Selasa, 04 September 2012

Karunia Mutiara Cinta

Sebuah cerita fiksi yang ditulis oleh Bois, penulis copo
yang masih harus banyak belajar. Cerita ini hanyalah
sarana untuk mengilustrasikan makna di balik
kehidupan semu yang begitu penuh misteri. Perlu
anda ketahui, orang yang bijak itu adalah orang yang
tidak akan menilai kandungan sebuah cerita sebelum
ia tuntas membacanya.

e-book ini gratis, siapa saja dipersilakan untuk
menyebarluaskannya, dengan catatan tidak sedikitpun
mengubah bentuk aslinya.

Jika anda ingin membaca/mengunduh cerita lainnya
silakan kunjungi :

www.bangbois.blogspot.com
www.bangbois.co.cc

Salurkan donasi anda melalui:
Bank BCA, AN: ATIKAH, REC: 1281625336


alam terlihat cerah, di depan gerbang sebuah

rumah besar, dua orang pemuda tampak
sedang berbicara dengan seorang pembantu yang
bekerja di rumah itu.

"Selamat malam, Mbak. Kami temannya Lisa.
Boleh kami bertemu dengannya?" pinta Bobby perihal
maksud kedatangannya.

"Betul, Mbak. Bukankah dia menginap di sini?"
timpal Randy yang sudah tak sabar ingin berjumpa
dengan kekasihnya.

"O... kalau begitu, tunggu sebentar ya!" pinta si
pembantu seraya bergegas masuk.

Tak lama kemudian, si pembantu sudah kembali
dan mempersilakan keduanya menunggu di beranda.
Saat itu Randy langsung duduk seraya menyalakan
sebatang rokok, sedangkan Bobby masih berdiri—
memperhatikan sebuah patung aneh yang ada di situ.


Beberapa menit kemudian, Lisa sudah keluar
bersama Nina—sahabatnya yang tinggal di rumah
besar itu. Lisa yang mengetahui maksud kedatangan
Randy segera mengajaknya menuju ke kursi taman,
sedangkan Bobby dan Nina menunggu di beranda.
Sambil menunggu, mereka berbincang-bincang,
mengingat semua kenangan manis yang mereka
alami.

Maklumlah, sudah lama sekali mereka tidak
bertemu, dan terakhir bertemu ketika mereka masih
anak-anak, saat itu Nina dan keluarganya pergi keluar
negeri untuk waktu yang cukup lama.

"Nin... kau masih ingat saat kita main pengantinpengantinan?"
kata Bobby membuka pembicaraan
sambil memberanikan diri memandang wajah Nina
yang sedang tertunduk, sungguh tampak manis dan
mempesona. Dalam hati, pemuda itu merasa takjub,
"Nin.. Aku tidak menyangka, kalau sekarang kau
sudah menjadi gadis dewasa," katanya membatin.

Namun belum sempat pemuda itu menarik
pandangan, tiba-tiba Nina sudah menatapnya. Sebuah


tatapan yang dirasakan Bobby begitu hangat dan
membuat jantungnya kian berdebar kencang. Lantas
dengan segera keduanya mengalihkan pandangan
sambil meninggalkan kesan di benak masing-masing,
yaitu perasaan bahagia yang begitu mendalam. Saat
itu Bobby mengalihkan pandangannya ke arah taman,
sedangkan Nina tampak tertunduk malu.

Sementara itu di kursi taman, Randy dan Lisa
masih membicarakan masalah mereka. Keduanya
tampak saling berpandangan dengan tangan saling
berpegangan.

"Lis... Benarkah kau mau memaafkanku?" tanya
Randy memastikan.

"Iya, Kak. Aku menyadari kalau itu memang
bukan salahmu."

"Terima kasih, Lis," ucap Randy seraya meremas
tangan Lisa dengan lembut.

"Janji ya, kau tidak akan memberi kesempatan
padanya untuk menemuimu lagi !" pinta Lisa seraya
membalas remasan tangan pemuda itu.


Randy mengangguk, kemudian dia segera
mencium kening Lisa dengan penuh kasih sayang.


Setelah pertemuan malam itu, Bobby sering
berkunjung ke rumah Nina, hingga akhirnya mereka
saling menyatakan cinta. Malam minggu pertama
terasa begitu indah, bagaikan bunga warna-warni
yang senantiasa harum mewangi. Tiada perasaan
yang terucap selain cinta dan sayang, dan tiada
perasaan yang terungkap selain peluk dan cium.
Bahkan keduanya sudah berjanji untuk saling
menyayangi dan mencintai dengan sepenuh jiwa. Dan
di setiap malam Minggu, mereka selalu
menyempatkan diri untuk bertemu dan saling berbagi.

"Nin… Aku sangat mencintaimu. Cintaku padamu
setinggi langit dan sedalam lautan," ucap Bobby
seraya membelai rambut Nina yang panjang sebahu.

"Begitu pula aku, Kak. Setiap yang ada pada
dirimu merupakan bagian dari diriku, rasanya... aku


ingin selalu berada di sisimu," ucap Nina seraya
merapat di pelukan pemuda itu.

"Nin ! Bolehkah aku menciummu sebagai
ungkapan rasa cintaku!" pinta Bobby seraya menatap
mata kekasihnya dengan hangat.

Nina tidak menjawab, saat itu dia terus menatap
Bobby dengan tatapan penuh cinta. Lalu dengan
perlahan kedua matanya tampak terpejam—tanda
yang biasa diutarakan atas kesediaannya dicium oleh
Bobby. Kemudian dengan perasaan cinta yang
bergelora, keduanya tampak berciuman dengan
mesranya. Sungguh saat itu keduanya sudah terjerat
oleh cinta yang membutakan, sehingga apa yang
mereka lakukan itu seakan ungkapan saling
mengasihi, padahal apa yang mereka lakukan itu
justru saling meracuni hati. Sementara itu di sebuah
taman yang berada di tengah kota, Randy tampak
sedang mengejar Lisa yang berlari sambil
mengucurkan air mata.


"Lis! Lisa…! Tunggu Lis! Mengapa kau tidak mau
mengerti? Apa lagi yang harus kujelaskan padamu?"
teriak Randy dengan nafas terengah-engah.

Lisa tidak menghiraukan teriakan itu, dia terus
berlari dan berlari—berusaha menghindar dari kejaran
pemuda yang sudah begitu dibencinya. Ketika sampai
di sebuah tikungan, tiba-tiba gadis itu menghentikan
larinya, kemudian melangkah menghampiri Randy.
"Kak, sepertinya aku memang harus bicara padamu,"
katanya kepada Randy yang kini sudah berdiri
dihadapannya.

"Syukurlah, Lis…! Akhirnya kau mau mengerti
juga," kata Randy dengan mata berbinar.

"Ia, Kak. Kini aku telah mengerti dan menyadari
kekeliruanku," kata Lisa seraya menghapus air
matanya. "Ke-ketahuilah, Kak! Sesungguhnya kita
memang sudah tidak cocok dan tak mungkin bisa
bersatu lagi," sambungnya kemudian dengan kedua
mata yang menatap Randy dengan penuh kebencian.
"Ini! Kukembalikan tanda cinta darimu, dan jangan
pernah engkau menemuiku lagi!" larangnya seraya


melemparkan kalung dan cincin yang pernah
diberikan padanya sebagai tanda kesungguhan cinta
Randy, kemudian gadis itu segera berpaling dan
berlari meninggalkan pemuda itu.

Pada saat yang sama, Randy hanya terpaku
memperhatikan kepergian Lisa, di dadanya bergejolak
perasaan sedih yang begitu mendalam, terasa sesak
dan menyakitkan.


Esok paginya, matahari tampak bersinar cerah.
Namun sayangnya, saat itu sudah tak terdengar lagi
kicauan burung yang biasanya berkicau merdu. Pada
saat yang sama, Bobby tampak masih terlelap dan
tidak menyadari kalau waktu sudah menunjukkan
pukul 08.30 WIB. Hal itu terjadi akibat semalam dia
tidak bisa tidur lantaran terus terbayang sang Pujaan
Hati. Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 09.00
WIB, ternyata Bobby masih terlelap bersama
mimpinya. Saat itu di dalam mimpinya, dia sedang


berduaan dengan Nina di taman yang indah, dan
ketika dia hendak mencium gadis itu, tiba-tiba "Bob…!
Bobby...! Bangun, Nak!" teriak ibunya memanggil.

Mendengar itu, seketika Bobby terjaga, kemudian
duduk di sisi tempat tidur dan mulai merenggangkan
persendiannya.

"Sayang…! Ayo cepat bangun! Ini sudah siang!"
teriak ibunya lagi.

"Iya Bu, Bobby sudah bangun," kata Bobby
seraya bergegas membuka pintu kamarnya.

"Sayang…! Sungguh tidak biasanya kau tidur
sampai sesiang ini. Eng… Semalam kau pasti
begadang, iya kan?" tanyanya kepada Bobby yang
dilihatnya masih tampak mengantuk.

"Ia... Bu, semalam Bobby tidak bisa tidur."

"Eng… Kalau begitu, sebaiknya sekarang kau
mandi, setelah itu langsung sarapan! Hari ini kau
harus mengantar Ibu ke rumah Bu Suryo," pinta sang
Ibu kemudian.

"Duh, Ibu! Kenapa harus Bobby sih? Kan ada
Pak Hadi," bantah pemuda itu.


"Bobby… Bobby…! Kalau Pak Hadi bisa
mengantar untuk apa Ibu menyuruhmu? Ketahuilah…
Kalau hari ini Pak Hadi tidak bisa mengantar Ibu
karena ada urusan keluarga,” jelas Sang Ibu
mengabarkan.

“Kalau begitu, baiklah Bu,“ kata Bobby seraya
bergegas mandi.

Usai sarapan, pemuda itu langsung ke garasi dan
mengeluarkan sedan birunya. Kini dia sedang
memanaskan mobil itu sambil menunggu ibunya
datang. Sambil menunggu, pemuda itu tampak asyik
memutar musik keras underground sebagai
penyemangat saat berkendara. Lima menit kemudian,
Ibunya sudah datang dengan membawa sebuah
bungkusan, pada saat yang sama di depannya terlihat
Bik Ijah yang tampak tergopoh-gopoh menuju ke pintu
gerbang.

"Apa itu, Bu?" tanya Bobby.

"O, ini pesanan Bu Suryo—kain batik dari solo,"
jawab Sang Ibu seraya duduk di sebelah Bobby. "Tapi,
ngomong-ngomong kau memutar musik apa pagi-pagi


begini, suaranya seperti kaleng rombeng. Ayo lekas
matikan! Telinga Ibu bisa pecah bila mendengar
musik seperti ini. Bukankah lebih enak memutar
musik kroncong kesukaan Ibu."

Akhirnya, dengan terpaksa Bobby menuruti
keinginan ibunya. Kini pemuda itu mulai menjalankan
sedan birunya sambil terus mendengarkan lagu
kroncong yang membuatnya betul-betul bete. Sedan
biru terus bergerak perlahan hingga akhirnya keluar
pintu gerbang dan menghilang di kejauhan.

Sementara itu di tempat lain, Randy tampak
murung memikirkan kekasihnya. Rupanya dia masih
terpukul dengan kejadian semalam, bahkan saking
dipresinya—sudah sepuluh batang rokok dia habiskan
pagi ini. Sungguh dia tidak menduga, kalau
pertemuannya dengan Sang Mantan justru membuat
Lisa begitu marah. Padahal, dia menemui gadis itu
lantaran ingin menegaskan dan memberi pengertian
agar tidak menemuinya lagi. Maklumlah, selama ini
mantan pacarnya itu memang masih mencintainya
dan berharap bisa bersatu kembali. Bahkan mantan


pacarnya itu selalu datang ke rumahnya, padahal
Randy sudah jelas-jelas menyatakan kalau dia sudah
tak mencintainya.

Setelah mematikan rokok yang kesebelas, Randy
tampak beranjak dari duduknya dan segera
melangkah ke warung—sebuah tempat dimana dia
dan Bobby biasa nongkrong. Rupanya pemuda itu
berniat mencurahkan isi hatinya kepada Bobby, dan
berharap sahabatnya itu mau membantu.

Setibanya di warung, pemuda itu tampak
kecewa—ternyata Bobby tak tampak batang
hidungnya. "Pak Ade, kok tumben ya Bobby belum ke
mari?" tanyanya kepada Pak Ade—penjaga warung
yang memang sudah sangat dia kenal.

"Iya-ya... Nak. Biasanya kan pukul segini dia
sudah nongkrong di sini dan bernyanyi dengan gitar
kesayangannya itu," timpal Pak Ade merasa heran.

"Duh, ke mana ya dia? Seharusnya dia memang
sudah nongkrong di sini sambil menyanyikan lagu
Iwan Fals yang benar-benar fals," canda Randy
berupaya mengobati sedikit kekecewaannya.


"Ah, Nak Randy bisa saja. Kalau Nak Bobby tahu,
bisa-bisa dia tidak mau menyanyi lagi loh," komentar
Pak Ade sambil terkekeh.

"Ah, Pak Ade… aku kan cuma bercanda. Kalau
dia tidak mau menyanyi, bisa sepi dong ini warung,"
kata Randy menanggapi.

Setelah berkata begitu, Randy langsung
memesan sebotol minuman dan makanan ringan.
Sambil menikmati makan dan minumnya, pemuda itu
terus menunggu kedatangan sahabatnya.

Sementara itu di tempat lain, Bobby sedang
duduk sendiri di beranda rumah Bu Suryo. Karena
terlalu lama menunggu, dia pun jadi melamun sendiri.
Saking terbuainya dengan lamunan yang begitu indah,
membuat pemuda itu tidak menyadari kalau ada
langkah kaki yang mendekat.

"Kak Bobby...!" panggil seorang gadis tiba-tiba.

Seketika Bobby menoleh, memperhatikan
seorang gadis yang kini tersenyum manis padanya.

"Kakak sedang apa di sini?" tanya gadis itu
seraya duduk di sampingnya.


"Lho, kau sedang apa di sini ?" Bobby malah
balik bertanya.

"Kakak ini bagaimana sih, ini kan rumahku,"
jawab Lisa.

"Ru-rumahmu! Masa sih. Kok kau tidak pernah
cerita. Terus... kalau yang di dekat rumah Nina?"
tanya Bobby heran.

"O... kalau itu rumah pamanku, selama ini aku
memang tinggal di sana. Sedangkan di sini rumah
orang tuaku," jelas Lisa

"O… begitu." Bobby tampak menganggukangguk.


"O ya, Kak. Kau belum menjawab pertanyaanku
tadi. Sedang apa Kakak di sini?"

"Eng… aku sedang mengantar Ibuku," jawab
Bobby.

"O… begitu." Lisa tampak mengangguk-angguk,
tak lama kemudian dia sudah kembali bicara, "O ya,
Kak. Ngomong-ngomong, bagaimana hubunganmu
dengan Nina, apa lancar-lancar saja?" tanya pada
pemuda itu.


"Ya Alhamdulillah… Hubunganku dengan Nina
baik-baik saja," jawab Bobby seraya tersenyum tipis,
"Kau sendiri bagaimana? Apakah hubunganmu
dengan Randy baik-baik juga?"

Lisa tidak menjawab, saat itu dari kedua matanya
tampak mengalir air mata kesedihan.

"Lis... kenapa kau menangis?" tanya Bobby
penuh keheranan.

Lisa masih saja menangis, bahkan air mata yang
kian bertambah deras. Kemudian dengan terisak,
gadis itu mulai cerita, "Begini Kak! Randy itu orangnya
memang tidak bisa dipercaya. Padahal, dia sudah
berjanji untuk tidak menemui mantan pacarnya lagi.
Tapi kemarin, ternyata dia sedang asyik berduaan di
sebuah fast-food restoran—Dia telah mengingkari janji
untuk yang ketiga kalinya, Kak… Terus terang, aku
sudah tidak tahan lagi. Karena itulah aku terpaksa
mengambil putusan untuk berpisah dengannya."

Mengetahui itu, Bobby tampak terkejut dan ikut
prihatin, kemudian dengan penuh perhatian, pemuda


itu mencoba menghibur Lisa. Dan setelah berusaha
keras, akhirnya Lisa bisa tersenyum juga.

Sementara itu di tempat lain, ketika matahari
telah berada di atas kepala, Randy masih saja
menunggu Bobby. "Huh! Kemana sih tuh orang? Masa
sudah siang begini belum datang juga. Kalau saja HPnya
bisa dihubungi, tentu aku tidak perlu
menunggunya," keluh Randy seraya beranjak dari
duduknya.

Kemudian dengan perasaan kecewa, pemuda itu
segera melangkah meninggalkan warung. Setibanya
di rumah, dia langsung masuk kamar dan
merebahkan diri di tempat tidur. Kini dia teringat
kembali dengan kejadian semalam, rasa sakit karena
ditinggal Lisa kembali terasa sehingga membuatnya
benar-benar merasa tersiksa. Kemudian dengan
serta-merta pemuda itu beranjak bangun dan
langsung menghubungi Johan—bandar narkoba yang
sudah sangat dikenalnya sewaktu dia dan Bobby
masih suka mabuk-mabukan.

"Hallo..! Bisa bicara dengan Johan!" pinta Randy.


"Ya ini aku sendiri, ini siapa ya?" tanya Johan.

"Ini aku, Han… Randy."

"O… kau, Ran. Tumben nih… kau lagi butuh
sama daganganku ya," tebak Johan.

"Kau benar, Han. Aku memang lagi butuh?"

"OK, Ran! Kau mau pesan apa?"

"Biasa, Han. Obat yang bisa membuatku hevoria
and biar gampang tidur. 5 papan ya Han!"

"Sip, Ran. O ya ngomong-ngomong, kita akan
bertemu di mana?"

"Bagaimana kalau di warungnya Pak Ade."

"Ok deh, Broer. Aku segera meluncur."

"Aku tunggu ya, Han. Thanks!" Randy pun segera
menutup telepon dan berangkat ke warung untuk
bertransaksi.

Sementara itu di warung, Bobby yang baru
datang tampak asyik memetik gitar kesayangannya.
Setelah satu lagu selesai, pemuda itu tampak
memandang ke arah jalan. "Hmm... apa mungkin
Randy mau membicarakan soal Lisa. Kalau bukan hal
penting, rasanya tidak mungkin dia mau menungguku


begitu lama. Kata Pak Ade, dia menungguku sampai
pukul 12.00 siang. Ya, aku rasa memang begitu—dia
pasti mau membicarakan hal itu," duga Bobby seraya
kembali memetik gitarnya dan mulai menyanyikan
sebuah tembang lama.

"Di kantin depan kelasku... di sana kenal dirimu…
yang…" Tiba-tiba Bobby menghentikan nyanyiannya,
di kejauhan dia melihat Randy yang sedang menuju
ke arahnya dengan tergesa-gesa.

Tak lama kemudian, "Hai, Bob! Ke mana aja sih,
kok baru kelihatan?" tanya Randy seraya duduk di
sebelahnya.

"Wah, Sorry, Ran! Aku disuruh mengantarkan
nyokap ke rumah temannya. Memangnya ada apa?"

"Ah, tidak…! Tidak ada apa-apa kok. Aku cuma
mau nongkrong bareng," jawab Randy tidak berterus
terang.

"Benar nih... tidak ada apa-apa? Kata Pak Ade,
kau menungguku sampai jam 12.00 siang."

"Benar kok, Bob. Tidak ada apa-apa. Aku cuma
mau mendengarmu menyanyi, itu saja."


"Nyindir nih. Kalau tidak ada apa-apa, ya sudah.
Tidak usah bilang mau mendengarku menyanyi
segala!”

“Sori, Bob. Gitu aja diambil hati.”

“O ya, Ran. Aku mau bicara sesuatu," kata Bobby
ingin menceritakan perihal orang tua Lisa yang
ternyata berteman dengan ibunya. Namun belum
sempat pemuda itu bercerita, tiba-tiba terdengar deru
Motor besar 2 silinder yang berhenti persis di depan
warung.

"Hi, Broer!" sapa Johan seraya turun dari sepeda
motornya dan segera menghampiri Randy. " Ini Ran
pesananmu, 5 papan kan?" katanya berbisik.

Randy segera berdiri dan mengeluarkan
dompetnya "Ok, Han. Ini uangnya," ucap Randy
seraya mengambil bungkusan koran dari tangan
Johan.

Bobby yang sejak tadi bertanya-tanya tentang
kedatangan Johan langsung bangkit dan angkat
bicara, "Ran? Apa-apaan nih! Kenapa kau mau
menggunakan barang haram itu lagi?"


Randy tampak diam—dia tidak menjawab
pertanyaan Bobby sepatah kata pun. Sementara itu,
Johan yang tidak mau ikut campur segera pergi
meninggalkan tempat itu.

"O… begitu caramu menyelesaikan persoalan.
Hanya gara-gara diputusin Lisa, kau jadi cengeng
begitu."

Tiba-tiba Randy beranjak dari duduknya,
kemudian menatap Bobby dengan penuh amarah,
"Bob! Sori nih…! Kau memang sahabatku. Tapi kalau
kau sok mengajari aku tentang masalah pribadiku,
lebih baik persahabatan kita sampai di sini saja. ”

"Ran! Dengarkan aku! Aku bukannya sok mau
mengajarimu. Selama ini kita bersahabat, terus terang
aku tidak mau kalau kau mabuk-mabukan hanya
lantaran kecewa dengan Lisa,"

“Sudahlah, Bob. Kini aku jadi curiga, bagaimana
mungkin kau bisa mengetahui masalahku? Padahal
kan aku belum cerita, jangan-jangan...." Randy tidak
melanjutkan kata-katanya dia segera berpaling dan
pergi meninggalkan Bobby.


"Ran! Apa maksud ucapanmu itu... Ran!" Teriak
Bobby seraya berlari menghampiri.

"Alaaah!!!" ucap Randy seraya mempercepat
langkah kakinya.

Saat itu, Bobby langsung menghentikan
langkahnya, dia hanya bisa terpaku melihat kepergian
Randy. Sedangkan Randy terus berlalu, sepertinya dia
ingin segera pulang dan menikmati barang haram
yang baru dibelinya.


Dua minggu kemudian, Bobby tampak sedang
termenung di warung Pak Ade. Semenjak kejadian
petang itu, warung Pak Ade tak seramai dulu. Tak ada
lagi tawa dan canda yang penuh dengan keceriaan,
penuh dengan gurauan Randy yang selalu mencela
Bobby, juga petikan gitar Bobby yang melantunkan
lagu-lagu Iwan Fals. Yang tertinggal kini hanyalah
kenangan persahabatan yang tak bisa dilupakan.
Selama ini, Bobby terus berharap bisa bertemu


dengan Randy di tempat itu. Sebab, setiap kali dia
datang ke rumahnya, Randy selalu menghindar.
Namun begitu, Bobby masih terus berharap semoga
Randy sadar dan kembali menjalin persahabatan
dengannya.

"Pak! Minumannya satu lagi!" pinta Bobby seraya
menyalakan sebatang rokok. Pak Ade pun segera
membawakan pesanannya. "Ini, Nak," katanya ramah.

"Terima kasih, Pak! O ya, apa Bapak pernah
melihat Randy?"

"Tidak pernah, Nak. Sejak petang itu Bapak tidak
pernah melihatnya lagi."

"Hmm... ya sudah kalau begitu. Ngomongngomong,
semuanya berapa?"

"Tujuh ribu lima ratus, Nak."

Bobby segera mengeluarkan dompetnya, "Ini,
Pak. Kembaliannya ambil saja!"

"Terima kasih, Nak!"

"Kalau begitu aku pergi dulu, Pak. O ya, kalau
Bapak melihat Randy tolong sampaikan salamku ya!"

"Baik, Nak."


Kini Bobby sedang melangkah ke rumah Nina.
Hingga kini hubungan mereka masih lancar-lancar
saja, dan terkadang mereka juga main ke tempat Lisa
untuk mengetahui kabarnya. Hari ini pun mereka
sudah janjian untuk main ke tempat itu. Setibanya di
sana, mereka dikejutkan oleh berita yang mengatakan
kalau Lisa sudah pulang ke rumah orang tuanya dan
tidak akan kembali lagi. Lantas dengan agak kecewa
keduanya melangkah pulang. Dalam perjalanan,
mereka bertemu dengan Randy. Tampaknya pemuda
itu sudah tidak marah lagi. Buktinya, saat itu Randy
langsung melempar sebuah senyuman dan menjabat
tangan Bobby erat. “Hai, Bob! Apa kabar?" “ sapanya
kemudian.

"Alhamdulillah… Aku baik-baik saja, Ran! Kau
sendiri bagaimana?" sambut Bobby senang seraya
tersenyum kepada sahabatnya itu.

"Aku baik-baik juga, Bob. O ya, maaf kalau
selama ini aku tidak mau menemuimu! Terus terang,
aku ini memang bodoh karena telah menyia-nyiakan
seorang sahabat baik sepertimu, yang mana sudah


begitu memperhatikanku. Sekarang aku sudah betulbetul
sadar, kalau apa yang kulakukan waktu itu
adalah salah."

"Sudahlah, Ran! Aku juga memahaminya kok. O
ya, ngomong-ngomong kau mau ke rumah Lisa ya?"

"Iya Bob. Aku mau menjelaskan masalah yang
sebenarnya. Mungkin sekarang ini dia mau
mendengarkanku."

"Wah, sayang sekali, Ran. Lisa sudah pulang ke
rumah orang tuanya dan tidak akan tinggal di sini lagi."

Mengetahui itu, Randy terdiam, raut wajahnya
pun langsung berubah sedih. Dalam hati, pemuda itu
merasa tidak mempunyai harapan lagi untuk bertemu
dengan Sang Pujaan Hati.

"Tenang, Ran! Kau tidak perlu sedih! Kau masih
bisa bertemu dengannya, kok. Eng… bagaimana
kalau hari Minggu kita pergi menemuinya, kebetulan
aku memang sudah mengetahui rumahnya."

"Sungguh, Bob? Kau benar-benar mengetahui
rumahnya?" tanya Randy seakan tak percaya.


Bobby mengangguk, "O ya, bagaimana kalau
sekarang kita antar Nina pulang dulu! Setelah itu, kita
nongkrong di warung Pak Ade sambil membicarakan
rencana kita selanjutnya."

Mengetahui ajakan itu, Randy langsung setuju.
Setelah mengantarkan Nina pulang, keduanya lantas
menuju warung Pak Ade. Setibanya di tempat itu,
mereka langsung berbincang-bincang sambil makan
dan minum, hingga akhirnya mereka kembali akrab
seperti semula. Kini di warung Pak Ade sudah
terdengar lagi tawa dan canda yang penuh dengan
keceriaan.

Sementara itu di sebuah kamar yang cukup
besar, seorang gadis terlihat sedang berdiri sambil
memandang keluar jendela. Rambutnya yang panjang
tampak berkibar-kibar tertiup angin yang berhembus
pelan. Kini gadis itu tampak memandang ke sebingkai
foto yang ada di tangannya, sedang kedua matanya
tampak basah oleh air mata kesedihan. "Ran...
bagaimanapun juga aku sangat menyesal telah
mengambil tindakan ini, walau sebenarnya aku sangat


mencintaimu. Ini memang suatu keputusan yang
sangat menyakitkan. Terus terang, aku tidak
mempunyai pilihan yang terbaik. Kini aku sudah tidak
tahan menghadapi perlakuanmu, dan sepertinya kita
memang harus berpisah. karena memang itulah yang
terbaik buat kita—agar kita tidak lagi saling menyakiti.
Besok, aku akan berangkat keluar negeri. Sebab,
sudah lama orang tuaku menghendaki aku agar
sekolah di sana, namun aku selalu menolaknya
lantaran aku ingin selalu dekat denganmu. Kini aku
tidak mempunyai alasan yang kuat untuk menolak
keinginan mereka, dan aku akan berangkat untuk
membahagiakan keduanya."

Gadis yang bernama Lisa itu terus membatin
sambil memandangi foto Randy mantan kekasihnya,
sampai akhirnya fajar pun menyingsing di ufuk barat.


Di hari minggu yang cerah, sebuah sedan biru
tampak memasuki halaman rumah Randy. Sesuai


janjinya, hari ini Bobby dan Nina datang menjemput
Randy untuk mengajaknya menemui Lisa. Tak lama
kemudian, ketiganya sudah melaju ke rumah Lisa
yang ada di Bogor. Setelah melakukan perjalanan
yang cukup melelahkan, akhirnya mereka tiba di
tempat tujuan.

"Nah! itu rumahnya, Ran," kata Bobby
memberitahu.

"Wah, Bob. Terus terang, saat ini aku benarbenar
bahagia. Aku sungguh tidak menyangka, kalau
akhirnya aku bisa bertemu dengan Lisa," ucap Randy
dengan paras muka berseri-seri.

Tak lama kemudian, ketiganya sudah turun dari
mobil dan segera melangkah memasuki rumah Lisa.
Kini mereka tampak sedang bercakap-cakap dengan
ayah Lisa di sebuah ruang tamu yang cukup nyaman.
Hingga akhirnya, Bobby, Randy, dan Nina tampak
meninggalkan ruangan itu dengan perasaan kecewa.
Orang yang paling kecewa di antara mereka adalah
Randy, karena keinginannya yang begitu menggebugebu
untuk bertemu dengan Lisa telah sirna seketika,


seiring dengan kepergian Lisa ke luar negeri.
Sungguh dia tidak menyangka kalau Lisa sudah
meninggalkan Indonesia satu jam yang lalu.



D
DDDDu
uuuua
aaaa

H
HHHH
ari berganti hari, minggu berganti minggu
dan bulan berganti bulan. Semenjak
kepergian Lisa, akhirnya Randy pindah ke rumah
Bibinya yang mempunyai perusahaan boutique.
Pemuda itu sengaja tinggal di tempat itu demi
mengalihkan ingatannya soal Lisa, yaitu dengan cara
mencari kesibukan—belajar menjadi seorang penjahit
yang profesional. Selain itu, dia pun ingin menemani
sang Bibi yang kini telah tinggal sendirian lantaran
anak semata wayangnya baru saja menikah dan telah
diboyong suaminya ke luar kota.

Selama tinggal di rumah Bibinya, Randy sangat
kerasan dan selalu mengisi hari-harinya dengan
belajar dan belajar, hingga akhirnya pemuda itu bisa
menjadi seorang penjahit yang cukup professional.
Sampai pada suatu hari, di siang yang cukup panas,
di sebuah bengkel yang tidak terurus tampak


beberapa bis angkutan umum yang di parkir dalam
keadaan rusak. Di salah satu atap bis itulah Randy
tampak duduk termenung sambil memandang kosong
ke arah sebuah rumah yang tak jauh dari tempatnya
duduk. Sudah tiga hari ini Randy selalu duduk
termenung di tempat itu, pikirannya selalu dibayangi
perasaan menyesal yang teramat sangat. Sungguh
pemuda itu tidak menyangka kalau dia telah
kehilangan kekasih yang dicintainya untuk yang kedua
kali.

Setahun setelah kepindahan Randy ke rumah
Bibinya, Randy menjalin cinta dengan seorang gadis
manis bernama Yuli. Pada mulanya, dia sama sekali
tak menyadari akan keberadaan gadis itu. Namun
setelah kejadian itu, ketika Randy menolong Yuli yang
hampir tertabrak motor, cintanya pun mulai bersemi.
Waktu itu ketika Randy berusaha menyelamatkan
Yuli, mereka terjatuh bersama ke tepi jalan dan
bergulingan. Pada saat itu Yuli nyaris saja tercebur ke
dalam kali yang cukup dalam, untung saja Randy
cepat meraih tangannya dan menyelamatkannya


untuk yang kedua kali. Saat itulah mereka saling
berpandangan dengan penuh arti, dan saat itu pulalah
benih-benih cinta mulai bersemi di antara keduanya,
hingga akhirnya mereka menjadi sepasang kekasih
yang saling mencintai. Sementara itu, Erna sahabat
Yuli yang ternyata diam-diam lebih dulu mencintai
Randy tampak tidak senang dengan hubungan
mereka, hingga akhirnya dia datang menemui Randy.

"Ran ! Apa kau benar-benar mencintai Yuli?"
tanya Erna dengan wajah serius.

"Iya, aku memang sangat mencintainya.
Memangnya kenapa?" Randy balik bertanya.

"Memangnya kau tidak tahu, kalau Yuli sudah
tidak gadis lagi? Aku sendiri pernah memergokinya
dengan seorang lelaki."

"Kau jangan sembarangan bicara, Er!" Randy
terlihat marah.

"Benar kok, Ran! Sumpah deh, aku tidak bohong.
Yuli memang sudah tidak gadis lagi, dia sudah tidur
dengan Ari di sebuah rumah kosong. Itu loh! Rumah


yang baru di bangun di depan itu," cerita Erna
sungguh-sungguh.

Mendengar cerita itu Randy tampak semakin
marah. "Kau jangan memfitnahnya, Er! Aku tahu
benar siapa Yuli—dia itu gadis baik-baik," kata Randy
ketus.

Tiba-tiba saja sebuah tamparan keras melayang
ke wajah Erna. Karena kerasnya tamparan itu, kontan
membuat bibir Erna seketika berdarah. Erna pun
langsung menangis, merasakan sakit di bibirnya dan
juga kekecewaan yang teramat sangat. Sungguh dia
tidak menyangka kalau pemuda yang selama ini
begitu dicintainya ternyata tega menamparnya dengan
begitu keras.

Yuli yang kebetulan melihat kejadian itu segera
datang menghampiri. "Kak Randy! Kau ini apa-apaan
sih? Sungguh keterlaluan sekali, tega-teganya kau
menampar Erna sampai seperti ini," kata gadis itu
seraya buru-buru mengambil sapu tangannya dan
membersihkan darah di bibir sahabatnya "Er!
Memangnya ada apa? Kenapa dia begitu tega


menamparmu sampai seperti ini?" tanyanya kepada
Erna dengan penuh prihatin.

"Begini, Yul! Randy itu memang sudah gila. Dia
itu kan pacarmu, masak dia merayuku untuk berbuat
yang tidak-tidak. Tentu saja aku menolak, sebab aku
tidak mau berbuat begitu, apalagi sampai menghianati
sahabatku sendiri. Lalu tanpa diduga-duga, pacarmu
itu langsung mengeluarkan kata-kata yang sangat
menyakitkan perasaanku. Katanya, ‘Er! Kau itu kan
pekcun, jangan sok menolak deh.’ Saat mendengar
itu, seketika aku tersinggung, lalu tanpa sadar aku
langsung meludahi wajahnya. Namun pacarmu itu
bukannya sadar, eh dia malah menamparku hingga
sampai seperti ini," cerita Erna dengan sangat
meyakinkan.

"Bohong! Itu bohong, Yul. ...Itu fitnah. Aku
menampar dia karena dia telah memfitnahmu. Dia
telah berkata yang tidak-tidak mengenai dirimu.
Percayalah, Yul! Dia memang telah memfitnahmu,"
bela Randy saat itu.


"Apa benar yang dikatakannya, Er? " tanya Yuli
dengan kening sedikit berkerut.

Saat itu Erna langsung menundukkan kepalanya,
"Percuma saja, Yul. Bila aku bilang ‘tidak’, kau pasti
juga tidak akan percaya. Dia itu kan pacarmu, orang
yang kau cintai, tentunya kau akan lebih membela
dia," katanya lirih.

Mendengar itu, Yuli langsung simpati. "Kau
jangan begitu, Er. Aku percaya kok. Kau itu kan
sahabatku, dan kita sudah lama berteman. Aku tahu
benar sifatmu, rasanya memang tidak mungkin kau
berbuat seperti yang dituduhkan Randy."

Mengetahui itu, Randy kembali membela diri,
"Yul? Please...! Percayalah padaku!" katanya
berharap.

Setelah membersihkan darah di bibir Erna, Yuli
segera berpaling ke arah Randy. Dia menatapnya
dengan penuh kebencian, "Kak Randy! Aku benarbenar
tidak menyangka, kalau kau yang kukenal baik
ternyata di belakangku... telah merayu sahabatku
sendiri. Kau telah bertindak melewati batas, Kak.


Sebagai seorang wanita, aku benar-benar sangat
kecewa. Mulai sekarang, lebih baik kita putus!"

Setelah berkata begitu, Yuli pun segera
mengajak Erna untuk meninggalkan tempat itu.

"Yul? Yuli... dengar aku, Yul!" teriak Randy
berharap.

Saat itu Yuli sudah tidak mempedulikan Randy,
dia dan Erna terus melangkah menjauh. Sementara
itu, Randy sudah tak mampu berkata-kata lagi, dia
hanya bisa terpaku melihat kepergian kekasihnya.
Dalam hati dia begitu menyesal, kenapa sewaktu Erna
memfitnah kekasihnya dia tidak bisa menahan diri.
Seandainya saat itu dia bisa menahan diri, tentu tidak
akan seperti itu kejadiannya. Tiba-tiba Randy tersadar
dari kenangan pahitnya, saat itu hari tampak sudah
mulai gelap dan hujan pun sebentar lagi akan turun.
Lalu dengan perasaan yang masih galau, pemuda itu
segera turun dari atap bis dan melangkah pulang.

Sementara itu di tempat lain, di sebuah kamar
yang sederhana terpajang hiasan dinding yang tertata
indah. Semua perabotannya pun tampak tertata


dengan rapi, diletakkan di atas lantai putih yang begitu
bersih. Semua itu menunjukkan sang empunya kamar
merupakan orang yang suka dengan keindahan,
kerapian, dan kebersihan. Pada sebuah meja kecil di
ruangan itu terpampang beberapa buah foto, di
antaranya terdapat foto sepasang pengantin. Itulah
foto kedua orang tua Yuli yang sudah lama meninggal
dunia. Di sebelah kiri foto itu terpampang foto Yuli
yang sedang memegang seikat bunga dan di sebelah
kanannya terpampang foto Randy. Entah kenapa foto
itu masih saja terpampang di meja itu, padahal sudah
satu bulan dia menyatakan putus dengannya. Tak
jauh dari meja kecil itu, tampak sebuah dipan bersprei
merah jambu, dan di atas dipan itulah Yuli tampak
sedang termenung sambil memandangi foto Randy
yang ada di atas meja. Saat itu ingatannya kembali
melayang ke masa lalu, mengenang kembali masa
indah bersama pemuda yang ternyata masih
dicintainya. Sungguh gadis itu sulit untuk bisa
menerima kenyataan pahit yang dialaminya, batinnya
pun seakan meronta—tak mau mempercayainya


begitu saja. "Ya, rasanya tidak mungkin Randy akan
bisa berbuat sehina itu? Hmm… Apa mungkin Erna
telah berkata bohong? Bila benar demikian, sungguh
aku sangat berdosa karena telah menyakiti hati
Randy. Tapi... saat itu sepertinya Erna memang
berkata jujur. Lagi pula, dia itu kan sahabatku, dan
aku kenal betul siapa dia, rasanya tidak mungkin dia
mau menghianatiku."

Saat itu Yuli terus bertanya-tanya sambil
memikirkan peristiwa yang sudah membuatnya begitu
bingung.


Esok paginya, di negeri di negeri kincir angin,
mentari tampak bersinar cerah. Sinarnya yang hangat
tampak membias ke seluruh taman yang ada di
belakang sebuah rumah bergaya eropa, dan di taman
itulah seorang gadis tampak duduk termenung sambil
memandang kolam kecil yang ditumbuhi pohon teratai
dengan bunganya yang berwarna biru. Gadis itu terus


merenung, merasakan hembusan angin sepoi-sepoi
yang terus bertiup, juga keteduhan rindangnya pohon
oak yang sudah berumur ratusan tahun.

"Kak Randy... apakah kau sudah melupakanku,
dan apakah kau sudah mempunyai penggantiku?
Kak... ingin rasanya aku kembali ke tanah air tercinta
untuk menemuimu, namun aku tak berdaya, tak tahu
harus bagaimana. Kak... Sesungguhnya aku sangat
mencintaimu, dan cintaku itu hanya untukmu. Andai
kau tahu, sesungguhnya di sini aku begitu kesepian,
bahkan tidak ada sesuatu pun yang bisa menghibur
hatiku yang lara ini. Kini harapanku hanya dirimu, yang
kupercaya bisa mengobati rasa rinduku, menjadi
pelepas dahaga cinta yang sudah terlanjur melekat di
relung hatiku terdalam," ungkap Lisa seraya memetik
setangkai tulip yang tumbuh di dekatnya, kemudian
memandangi keindahannya.

Saat itu air matanya tampak mengalir di pipinya
yang mulus, kemudian menetes di sela-sela jemarinya
yang tergenggam. Bersamaan dengan itu, kenangan
indah bersama Randy kembali terbayang,


membawanya ke masa lalu yang begitu berkesan.
Saat itu Randy mencium bibirnya yang tipis di bawah
terang sinar bulan purnama, dan pada saat itu pula
Randy memberikannya sebuah kalung yang begitu
indah. Sejenak Lisa menarik nafas panjang,
sesegukan, kemudian mendongak—memperhatikan
mentari yang kian meninggi. Sesaat, silaunya mentari
sempat memicingkan kedua matanya yang basah.
Kini pandangannya sudah beralih, memperhatikan
liuk-liuk air kolam yang berkilat tersapu cahaya, lalu
dengan serta-merta dia bangkit dan melangkah
menuju ke sebuah gazebo yang dirambati oleh mawar
berwarna putih. Kini gadis itu sudah duduk di tempat
yang nyaman itu dan kembali termenung. Jemarinya
yang lentik segera memetik setangkai mawar dan
kemudian menciumnya perlahan. Bersamaan dengan
itu, kenangan indah pun kembali terbayang. Namun
belum sempat gadis itu kembali tebuai lamunan, tibatiba
telinganya menangkap suara sapaan seorang
pemuda. Saat itu Lisa tersentak, lamunannya pun
buyar seketika. Kini gadis itu sedang memperhatikan


sesosok tubuh tegap yang berdiri dihadapannya,
kemudian memandang wajah tampan yang dilihatnya
sedang menyungging sebuah senyuman manis.
Melihat itu, Lisa pun buru-buru menghapus air
matanya dan berusaha untuk tersenyum. “Si-siapa
kau sebenarnya? Ma-malaikat kah?” tanya Lisa
seakan tak percaya akan ketampanan pemuda itu.

"Maaf, aku bukan malaikat. O ya, kenalkan.
Namaku Pieter, aku baru saja pindah ke daerah ini,"
kata pemuda itu dalam Bahasa Belanda seraya
mengajaknya berjabatan tangan.

"Aku Lisa," kata Lisa memperkenalkan diri, juga
dalam Bahasa Belanda.

"Senang berkenalan denganmu," kata Pieter
seraya kembali tersenyum.

"Aku juga," balas Lisa.

“O ya, maafkan kalau tadi aku sudah menggangu
kesendirianmu.”

“Ti-tidak apa-apa, Piet. Jujur saja, aku justru
senang akan kehadiranmu. Ketahuilah, kalau di negeri
ini aku tidak mempunyai seorang teman pun.”


Mengetahui itu, Pieter merasa betul-betul lega,
kemudian dia segera mengajak Lisa kembali
berbincang-bincang. Harum mawar dan keteduhan
Gazebo membuat keduanya betah berlama-lama.
Wajah Lisa yang semula murung kini tampak ceria, itu
semua karena dia mendapat teman baru—seorang
pria kulit putih yang baru saja pindah dan menjadi
tetangganya. Pada saat yang sama, di negeri Zambrut
katulistiwa dan di atap sebuah bis yang tak terawat,
Randy kembali melamun seorang diri. Seperti
biasanya, dia selalu memikirkan Yuli—gadis yang
selalu saja terbayang di benaknya.

Semenjak putus dengan Yuli, Randy memang
sering melamun, sepertinya dia tidak mempunyai
gairah untuk hidup. Maklumlah, hari-hari yang
biasanya dipenuhi keceriaan saat bersama Yuli kini
tak lagi dirasakan, yang dirasakannya kini hanyalah
kesepian yang terus menghantui.

Sementara itu di tempat lain, Bobby tampak
duduk sendirian di teras depan rumahnya. Saat itu dia
sedang memetik gitar kesayangannya sambil


menyanyikan sebuah tembang lama. Maklumlah,
semenjak Randy tinggal di rumah bibinya, dia lebih
sering berada di rumah lantaran tidak mempunyai
teman nongkrong yang sehati. Sebab, memang hanya
Randylah sahabatnya yang paling mengerti dia.

“Hmm… Sebaiknya sekarang saja aku
menemuinya, mumpung ibuku lagi tidak pakai mobil,”
gumam Bobby seraya bergegas menyimpan gitarnya,
kemudian dengan segera mengendarai sedan birunya
menuju tempat tujuan.

Setelah menempuh perjalanan yang lumayan
jauh, akhirnya Bobby tiba di kediaman Randy. Kini dia
sedang bicara dengan bibi Randy yang saat itu
merasa prihatin dengan perubahan prilaku
keponakannya. "Hmm… jadi, sudah lebih dari dua
minggu ini Randy sering menyendiri?" tanya Bobby
perihal sahabatnya yang diketahui sedang mengalami
masalah.

"Betul, Nak Bobby. Tante sendiri tidak tahu
kenapa dia bisa menjadi seperti itu. Soalnya setiap
kali Tante menanyakannya dia tidak pernah mau


berterus terang. Mungkin jika kau yang
menanyakannya, dia akan mau berterus terang."

"Eng, kalau begitu aku memang harus segera
menemuinya. O ya, ngomong-ngomong dia sedang di
mana, Tante?" tanya Bobby.

"Biasa… dia menyendiri di atap bis yang ada di
bengkel sebelah, Nak."

"Baiklah Tante, kalau begitu aku akan
menemuinya sekarang," pamit Bobby seraya
bergegas ke bengkel sebelah. Setibanya di tempat itu,
dia melihat Randy tampak masih duduk termenung.
"Ran? Sedang apa kau di sini?" tanya Bobby yang kini
juga sudah berada di atap bis. Saat itu Randy tidak
menyahut, dia masih saja terlena dengan
lamunannya. "Ran? Kau sedang apa?" tanya Bobby
lagi seraya menepuk pundak sahabatnya. Seketika itu
juga Randy tersadar, kemudian menatap pemuda itu
dengan pandangan kosong. Namun tak lama
kemudian, pemuda itu sudah kembali berpaling—
memperhatikan sebuah rumah yang ada di kejauhan.
Sepertinya saat itu dia merasa berat untuk


menceritakan hal sebenarnya. Mengetahui itu, Bobby
kembali bertanya, "Apa yang kau lamunkan, Ran?
Sampai-sampai kau tidak mendengar perkataanku.
Ayo dong, Ran! Katakan padaku!" pinta Bobby seraya
duduk di sebelahnya.

Karena terus didesak, akhirnya terpaksa Randy
mengatakannya, "Begini Bob! Aku sedang patah hati.
Hubunganku dengan Yuli sudah putus."

"A-apa! Kau dan Yuli putus?" Bobby sangat
terkejut mendengar berita itu. "Kenapa hal itu bisa
terjadi, Ran?" tanyanya kemudian.

"Itu semua karena aku telah difitnah oleh Erna,
Bob."

"E-erna... Siapa itu Erna?"

"Dia itu sahabatnya Yuli, Bob."

"O..." Bobby tampak mengangguk-angguk,
"Eng… Ngomong-ngomong, kenapa dia sampai tega
memfitnahmu, Ran?"

"Begini ceritanya, Bob…."


Randy pun segera menceritakan perihal kejadian
itu, pada saat itu Bobby terus mendengarkan dengan
penuh prihatin.

“Hmm… kini aku mengerti, ternyata memang
Erna biang keladinya. Kalau begitu, kau jangan
khawatir, Ran. Aku pasti akan membantumu. O ya,
ngomong-ngomong… Perutku sudah lapar sekali nih.
Kita makan dulu yuk!" ajak Bobby.

"Maaf, Bob. Kau makan sendiri saja. Terus
terang, aku belum lapar."

"Ayolah...! Kita makan mi rebus saja!"

Mengetahui itu, Randy pun langsung berubah
pikiran. "Eng, baiklah… kalau begitu aku mau. O ya,
ngomong-ngomong kita akan makan di mana?"

"Hmm... Bagaimana kalau di warung yang ada di
dekat pertigaan?"

"Oke, aku setuju. Kalau begitu, ayo kita
berangkat!"

Lantas kedua pemuda itu segera turun dan atap
bis dan melangkah pergi. Setibanya di tempat tujuan,
mereka langsung memesan dua mangkuk mi. Sambil


menunggu mi itu matang, mereka tampak berbincangbincang
sambil memandang ke arah jalan. Saat itulah,
pandangan salah satu dari mereka tiba-tiba tertuju
kepada seorang gadis yang sedang jalan sendirian.
"Nah itu dia, Bob. Wanita yang bernama Erna—wanita
yang telah memfitnah aku," katanya dengan nada
marah—sepertinya saat itu dia begitu ingin
menghajarnya.

"O... jadi itu yang namanya Erna," kata Bobby
seraya memperhatikan gadis yang dimaksud.

"Kalau saja dia bukan perempuan, pasti sudah
kubuat babak-belur," kata Randy geram.

"Sudahlah, Ran! Sebaiknya kita lupakan dulu
masalah itu. Lebih baik sekarang kita makan dulu!"
pinta Bobby seraya mengambil semangkuk mi yang
baru saja matang.

Kemudian keduanya tampak menikmati makanan
itu dengan lahapnya. Selesai makan, mereka kembali
berbincang-bincang sambil menikmati sebatang
rokok. Beberapa menit kemudian, Bobby dan
sahabatnya sudah meninggalkan warung dan sedang


melangkah menuju ke kediaman Randy. Setibanya di
tempat itu, mereka kembali ngobrol hingga menjelang
senja. Bobby yang saat itu menyadari hari sudah mulai
gelap akhirnya memohon diri, "Ran? Sekarang aku
pulang dulu ya, besok kita bertemu lagi."

"Yoi, Bob. Sampai bertemu besok,” ucap Randy
seraya memperhatikan sahabatnya memasuki mobil
yang diparkir di halaman.

Tak lama kemudian, Bobby sudah melaju dengan
sedan birunya. Kini pemuda itu sedang dalam
perjalanan, lalu tanpa sengaja dia melihat Erna yang
sedang jalan berduaan dengan seorang pemuda.
"Lho… i-itukan si Erna. Kenapa dia bergandengan
tangan dengan Johan. Hmm… Sebenarnya siapa
Erna itu? Apa mungkin dia itu pacarnya Johan? Jika
memang demikian, lalu apa motifnya merusak
hubungan Randy dengan Yuli? Hmm... betul-betul
membingungkan, kalau begitu sebaiknya nanti malam
aku akan ke tempat tongkrongan Johan. Aku akan
menyelidiki hal ini lebih jauh lagi, mungkin saja di sana
aku akan menemukan jawabannya."


Bobby terus memacu mobilnya sambil
memikirkan berbagai peristiwa yang baru dialaminya,
hingga akhirnya dia tiba dirumah ketika azan magrib
usai berkumandang.


Esok harinya, matahari tampak condong ke
barat, panas pun sudah tak begitu menyengat lagi.
Sepulang dari rumah sahabatnya, Bobby langsung
menemui Erna guna melanjutkan penyelidikannya
semalam. Kali ini dia berlagak menjadi teman Yuli dan
mengajak Erna berbincang-bincang. Lama mereka
berbincang-bincang, hingga akhirnya gadis yang
bernama Erna itu tampak memasang wajah garang.
"Hei! Memangnya kau itu siapa? Kenapa kau ingin
tahu urusanku segala?" tanya Erna dengan alis
merapat dan bola mata yang tampak membesar.

"Mengaku saja, Er. Kau memang menyukai
Randy kan? Dan kau menfitnah Yuli agar kau bisa
memilikinya. Iya kan?"


"Huh! Apa untungnya jika aku memberitahumu?"

"Bukan apa-apa, Er. Kalau kau memang
menyukai Randy, katakan saja terus terang. Jangan
pakai memfitnah Yuli segala!"

"Huh! Siapa yang menyukai pria munafik seperti
dia. Lagi pula, priaku si Johan lebih oke ketimbang
dia."

"Johan yang bandar narkoba itu? Huh, pria
seperti itu saja kau bangga-banggakan," kata Bobby
sinis.

"Huh! Tahu apa kau soal dia. Johan itu pria baikbaik,
dia tidak seperti Randy yang mata keranjang dan
suka bertindak tak senonoh."

Tiba-tiba sebuah tamparan melayang ke pipi
Erna, "Dasar! Kau memang wanita murahan, aku lebih
mempercayai kata-kata sahabatku dari pada katakatamu.
He, dengar ya! Aku kenal betul siapa Randy,
dia tidak mungkin berbuat begitu, dan dia tidak
mungkin suka dengan wanita sepertimu."

Sambil terus mengusap pipinya yang terasa
panas, Erna memandang Bobby geram, "He, Bob.


Dengar ya! Aku memang menyukai Randy. Dia
memang pria yang selama ini aku idam-idamkan,
sebab dia bisa menjadi suami yang baik untukku.
Tidak seperti Johan yang hanya mau menikmati
tubuhku tanpa perasaan cinta sedikit pun, selama ini
aku hanya dijadikan objek pemuas birahinya. Terus
terang, aku iri dengan Yuli yang bisa mendapatkan
pria yang mencintai dan menyayanginya dengan
sepenuh hati. Karenanyalah, aku tidak senang jika
Yuli bisa bahagia sedangkan aku tidak. O ya, Bob!
Dengar baik-baik. Yuli lebih percaya padaku, dan
usahamu untuk menyatukan mereka akan sia-sia.
Dan satu lagi, kau akan mendapat balasan akan
perbuatanmu tadi. Nah, sekarang juga pergi kau dari
sini!"

"Oke oke... sekarang juga aku pergi! Kini aku
tahu siapa kau sebenarnya, kau memang ular berbisa,
dan aku sama sekali tidak takut dengan ancamanmu
itu," umpat Bobby seraya melangkah meninggalkan
tempat itu.


Hari itu juga Bobby langsung menuju ke rumah
Yuli guna menyelesaikan masalah yang dihadapi
sahabatnya. Setibanya di tempat itu, dia langsung
menjumpai Yuli dan mulai menceritakan perihal siapa
Erna sebenarnya. "Begini, Yul. Kemarin aku sempat
melihat dia dan Johan jalan berduaan. Aku tahu betul
siapa si Johan, dia itu seorang bandar narkoba.
Setelah kuselidiki lebih lanjut, ternyata Erna juga
seorang pemakai. Bahkan demi untuk barang haram
itu dia rela untuk menyerahkan kehormatannya.
Karena itulah, selama ini dia sering nongkrong di
tempat Johan guna memenuhi kebutuhannya. O ya,
tadi aku juga baru tahu kalau ternyata Erna memang
mencintai Randy, dan karena itulah semuanya
menjadi jelas, bahwa apa yang dikatakan Randy
mengenai Erna adalah benar. Saat itu Erna sengaja
menfitnahmu demi mendapatkan Randy. Namun
ternyata dia keliru, saat itu Randy justru tidak percaya
dan langsung menamparnya lantaran kesal. Saat
itulah kau datang, hingga akhirnya Erna pun segera
memanfaatkan situasi itu. Aku menduga dia


melakukan itu karena sudah kehabisan akal, jika dia
tidak bisa mendapatkan Randy, maka merusak
hubungan kalian adalah hal yang bisa menyenangkan
hatinya."

"O ya, Kak. Ngomong-ngomong, apa yang
dikatakan Erna pada Randy waktu itu?"

"Menurut cerita Randy, Erna mengatakan kalau
kau sudah tidak gadis lagi, dan kau suka tidur berdua
di rumah kosong bersama si Ari."

"A-apa??? Erna berkata begitu? Sungguh aku
tidak menyangka, kalau dia telah tega memfitnahku
sedemikian keji. Ta-tapi... Apa iya Erna akan setega
itu, sebab selama ini dia sudah begitu baik padaku.
Eng… Jangan-jangan, Kak Randy telah
memfitnahnya, Kak?"

"Percayalah Yul! Biarpun selama ini Erna baik
padamu, namun kalau dia diam-diam juga mencintai
Randy bisa saja dia berbuat demikian. Apa lagi Erna
sudah terlibat dengan yang namanya narkoba, dan
hal-hal semacam itu sangat mungkin dilakukan.
Sebab NARKOBA (Narkotika dan obat-obatan


berbahaya) mempunyai dampak negatif yang
merugikan aspek jiwa, yaitu pada tahap-tahap awal
pemakaiannya maupun pada tahap-tahap adiktif
(ketagihan). Ketika pertama kalinya seseorang
mengkonsumsi narkoba, ia merasakan pikirannya
kacau, tidak dapat membedakan sesuatu dengan
baik, cepat emosi, dan perasaannya tidak aktif.
Dengan terus-menerus mengkonsumsinya, pelakunya
menjadi malas, sedikit kerja, menghabiskan waktunya
dalam mimpi-mimpi soal kebangkitan. Ia tidak mampu
menghadapi realitas yang ada di tengah-tengah
masyarakat. Oleh karena itu, ia berkelit dengan
tipuan, manipulasi, pemalsuan, dan melanggar
hukum. Banyak sekali generasi muda yang
mengkonsumsi NARKOBA menderita gangguan di
otaknya, kemudian terlihat pada mereka gangguan
pendengarannya, pengelihatannya, dan perasaannya.
Hingga seolah-olah mereka merasakan sakit di
sekujur tubuhnya atau melemahnya kerja seluruh
organ tubuhnya, atau mereka merasakan sepertinya
ada serangga yang menjalar di sekujur tubuhnya.


Apalagi jika dia sudah menjadi seorang yang
paranoid, dia bisa kehilangan kepercayaan diri,
bahkan dia mulai mencurigai siapa saja yang berada
di dekatnya, dan bertindak di luar akal sehatnya."

"Tapi, Kak. Aku masih ragu dengan segala
keteranganmu itu."

"Oke, Yul! Kalau kau masih juga tidak percaya,
kita bisa membuktikan siapa Erna itu sebenarnya.
Bagaimana kalau malam ini kau ikut denganku untuk
melihat secara langsung tindak-tanduk Erna di tempat
tongkrongannya."

"Baiklah, Kak. Kalau begitu, aku bersedia ikut
denganmu malam ini."

Setelah berbincang-bincang lebih lanjut, akhirnya
Bobby pamit pulang. Pada saat yang sama, Yuli masih
memikirkan perihal Erna, sungguh dia tidak sabar
ingin membuktikan semua kata-kata Bobby yang
masih sulit dipercaya.



Malam harinya, Bobby dan Yuli sudah berada di
tempat tongkrongan Johan. Dari tempat yang
tersembunyi, mereka tampak mengawasi tindaktanduk
Erna yang sedang berpesta narkoba. Saat itu
Yuli hanya bisa tertegun menyaksikan sahabatnya
yang sedang mabuk dan terus digerayangi oleh
pacarnya yang bernama Johan.

"Bagaimana, Yul? Apa sekarang kau percaya?"
tanya Bobby berbisik.

"Iya, Kak. Aku benar-benar tidak menduga,
ternyata Erna memang seperti itu."

"Kalau begitu, ayo kita pergi dari sini!" ajak Bobby
kepada gadis itu.

Mereka pun segera bergegas meninggalkan
tempat itu. Dalam hati, Yuli sudah benar-benar yakin
kalau semua perkataan Bobby waktu itu memang
benar adanya, dan sekarang pun dia sudah berniat
untuk menemui Randy dan meminta maaf padanya.

Sementara itu di tempat lain, Randy terlihat
sedang duduk sendirian sambil menikmati sebatang
rokok. Sesekali dia menghembuskan asap rokoknya


dengan membentuk cincin, yang akhirnya hancur
terkena hempasan angin. Kini di dalam benaknya,
pemuda itu sedang membayangkan gadis yang begitu
dicintainya. "Yul... kau adalah gadis yang paling
kucinta. Cintaku padamu lebih besar daripada gadis
lain yang pernah kucinta. Aku tak tahu apakah kita
akan bersatu kembali? Andaipun Bobby tidak bisa
membuatmu percaya, aku hanya bisa pasrah dan
mencoba untuk menerimanya."

Kini pemuda itu melangkah menuju ke muka
rumah, dan ketika dia melihat Bobby dan Yuli sedang
melangkah mendekat, pemuda itu pun langsung
tertegun.

"Hai, Ran!" sapa Bobby pada pemuda itu..

Saat itu Randy tidak membalas, dia masih saja
tertegun—memperhatikan gadis yang kini sudah
berdiri di hadapannya.

"Kak!" panggil Yuli berusaha menyadarkan
pemuda itu.


Seketika Randy tersadar. "E-eh, ma-maaf! Ayo
Bob, Yul… mari masuk!" ajaknya kepada Bobby dan
Yuli.

Kini ketiganya sudah duduk di kursi teras. Pada
saat itu, Yuli langsung mengungkapkan isi hatinya,
"Kak Randy? Sekarang aku sudah tahu siapa Erna,
dia memang bukan wanita baik-baik. Dan aku
berharap, kau mau memaafkanku. Terus terang, aku
menyesal karena tidak mempercayai ucapanmu
tempo hari."

"Sudahlah Yul...! Aku bisa mengerti kok. Aku
memang tidak menganggapmu bersalah karena Ernalah
yang bersalah, saat itu dia telah memfitnahku
sehingga membuatmu bertindak demikian."

Saat itu Yuli begitu senang mendengar kata-kata
itu. Lantas dengan segera dia kembali berkata, "Kak...
aku berharap kita bisa melanjutkan hubungan kita
yang telah putus. Sebenarnya aku memang tidak bisa
melupakanmu, aku ingin sekali jika hubungan kita
kembali seperti semula."


"Benarkah? Oh, Yul... aku bahagia sekali
mendengarnya."

"Iya, Kak... selama ini aku begitu menderita, aku
selalu merindukanmu."

"Aku juga demikian, Yul."

Tiba-tiba Bobby bangkit dari tempat duduknya,
"Ran? Aku permisi dulu ya!"

Mengetahui itu, Randy segera berdiri. "Kenapa
buru-buru, Bob! Bukankah kau baru saja sampai. Aku
pun belum sempat membuatkanmu minum," tahan
pemuda itu kemudian.

"Sudahlah, Ran! Kau tidak perlu repot-repot. Lagi
pula, aku memang tidak bisa lama-lama, soalnya aku
ada sedikit keperluan yang mesti segera
kuselesaikan."

"Kalau begitu, terima kasih ya, Bob! Kau telah
mempersatukan kami lagi, dan kau memang benarbenar
sahabatku yang paling baik."

"Sudahlah, Ran! Itu semua memang sudah
kehendak Tuhan. Lagi pula, kau kan sahabatku, dan
memang sudah sepantasnya aku berbuat demikian."


"Sekali lagi terima kasih, Bob!"

"Oke, Ran. Sampai bertemu lagi. O ya, Yul? Aku
pulang dulu ya!" pamit Bobby seraya melangkah
menuju mobil yang diparkir di depan rumah Randy.

Pada saat yang sama, Randy dan Yuli tampak
mengiringinya hingga ke depan pintu pekarangan.
Setelah melambaikan tangan pada keduanya, Bobby
segera melaju meninggalkan tempat itu. Sepeninggal
Bobby, Randy dan Yuli kembali duduk, kemudian
mereka bersama-sama mencurahkan segala
kerinduan yang selama ini terpendam.


Seminggu kemudian, di negeri nan jauh di sana,
matahari sudah condong ke barat. Saat itu, sepasang
muda-mudi tampak sedang berperahu di sebuah
danau yang indah sambil menikmati suasana yang
begitu romantis. Tak lama kemudian, yang pria terlihat
menggenggam tangan Sang Gadis sambil
memandang wajahnya yang cantik, kemudian


meremasnya perlahan sambil berkata, "Lisa... aku
mencintaimu, Sayang...."

"Aku juga mencintaimu, Piet." Balas Lisa seraya
memandang Pieter dengan sorot mata yang berbinarbinar,
kemudian kedua matanya tampak terpejam.

Saat itu Pieter langsung mencium keningnya
dengan penuh kasih sayang. Kini mata Lisa sudah
kembali terbuka, saat itu dia tampak menatap Pieter
sambil tersenyum manis, kedua matanya yang bening
seakan tak mau perpaling—terus menatap mata
kekasihnya yang berwarna coklat, yang kini dilihatnya
seolah berbicara mengenai isi hatinya terdalam.

Kini Pieter tampak melepaskan genggamannya,
lalu dengan perlahan sekali tangannya menelusuri pipi
Lisa hingga ke bagian tengkuk, dan seketika itu juga
bibirnya mendarat di bibir Lisa yang merah alami.
Hangat bibir Lisa membuat tubuh pemuda itu seakan
melayang, melayang semakin tinggi bersama ribuan
bunga warna-warni yang terus mengelilinginya.
Perasaan yang sama juga dialami oleh Lisa, lalu tanpa
sadar tangannya sudah melingkar di pinggang Pieter.


Kemudian keduanya semakin larut dalam menikmati
candu asmara, yang perlahan namun pasti terus
menodai hati tanpa mereka sadari. Ketika Pieter
hendak bertindak lebih jauh, tiba-tiba… "Hentikan
Piet!" kata Lisa tersadar, kemudian gadis itu tampak
melepaskan pelukannya dan segera berpaling.

"Li-Lisa! Ada apa?" tanya Pieter tak mengerti.

"Maaf Piet...! Aku tidak bisa melakukan itu."

"Kenapa?"

"Karena kita belum menikah. Terus terang, aku
menyesal karena telah memberikan kesempatan yang
seharusnya tidak kulakukan. Selama ini aku telah
mengabaikan apa yang dilarang agamaku. Semula
kupikir aku bisa mengendalikan diri, tapi ternyata aku
sudah bertindak terlalu jauh. Selain itu... keadaan kita
sungguh jauh berbeda."

"Apakah karena aku orang Belanda dan kau
orang Indonesia."

"Bukan... bukan soal itu."

"Lalu… soal apa?"


"Kepercayaan kita yang berbeda, dan kita tidak
akan mungkin bisa menikah. Maaf Piet! Seharusnya
aku tidak boleh mencintaimu, tapi... entahlah... aku
juga tidak mengerti kenapa aku bisa mencintaimu."

"Kenapa? Kenapa hanya karena kepercayaan
kita berbeda, lantas kau tidak boleh mencintaiku, dan
kenapa kita tidak mungkin menikah?"

"Karena ajaran agamaku memang melarangnya.
Seorang wanita muslim tidak boleh menikah dengan
pria yang tidak seiman tanpa ada toleransi. Kalaupun
hal itu terjadi, itu sama saja dengan kumpul kebo.
Karena pernikahan itu dianggap tidaklah sah. Hmm…
bukahkah agamamu juga melarangnya?"

"Ya… setahuku memang begitu. Tapi…"

"Sudahlah, Piet …! Bukankah kita orang yang
beragama, dan sebaiknya kita mematuhi apa yang
ada di agama kita masing-masing."

Sejenak Pieter terdiam. Sepertinya saat itu dia
tampak sedang memikirkan sesuatu. "Hmm…
bagaimana jika aku mengakui kepercayaanmu?"
tanyanya tiba-tiba.


Mendengar itu, Lisa kontan tersentak. Sungguh
dia tidak menduga kalau pemuda itu rela menukar
kepercayaannya hanya demi cinta. " Piet... kau tidak
bisa seperti itu. Sebaiknya kau pikirkan dulu masakmasak,
karena hal ini bukanlah perkara main-main.
Sekali lagi aku sarankan, sebaiknya kau pikirkan dulu
masak-masak itu, dan kalau kau sudah benar-benar
yakin barulah kau bisa mengambil putusan."

"Baiklah Lis... aku akan mengikuti saranmu itu.
Terus terang, bagiku ini memang masalah yang
sangat menyulitkan. Namun demi cintaku padamu,
aku akan berusaha mencari tahu mengenai agamamu
di pusat pengembangan agama Islam. Semoga
dengan begitu aku bisa mendapat petunjuk, apakah
aku layak menukar keyakinanku atau tidak."

" Piet... Apakah kau sungguh-sungguh dengan
perkataanmu itu?"

"Tentu saja, Lis. Sebab, hanya dengan cara itu
aku bisa mendapatkan petunjuk. Lagi pula, andaipun
aku tidak bisa berpindah keyakinan, aku akan tetap


selalu mencintaimu. Eng, bukankah cinta itu tidak
berarti harus memiliki."

"Oh, Piet... Aku sangat mencintaimu. Aku
sependapat kalau cinta memang tidak harus memiliki,
namun kepedulian atas nama cinta itulah yang
terpenting. "

"Aku juga, Lis. Aku sangat mencintaimu. Sebab,
kau bukanlah gadis yang memanfaatkan cinta demi
untuk menukar keyakinan seseorang. Cintamu
padaku adalah cinta yang tulus, yang mana telah
begitu mempedulikan keyakinanku."

"O ya, Piet... Ngomong-ngomong, bagaimana
kalau sekarang kita pulang? Lihatlah…! Hari sudah
semakin sore."

"Kau benar, sebaiknya kita memang harus
pulang," kata Pieter seraya mendayung perahu yang
mereka tumpangi menuju ke tepian.

Tampaknya kini hubungan Pieter dan Lisa sudah
semakin erat, walaupun pada mulanya Lisa begitu
mencintai Randy. Semua itu dikarenakan selama ini
Pieter sangat baik dan begitu perhatian padanya,


selama ini pula mereka sering bertemu dan membuat
benih-benih cinta terus tumbuh di hati keduanya,
hingga akhirnya cinta mereka semakin besar dan
tinggal menunggu untuk berbuah.

Kini Pieter dan Lisa sudah tiba di tepi danau, lalu
dengan berhati-hati Pieter membantu Lisa turun dari
atas perahu, kemudian melangkah pulang sambil
bergandengan tangan. Saat itu di batas cakrawala
terlihat lembayung dengan warna jingga dan kuning
keemasan, sungguh perpaduan warna yang begitu
indah.


Keesokan harinya, di negeri yang sangat jauh
dari tempat kediaman Lisa. Bobby tampak sedang
memacu sedan birunya melewati sebuah jalan yang
sepi. Ketika melewati sebuah jembatan yang agak
rusak, tiba-tiba dia di hadang oleh pemuda yang
berperawakan agak kurus. Pemuda itu ternyata si


Johan. Entah apa mau dia sebenarnya, yang jelas kini
mereka sedang bercakap-cakap.

"Han, apa maksud ucapanmu itu?" tanya Bobby
dengan wajah geram.

"Huh! Bagaimanapun juga tindakanmu itu telah
meremehkan aku, Bob," kata Johan seraya
mengeluarkan sebilah pisau dari balik bajunya.

"Han! A-apa-apaan ini? A-aku..."

Belum sempat Bobby menyelesaikan kalimatnya,
Johan sudah memotong. "Sudahlah, Bob! Kau tidak
perlu mungkir. Kau sudah menantang aku, kan?
Soalnya kata Erna, kau bilang aku ini tidak ada apaapanya.
Karenanyalah, aku ingin memberi pelajaran
padamu agar kau tidak asal sembarangan bicara."

Setelah berkata begitu, Johan tampak
menghunuskan pisaunya ke arah Bobby dan bersiapsiap
menyerangnya.

"Tunggu dulu, Han! Terus terang, aku tidak
pernah bicara seperti itu. Rupanya Erna telah
memanas-manasimu dengan cara memfitnahku
seperti itu."


"Sudahlah, Bob! Jangan banyak bicara!
Pokoknya sekarang aku akan menghabisimu."
"Baiklah, kalau itu memang sudah menjadi
keputusanmu. Hmm... kau pikir aku takut dengan

sebilah pisau seperti itu," kata Bobby seraya
memasang kuda-kudanya.
Mendengar itu, Johan semakin bertambah

geram. Lalu dengan serta-merta, dia segera
menikamkan pisaunya ke arah Bobby. Mengetahui itu,
Bobby segera berkelit menghindar, kemudian dengan
sigap pemuda itu berhasil menangkap lengan Johan
dan langsung memitingnya dengan sekuat tenaga.
Kini Bobby sedang berusaha keras menjatuhkan pisau
yang bisa mengancam jiwanya. Setelah berhasil, dia
pun langsung membanting Johan hingga terjerembab
ke aspal. Tak ayal, saat itu juga Johan langsung
meringis kesakitan—tubuhnya yang terbentur dengan
aspal dirasakan sakit semua.

Kini pemuda yang bernama Johan itu berusaha
bangkit kembali, saat itu kemarahannya sudah
semakin meluap-luap. Mengetahui itu, Bobby pun


tidak tinggal diam, lalu dengan segera dia
menghampiri Johan dan mencengkram kerah bajunya
dengan sangat kasar. "Jangan sekali-kali kau
menikamkan pisau ke arahku, Han!" katanya seraya
menghajar wajah Johan dengan begitu keras.

Tak ayal, pukulan yang begitu keras itu membuat
Johan kembali meringis, dan di saat itu pula, darah
segar tampak keluar dari sela bibirnya. Sungguh
pukulan itu telah membuatnya tak berdaya untuk
bangkit kembali. Melihat lawannya sudah tak berdaya,
akhirnya Bobby segera beranjak menaiki mobilnya,
kemudian terus berlalu meninggalkan Johan yang
sedang kesakitan. Sementara itu, Johan tampak
berusaha bangkit dengan sekuat tenaga. Pada saat
itu, kedua matanya terus menatap kepergian Bobby
dengan pancaran dendam yang berkobar-kobar.
"Awas kau, Bob! Lihat pembalasanku nanti,"
ancamnya seraya mengelap darah yang tadi mengalir
di sela bibirnya. Kemudian dengan tertatih-tatih,
pemuda itu segera menaiki sepeda motornya dan
terus berlalu meninggalkan tempat itu. Dedaunan


kering terlihat berterbangan diterpa berhembus
kencang laju sepeda motornya, sementara itu sinar
mentari yang akan kembali ke peraduan tampak
membias menciptakan sebuah siluet pengendara
sepeda motor yang terus menjauh.


Seminggu kemudian, di sore yang cerah. Johan
dan teman-temannya terlihat sedang berbincangbincang
di depan warung dekat perempatan jalan.
Pada saat itu, siswa-siswi berseragam abu-abu
terlihat melintas sambil bercanda ria, rupanya anakanak
SMU 2013 baru saja bubar sekolah.

"Nah... itu dia si Nina," kata seorang yang duduk
di sebelah Johan.

"Kau yakin, Jek?" tanyanya seraya
memperhatikan gadis yang dimaksud.

"Tidak salah lagi, Han. Itu memang dia," ucap
temannya meyakinkan.


"Ok deh, Jek. Kalau begitu, aku pergi dulu," pamit
Johan seraya bergegas mengendarai sepeda
motornya dan menghampiri Nina yang sedang
berjalan seorang diri.

"Hai, Nin!" Sapa Johan seraya menghentikan laju
sepeda motornya.

"Mmm.. Siapa ya?" tanya Nina heran.

"Kenalkan, namaku Parhan," ucap Johan
memperkenalkan diri dengan nama samaran. "O ya,
Nin. Hari ini Bobby tidak bisa menjemputmu, soalnya
dia sibuk sekali," sambungnya kemudian.

"O... jadi kau temannya Bobby, dan dia
memintamu untuk menjemputku?" tanya gadis itu
tanpa curiga.

"Betul, Nin. Mari, aku antar kau pulang!"

Tanpa ragu-ragu, Nina pun ikut membonceng.
Kini motor besar dua silinder menderu meninggalkan
tempat itu. Lima menit kemudian, Bobby yang hendak
menjemput kekasihnya tiba di tempat tujuan, dan dia
tampak heran ketika mengetahui Nina sudah tak ada.
Ketika Bobby tengah berpikir, tiba-tiba dari arah


warung terlihat seorang gadis yang datang
menghampiri.

"Kak? Nina baru saja di jemput," kata gadis yang
ternyata temannya Nina.

"A-apa! Di-dijemput...? Sama siapa, Ver?" tanya
Bobby heran.

"Tidak tahu, Kak. Aku juga baru melihatnya. Yang
jelas, dia itu seorang pemuda tampan."

"Hmm... Siapa ya?" tanya Bobby dalam hati. "Oke
deh, Ver. Kalau begitu aku pergi sekarang."

Vera tampak mengangguk sambil tersenyum
tipis. Tak lama kemudian, Bobby sudah memacu
mobilnya meninggalkan tempat itu. Suara mesin yang
menderu seketika menutup ocehan para siswa-siswi
yang masih saja melintas. Sementara itu Johan dan
Nina masih dalam perjalanan, tampaknya saat ini
mereka sudah mulai akrab. "Eh, Nin? Bagaimana
kalau kita minum dulu di warung itu !" Ajak Johan
kepada Nina.

"Boleh... tapi jangan lama-lama ya!"


Johan pun segera memarkir sepeda motornya
dan melangkah bersama memasuki warung.

"Kau mau minum apa, Nin?" tanya Johan.

"Apa saja deh," jawab Nina.

"OK! Kalau begitu, cola-nya dua botol, Bu !"
Pesan Johan.

Kini mereka tampak menikmati cola sambil
bercakap-cakap dengan penuh keakraban. Setelah
agak lama bercakap-cakap, tiba-tiba Nina berdiri dari
duduknya. "Han, aku kebelet pipis nih," katanya
sungguh-sungguh.

"Pucuk dicinta ulam pun tiba," ucap Johan dalam
hati. Lalu dengan segera pemuda itu memberitahukan
perihal toilet yang ada di belakang warung.

Mengetahui itu, Nina pun segera pergi ke
belakang. Pada saat sama, Johan lekas-lekas
memasukkan sesuatu ke dalam minuman Nina yang
kini tinggal setengah. Tak kemudian, Nina sudah
kembali dan langsung berbincang-bincang sambil
menikmati minumannya lagi.


Setelah menghabiskan minumannya masingmasing,
keduanya kembali melanjutkan perjalanan. Di
tengah perjalanan, tiba-tiba Nina merasakan sesuatu.
"Han! Rasanya kepalaku agak pening, dan mataku
pun mulai berkunang-kunang," katanya seraya
menyandarkan kepalanya di punggung Johan.

"Ka-kau sakit, Nin?" tanya Johan pura-pura
khawatir.

"Benar, Han. Sepertinya memang begitu," jawab
Nina pelan.

"Hmm... Kalau begitu, bagaimana kalau kita ke
tempat kost-ku dulu! Kebetulan tempat itu sudah tidak
begitu jauh. Di sana aku ada obat sakit kepala, selain
itu kau pun bisa istirahat sebentar," saran Johan.

"Kau baik sekali, Han! Rasanya aku memang
tidak kuat lagi nih," rintih Nina.

Lalu tanpa curiga, Nina pun menerima tawaran
itu. Setibanya di tempat kost, Nina segera dibopong
dan dibaringkan di atas tempat tidur.

"Han! Mataku semakin kabur. A-aku..." tiba-tiba
Nina tidak sadarkan diri. Mengetahui itu, Johan pun


sangat senang bukan kepalang. Matanya tak berkedip
memperhatikan setiap lekuk tubuh Nina yang
menggugah selera, kemudian dengan segera pemuda
itu melaksanakan niat bejadnya—merenggut kesucian
gadis yang masih belia itu.


Semenjak kejadian itu, Nina merasa sudah tidak
berharga lagi. Apa lagi bila Bobby mengetahuinya,
terbayang sudah bagaimana pemuda itu akan sangat
kecewa dan memutuskannya. Itulah segala prasangka
yang ada di benaknya saat itu. Sehingga Nina terus
membayangkan berbagai hal yang tidak
mengenakkan mengenai apa yang akan terjadi
kemudian, bahkan segala penderitaan yang akan
dialaminya telah terbayang sudah. Karena Nina terus
membayangkan hal-hal yang seperti itu, akhirnya
setan pun menghampiri dengan segala bisikannya
yang menyesatkan, dan akibatnya Nina pun terpedaya
dengan bisikan itu. Kemudian dengan sebilah silet,


gadis itu berniat membunuh dirinya sendiri. Saat itu
Nina memang sudah tidak bisa mencari jalan keluar
untuk memecahkan masalahnya, ditambah lagi dia
sudah tidak kuat menahan beban penderitaannya.
Karena itulah, akhirnya dia nekad untuk mengakhiri
segala penderitaannya. "Bobby... maafkan aku yang
telah mengecewakanmu," ucap Nina dalam hati
seraya menorehkan silet ke urat nadinya. Tak ayal,
saat itu juga darahnya langsung mengalir membasahi
lantai, dan tak lama kemudian gadis itu sudah
menemui ajalnya.

Begitulah jika hati sudah tak mampu lagi
membedakan mana yang baik dan yang buruk, dan itu
lantaran dia telah menodainya dengan melakukan
pacaran yang menyimpang, yaitu seringnya
melakukan pelukan dan ciuman. Andai saja hatinya
tidak kotor, tentu dia akan mudah bisa membedakan,
dan dia tidak akan begitu saja termakan godaan
setan. Bukankah bunuh diri itu dosa besar, dan di
kehidupan nanti alat yang digunakannya itulah yang
akan dipakai untuk membunuh dirinya secara terus



menerus. Andai saja hatinya bening, tentu dia tidak
akan menjadi sebodoh itu. Karena sesungguhnya
Tuhan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Biarpun
dia telah ternoda, tidak mustahil Bobby tetap
mencintainya, atau justru malah semakin sayang
padanya.



T
TTTTi
iiiig
gggga
aaaa

P
PPPP
ada suatu malam, rembulan tampak bersinar

menyinari malam yang kelam. Di sebuah
beranda, Bobby tampak duduk sendiri. Jarinya yang
sempurna tampak lincah memainkan alunan nada
sedih yang semakin membuatnya terlena, terbayang
akan kenangan masa lalu yang begitu indah, dan
sekaligus membawanya pada kesedihan yang begitu
mendalam. “Nin... kenapa kau begitu cepat
meninggalkanku?" tanya Bobby kepada sang Pujaan
hati yang telah pergi untuk selama-lamanya.

Mendadak petikan gitar pemuda itu terhenti,
bersamaan dengan tatapan kosong yang memandang
ke gelapnya malam. Saat itu keheningan terasa begitu
hampa, membelai jiwa yang lara. "Kenapa? Kenapa
Nin...?" tanya pemuda itu lagi.

Saat itu semilir angin sepoi-sepoi tampak
membelai rambutnya yang panjang, bersamaan


dengan itu udara dingin pun terasa kian menusuk.
Tiba-tiba pemuda itu terpejam, bersamaan dengan itu
dari kedua matanya tampak mengalir air mata
kesedihan. Lalu sambil berlinang air mata, pemuda itu
kembali memetik gitarnya. Kini alunan nada sedih
kembali terdengar dengan begitu menyayat hati.

Sementara itu di tempat lain, Randy terlihat
sedang duduk berdua dengan kekasihnya. Saat itu
mereka terlihat mesra. "Yul! Aku mencintaimu," ucap
Randy seraya menggenggam tangan kekasihnya.

"Aku juga, Kak," balas Yuli seraya tersenyum
manis.

"Jangan pernah kau tinggal aku lagi, Yul!"

"Tidak akan, Kak. Aku senantiasa akan selalu
bersamamu."

Kini Randy memandang mata kekasihnya,
pancaran cahaya cinta tampak membias ke dalam
hati sang Pujaan. Seiring dengan getaran di jiwanya,
Yuli pun tampak terpejam. Lalu dengan serta-merta
Randy mencium kening kekasihnya itu dengan mesra.


"Aku ingin seperti ini selamanya, Yul," ucapnya

berbisik.

"Aku pun demikian, Ran," balas Yuli.

Keduanya lantas berpelukan—mengungkapkan
segala gelora di jiwa masing-masing, saling menodai
hati dan memancing murka Tuhan. Saat itu angin
malam yang dingin menerpa keduanya, dan rasa
dingin itu dirasakan seperti menyeruak hingga ke
bawah kulit. Kini Yuli bersandar di dada kekasihnya,
bersamaan dengan itu Randy tampak membelai
rambutnya dengan mesra.

"Randy cintaku," ucap Yuli manja.

"Apa manisku?" tanya Randy lembut.

"Aku sayang padamu," ucap Yuli seraya
menggenggam tangan kekasihnya.

Lagi-lagi Randy mencium kening kekasihnya.
"Aku juga menyayangimu, Yul," katanya berbisik.
Keduanya terus berkasih-sayang hingga malam
menjemput pagi.



Esok harinya, Bobby sudah berniat untuk pergi ke
rumah Pamannya yang berada di desa terpencil. Di
sana dia ingin mencari kegiatan yang sekiranya bisa
mengalihkan segala ingatannya tentang Nina, yaitu
dengan memperdalam ilmu agamanya. Begitulah jika
hidayah Allah telah datang, menolong seorang anak,
buah hati dari seorang ibu yang bertakwa, yang
senantiasa mendoakan keselamatan anaknya.

"Itu memang yang terbaik, Nak," kata Ibunya
memberi dukungan.

"Tapi, Bu. Bobby merasa tidak enak jika harus
meninggalkan Ibu sendirian."

"Tidak apa-apa, Sayang... di sini kan ada Bik Ijah
yang selalu menemani Ibu."

"Bu? Sekarang Bobby benar-benar sudah
merasa lega untuk meninggalkan rumah. Besok,
Bobby akan berangkat menuju ke rumah Paman."

"Iya Sayang... Ibu akan selalu mendoakanmu."

"Terima kasih, Bu!"


Setelah berbicaranya dengan Ibunya, Bobby
segera berangkat untuk menemui Randy. Setibanya di
sana dia langsung menemui pemuda itu dan
menceritakan maksud kepergiannya, hingga akhirnya,
"Begitulah, Ran," kata Bobby mengakhiri ceritanya.

"Wah, Bob. Aku senang sekali mendengarnya.
Aku pikir kau akan terus larut dalam kesedihan."

"Tidak, Ran. Aku tidak mau seperti itu. Biar
bagaimanapun, aku harus tetap menjalani kehidupan
ini dengan hal-hal yang bermanfaat."

"Benar, Bob. Dengan demikian kau bisa lebih
berguna untuk agama, nusa, dan bangsa."

"Ran? Terus terang saja, sebenarnya di pikiranku
terlintas juga hal-hal yang sekiranya bisa membawaku
kepada hal-hal yang merugikan. Aku pernah berniat
untuk bunuh diri, maupun lari kepada obat-obatan
terlarang. Untunglah Allah masih menyayangiku,
sehingga aku mempunyai keinginan untuk
memperdalam ilmu agamaku di sana. Dan aku
percaya, kalau semua itu adalah buah dari doa ibuku
tercinta."


"Tuhan memang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang, Bob. Dan Dia tentu akan mengabulkan
doa seorang ibu yang bertakwa. Aku doakan juga
semoga kau bisa cepat dicarikan penggantinya, dan
semoga kau bisa sukses memperdalam ilmu
agamamu di sana"

"Terima kasih, Ran! Aku juga mendoakanmu—
semoga kau tetap langgeng bersama Yuli."

"Terima kasih, Bob!"

Tak lama kemudian, Bobby pamit kepada
sahabatnya. Kemudian pemuda itu terlihat
mengendarai mobilnya dan segera melaju ke Toserba
untuk membeli segala keperluannya. Saat itu Randy
tampak memandang kepergian sahabatnya dengan
suka-cita, dalam hati dia terus berdoa—semoga
Tuhan selalu melindungi dan menjadikannya tabah
dalam menjalani kehidupan ini.



Esok paginya, Bobby berangkat menuju ke
terminal bis Kampung Rambutan. Lalu dengan sebuah
bis cepat pemuda itu melaju bersama cinta-cintanya.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup
melelahkan, akhirnya pemuda itu tiba di tempat
tujuan. Saat itu hari sudah mulai menjelang siang,
bahkan matahari yang bersinar cerah kian terasa
menyengat kulit. Setelah menggendong tas dan
mengikatkan slayer di kepalanya, pemuda itu tampak
mulai melangkah. Kini pemuda itu sedang menyusuri
jalan setapak yang sepi, yang di kanan-kirinya tampak
berjajar pepohonan lebat. Sementara itu, di kejauhan
sayup-sayup terdengar suara tonggeret yang terus
mengiringi perjalanannya.

Bobby terus melangkah, bahkan dengan penuh
semangat dia mulai mendaki bukit yang terjal.
Sayangnya ketika baru menempuh separuh jalan,
pemuda sudah mendapat ujian, saat itu dia merasa
kerongkongannya kian bertambah kering. Padahal,
saat itu air minumnya sudah habis tak tersisa. Sejenak
dia beristirahat sambil mengelap peluh yang


bercucuran, sedangkan rasa haus yang dirasakannya
terus saja menyiksa. Saat itu Bobby berusaha untuk
tabah dan berusaha menyadari kalau semua itu
adalah ujian yang harus dihadapinya, hingga akhirnya
dia bersemangat kembali dan segera melanjutkan
perjalanan.

Bobby terus melangkah naik, hingga akhirnya dia
mendengar suara gemercik air yang sayup-sayup
Jika anda ingin melihat selengkapnya bisa klik disini Download untuk mendapatkan filenya. terima kasih atas kunjungannya!!!

Share this


0 Comments

Diberdayakan oleh Blogger.

Blogroll

About