Rabu, 30 September 2020

Atas Nama Cinta, Atas Nama Kesetiaan

        Atas nama cinta, atas nama kesetiaan dan kasih sayang. Demi tuhan, semua itu telah membelengguku begitu erat. Tanah basa itu perlahan mengering. Rumput dan pucuk-pucuk hijau menguning. Pohon-pohon meranggas dan alam mengerang setiap kali perputaran musim berganti. Namun aku tak bergeming, tetap mematung dalam belenggu cinta dan kesetiaan

    Tanah basah lagi, tanah kering lagi. rumput hijau lagi, rumput menguning lagi. Alam meradang. Perputaran waktu telah mencekik leher dan menyeretnya kedalam lingkaran ketuaan. Kulitnya semakin mengerut dan wajahnya kusam, Rumput dan pucuk-pucuk telah berganti beberapa generasi. 

        (Beberapa pinangan datang, namun semua berujung penolakan. Dan pinangan pun pulang sia-sia, namun tegar. Dengan senyum kemenangan: Atas nama cinta, atas nama kesetiaan)

        Atas nama cinta dan kesetiaan. Aku terbelenggu, tanganku terikat, dan kakiku terpasung dalam kesetiaan. Badanku semakin membesar dan tambun. Orok dalam rahimku menendang dan menerjang-nerjang. Sesaat dia menggeliat, kemudian dia. Aku menarik nafas lega.

        Aku teringat pada malam-malam terkutuk yang menyeretku pada kenistaan ini. Udara dingin, alam senyap, pekat memukat malam.

        "Rebahlah disampingku Dik. Aku akan menitipkan cinta ini padamu" ujarnya saat itu.

        "Tapi... apakah yang aku kita lakukan ini benar?" tanyaku ragu

        "Tentu saja. Kita saling mencintai. Lantas apa lagi?" ujarnya menenangkanku.

        Aku membenarkan perketaannya. Aku tak berkutik. Dan aku tak menolak saat tangannya melucuti kain yang kupakai satu persatu dan kemudian tubuh kekarnya menindihku. Semua itu, setaip gerakan tubuhnya dan juga penerimaanku, kujabarakan sebagai arti cintaku dan cintanya. Aku diam, atas nama cinta, atas nama kesetiaan.

        Malam yang ini itu berlalu. Kemudian kutemui malam-malam indah lainnya. Seperti sebelumnya, gulitanya alam pun terlewati dengan penuh gairah. Beberapa adegan percintaan dan kasih romantis tercipta dan terukir menjadi sekelumit sejarah dlam kehidupanku. Dan setiap suatu malam berujung, aku mulai lagi dengan malam yang baru, dengan adegan cinta yang baru, namun dengan gelora yang tetap membara. Lagi, lagi,lagi dan lagi

        Aku tak peduli pada malam yang mengingatkanku. Aku tak malu pada dinding yang menunduk sendu, pada tanah malam yang basah, pada udara yang meneteskan embun-embun pagi. Aku tak perduli, aku tak merasa malu. Atas nama cinta, atas nama kesetiaan

        Dan bahkan , saat mereka mengingatkanku, dengan lantang aku berteriak.

        "Persetan dengan petuah dan nasehat kalian. Matilah. Aku berada pada jalanku" ucapku penuh kemarahan. Semua atas nama cinta, atas nama kesetiaan.

        "Tunggulah aku, Dik. Aku akan kembali suatu saat. Telah kusematkan benih dirahimu, petanda aku akan kembali. Karena itu, setiahlah padaku, waktu akan menguji kesetiaanmu,"

        Dengan lugu, aku pun menggangguk. Sompret! Kenapa aku bisa sebego itu?

    Demi tuhan. Cinta itu telah mengekangku. Kesetiaan telah membelengguku. Dan kenistaan mengiringiku. Kecaman datang bertubi-tubi. Mulut-mulut nyinyir menusukku. Sinar mata penuh jijik menamparku berulang-ulang. Aku tertunduk. Rasa malu menggelayut. Perih mengiris-iris.

        "Hhhh..," desah penuh kebingungan keluar dari mulutku, Dadaku terasa sesak dan berat. Orok semakin gencar menendang-nendang perutku. Aku meringis. Atas nama cinta, atas nama kesetiaan. Shit!

        Demi malam yang kutaburi dengan kenistaan. Demi perbuatan terkutuk yang kulakukan. Demi cinta dan kesetiaan yang begitu kuagungkan. Lihatlah: aku terduduk lesu, terpuruk dalam belenggu cinta dan kesetiaan. Namun, kenapa cinta itu tak memperdulikanku sama sekali? Kenapa ia tak menoleh pada apa yang kusebut dengan pengorbanan? Pengorbanan yang memebelenggu dalam kata kesetiaan, hingga aku tak boleh berpaling; pengorbannan yang menggantungku pada kenistaan seumur hidup; pengorbanan yang membuat kecaman dan mulut nyinyir itu mencabikku. Apakah cinta dan kesetiaan itu adalah ayat-ayat yang harus selalu kuagungkan? Keparat!

        Tanah basa lagi, tanah kerng lagi. Aku masih tertunduk, merenda penyesalan. Kabar darinya tak kunjung datang, cintapun tak menyapa. Hanya aku yang terkubur dalam kubanggan keninaan dan keputusasaan. Aku menggigil kedinginan. Aku berteriak kepanasan.

      Tak ada yang peduli. Tidak juga dengan dirinya. Nadiku semakin melemah. Namun orok itu semakin menendang keras, petanda bahwa ia semakin kuat, dan tak lama lagi lahir.

        Atas nama cinta, atas nama kesetiaan. Ah.......

        

Share this


0 Comments

Diberdayakan oleh Blogger.

Blogroll

About