Jumat, 25 September 2020

Akhir Sebuah Pagi

    Tubuhku masih tergolek diatas kasur empuk dengan mata terpejam seakan tak ingin mengakhiri sisa - sisa malam yang perlahan habis. Ingatanku dengan segar men-flash back kejadian menakjubkan di malam ini namun kurasakan dengan pasti sinar matahari telah mengintip, memaksa menerobos masuk melalui celah - celah jendela seakan ingin mengingatkan kalau hari tak lagi malam. dengkuran halus terdengar dari orang yang rebah di sampingku.
    Seulas senyum tersungging di bibirku. Masih dengan mata terpejam, kugerakkan tangan dan dengan lembut jari -jari halusku mulai menulusuri lekukan wajah di sampingku. Aku mengenal lengkukan wajah dan mengenal setiap bagian dari tubunhnya dengan baik dan bahkan sangat baik. Aku mengenali semua yang merupakan bagian dari dirinya seperti aku mengenali diriku.
    Kurasakan wajahku bersinar terang seterang matahari yang menyapa alam di luar sana. Dengan perasaan hangat dan lembut, ku-rewind rekaman tadi malam yang kusimpan rapat dalam memoriku dan kemudian ku putar lambat-lambat.
    Di sebuah kamar villa di kawasan Lembang yang sejuk, sebuah tempat yang jauh dari keramaian kota Bandung, sebuah tempat yang cukup nyaman untuk melepas semua lelah dengan segalah kepenatan, sebuah tempat yang cukup aman untuk melindungi diri dari peliknya problematika hidup, dan juga sebuah tempat yang mampu membawa beberapa tahun silam kembali dalam genggamanku.
    Tadi malam di tempat itu, ketika rembulan dengan malu-malu menampakan diri, ketika gemintang berkelip tajam tanpa terhalang mendung, ketika malam semakin pekat, ketika suara jangkrik dan binatang lainnya bersahutan jauh di luar sana, ketika angin berhembus lirih ketika tembok dan seluruh isi kamar itu diam membisu, aku dan dia terhanyut, larut dalam kerinduan yang makin berkarat.
    Kerinduan akana keindahan yang selama ini selalu kami inginkan, kerinduan akan saat-saat seperti itu, yang ternyata terjadi bahkan setelah bertahun-tahun perpisahan. Tak ada suara, tak ada kata-kata. Kebisuan kami menambah bisunya ruang itu. Hanya desahan nafas yang memburu, bertarung dengan gelapnya malam yang kian pekat.
    Seulas senyum tersunggih di bibirku. jari tanganku semakin lincah menelusuri tubuh yang rebah di sampingku. Mataku masih terpejam tanpa ada keinginan untuk membukanya.
    Sungguh, malam ini begitu berbaik hati kepadaku sehingga aku bisa bermimpi dengan indah. Aku bisa melewati malam ini dengan baik dan lancar tanpa harus terbebani dengan berbagai perasaan yang selalu menghinggapi setiap malamku: merasa jijik dengan bau keringat yang selalu terasa asing meski telah sering kucium bau itu, merasa risih mendengar deru nafas penuh birahi, merasa terganggu jika ada air ludah bercampur dengan air ludahku, juga merasa perih dan tertusuk hatiku hingga aku harus meneteskan air mata.
    Sungguh malam ini begitu menakjubkan. Ia mampu mengantarkan sebuah keindahan yang kuinginkan dari beribu malamku yang terenggut. Ia mampu mewujudkan mimpi dan kerinduan yang kian berkarat setiap detiknya. Ia mampu mengubah rasa jijik, risih, terganggu, atau rasa perih hati menjadi sebuah keinginan dan harapan untuk terus bisa merasakan damainya malam ini di malam-malam lainnya. Betapa keinginan itu terus membara, betapa hasrat itu tak pernah padam meski tahun-tahun telah aku lewati dengan berbagai dinamika kehidupan.
    Sentuhan jari-jari tanganku sepertinya tidak mengusik tidur lelepnya. Ia hanya menggeliat sejenak dan kemudian terlelap lagi. Akupun sama sekali tak berniat membangunkannya.
    Tiba-tiba bunyi nada polyphonic terdengar menggelitik telinga. Kuraih telpon genggam miliknya, dariman bunyi itu berasal. Dengan segerah aku mengetahui dari siapa panggilan tersebut. Pandanganku berpindah-pindah pada telpon genggam dan pada pria yang rebah disampingku. Haruskah aku membangunkannya? pikirku ragu. Namun bunyi tersebut tak pernah berhenti dan makin lama semakin kencang. Dengan hati-hati akhirnya ia kubangunkan dan kusodorkan benda itu padanya yang ia sambut dengan enggan.
    "Pagi....," sapanya dengan suara serak yang langsung mendapat jawaban dari sebrang,
    "Ya, Papa baru bangun. seminar kemarin sangat menguras energi sehingga terasa melelahkan," ujarnya.
    "Apa? Hp papa mati?O... ya, tadi malem sengaja dimatikan supaya tidak menggangu istirahat papa. Papa selalu capek hingga tertidur lelap dan tidak tahu lagi apa yang terjadi hingga mama membangunkanku," kulihat keningnya berkerut mendengar ocehan dari ujung sana.
    "Ya..ya, papa usahakan segera pulang. Mungkin sore atau malam ini akan tiba dirumah. Okay, baik-baik dirumah ya, bye-bye, mmuach....," katanya yang dengan segera mengakhiri pembicaraan tersebut dengan meletakkan kembali telpon genggam itu pada tempat semula. tanpa berkata apa-apa ia menarik selimut yang sedang kupakai dan kemudian membenamkan tubuhnya kedalam selimut tersebut.
    "Istrimu?" tanyaku dengan nada cemburu
    Ia tidak menjawab. Telunjuknya menempel di bibirku. jari-jari tangannya menyibakkan lembar-lembar rambut yang menutupi sebagian kening dan mataku. Kemudian dengan erat ia membenamkan wajahku di dada telanjangnya sehingga dapat kurasakan degup jantungnya.
    "Aku tak ingin pagi ini berakhir. Aku tak ingin lagi melewati malam-malam tanpamu. Aku ingin.... aku ingin selalu merasakan indahnya tadi malam," ucapku tersendat
    Ia membelai rambutku dan dengan lembut berkata.
    "kita tak ingin saat indah ini berakhir. Kita tak ingin mengakhiri malam, mengakhiri pagi dan mengakhiri segalanya. Dulu pun kita tak ingin mengakhiri kebersamaan kita meski kemudian semuanya berakhir."
    "Berjanjilah...," ucapku bergetar
    "Berjanjilah bahwa akan selalu ada hari lain, malam lain, dan kita akan selalu saling memiliki,"
    Ia melepaskan pelukannya dan terlentang dengan mata lurus menatap langit kamar. Dijadikan kedua tangan sebagai bantal. Desah nafas panjang terdengar darinya.
    "Aku tak menyangka kita akan bertemu lagi setalah bertahun-tahun perpisahan yang menyakitkan itu. Dan di sinilah kita sekarang, di sebuah tempat yang dulu selalu kita idam-idamkan. Apakah aku bermimpi?" desisnya
    "Tidak, kau tidak bermimpi, kita tidak sedang bermimpi. Kita sedang berusahan mewujudkan impian dan harapan kita dan aku yakin kita akan bisa melakukannya bersama-sama seperti apa yang kita inginkan dulu,"ujarku penuh semangat
    Ia terdiam. "Aku tahu kau terluka. Aku pun begitu. Kita sama-sama terluka. Hanya saja aku tidak bisa mencucurkan dan bersimbah air mata sepertimu..," Katanya tercekat. "Aku tak pernah berhenti mencintaimu. Tapi ingatlah kita masing-masing telah mempunyai keluarga dan tidak bisa meninggalkan mereka" lanjutnya kemudian.
    "Kau....kau tidak tahu betapa menderitanya aku melalui malam-malam menjijikan. mencium bau keringat orang yang telah tidak aku sukai, memperhatikannya, dan melahirkan anak untuknya. Kenapa aku tidak melahirkan anak untukmu? Kenapa? semua ini begitu menyakitkan" kataku disela isak tangis.
    Ia memejamkan mata. wajahnya menyeringai kesakitan: bibirnya bergetar. Perlahan dari sudut matanya kulihat butiran bening yang kemudian membasahi bulu-bulu matanya. Aku tertegub. Betapa ia pun merasakan sakit yang sama sepertiku.
    Begitulah, akhirnya pagi pun berakhir berlalu dalam kepedihan. Keindahan sekejap di malam itu tak mungkin lagi aku miliki. Dengan tegar namun hampa, kubuka gorden kamar; kubuka jendela. kubiarkan matahari menerobos langsung menerpa kulitku. Dan sepertinya bukan hanya matahari yang akan menerpaku, tapi akulah yang akan menyongsong dan menantangnya dengan segala ketegaran yang kumiliki.
    Kutatap hari dengan penuh kehampaan, kubiarkan rasa di hatiku hancur berkeping-keping hingga aku berharap tak akan ada lagi rasa dalam diriku. Biarlah rasa ini mati; biarlah gulita selalu menyelimuti hidupku karena bagiku bersinar atau tidaknya matahari tak berarti banyak.
    "Kapan seminarnya berakhir, Ma? cepat pulang ya, Nia kangen...," rengek suara dalam telpon genggamku. Aku tertegun. amataku menatap tajam, membela matahari yang kian memerah****

Share this


0 Comments

Diberdayakan oleh Blogger.

Blogroll

About