas!”, ucap Andi kepadaku ketika sedang latihan.

Tak terasa, kami pun sudah berada di Singapura dengan semangat 45 yang berkobar. Kebetulan kejuaraan ini bertepatan dengan bulan Agustus, bulan dimmana Bung Karno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Andi sangat berantusias untuk memberikan kado terindah bagi ulang tahun Indonesia yang hanya beberapa hari lagi.

Dua hari lagi aku akan bertanding melawan negara-negara lainnya yang akan memperebutkan medali lewat cabang renang gaya punggung putra. Sementara sehari setelahnya Andi akan berlaga di gaya bebas putra. Meskipun Andi adalah seorang kristiani, tetapi ia sering menngingatkanku akan berdoa atau solat terlebih dahulu sebelum bertanding.

Hari ini aku gagal mengumandangkan Indonesia Raya di Singapura walaupun pencapaianku hari ini lebih baik ketimbang tahun lalu karena di kejuaraan tahun ini aku berhasil mempersembahkan medali perak bagi Indonesia.

Keesokan harinya giliran Andi sahabat terbaikku yang akan berjuang di medan perang. Ketika bertanding Andi selalu menganggap semua lawannya seperti para penjajah di masa lampau yang banyak menyengsarakan rakyat Indonesia. Dengan begitu, Andi bisa lebih bersemangat dalam bertanding. Tahun lalu Andi hanya mendapatkan medali perak dan tahun ini ia menargetkan emas untuk dibawa pulang ke Indonesia.

Semalam sebelum bertanding, Andi menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan sangat lantang. Katanya, ia harus berlatih mengumandangkan lagu Indonesia Raya untuk besok karena ia sangat yakin besok bisa menjadi juara pertama di renang gaya bebas putra sehingga bisa mengumandangkan lagu ciptaan W.R Soepratman itu.

Hari yang ditunggu Andi pun telah tiba, ia sudah mempersiapkan segala-galanya. Dan tak lupa Andi kembali mengingatkanku lagi dengan pertanyaan sakralnya. Semua perlengkapan telah melekat di badan atletisnya itu. Tak lama setelah bel berbunyi tanda dimulainya lomba, Andi pun meluncur deras ke dalam kolam bak laut biru itu dan menyerahkan semua hasilnya pada Sang Maha Kuasa.

Andi harus menyelesaikan lomba ini dengan dua putaran. Pada putaran pertama Andi berhasil memimpin, namun ketika berputar balik kecepatannya terlihat menurun dan setelah itu tubuh Andi sekan tak terlihat lagi. Andi tak berhasil menyelesaikan perjuangannya, ia tak sadarkan diri ketika akan mendekati garis finish.

Andi telah berpulang di Singapura, semua rombongan timnas renang Indonesia termasuk aku sangat terpukul dengan kepergiannya terlebih Andi adalah sahabat terbaikku selama ini. Namun perjuangannya tidaklah sia-sia, impiannya untuk mengumandangkan lagu Indonesia Raya tidaklah sepenuhnya gagal. Untuk menghormati dan memberikan selamat jalan kepada Andi, lagu Indonesia Raya pun berkumandang di Singapura. Dan aku yakin, Andi pun pasti ikut bernyanyi bersama kami.

Aku bangga memiliki sahabat seperti Andi yang berjuang habis-habisan di medan perang walaupun kondisinya tidak begitu baik hanya untuk bisa kibarkan merah putih dan kumandangkan Indonesia Raya sampai akhir hayatnya, sampai matanya benar-benar takkan pernah terbuka lagi.

Cerpen Karangan: Erfransdo
Blog / Facebook: erfransvgb.blogspot.com / Erfrans Do

Senyumanmu Adalah Kebahagiaanku

Di sebuah kota tepatnya di Surabaya, tinggallah seorang gadis kecil berusia 14 tahun yang bernama Erwina Larissa Fatimah, dia lebih sering disapa Ima. Gadis kecil bernama Ima sekarang telah menduduki bangku kelas 3 SMP. Dia pun telah berhasil menempuh Ujian Nasional, kini tinggal menunggu hasilnya saja. Sejak lama dia sudah mempunyai impian untuk bisa masuk di salah satu SMAN komplek terfavorit di kota Surabaya. Suatu hari dia berbincang-bincang dengan kedua orangtuanya untuk merundingkan dimana dia akan melanjutkan pendidikannya.

“Bu, Pak” kata Ima membuka pembicaraan pada orangtuanya yang sedang berkumpul di ruang tamu
“Iya Nak?” jawab kedua orangtua yang hampir bersamaan
“Bagaimana kalau nanti Ima mencoba untuk ikut tes RSBI dulu? Nanti kalau tidak lulus baru ikut yang reguler” kata Ima sambil menatap muka kedua orangtuanya secara bergantian. Terlihat guratan di wajah kedua orangtuanya, yang menandakan mereka terlihat bingung mendengar ucapan anaknya.
“Kalau ibu sih terserah kamu saja yang penting kamu optimis”
“Oh bagus itu, bapak malah bangga kalau kamu nanti bisa masuk sekolah komplek. Pokoknya kamu belajar saja yang rajin, nanti bapak akan bekerja keras untuk mendapatkan biayanya” Sahut bapaknya sambil melirik balik ke arah istrinya
“Emm… Makasih ya bu, pak. Ima janji Ima akan belajar rajin” jawab Ima dengan melontarkan senyum lebar dan berangsur meninggalkan tempat itu

 Ima merebahkan tubuhnya di kasur kesayangannya. Memeluk guling kesayangannya dan menatap langit-langit kamarnya yang terang benderang terkena cahaya lampu kamarnya malam itu. Butiran-butiran air mata tak henti-hentinya terjatuh di pipinya. Ya benar, Ima memang menangis. Matanya sudah terlihat sangat sembab, merah, dan hidungnya pun merah. Tak ada niatan sedikitpun darinya untuk menyeka air matanya yang sudah membasahi pipinya itu, air mata itu ia biarkan jatuh dan melewati pelipisnya hingga menembus ke bantalnya. Terdengar ketukan pintu kamarnya, tetapi dia mengabaikan ketukan itu. Tak berapa lama kemudian masuklah seorang wanita paruh baya ke kamarnya. “Kenapa kamu menangis sayang?” tanya Ibu Nia mendekati ranjang anaknya dan memposisikan dirinya di samping Ima
“Ima baik-baik saja bu” jawabnya sambil menyeka sedikit air matanya menggunakan kedua tangannya
“Cerita saja pada ibu”
 Flashback On
“Kamu itu orang miskin, mana bisa masuk sekolah komplek yang elit itu!” tukas seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah tetangga neneknya
“Apa bapak kamu sanggup membiayai kamu selama sekolah di sekolahan elit itu? Bapak kamu kan cuma seorang kurir. Gajinya saja tidak cukup untuk uang makan satu bulan” sahut nenek Mini *Nenek Ima*. Ima hanya bisa terdiam mendengar cacian orang-orang itu, dan yang paling membuatnya sakit hati itu adalah neneknya. Yup, neneknya juga ikut-ikutan mencaci dan merendahkan dirinya dan kedua orangtuanya. Kakek Ima yang mengetahui hal itu langsung memanggil Ima, dan Ima berlari menghampiri kakeknya itu. Tak disangka disana Ima bisa menumpahkan segala rasa sakitnya. Melihat cucunya yang sedang terisak, kakeknya mendekati Ima dan berusaha menenangkannya. “Memangnya benar kalau kamu ingin masuk ke sekolah komplek itu Ima?” Tanya kakek Adi -Kakek Ima-
 “I..ya.. kek” jawab Ima tersengal-sengal, dia masih terisak dalam tangisnya “Jangan dengarkan kata mereka, gapailah impianmu Ima. Kalau kamu nanti bisa masuk ke sekolah komplek itu, orangtuamu akan bangga padamu begitupun dengan kakekmu ini”
“Iya kek, Ima ingin membahagiakan ibu dan bapak kek, makanya Ima berniat mencoba ikut tes RSBI di sekolah komplek karena Ima ingin mengangkat derajat orangtua Ima agar kita tidak dicaci maki orang-orang lagi” Ima pun tak kuasa menahan air matanya, seketika saja air mata itu tumpah dan kakek pun merangkul erat cucunya yang sedang sedih itu
Flashback Off

 “Sudahlah Nak, jangan dimasukkan ke dalam hati. Mereka hanya sirik dengan keluarga kita. Kan mereka tidak tau bagaimana kemampuan Ima. Jangan sedih ya sayang” Ibu Ima merangkul erat anaknya, sebenarnya hatinya pun juga turut terluka karena mendengar cacian-cacian orang-orang itu, terlebih lagi ibu mertuanya.
“Abaikan saja kata-kata mereka, toh mereka juga tidak ikut membiayai sekolah kamu nantinya. Sekarang tugas kamu hanyalah belajar saja” tiba-tiba bapak Ima masuk dan sontak membuat kaget istri dan anaknya yang sedang berpelukan itu

 Hari yang ditunggu telah tiba, kini tiba waktunya pengumuman hasil tes RSBI yang telah diikuti oleh Ima kemarin. Ima sangat berharap bahwa dirinya nanti bisa diterima di salah satu dari tiga sekolah komplek tersebut. Tapi harapan Ima seolah pupus lantaran namanya tidak ada dalam daftar nama siswa yang diterima di dua sekolah komplek yang ia pilih. Ima merasa sedikit kecewa karena hanya sedikit saja selisih nilainya dengan nilai terendah di sekolah komplek tersebut. ‘Mungkin memang benar kata orang-orang, sekolah itu tak pantas untukku. Aku ini terlalu miskin untuk bersekolah di sana’ pikirnya dalam hati Setelah dia tak dapat diterima di sekolah komplek itu, dia pun mengikuti pendaftaran reguler yang diadakan oleh pemkot Surabaya melalui pendaftaran online. Pendaftaran dimulai hari ini, dan itu artinya Ima pun segara mendaftarkan diri. Setelah memasuki hari ketiga pendaftaran, nama ‘Erwina Larissa Fatimah’ sudah tidak ada dalam daftar nama di tiga sekolah yang ia pilih. Itu artinya posisinya tergeser oleh siswa yang nilai NEM nya lebih tinggi darinya. Ia pun tak putus asa, akhirnya orangtuanya mendaftarkannya ke sekolah swasta yang terkenal sedikit elit. Ya, sekarang Ima bersekolah di sana.

Tiga tahun telah berlalu, Ujian Nasional juga telah dilaluinya dengan lancar. Masih sama seperti yang dulu, Ima hanya tinggal menunggu hasil dari kerja kerasnya selama tiga tahun di masa putih abu-abu ini. Dan juga dia menunggu pengumuman peserta yang diterima di PTN. Seminggu kemudian, pengumuman itu ditempel indah di mading yang terletak di dekat pintu masuk sekolah. Ratusan siswa kelas XII yang sudah bergerombol sejak tadi pagi langsung bergegas mendekati papan pengumuman itu, tak terkecuali Ima. Dan hasilnya pun memuaskan, Ima lulus dengan nilai yang tinggi dan dia pun juga diterima di salah satu PTN terkemuka di Surabaya dengan jurusan yang ia pilih, yaitu Ekonomi Pembangunan. Yup, berarti sebentar lagi Ima akan menjadi ‘Mahasiswi Ekonomi Pembangunan’. Dia sangat senang dan segera pulang untuk memberitahukan berita bahagia ini kepada ibu dan bapaknya.

 “Ibuuuuuu… Bapaakkkkk…” teriak Ima lantang saat ia masih berada di halaman rumahnya Orangtuanya yang mendengar teriakan anaknya itu langsung bergegas menuju sumber suara itu. Dari kejauhan mereka melihat sesosok gadis kecil mereka telah berubah menjadi gadis remaja yang beranjak dewasa dengan senyuman yang mengembang di bibirnya. “Ada apa sih? Kok teriak-teriak seperti itu?” sahut ibunya yang masih terlihat memakai celemek biru di badannya
“Aku lulus bu, aku lulus pak” jawabnya sambil mendekati dan menciumi tangan ibunya lalu berpindah menciumi tangan bapaknya “Alhamdulillah, terus bagaimana dengan nilai kamu nak?” tanya bapaknya yang juga turut mengembangkan senyumannya
“Nilaiku memuaskan pak, dan ada satu berita lagi bu, pak” serunya
“Berita apa?” ucap ibu dan bapak hampir bersamaan
“Tak lama lagi anak kalian ini akan menjadi Mahasiswi Ekonomi Pembangunan bu, pak” serunya lagi sambil memegang tangan kedua orangtuanya lagi
“Itu artinya kamu diterima di universitas itu nak?” Tanya ibunya. Ima pun hanya mengangguk pelan tanda mengiyakan
“Alhamdulillah, bapak sama ibu bangga punya anak seperti kamu. Semoga kamu tidak mengecewakan kita nantinya ya?” Senyuman lebar terukir di sudut bibir bapak, begitupun dengan ibu. Mereka terlihat sangat senang

 4 tahun kemudian
“Selamat ya nak, kamu sudah menjadi sarjana sekarang” ucap ibu disertai dengan tetesan air mata bahagia yang menetes dari sudut matanya “Makasih bu, pak ini semua berkat kalian juga. Kalian yang selalu menyemangati Ima hingga Ima bisa jadi seperti ini. Ima sangat senang karena ibu sama bapak bisa mendampingi Ima wisuda”
“Iya nak, kamu sudah berhasil membuktikan kemampuanmu kepada orang-orang yang dulu mencacimu. Sekarang mereka akan tau bagaimana hebatnya anak bapak yang satu ini” ucap bapak sambil mencium kening anak semata wayangnya itu. Suasana menjadi sangat mengharukan, semuanya pun ikut menangis.

Dua bulan setelah Ima menjadi Sarjana Ekonomi, dia pun kini bekerja di sebuah divisi keuangan di salah satu perusahaan ternama di Surabaya. Gaji dari hasil kerjanya pun telah ia kumpulkan, selama beberapa bulan uang itu sudah terkumpul cukup banyak. Tanpa basa-basi lagi Ima pun memberikan uang dari hasil keringatnya kepada orangtuanya.
“Bu, Ima ada sedikit rezeki untuk ibu dan bapak” ucap Ima yang menghampiri ibunya di ruang tamu sambil menyodorkan amplop berwarna coklat muda yang dari tadi dibawanya
“Kamu simpan saja uang ini, ini kan hasil kerja kamu nak” ucap ibu sambil mengembalikan amplop itu lagi ke tangan Ima “Tidak bu, Ima ingin memberangkatkan ibu dan bapak untuk umroh. Itu kan impian kalian sejak dulu? Sekarang Ima sudah bisa mewujudkan impian itu bu. Ima bisa!” jawab Ima sambil menaruh amplop itu ke tangan ibunya lagi dan tangannya ikut mendekap tangan ibunya yang bertujuan untuk menahannya supaya ibunya tidak mengembalikan uang pemberiannya lagi. Hal yang tak disangka olehnya pun terjadi, kini ibunya menangis di hadapannya. Iya, ibunya memang menangis, lebih tepatnya lagi menangis bahagia. Setelah itu ibunya segera memberitahukan kepada suaminya bahwa sebentar lagi mereka bisa menunaikan ibadah umroh. Atas kerja kerasnya selama ini akhirnya Ima bisa membahagiakan kedua orangtuanya itu, ‘Akhirnya Ima bisa mewujudkan impian kalian, senyumanmu adalah kebahagiaanku ibu… bapak…’ batin Ima yang sedang mengantarkan keberangkatan kedua orangtuanya di bandara


TAMAT

Cerpen Karangan: Endah Sulistyo Rini
Blog / Facebook: endahsr30.blogspot.co.id / Endah Sulistyo Rini D’Linstar

Senin, 30 Januari 2017

Saat Terakhir

Duar. Kilat menyambar. Dahyat. Memekakkan telinga. Langit malam meruntuhkan air. Ya! Buncahan hujan deras menghantam bumi. Teramat sangat malah. Membuat jalanan banjir. Angin malam berkesiur kencang. Dingin membeku. Awan hitam mendominasi. Kelam. Gemintang indah tertutup. Terhalang. Gemerlap lampu-lampu musnah sudah. Ibu Kota ini memang benar-benar layaknya zaman batu. Gelap. Hanya sesekali cahaya kilat membuat terang. Sekejap.

Apa yang sebenarnya diinginkan takdir langit pada malam ini? Entahlah. Tak ada yang tahu. Apa pula yang sedang terjadi? Entahlah. Di kamar yang serba putih, Dimas meratap. Ya! Yang ia mampu perbuat sekarang hanyalah meratap. Diam seribu bahasa. Melihat Dewi terbaring lemah. Tak berdaya. Wajahnya pucat bagai seorang mayat. Tapi ia masih bernafas. Selang-selang menghujam tubuhnya yang semakin ringkih dan ringkih. Matanya sayu masih setengah membuka. Mencoba mengutarakan isi hati. Entahlah. Benar-benar tak karuan malam ini. Beribu-ribu kilat terus menyambar. Membawa pedih. Sama seperti hatinya sekarang. Berbagai sesal menghantui tiap detik beku di kamar ini. Dokter memvonis bahwa usia Dewi tak akan lama lagi. Tinggal menghitung hari saja. Kankernya sudah menjalar-jalar ke seluruh tubuh. Stadium 4. Sangat parah. Dan di kamar yang serba putih ini, mungkin ajal akan menjemputnya. Entahlah. Dimas hanya mampu meratap. Terus menerus. Perasaannya bercampur aduk antara amarah dan sesal. Rasanya ingin sekali ia mencabik-cabik mulut dokter bajingan itu. DOKTER SOK TUHAN!!! Berani-beraninya ia membatasi umur manusia. DOKTER LAKNAT. DOKTER B-A-J-I-N-G-A-N. Batinnya berteriak parau. Memilukan.

Di kamar yang serba putih ini, Dewi kian kalang kabut dengan sakit yang dideritanya. Menangis basah. Menahan sakit. Namun, tak kuasa membrontak. Ia sudah lemas. Tak berdaya. Matanya sayu masih membuka. Menghipnotis Dimas yang melihatnya iba.
“APAKAH AKU CANTIK?”

“Dimas…” Dewi berteriak. Berlari terpongah-pongah ke arah Dimas yang berada di seberang jalan. “Tunggu aku…” Apa yang ada di benak perempuan itu sebenarnya. Berlari tanpa melihat arah. Menyeberang jalan seenaknya saja. Untunglah jalanan senggang.
Dimas menghentikan langkah. Terpaku sejenak. Menunggu Dewi yang masih berlari tak peduli arah. Tak lama, ia sudah di hadapan. Nafasnya ngos-ngosan. Sedikit tetes peluh di dahi menyembul.
“Berangkat ke kampusnya bareng yaa.” Ia tersenyum. Lesung di pipi menambah menawan. Sungguh ayunya. Dimas tak kuasa menatap lamat-lamat wajah cantik itu. Jantungnya terasa sangat berderap jika di dekatnya. Apalagi jika senyuman itu terhias. Bagai sedang di kutub, badannya langsung membeku tak berkutik. Salah tingkah. Tapi, ada tanda tanya besar dalam hatinya. Dewi, seorang anak direktur perusahaan ternama, kaya raya, mobil melimpah, kenapa malah memilih berangkat ke kampus bersama Dimas, laki-laki kere yang hidup ngekos di tengah hamparan apartemen Ibu kota, berangkat dengan naik metro mini yang asapnya macam rumah kebakaran. Bukankah ia punya banyak mobil ber-AC yang adem dan mulus? Inilah yang membuat bingung Dimas selama beberapa bulan terakhir setelah mengenalnya.

Ya! Sudah tiga bulan ini mereka menjalin pertemanan. Hanya sebatas teman. Dan apakah mereka juga menginginkan hubungan itu hanya sebatas teman saja? Entahlah. Dimas, sudah lama ia memendam rasa kepada Dewi. Tapi, ia tahu diri. Minder. Seorang anak orang rendahan mana mungkin bisa menjadi kekasih seorang anak direktur yang kaya raya, cantik pula. Benar-benar bagai punuk merindukan bulan. Mungkin tidak! Bagaikan punuk merindukan Neptunus, planet terjauh di tata surya. Dan itu menandakan kalau hubungan mereka tak akan pernah terjadi. Tidak pernah terbesit dalam hati Dimas kalau ia akan menjalin hubungan dengan Dewi sebagai seorang kekasih, melamarnya, menikahinya, mempunyai anak bersamanya, mempunyai cucu dari anak-anak mereka dan hingga akhirnya mati bersama dalam pelukan cinta antara seorang kakek dan nenek. Tak pernah terbesit pikiran seperti itu dalam diri Dimas. Setiap kali ia membayangkan bagaimana menjalin hubungan kekasih dengannya, di saat itu pula ia selalu mengandaskan pikirannya dalam-dalam. Tak mungkin anak seorang direktur kaya mau dengan laki-laki kere. Dan karena itulah ia selalu memendam rasa. Hingga saat ini pun ia masih memendamnya. Tak mau diungkapkan. Ia terlalu malu untuk mengungkapnya. Ia hanya LAKI-LAKI KERE YANG NGEKOS DI ANTARA HAMPARAN APARTEMEN IBU KOTA.

“Hai, kok melamun.” Dewi menggertak kecil. Mengagetkan Dimas. Melempar senyum yang manis itu.
“Oh, iya…” Dimas memalingkan muka. Salah tingkah. Menatap Dewi. Sebentar. Ia tak kuasa menatap Dewi lamat-lamat. Apalagi menatap mata beningnya yang memesona. Ia benar-benar tak kuasa “Kenapa, Dew?”
“Kita berangkat ke kampusnya bareng yaa.” Ia kembali meminta untuk yang kedua kalinya.
Dimas membuang jauh-jauh tanda tanya besar itu. Juga pendaman cintanya. Mungkin saja Dewi ini adalah seorang anak yang merakyat. Tak sombong. Mau bergaul dengan siapa saja walaupun orang itu adalah orang yang kere. Dan ia melakukan ini bukan karena adanya cinta yang terbelit di hatinya juga. Dimas yakin kalau Dewi tidak melakukannya karena diam-diam ia juga mencintai Dimas. Mana mungkin anak seorang direktur cinta dengan laki-laki kere. MUSTAHIL
“Iyaa. Ayo berangkat.”

Whong… Sebuah metro mini melintas. Deru knalpotnya membuat bising. Pun asapnya. Menutup muka Dewi yang putih mengkilap bagai mutiara. Dan kini muka itu ternoda dengan asap hitam polusi. Kalau begini laki-laki mana yang tak tega kala melihat seorang perempuan begitu tersiksa dengan asap itu. Apalagi cantik pula. Dan semua ini masih menjadi teka-teki dalam diri Dimas. Kenapa seorang anak direktur kaya yang punya banyak mobil ber-AC dan mulus malah lebih memilih naik metro mini bising dan penuh kebul?

Di perjalanan, mereka hanya mengobrol sesuatu yang sama yang selalu mereka bicarakan tiap hari. Dewi selalu bercerita pada Dimas dengan apa-apa yang terjadi dengannya. Seakan-akan Dimas itu adalah diary curahan hatinya. Semuanya tercurah ke dalam telinga Dimas. Tanpa satupun yang terlewat.
“Hai, Dim. Kau tahu, sebenarnya aku sedang suka dengan seseorang.” Dewi menggumam.
Mendengar itu Dimas terperangah. Hatinya bergejolak. Oh Tuhan, siapakah yang dicintainya? Ia ragu. Tak mungkin Dewi mencintai dirinya yang kere dan rendahan.
“Oh, iya? Benarkah? Siapa?” Tanya Dimas. Melempar senyum walau itu hanya sebatas senyum palsu.
“Cie, yang kepo cie…” Dewi tersenyum manis. Merasa pancingannya berhasil membuat Dimas bertanya-tanya.
Pipi Dimas memerah. Padahal ia mejawab itu karena tak enak dengan sikap Dewi yang sering curhat dengannya. Jika reaksinya datar-datar saja, mungkin Dewi tak akan tersenyum seperti itu. Ia tak tega. Ia selalu ingin melihat senyum Dewi yang memesona. Tapi, pipi Dimas benar-benar memerah kali ini. Apakah ini sebuah tanda? Apakah pertanyaan itu bukan sebuah tanya akting belaka? Dan apakah senyum itu bukan senyum palsu yang sesungguhnya? Entahlah.
“Kamu mau tau nggak siapa?” Dewi bersuara. Tersenyum indah. Memesona.
“Emang siapa?” Tanya Dimas. Memasang wajah berpura-pura ingin tahu sekali. Walau mungkin wajahnya tidak dibuat-buat. Ia memang benar-benar ingin mengetahuinya.
“Tuh,” jawab Dewi sambil menunjuk ke suatu arah. Telunjuknya menuding ke sopir bus mini yang sudah tua. Kumis tebal. Wajah glopot dan berslampir handuk kecil di lehernya.
“Sialan. Kamu itu sukanya bercanda.” Dimas kesal. Merasa tertipu. Mencubit pipi Dewi yang lembut. Ia tersenyum. Lesung pipinya membuat hati berbunga-bunga. Anak-anak rambut yang menutup dahi ikut bergoyang. Benar-benar cantik sekali.
“Ih, kamu mah, main cubit-cubit aja. Aku bukan boneka tau.” Dewi bergumam. Membalas cubitan Dimas dengan satu gelitik di pinggang. Mereka bergurau.
Dan entah kenapa, tanpa sadar, mungkin setelah mereka lelah bergurau, Dewi menyandarkan kepalanya pada bahu Dimas. Di tengah riuhnya knalpot bobrok metro mini, ia bagai merasakan sedang berdua saja di suatu alam yang tenang. Milik mereka berdua. Lagi pula, Dimas juga tak keberatan jika bahunya dipinjam perempuan seperti dia. Tapi, hatinya menolak. Apakah ia pantas untuknya? Ia hanya laki-laki kere. Sedangkan Dewi adalah seorang anak direktur perusahaan ternama yang kaya raya.

Tiga bulan berlalu. Dewi dan Dimas kini semakin dekat saja. Tiap hari berangkat kampus bersama. Bercanda di metro sambil selalu menunjuk ke arah supir metro mini yang selalu ganti tiap minggu. Dan Dimas selalu menanggapinya dengan cubitan di pipi Dewi yang selalu membentuk teluk kala ia tersenyum. Atau terkadang juga menjitak kepalanya lembut. Bukan jitakan keras. Mungkin lebih tepatnya membelai. Ya! Dimas kian merasakan perasaannya semakin bergejolak. Tapi, semakin cintanya bergejolak, semakin pula minder itu menguasai dirinya. Lagi-lagi ia berpikir kalau dirinya sama sekali tak pantas mencintai seorang perempuan seperti Dewi. Apalagi kalau Dewi mencintainya. Ia bahkan tak bisa membayangkan bagaimana terpiuhnya hati Dewi jika ia harus hidup berdamping dengan laki-laki kere, miskin seperti dia. Walau ia sebenarnya tahu kalau Dimas hanyalah seorang anak pedagang sayur di desa yang pergi ke Ibu Kota untuk bersekolah. Tapi, bagi Dimas itu sama saja. Ia tak ingin Dewi tersiksa karenanya. Oleh Karena itu, sampai sekarang pun ia belum bisa mengungkapkan perasaan yang diderma batinnya sejak lama. Ia ragu. Teramat sangat malah.

Satu minggu berlalu, di suatu malam yang indah bermilyar gemintang, Dewi mengajak Dimas makan malam bersama. Entahlah. Dimas tak tahu apa maksud makan malam ini. Tapi ia tak enak untuk berkata tidak. Karena itulah ia menyanggupinya. Lama ia menunggu. Satu jam. Dua jam. Tiga jam. Dewi sama sekali tak datang. Dimas mulai punya firasat buruk. Tak pernah sekalipun Dewi mengingkari janjinya. TAK PERNAH. Tapi malam ini, ia tak memegang kata-katanya.

Keesokan harinya, Di suatu pagi hening yang penuh dengan tetesan embun, Dimas merasakan suatu yang berbeda. Pagi itu, sama sekali tak terdengar teriakan Dewi yang lembut memanggil namanya. Menyuruhnya berhenti. Tak ada suara itu. Ia terheran. Ke mana dia? Ke mana panggilan “Dimas…” yang selalu terlontar tiap pagi? Ke mana hentakan kaki buru-buru yang mengejar dirinya? Ke mana kalimat “Berangkat ke kampusnya bareng ya…” Ke mana? Ke mana? Ke mana Dewi sebenarnya?

Dimas menunggu. Mungkin saja Dewi kesiangan. Tapi, sampai satu jam pun ia tak kunjung datang. Akhirnya berangkatlah Dimas seorang diri. Tak ditemani seorang perempuan manis yang selalu menggelitiki pinggangnya. Yang selalu ia cubit pipi teluknya. Di tengah riuhnya dialog orang dan mekakkannya deru knalpot bobrok metro, ia kesepian. Hanya memandang ke luar jendela dengan tatapan kosong yang tak bermakna.

Tiga minggu berlalu. Sudah genap satu bulan Dewi menghilang tanpa sebab sejak ketidakhadirannya di makan malam itu. Dimas semakin bergoncang. Di mana dia? Di mana dia sebenarnya. Ia bertanya pada teman satu kampusnya yang mengambil jurusan sama dengan Dewi mengenai perihal menghilangnya Dewi. Namun, ia tak tahu. Bahkan sudah sebulan juga Dewi tak berangkat ke kampus tanpa memberi surat keterangan satupun. Dan ini membuat Dimas semakin bingung. Di mana Dewi sebanarnya?

Satu minggu lagi berlalu. Setelah mencari-cari keberadaan Dewi, akhirnya segelintir infomasi terkuak juga di telinganya. Pada suatu malam yang terselimut awan mendung yang sangat gelap, salah seorang temannya menelepon. Mengabarkan bahwa DEWI SEDANG SEKARAT.
Kabar itu begitu amat mencengangkan baginya. Dan karena itu, pada malam itu juga, ia hujan-hujanan menuju rumah sakit. Hujan semakin deras membuncah bumi. Disertai dengan kilatan petir dan teriakan guntur. Amat sangat mengerikan. Tapi ia tak peduli. Yang ada di dalam benaknya sekarang adalah Dewi, wanita yang amat sangat dicintainya. S-E-D-A-N-G S-E-K-A-R-A-T.

Hampir tengah malam, ia sampai di rumah sakit. Tubuhnya basah kuyup. Menggigil kedinginan. Tapi ia tak peduli. Orang yang sangat dicintainya sedang sekarat. Terbaring tak berdaya di kamar yang serba putih. Dan ia harus menemuinya.
Setelah melihat Dewi yang sekarang, sungguh dunia bagai sedang diguncang gempa yang sangat dahsyat. Teramat sangat Dimas terperanjat. Matanya terbelalak. Berkali-kali hatinya mengamuk tak percaya. Sungguh. Ia benar-benar tak percaya. Seluruh Dewi yang dikenalnya, kini sudah 180 derajat berubah. Rambutnya yang indah terurai kini sudah tak lagi ada di ubun-ubunya. Ia botak. Wajahnya pucat bagaikan mayat. Tubuhnya ringkih. Teramat sangat malah. Tulang-tulangnya bahkan terukir di kulitnya. Ia sangat kurus. Menyedihkan. Matanya sayu setengah menutup. Tak berdaya. Orangtuanya bilang, kanker telah menggrogotinya banyak tubuh Dewi. Semuanya sudah menjalar-jalar hingga ke organ-organ vital. Dan dokter memvonis kalau umur Dewi tinggal menghitung hari saja. Dan di sela-sela pandangan sayu itu Dewi berucap.

“APAKAH AKU CANTIK?”
Apa maksudnya. Dimas benar-benar tak tahu apa maksud Dewi.
“APAKAH AKU CANTIK?” Dewi bertanya lagi. Suaranya semakin serak dan parau.
“Apa maksumu, Dew?” Dimas bertanya. Tanya yang seharusnya tak ia lontarkan saat itu.
“Kau jawab saja aku, APAKAH MENURUTMU AKU INI CANTIK?” Dewi bertanya lagi. Tangan ringkihnya menggenggam pergelangan Dimas yang basah kuyup oleh hujan.
Dimas menelan ludah. Perasaannya kocar-kacir tak karuan. Firasat buruk semakin mengguncang tiada henti. Akhirnya, ia mengangguk, mengiyakan.
“Apakah.. kau.. mau tau.. sese..orang yang aku cintai?” Dewi bertanya. Pertanyaan yang sama ketika waktu di metro.
Lagi-lagi Dimas hanya mampu mengangguk. Sudah tak kuasa ia berkata. Hatinya sedang menangis melihat orang yang sangat dicintainya sedang menahan sakit. Tanpa air mata hatinya meingkuk. Memilukan.

Kemudian pelan ia berkata sambil menunjuk ke suatu arah. Ke sebuah cermin yang menampakkan Dewi dan Dimas. “Yang., a..ku cintai.. adalah… A..” Kata-katanya terputus pada huruf A. “A..” Ia mencoba berkata. Menahan sakit yang diderma. Sakit seribu sakit. “Ak…”

Dan apa yang sedang diinginkan takdir langit malam tadi? Dewi pun kini sudah menghadap Sang kuasa. Ia tersenyum beku. Lesung pipinya terukir abadi. Bendera kuning berkibar. Perkuburan ramai. Dewi kini sudah dikebumikan. Orangtuanya menangis melepas kepergian anak semata wayangnya. Tapi, yang teramat sangat kehilangan adalah Dimas. Sampai sekarang pun ia tak tahu siapa orang yang dicintai Dewi. “AK…” Siapa ak itu. Tapi itu tidaklah penting. Sekarang tak ada lagi orang yang ia belai lembut rambutnya. Tak ada lagi orang yang selalu tersenyum padanya setiap pagi di metro. Tak ada lagi orang yang ia cubit pipinya. Pipi yang selalu membentuk teluk ketika tersenyum. Dewi sudah tiada. Dan sebelum meninggalkan Dimas sendirian di perkuburan yang sudah menyepi, orangtua Dewi menyerahkan sepucuk surat. Surat yang ditulis Dewi ketika masa-masa perjuangannya melawan kanker. Surat yang ditujukan kepadanya.

Kepada: Dimas Aksara
Dari: Dewi Andita

Hai, Dim. Mungkin tak sepantasnya aku bicara seperti ini. Maaf karena aku tak datang menepati janjiku untuk bertemu makan malam. Aku benar-benar tak menyangka tuhan tak akan mengijinkannya. Sebelum aku pergi, aku ingin mengungkapkan sesuatu yang aku pendam selama ini. Mungkin tak sepantasnya aku bicara ini. Kalau pun kau akan menerimanya, semuanya pasti akan terlambat. Tak berarti. Tapi, aku akan tetap mengungkapkannya. Dan dari hati aku yang paling dalam, aku merasa nyaman berada di dekatmu. Entahlah. Aku tak bisa menjelaskan rasa itu. Mungkin dengan tiga kata kau akan paham. AKU CINTA KAMU.

Ya. Aku sangat mencintaimu, Dim. Aku tau mungkin kau tak mempedulikanku. Kau hanya berusaha menanggapi apa yang aku lakukan. Tapi, yang kulakukan semua adalah karena aku mencintaimu, Dim. Sungguh. Apa kau tahu kenapa aku selalu ingin bersamamu ketika berangkat ke kampus? Itu karena aku ingin selalu bersamamu setiap pagi. Aku selalu kesepian, Dim. Orangtuaku tak mempedulikanku. Mereka hanya peduli pekerjaan mereka. Bahkan setelah aku divonis oleh dokter menderita kanker satu tahun yang lalu. Dan kau adalah satu-satunya penyemangat hidupku.

Apa kau tahu kenapa aku selalu menuding supir metro ketika hendak memberitahukan orang yang aku cintai. Apa kau tahu? Kau pasti mengira kalau aku menuding supir itu. Tidak, Dim. Aku tidak sedang menuding supir itu. Yang kutuding adalah cermin. Kaca spion metro yang lebar. Yang menampakkan wajahmu yang sendu. Ya. Itulah yang aku tunjuk. Dan itulah orang yang AKU CINTAI.

Terima kasih, Dim. Terima kasih telah menjadi penyemangat hidupku. Terima kasih sudah mewarnai hidup kelamku. Terima kasih. Kau benar-benar sepereti namamu. AKSARA. Kau memang seperti tulisan yang aku coretkan di setiap buku diaryku, hanya kaulah yang tahu apa yang aku coretkan itu

                                                                                                                          Salam Manis


                                                                                                                          Dewi Anandita


Dan setelah membaca surat itu. Badan Dimas mendadak menjadi kaku tak berdaya. Tak disangka ternyata orang yang amat sangat dicintainya ternyata juga mencintainya. Tapi, semua sudah terlambat. Ia kini sudah tiada. Dimas pun menangis. Berteriak parau. Menyesali dengan apa yang telah dilakukannya. Maka dengan penuh rasa bersalah ia belai nisan bertuliskan “Dewi Anandita” seperti halnya ia mengelus rambut “Dewi Anandita” ketika di metro…

Cerpen Karangan: Aris Fatah Yasin
Facebook: Aris Fatah Yasin

Mimpi Perpisahan

Suara pintu diketuk membuyarkan lamunanku.
“Masuk,” ucapku dari dalam.
“Non, di bawah ada orang yang ingin bertemu dengan non,” ucap Bi Minah. Aku mengernyitkan dahiku berpikir siapa yang datang. Seseorang ingin menemuiku? Aku lalu memutuskan untuk turun ke bawah dan memeriksanya sendiri. Baru saja aku berjalan di anak tangga pertama, tubuhku langsung kaku. Dia. Untuk apa dia kemari? Bukankah dia sudah puas menghancurkan hidupku. Aku hendak berbalik dan masuk kamar sebelum dia memanggil namaku.
“Dania,” panggilnya lirih yang masih bisa kudengar.

Aku tertegun. Suaranya terdengar putus asa tetapi lembut dan penuh kasih sayang. Setelah lama tidak berjumpa dengannya, ini adalah pertama kalinya dia menyebut namaku. Tak terasa, satu tetes air mata membasahi pipiku. Aku menangis. Hal terakhir yang ingin aku lakukan akhirnya terjadi juga. Satu tetes dua tetes. Lama-lama air mata itu turun semakin deras. Aku tidak bisa memungkiri bahwa aku sangat merindukannya. Tapi, setelah dia meninggalkanku selama bertahun-tahun apakah dia pantas kurindukan. Aku terlantar, hidup tanpa kasih sayang dari Ibuku. Iya. Orang itu adalah Ibuku.

“Dania, mama mohon nak. Jangan benci mama seperti ini, mama tidak sanggup nak mama tidak sanggup. Mama lebih baik mati dari pada harus merasakan kebencianmu,” Nada bicara mama terdengar memilukan di telingaku.
“Maaf, saya tidak mengenal anda. Sebaiknya anda pergi dari sini,” ucapku dengan susah payah. Aku berusaha menahan isakan tangisku. Tapi hal itu sia-sia. Tangisku pecah bersamaan dengan tangis mama. Ruangan ini penuh dengan tangisan memilukan dari aku dan mama. Aku lalu mengusap air mata yang membasahi pipiku dan pergi masuk ke dalam kamar. Aku tidak peduli dengannya. Egoku mengalahkan semuanya. Bukankah dia sendiri yang meninggalkanku, lalu untuk apa dia kembali.

Aku merebahkan tubuhku di atas kasur berukuran queen size. Mataku menatap langit-langit kamar berwarna putih. Aku memikirkan apakah yang aku lakukan ini salah. Sebagian dari diriku berkata bahwa yang kulakukan ini sudah sangat benar. Tapi, sebagian diriku juga mengatakan bahwa yang kulakukan ini salah. Tidak seharusnya aku membenci perempuan yang telah melahirkanku ke dunia ini. Memikirkan hal ini membuatku pusing. Aku memutuskan untuk mendengarkan lagu saja. Kuraih ponselku yang tergeletak di atas nakas. Lagu In The Name of Love milik Charlie Puth terdengar indah di telingaku. Lama-kelamaan mataku semakin berat dan beberapa menit setelahnya aku sudah larut ke dalam alam mimpi.

Pukul 15.00 aku terbangun dari tidurku. Aku lalu bangkit dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi untuk mandi. Tak sampai 15 menit, acara mandiku sudah selesai. Aku memutuskan untuk menggunakan celana jeans di atas lutut dan sweater berwarna biru muda. Aku lalu memasukkan ponselku ke dalam saku celana. Juga tak lupa kubawa earphone. Aku keluar dari kamarku dan turun ke bawah melalui anak tangga. Aku tidak melihat sosok perempuan itu lagi di sini melainkan seorang laki-laki duduk di sofa sedang berbicara dengan Bi Minah. Aku tidak bisa melihat wajahnya karena posisi dia duduk membelakangiku. Aku lalu berdeham kecil dan membuat laki-laki itu menoleh.

“Nah, ini dia non Dania sudah datang. Silakan mengobrol dulu, Bibi ke belakang dulu ya,” pamit Bi Minah padanya.
“Hai,” sapanya ramah
“Mengapa kau ada di sini?” tanyaku bingung tanpa membalas sapaannya.
“Aku hanya berkunjung saja. Memangnya tidak boleh?” jawabnya
“Boleh saja. Lalu untuk urusan apa kau datang kemari?” Dia terlihat gugup saat aku menanyakan hal itu.
“Aku ingin mengajakmu mengelilingi kompleks. Apakah kau mau?” tawarnya padaku. Aku menimang-nimang tawarannya. Kebetulan sekali aku juga ingin mencari udara segar setelah kejadian tadi siang. Berjalan-jalan sendirian akan terasa sangat membosankan. Mungkin tidak ada salahnya aku menerima tawarannya. “Kebetulan, aku juga sedang ingin mencari udara segar. Berjalan sendirian aku rasa akan sangat membosankan, jadi tidak ada salahnya aku menerima tawaranmu,” jawabku menyuarakan pikiranku.

Dia lalu bangkit dan berjalan keluar. Aku mengikutinya di belakang. Tidak lupa aku pamit pada Bi Minah yang sudah aku anggap sebagai ibu kandungku sendiri sebelum keluar dari rumah. Aku dan dia berjalan bersebelahan. Dia tampak kaku berada di sebelahku. Aku mengeluarkan ponselku dan memasangkan earpohone di telingaku yang sebelumnya sudah terhubung dengan ponselku.

“Dania,” panggil Dani. Iya, nama laki-laki itu adalah Dani. Dia adalah mantan pacarku Aku menolehkan kepalaku ke arahnya dan menaikkan sebelah alisku sebagai respon.
“Aku ingin menanyakan sesuatu padamu,” ucapnya serius sambil menatap mataku.
“Silakan,” sahutku. Entah mengapa jantungku berdegup cepat saat dia menatap mataku. Aku akui aku masih menyimpan sedikit perasaan padanya dan belum bisa melupakan dia seutuhnya atau istilah zaman sekarang adalah move on.
“Tadi pagi aku melihat seorang perempuan. Dia mirip sekali dengan dirimu. Saat dia datang, dia terlihat takut dan saat pulang dia menangis. Siapa dia Dania? Mengapa perempuan itu menangis? Pertanyaan Dani membuatku terkejut. Rumahku dan Dani memang berhadapan, jadi ia bisa tahu siapa yang datang ke rumahku.
Menceritakan sedikit beban di pundakku kepada Dani mungkin perlu. Aku berbatuk kecil sebelum bercerita.
“Wanita itu. Wanita yang kau lihat tadi. Dia adalah ibuku. Dia datang lagi setelah belasan tahun menghilang dan menelantarkan diriku. Kenapa dia melakukan ini Dan? Kenapa? Dia datang hanya untuk melihatku, dan aku meninggalkan dia sendirian di ruang tamu setelah aku mengusirnya. Aku tidak bisa memaafkan kesalahannya dulu.,” Tak sadar aku meneteskan air mata. Tetesan air mata itu lalu berubah menjadi sebuah tangisan. Aku menangis untuk yang kedua kalinya dalam sehari.

Tidak diduga, Dani menghapus air mata yang membasahi pipiku. Dia lalu merengkuhku ke dalam pelukannya dan membawaku duduk di sebuah bangku yang tersedia di taman.
“Aku harus apa Dan? Aku harus apa?” ucapku sesenggukan.
“Shut. Sudah jangan menangis lagi,” Ucapan Dani menenangkanku. Aku merasa nyaman berada di dekapannya.
Setelah aku mulai tenang, Dani kembali berbicara “Mungkin ibumu pernah melakukan kesalahan dulu dengan meninggalkanmu sendirian. Tapi bukankah dia sudah berusaha untuk menebus kesalahannya dengan datang menemuimu dan meminta maaf. Menurutku, kau harus melupakan segala kebencianmu. Toh, apa untungnya kau membenci dirinya? Kau harus ingat saat kau berada dalam kandungan ibumu. Dia rela melakukan apa pun untukmu. Menjagamu, membawamu ke mana saja. Dia senang saat dirimu menendang dari dalam perutnya. Sekarang temui dia dan minta maaflah padanya. Itu akan menyelesaikan masalahmu Dan,”
Aku tertegun mendengar ucapan Dani. Dani begitu dewasa dan bijak. Aku beruntung dulu pernah memilikinya. Tiba-tiba ponsel di sakuku berdering. Nama Bi Minah tertera di layar ponsel. Tidak biasanya Bi Minah menelepon seperti ini. Aku lalu berdiri dari duduk

“Halo bi,” sapaku. Terdengar nada gelisah dari seberang telepon.
“Halo Non, ada kabar yang menyedihkan yang harus bibi sampaikan ke non,” jawab bibi.
Tiba-tiba hatiku mendadak cemas. Kabar menyedihkan apa yang akan disampaikan oleh bibi. Terjadi keheningan selama beberapa detik sebelum Bibi kembali bersuara.
“Nyonya non,” ucap bibi sambil menangis
“Mama kenapa bi,” aku berteriak cemas
“Nyonya tertabrak mobil Non. Sekarang kondisinya kritis,”
Deg.
Jantungku serasa berhenti berdetak mendengar kabar dari Bi Minah. Mama kecelakaan? Kritis?
“Bi.. bibi jangan bercanda. Ini tidak lucu bi,” ucapku sambil tertawa getir
“Buat apa bibi bercanda non, nyonya sekarang dirawat di City Hospital,” ucap Bi Minah.
“Ya sudah bi, aku ke sana sekarang,” ucapku sambil berusaha menahan bedanku yang terasa lemas sekali. Aku jatuh terduduk di taman itu.
“Daniaaa,” teriak Dani panik yang mungkin karena melihat aku terjatuh. Terdengar derap langkah dari belakang yang ternyata adalah Dani.
“Ada apa Dan?” tanyanya panik. Aku tidak mampu menjawab pertanyaan. Aku hanya dapat menangis dan itu malah membuat Dani semakin panik.
“Dania, tenang. Semua akan baik-baik saja. Ceritakan semuanya padaku,” ucapan Dani membuat tangisku mulai berhenti sedikit demi sedikit. Aku lalu menceritakan semuanya pada Dani. Dia terlihat kaget namun hal itu tidak berlangsung lama. Dia lalu bangkit dan mengulurkan tangannya padaku.
“Kita ke rumah sakit sekarang,” ucapnya. Aku menerima uluran tangannya dan berjalan bersama menuju ke rumah.

Sesampainya di rumah, aku langsung mengganti celana jeans pendekku menjadi celana jeans panjang. Aku lalu mengambil ponselku yang satu lagi untuk berjaga-jaga karena baterai ponsel yang tadi kubawa saat berjalan bersama Dani tinggal 80%. Aku lalu mengambil kunci mobil yang tergeletak di atas meja belajarku. Setelah memastikan semuanya lengkap, aku turun ke bawah. Aku memberikan kunci mobilku pada Dani. Dia menerimanya dan berjalan keluar dari rumah menuju garasi dengan aku yang berada di belakangnya. Tak lama kemudian, mobil yang kami tumpaki meninggalkan garasi dan berjalan dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit. Selama di perjalanan, aku tak berhenti meremas sabuk di hadapanku. Aku terlalu cemas.

Tidak sampai 1 jam, kami berdua sudah sampai di rumah sakit. Aku turun duluan, sedangkan Dani memarkirkan mobil di basement. Aku langsung menuju ruang IGD karena tadi sebelum berangkat, Bi Minah memberitahu bahwa mama belum bisa dipindahkan ke ruang inap dan masih berada di IGD. Sesampainya di depan ruang IGD, aku duduk di bangku yang sudah disediakan pihak rumah sakit. Aku menunggu dokter yang masih menangani mama. Bangku di sebelahku bergerak tanda ada yang duduk di sebelahku. Aku menolehkan wajahku dan ternyata orang itu adalah Dani. Aku langsung memeluk dirinya. Dani kaget menerima perlakuan seperti ini dariku dan hampir saja ia terjungkal ke belakang. Dia lalu balas memelukku dan mengusap rambutku perlahan sambil terus membisikan bahwa mama akan baik-baik saja.

Dokter yang menangani mama keluar dari ruangan itu dan berjalan ke arah kami.
“Anda, keluarga dari Ibu Dinda?” tanya dokter itu pada kami berdua.
“Iya dok. Saya anaknya. Bagaimana keadaan mama saya dok?” jawab dan tanyaku pada dokter itu.
“Ibu anda mengalami benturan yang sangat keras dan itu membuatnya kehilangan banyak darah. Saat ini persediaan darah golongan AB sedang kosong di bank darah. Kami harus cepat mencari pendonor darah jika tidak, nyawa ibu anda tidak bisa diselamatkan,” Ucapan dokter sukses membuat diriku menutup mulutku dengan tangan. Badanku tiba-tiba terasa lemas. Pandanganku mulai kabur dan hal terakhir yang aku dengar adalah teriakan cemas Dani memanggil namaku.

Kulihat sebuah cahaya. Di mana aku? Apakah aku sudah meninggal? Cahaya tersebut lama-kelamaan semakin mengecil dan menampakan sosok mama.
“Mama,” gumamku. Aku lalu berlari ke arah mama dan memeluknya erat seolah-olah aku tidak akan mempunyai kesempatan untuk memeluk mama.
“Ma, aku minta maaf ya soal tadi pagi. Egoku mengalahkan semuanya. Tapi sekarang aku sadar kalau mama melakukan itu pasti ada alasannya. Apakah mama mau memaafkanku?” ucapku sambil menangis.
Mama mengelus rambutku pelan. Dia lalu menangkup wajahku dan aku bisa melihat sorot mata kelegaan di matanya. “Mama sudah memaafkan kamu nak,”
“Mama janji sama Dania ya kalau mama bakal sembuh supaya kita bisa belanja bersama, bercanda bersama, dan bercerita bersama,” ucapku dengan mata berbinar seperti anak kecil yang baru saja dibelikan es krim oleh orangtuanya. Kulihat, sorot mata mama berubah menjadi sedih. Kenapa ini?
“Hal itu tidak akan pernah terjadi nak. Mama sekarang sudah tidak berada lagi di dunia ini. Mama sudah tenang sekarang nak,” ucapan mama membuatku tidak mengerti.
“Maksud mama?” tanyaku bingung.
“Kamu lihat cahaya di belakangmu?” ucap mama sambil menunjuk ke belakangku.
“Itu adalah panggilan bahwa kini sudah saatnya mama pergi meninggalkan kamu dan dunia ini nak,” lanjut mama diiringi tangisanku yang pecah. Aku tidak percaya ini. Aku baru saja bertemu dan berbaikan dengan mama setelah belasan tahun lamanya kami berpisah dan sekarang? Mama akan pergi selama-lamanya dariku. Tidak. Ini tidak boleh terjadi.
“Tidak. Mama tidak boleh ke mana-mana. Mama harus tetap di dunia ini untuk menjagaku,” ucapku sambil mengeratkan pelukanku pada mama.
“Tidak bisa nak. Ini semua sudah takdir. Mama harus pergi,” ucap mama melepaskan pelukan kami dan berjalan ke arah cahaya itu.
“Ma.. mamaa,” teriakku tadi tidak membuat mama berhenti berjalan. Ketika mama sudah hampir masuk ke dalam cahaya itu, ia berbalik badan
“Selamat tinggal nak. Jaga dirimu baik-baik. Mama akan selalu mengawasimu dari sana. Mama selalu berada di dalam hatimu nak,” ucap mama lalu masuk ke dalam cahaya itu. Cahaya itu lalu menghilang dari pandanganku.

Aku terbangun. Mimpi itu begitu nyata. Apa arti dari semua mimpi tadi? Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Ruang inap. Kenapa aku bisa di sini. Bagaimana keadaan mama?
Pintu terbuka membuatku menampilkan Dani. Dia datang dengan wajah frustasi dan lelah. Ada apa ini?
“Kau sudah sadar rupanya Dan,” Ekspresi wajahnya berubah drastis saat berbicara denganku.
“Dani, mama mana? Bagaimana keadaannya? Apakah dia sudah membaik?” tanyaku beruntun. Tubuhnya terlihat menegang saat aku menanyakan hal ini.
“Dia sudah tenang Dan,” jawab Dani.
“Syukurlah,” ucapku lega.
“Aku ingin menemuinya sekarang Dan,’ lanjutku sambil berdiri dari ranjang rumah sakit. Dani membantuku berdiri dan menuntunku berjalan menuju ruang IGD. Badanku masih lemas, tetapi hal itu tidak kupedulikan. Yang ingin kulakukan sekarang adalah pergi menemui ibu dan memeluknya serta meminta maaf secara langsung kepada mama.
Saat sampai di sana, aku bertemu dengan dokter yang menangani mama.

“Bagaimana keadaan mama saya dok? Apakah dia sudah membaik,” tanyaku pada dokter. Dokter tersebut terlihat sedih.
“Maafkan kami. Kami sudah berusaha sekuat mungkin untuk menyelamatkan ibu anda, tetapi.. tuhan berkehendak lain. Ibu anda tidak bisa tertolong,”
Jleb.
Serasa ada ribuan pisau tajam yang menancap di tubuhku setelah sang dokter menyelesaikan ucapannya. Mama pergi? Mama pergi untuk selama-lamanya. Inikah maksud dari mimpi tadi. Mimpi perpisahanku dengan mama. Aku jatuh terduduk di lantai. Air mata mengalir deras membasahi kedua pipiku. Dani berusaha menenangkan diriku dengan mengelus rambut dan lenganku. Tetapi, usahanya sia-sia. Aku menangis dalam diam. Tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Aku berdiri dari dudukku dengan sisa tenaga yang kumiliki.
“Bolehkah saya menemui mama saya dok?” tanyaku pada dokter tersebut yang dijawab dengan anggukan kepala olehnya. Aku langsung masuk ke dalam ruang IGD dengan memakai baju khusus yang memang disediakan khusus bagi pengunjung yang ingin memasuki ruang IGD. Kulihat mama terbaring kaku di atas ranjang. Aku lalu berjalan mendekatinya dengan Dani di sebelahku. Aku berusaha menahan air mata yang sudah mengumpuk di pelupuk mata dan siap pecah kapan saja. Kupegang wajah mama yang tenang tetapi dingin. Dani di belakang mengelus pundakku seolah-olah memberi kekuatan.
“Mama, aku sudah memaafkanmu sejak dulu ma. Aku menyesal kenapa aku malah mengusirmu tadi pagi bukannya menghabiskan waktu denganmu ma. Kalau boleh memilih, aku lebih baik ikut mama pergi dari mana harus menjalani hidupku seperti ini ma. Tapi, aku tidak akan pernah melakukan hal itu karena aku tahu bahwa kau tidak akan menyukai perbuatan itu,” ucapku sambil menangis dengan senyum yang menghiasi wajahku, lalu pergi dengan berlari dari ruangan itu.

Setelah mengurus semua biaya rumah sakit, aku pulang ke rumah dengan mobil jenazah. Rumah sudah ramai didatangi oleh sanak saudaraku dan juga tetanggaku. Aku lalu turun dari mobil tersebut. Dani menghampiriku dan memeluk diriku. Pelukannya terasa nyaman bagiku. Aku lalu masuk ke dalam rumah. Mama sudah dikafani dan juga dishalati. Aku menyesal karena tidak bisa ikut menyalatinya karena aku sedang datang bulan. Karena sudah malam, kami tidak mungkin menguburkan mama hari ini. Mama akan dikuburkan besok pagi.

Suara alarm membangunkanku dari tidur. Aku tertidur di sofa dengan Dani ada di sofa seberang. Orang-orang menyiapkan keranda yang akan digunakan mama. Aku menatap kegiatan itu dengan pandangan kosong.

Jaga dirimu baik-baik. Mama akan selalu mengawasimu dari sana. Mama selalu berada di dalam hatimu nak.

Ucapan mama saat di dalam mimpi mengiang di telingaku. Aku lalu bangkit dan membangunkan Dani. Laki-laki itu tampak sangat lelah.

Setelah semuanya siap, mama lalu dimasukkan ke dalam keranda. Aku dan saudaraku yang lain saling berpelukan saat mengiringi mama menuju peristirahatan terakhir.


Mama sudah selesai dikuburkan sejak beberapa menit yang lalu, tetapi aku tetap tidak bergeming dari tempat itu. Aku menatap nisan bertuliskan Dinda Syifana Azka binti H. Dino. Lahir: New York, 27 April 1978 Wafat: Jakarta, 14 Agustus 2016.

“Mama yang tenang ya di sana. Dania akan selalu mendoakan mama setiap saat. Dania bakal jaga diri Dania dengan baik ma. Dani juga bakal bimbing Dania kalau Dania berbuat salah,” ucapku tersenyum sambil mengelus nisan mama.

Aku lalu bangkit bersamaan dengan Dani. Kami bergendengan tangan lalu berjalan meninggalkan makam yang masih basah itu. Mulai hari ini semua akan berjalan sebagaimana mestinya. Semua akan jadi baik mulai sekarang.

TAMAT

Cerpen Karangan: Chessa Firdaus Puspitaningrum

Facebook: chessa firdaus puspitaningrum

Diam Diam Aku Mencintaimu

Dari balik jendela, aku terus memandanginya. Sesosok pria bertubuh tinggi semampai, mata yang lembut, serta tampan paras wajahnya menambah kesempurnaan dalam dirinya. Mataku pun tak henti-hentinya menatap makhluk yang berhasil merebut hatiku. Menyita seluruh penglihatanku, juga mengisi imajinasi dalam pikiranku.
Cukup melihatnya dari jauh saja, sudah membuatku merasa tenang. Apalagi ditambah senyum manis yang mengembang dari bibirnya, membuatku merasa makin bahagia. Bagiku dapat melihatnya adalah alasan terbesar, menapakkan kaki ke sekolah. Karena itulah aku tak ingin kehilangan kesempatan untuk memandangnya, barang seharipun.

Sudah lebih dari setahun, aku memendam rasa padanya. Tapi aku tak punya cukup keberanian untuk mengatakan isi hatiku. Jantungku selalu berdegup kencang, kala berpapasan dengan dirinya. Bibirku pun seakan terbungkam, tak mampu mengucapkan berbagai kata yang bergejolak dalam hati. Jadi tak ada hal lain yang bisa kulakukan, selain memperhatikannya secara diam-diam dan berharap ia mengerti perasaanku.

Tak ada yang tau tentang perasaanku ini. Kecuali aku dan Tuhan. Ehh… tidak, masih ada satu orang lagi. Dia adalah Fika, yang tak lain sahabat baikku. Itu pun lantaran Fika terus mendesakku, mengapa aku suka tempat duduk di dekat jendela. Kemudian waktu bel istirahat berbunyi, bukannya bergegas ke kantin, malah pilih tetap tinggal dan menatap keluar jendela. Alasannya agar bisa melihat Rendy. Kakak kelas yang telah membuatku tak berhenti memikirkannya.

“Woiii!!!” gertak seseorang menepuk bahuku.
“Fika!” seruku menyadari kalau dialah yang menggetkanku.
“Nah kan, mulai lagi deh kebiasaannya!” celotehnya kemudian.
“Hehehe…” sahutku nyengir.
Begitulah kebiasaan yang sering kulakukan. Duduk di balik jendela, memperhatikan Rendy dari jauh. Fika sudah hafal betul dengan kebiasaanku ini. Tapi mau gimana lagi, cuma itu yang bisa kuperbuat.
“Lagian kamu ngapain sih, cuma ngeliatin dia mulu! Kan udah dibilangin, samperin dia! Ajak ngobrol! Dengan begitu kalian kan bisa tambah akrab. Nggak perlu diam-diam kayak gini!” tukasnya.
“Sssttt… udah jangan cerewet!” sergahku mengangkat telunjuk ke depan bibir. “Kamu kan tau sendiri alasannya. Jadi nggak perlu aku jelasin lagi.”
“Iya aku tau! Tapi mau sampai kapan? Keburu dianya lulus, malah nggak bakalan ketemu lagi!” nampak Fika mulai geram. Aku cuma tersenyum tipis melihat ekspresi wajahnya.

Entah apa yang merasuki pikirkanku. Namun hanya dengan memandang lelaki itu saja sudah cukup bagiku. Tanpa harus mengungkapkan perasaanku padanya. Semua berawal dari kejadian satu setengah tahun yang lalu, ketika aku akan memasuki tahun ajaran baru di sekolah yang baru.
Bagiku masuk SMA adalah ancaman terbesar. Semua gara-gara mendengar cerita dari kakakku. Katanya sebelum masuk kelas 1, harus melewati Masa Orientasi Siswa yang menakutkan lebih dulu. Hukuman pun pasalnya akan dijatuhkan, jika melakukan kesalahan.
Bayang-bayang ucapan kakak, selalu menggema di telingaku. Membuatku semakin takut untuk menghadapi masa MOS yang berlangsung selama tiga hari. Ternyata benar, bentakan demi bentakan pun datang dari senior. Namun aku tidak sendirian, melainkan bersama teman-teman baru lainnya yang juga menjalani MOS.
Tapi ketakutan itu seraya sudah melekat di dalam bayanganku. Hingga pada hari kedua, aku pun tak kuat menahan ketakutanku. Air mata pun keluar, aku menangis disaksikan oleh teman-teman satu kelompok. Malu bukan main rasanya, tapi aku tak mampu membendungnya lagi. Sebab bentakan senior kali ini, amat menyeramkan.

“Hey! Kenapa nangis?! Cengeng sekali!” gertak senior tersebut.
“Hiks… hiks… hiks…” aku tak memberikan jawaban apapun, selain menangis.
“Kamu punya mulut kan? Ayo jawab aku! Jangan hanya diam saja!” bentaknya lagi.
“Tap… tap… tap…” terdengar suara langkah kaki mendekat. “Cika!” panggilnya kemudian. Sontak kami berdua menoleh ke arah suara itu datang. Ternyata senior yang lain. Aku tak berani lama-lama menatapnya, lantas langsung menundukkan pandanganku. “Kamu urus kelompoknya Gandi saja!” tukas cowok itu.
“Tapi dia gimana?” tunjuk senior yang barusan membentakku. Aku hanya diam saja mendengar obrolan mereka.
“Biar dia jadi urusanku.”
“Baiklah, aku pergi!” sahutnya beranjak pergi.
Sementara senior yang menggantikannya berdiri tepat di hadapanku. Aku masih menundukkan kepala, tak berani menatap wajahnya.
“Hey, siapa namamu?” tanyanya kemudian.
“Hiks… hiks… Jeni…” sahutku terbata-bata. Isak tangis tak dapat kuhentikan.
“Jeni, sekarang angkat dagumu!” suruhnya dengan nada pelan.
“Tidak! Aku nggak mau,” balasku menggeleng dan tetap menundukkan pandanganku.
“Kenapa?”
“Aku takut…”
“Apa yang kamu takutkan?”
“Aku takut dibentak lagi.”
“Aku tidak akan membentakmu. Jadi sekarang angkat dagumu, dan lihatlah siapa yang mengajakmu bicara.”
Aku pun perlahan memberanikan diri untuk mengangkat daguku, dan memandang pria yang tengah berdiri di hadapanku. Tapi rasa takut masih saja menyelimuti hatiku.
“Sekarang gimana? Apa kau juga takut padaku?” tanyanya menatapku. Sorot matanya yang teduh, bersamaan dengan sebuah senyuman tipis meredakan rasa takutku. Ia nampak berbeda sekali dengan senior yang sebelumnya. “Jeni, kenapa kau diam saja? Apa kamu tidak mendengar pertanyanku?” imbuhnya.
“Ahh… iya. Maaf kak… aku masih sedikit takut. Kalau tiba-tiba saja kakak membentakku, seperti kak Cika.”
“Tidak ada yang perlu kamu takutkan, selama kamu tidak melakukan kesalahan,” tukasnya seraya memandangku penuh ketenangan. “Kamu juga harus tau Jeni, kak Cika maupun senior yang lain pasti punya alasan kenapa mereka bersikap begitu,” lanjutnya.
“Tapi apa harus pakai dibentak segala kak?” sergahku.
“Jeni, dengarkan aku. Ketika kamu dibentak, apa yang kamu rasakan?”
“Takut.”
“Benar! Lalu apa yang kamu lakukan untuk melawan rasa takutmu?” aku hanya menggeleng. “Ketika kamu merasa takut, maka kamu harus melakukan sesuatu untuk melawannya bukan?” tukasnya lagi.
“Iya,” sahutku mengangguk pelan.
“Lalu gimana caranya?” tanyanya sembari mendekatkan wajahnya. Sementara aku cuma menggeleng tak mengerti. “Caranya, kau harus menjadikan dirimu lebih kuat. Sehingga kau tidak perlu takut lagi. Dan kau juga harus ingat satu hal! Selama kamu tidak pernah melakukan kesalahan, maka jangan takut.” Mendengar ucapannya membuatku merasa lebih tenang. Rasa takut pun mendadak hilang. Tatapannya yang teduh, membuatku ingin terus menatap matanya.

Semenjak itulah, aku menaruh hati padanya. Dalam benakku selalu penuh dengan bayangan wajahnya, senyum manisnya, juga tatapannya yang menyejukkan. Hari-hariku tak bisa berhenti memikirkannya. Rendy sering muncul dalam khayalanku.
Takdir pun seakan memihakku. Kami kerap dipertemukan dalam beberapa kesempatan. Seperti di kantin, koridor sekolah, perpustakaan, dan lapangan. Beruntung, kak Rendy ternyata tidak melupakanku. Padahal sebelumnya aku sudah merasa cemas, jika ia tak mengingatku.

Aku masih sangat ingat, untuk pertama kalinya kami kembali dipertemukan seminggu usai MOS berakhir.
“Jeni!” serunya saat kami berpapasan di depan kantin.
“Kak Rendy!” balasku tersenyum bahagia karena ia mengingatku.
“Bagaimana kabarmu?”
“Baik kak. Sangat baik malah,” sahutku sembari tersenyum lebar padanya. Aku benar-benar merasa senang bisa bertemu dengannya.
“Kau berada di kelas apa?”
“Kelas 10 IPS 2.”
“Ohh… baguslah! Gimana dengan teman-temanmu? Kau tidak suka menangis lagi bukan?” godanya.
“Kakak Rendy! Jangan begitu donk!” bentakku sedikit kesal.
“Jangan cemberut, kan aku cuma bercanda. Jadi gimana dengan teman barumu?”
“Mereka semua baik kok.”
“Syukurlah…”
“Kakak sendiri di kelas apa?”
“Kenapa? Mau mencariku ya? Tenang saja, nggak perlu nyari. Aku pasti datang ke tempatmu!” celotehnya. Sontak aku dibuat salah tingkah.
“Kakak! Ngomong apa sih?! Kan aku cuma nanya!” sergahku, menutupi rasa maluku.
“Hahaha… kamu lucu sekali ya… aku ada di kelas 11 IPA 3. Kalau butuh apa-apa, kau bisa mencariku disana.”
“Hehehe…” balasku nyengir, dia seakan bisa membaca pikiranku.
“Loh, kok malah ngobrol terus? Bukannya kamu kesini mau makan?” tanyanya kemudian.
“Iya.”
“Ya udah, gih sana makan! Nanti malah kurusan lagi!” ledeknya.
“Kakak ini, sukanya ngledekin mulu!” gerutuku.
“Bercanda Jeni,” ujarnya mengusap kepalaku. Membuatku semakin jatuh hati padanya. “Kalau begitu aku balik duluan.”
“Iya kak,” sahutku terus menatap punggunya hingga menghilang dari pandanganku.

Itulah pertama kalinya kami berdua bisa ngobrol banyak, tanpa rasa canggung. Namun setelahnya aku harus berkutat dengan perasaanku sendiri, yang makin besar padanya. Ya, hari berikutnya kami jadi sering bertemu, namun tak banyak obrolan yang kami bicarakan. Sebab aku sudah gugup lebih dulu, saat berhadapan dengannya.
Walaupun sebetulnya ingin berlama-lama dengannya, tapi nyatanya aku tak sanggup. Nyaliku terlalu ciut, untuk menghadapinya. Ujung-ujungnya aku harus memaksakan diri, untuk lari darinya. Sebelum ia berpamitan pergi lebih dulu.
Sampai naik ke kelas dua pun, nyaliku tetap sama tidak berubah sama sekali. Aku masih tidak berani berdekatan dengannya. Sedangkan cintaku justru semakin besar. Tapi apa dayaku, hanya diam-diam memandang dan memperhatikannya dari kejauhan, itulah yang bisa kulakukan.

Terkadang aku merasa benci dan kesal, kala melihatnya bersama wanita lain. Rasanya ingin sekali mendatanginya, dan mengatakan agar ia tak berdekatan dengan gadis lain. Namun tak ada yang mampu kuperbuat, selain marah dengan diriku sendiri karena tak bisa mendekatinya.

Sudah lebih dari satu setengah tahun aku menyembunyikan perasaanku padanya. Semacam secret admirer, begitulah aku menyebut diriku sendiri. Sebab memang benar aku hanya dapat mengagumi dan diam-diam mencintainya. Tanpa berani mengakui perasaanku padanya.

Fika selalu rewel soal perasaanku. Setiap hari ia tak henti-hentinya mengingatkanku. Agar aku mau mengungkapkan perasaanku pada Rendy. Sebelum cowok itu lulus, dan pergi dari sekolah ini. Tapi mau bagaimana lagi, aku tak berani melakukannya. Entah karena takut cintaku akan bertepuk sebelah tangan, ataukah takut jika sikapnya akan berubah padaku.

Aku sadar, mungkin waktuku akan berlalu sangat cepat. Akan tetapi tak ada yang mampu kulakukan selain diam dan menyembunyikan cintaku padanya. Aku benar-benar takut, sampai-sampai tak memiliki cukup keberanian untuk mengakui perasaanku padanya. Jangankan mengutarakan kebenaran hatiku, berhadapan dengannya saja aku mendadak kelu.
Diam-diam mencintainya, itulah yang bisa kulakukan. Meskipun ia tak pernah mengetahuinya, tak mengapa bagiku. Asalkan aku tetap dapat menikmati keindahannya. Memperhatikan setiap detail langkahnya. Serta melihat senyuman yang mengembang di wajahnya. Begitulah aku secara diam-diam mencintainya.

Cerpen Karangan: Putri Andriyas
Blog / Facebook: Www.putriandriyas.wordpress.com / Putri Andriyas

Diberdayakan oleh Blogger.

Blogroll

About