Sabtu, 04 Februari 2017

Takdir Cinta Indah

Suasana kampung begitu tenang ketika mentari telah berlabuh di peraduannya. Angin malam selalu membawa kerinduan masa lalu serta cahaya purnama yang selalu tampak gagah di antara bintang-bintang. Aku selalu ingin suasana yang seperti ini sepanjang hidupku. Namun aku tak mungkin akan selalu di sini. Itu sama saja mengembalikanku dalam harapan yang tak pernah terwujud hingga hari ini. Dan harapan itu telah tergantikan olehnya yang kurasa lebih baik.

“Kau sudah kembali?”
Suara itu mengagetkanku saat menginjak anak tangga paling terakhir. suara yang masih tetap sama empat tahun silam. Dia duduk di sebuah kursi rotan menghadap ke timur sambil menatap cahaya rembulan, mengenakan jilbab warna putih, jaket tebal warna pink. Wajahnya. Wajahnya mengalami perubahan besar seperti memendam sesuatu, menunggu waktu yang entah sampai kapan untuk mengungkapkannya. Aku berhenti sejenak, berdiri beberapa meter darinya sekedar untuk menjawabnya.

“Iya. Tapi hanya beberapa hari saja. Kau untuk apa ke sini?”
“Mengapa kau bertanya itu? Apakah kau tidak tahu jika memang aku selalu di sini?”
“Tidak. Memangnya untuk apa kau kemari?”
“Aku hanya ingin di sini. Mengingat semuanya”
“Mengingat apa?”
“Mengingat diriku yang selalu kesepian. Kesepian dalam penantian selama empat tahun”
“Penantian? Kau menanti siapa?
“Dirimu”
“Diriku? Aku tak pernah berharap kau menantiku. Untuk apa?”.
“Lihatlah. Dirimu selalu saja sama. Tak pernah berubah. Aku selalu berharap kau tak kembali tapi aku tetap ingin dirimu. Dan kau sama sekali tak menyadarinya. Aku disesatkan oleh parasaanku sendiri dan kau tak pernah berusaha untuk menunjukkan jalan meski hanya setapak”.
Nada suaranya semakin berat, terdengar serak parau terbata-bata. Ah tidak, lagi-lagi dia menangis. Air matanya nampak warna keemasan diterpa cahaya lampu pijar lima watt. Angin dingin malam mengusap air mata di wajahnya.

Kembali kulangkahkan kaki meninggalkannya. Mungkin dia memang harus sendiri untuk saat ini, kesendirian yang terus mengeruk luka yang semakin dalam. Luka yang selalu ia paksakan untuk terus menganga.
“Sejak kapan ia sering ke sini Bu?” bisikku pelan kepada ibu.
“Ia selalu datang ke sini sejak kau pergi. Ia ingin tahu semua tentang dirimu. Menanyakan mengapa engkau pergi dan mengacuhkannya begitu saja. Sesekali ibu menemaninya sampai larut malam sambil ia terus bercerita akan dirinya. Bahkan ia lebih banyak menghabiskan waktu di sini dibandingkan rumahnya sendiri. Dia selau bilang jika ia berada di rumah ini, maka engkau serasa selalu ada bersamanya. Ibu sering merasa iba kepadanya. Nak, Bawakan teh ini untuknya!”
”Jangan aku. Ibu saja yang membawanya!”
“Baiklah. Tapi kau ikut ke teras juga! karena ibu tidak tahu sampai kapan ia akan di situ. Ia hanya ingin dirimu dan dia ke sini hanya untukmu. Temuilah dia meski hanya sesaat saja”

Hening seketika saat aku duduk. Gadis itu masih menyisahkan isakan dan air mata. Perlahan ibu mendekat lalu merangkulnya penuh kasih dan cinta seolah gadis itu seperti anak kandungnya sendiri.
Seperti bisa kurasakan raungan, perih dan rintihan hatinya yang seakan membentakku dengan penuh kebencian. Dia membuang muka tak sudi melihatku. Sementara aku hanya menatap segelas teh yang masih hangat dengan aroma yang menyeruak ke dalam hidung.

“Nak. Sampai kapan kau akan seperti ini? Hari ini Amran sudah kembali dari perantauannya. Katakanlah semua hal yang membuatmu seperti ini! Bukakankah kau selalu menanyakannya? Dia di sini hanya beberapa hari saja. Jadi ungkapkanlah semuanya”
Gadis itu terus terisak dalam pelukan ibu. Air mata terus meleleh. Bahkan mungkin hanya menelan ludahnya pun akan terasa sangat sakit.

“Amran. Apa kau tak pernah merasakan bagaimama hatiku lelah dalam penantian? Penantian yang entah akan berujung kemana. Apa aku tak boleh berharap? Apa aku tak pantas memiliki separuh dari hatimu? Apa yang membuatmu sulit untuk menerimaku? Apa yang memyumpal mulutmu dan memilih pergi?. Bang Amran, Apa salah jika aku yang seorang perempuan mengungkapkannya terlebih dahulu? Bukankah niatku itu suci? Aku merasa jika aku adalah wanita yang paling beruntung jika bisa bersamamu. Dan hari itu aku datang kepadamu dan mengatakan semuanya. Akan tetapi kau menggantungkan pertanyaanku dengan memilih untuk pergi dan menjauh”

Gadis itu menghujamku dengan setumpuk pertanyaan yang membuat dadaku semakin sesak. Aku tahu tak mudah menyapu bersih semua hal menyakitkan itu. Berat bagiku untuk membuka mulut dan memberinya jawaban. Namun sampai kapan ia akan seperti ini? Sampai kapan ia akan membunuh dirinya dengan kesedihan yang semestinya ia harus belajar untuk menerimanya?

“Aku tahu apa yang kau rasakan. Namun tak semestinya kau harus seperti ini. Aku menghargai apa yang telah kau perjuangkan demi bisa hidup bersamaku. Siapalah diriku ini? Setidaknya aku juga pernah melakukan hal yang sama denganmu”

“Melakukan hal yang sama? Kau tak melakukan apapun. Bahkan tak satu nada pun yang keluar dari mulutmu ketika aku datang mengatakan niatku untuk menjadi istrimu. Atau apa kau merasa harga dirimu terinjak lantas dilamar oleh seorang wanita terlebih dahulu?”

Nada suaranya semakin meninggi bercampur dengan udara angin malam yang semakin dingin menembus lapisan epidermis kulit. Tapi sepenuhnya ini bukan hanya karena kesalahanku. Dia yang membiarkan dirinya terombang-ambing di tengah lautan tanpa arah yang jelas. Untuk apa dia menantiku?

“Indah. Apa kau tahu jika aku lebih dulu melakukan hal yang sama sepertimu? Aku selalu resah jika membayangkan wajah dan nada suaramu sedangkan kau sendiri tak ada di sampingku. Dan hari itu kuputuskan untuk datang menemui ayah dan ibumu karena aku tak menemukan jalan untuk bersamamu selain menikah. Akan tetapi mereka menolakku, bahkan melemparkanku ke dalam jurang dengan kata-kata. Aku hanyalah pemuda miskin yang tak punya apa-apa, setiap hari berteman dengan cangkul dan caping, ayahku tak mempunyai kedudukan yang tinggi di mata penduduk kampung. Bahkan ibuku pun tidak tamat Sekolah Dasar, mereka tak mampu membawaku ke bangku kuliah dan hanya sampai Sekolah Menengah Akhir saja. Dan semua itu berbanding terbalik dengan dirimu. Wajarlah jika ayahmu yang seorang kepala desa menolak lamaranku. Dan untuk menghapus rasa kecewa, aku memilih untuk pergi jauh dan lebih jauh lagi. Berharap jarak dan waktu bisa menghapus semuanya dengan perlahan”

Aku menarik nafas dengan teramat berat. Tangisnya kembali pecah. Memecahkan keheningan malam yang menyelimuti kesedihannya. Aku hanya bisa menelan ludah. Ibu memeluk Indah dengan semakin erat.

“Indah. Aku minta maaf jika aku tak pernah memberitahumu yang sebenarnya sebelum pergi. Kukira ayah dan ibumu akan mengatakan hal itu karena engkau sedang tak berada di rumahmu saat aku datang untuk mengatakan niatku itu. Aku tak mungkin memaksa dirimu untuk denganku tanpa anggukan persetujuan dari orangtuamu. Karena pernikahan bukan hanya mengenai dua insan yang saling mencintai, melainkan akan melibatkan dua keluarga untuk menjadi satu. Maaf, sekali lagi maaf. Pekan depan aku harus kembali ke Kalimantan, membawa ibuku hidup bersamaku di sana. Dan aku telah dinanti oleh keluarga kecilku. Sudah ada bidadari dan pangeran mungil tampan yang menjadi pelengkap hidupku di Borneo sana dalam dua tahun terakhir ini.”

TAMAT

Cerpen Karangan: Goalijaya
Blog: goalijaya.blogspot.co.id

Share this


0 Comments

Diberdayakan oleh Blogger.

Blogroll

About