Senin, 30 Januari 2017

Diam Diam Aku Mencintaimu

Dari balik jendela, aku terus memandanginya. Sesosok pria bertubuh tinggi semampai, mata yang lembut, serta tampan paras wajahnya menambah kesempurnaan dalam dirinya. Mataku pun tak henti-hentinya menatap makhluk yang berhasil merebut hatiku. Menyita seluruh penglihatanku, juga mengisi imajinasi dalam pikiranku.
Cukup melihatnya dari jauh saja, sudah membuatku merasa tenang. Apalagi ditambah senyum manis yang mengembang dari bibirnya, membuatku merasa makin bahagia. Bagiku dapat melihatnya adalah alasan terbesar, menapakkan kaki ke sekolah. Karena itulah aku tak ingin kehilangan kesempatan untuk memandangnya, barang seharipun.

Sudah lebih dari setahun, aku memendam rasa padanya. Tapi aku tak punya cukup keberanian untuk mengatakan isi hatiku. Jantungku selalu berdegup kencang, kala berpapasan dengan dirinya. Bibirku pun seakan terbungkam, tak mampu mengucapkan berbagai kata yang bergejolak dalam hati. Jadi tak ada hal lain yang bisa kulakukan, selain memperhatikannya secara diam-diam dan berharap ia mengerti perasaanku.

Tak ada yang tau tentang perasaanku ini. Kecuali aku dan Tuhan. Ehh… tidak, masih ada satu orang lagi. Dia adalah Fika, yang tak lain sahabat baikku. Itu pun lantaran Fika terus mendesakku, mengapa aku suka tempat duduk di dekat jendela. Kemudian waktu bel istirahat berbunyi, bukannya bergegas ke kantin, malah pilih tetap tinggal dan menatap keluar jendela. Alasannya agar bisa melihat Rendy. Kakak kelas yang telah membuatku tak berhenti memikirkannya.

“Woiii!!!” gertak seseorang menepuk bahuku.
“Fika!” seruku menyadari kalau dialah yang menggetkanku.
“Nah kan, mulai lagi deh kebiasaannya!” celotehnya kemudian.
“Hehehe…” sahutku nyengir.
Begitulah kebiasaan yang sering kulakukan. Duduk di balik jendela, memperhatikan Rendy dari jauh. Fika sudah hafal betul dengan kebiasaanku ini. Tapi mau gimana lagi, cuma itu yang bisa kuperbuat.
“Lagian kamu ngapain sih, cuma ngeliatin dia mulu! Kan udah dibilangin, samperin dia! Ajak ngobrol! Dengan begitu kalian kan bisa tambah akrab. Nggak perlu diam-diam kayak gini!” tukasnya.
“Sssttt… udah jangan cerewet!” sergahku mengangkat telunjuk ke depan bibir. “Kamu kan tau sendiri alasannya. Jadi nggak perlu aku jelasin lagi.”
“Iya aku tau! Tapi mau sampai kapan? Keburu dianya lulus, malah nggak bakalan ketemu lagi!” nampak Fika mulai geram. Aku cuma tersenyum tipis melihat ekspresi wajahnya.

Entah apa yang merasuki pikirkanku. Namun hanya dengan memandang lelaki itu saja sudah cukup bagiku. Tanpa harus mengungkapkan perasaanku padanya. Semua berawal dari kejadian satu setengah tahun yang lalu, ketika aku akan memasuki tahun ajaran baru di sekolah yang baru.
Bagiku masuk SMA adalah ancaman terbesar. Semua gara-gara mendengar cerita dari kakakku. Katanya sebelum masuk kelas 1, harus melewati Masa Orientasi Siswa yang menakutkan lebih dulu. Hukuman pun pasalnya akan dijatuhkan, jika melakukan kesalahan.
Bayang-bayang ucapan kakak, selalu menggema di telingaku. Membuatku semakin takut untuk menghadapi masa MOS yang berlangsung selama tiga hari. Ternyata benar, bentakan demi bentakan pun datang dari senior. Namun aku tidak sendirian, melainkan bersama teman-teman baru lainnya yang juga menjalani MOS.
Tapi ketakutan itu seraya sudah melekat di dalam bayanganku. Hingga pada hari kedua, aku pun tak kuat menahan ketakutanku. Air mata pun keluar, aku menangis disaksikan oleh teman-teman satu kelompok. Malu bukan main rasanya, tapi aku tak mampu membendungnya lagi. Sebab bentakan senior kali ini, amat menyeramkan.

“Hey! Kenapa nangis?! Cengeng sekali!” gertak senior tersebut.
“Hiks… hiks… hiks…” aku tak memberikan jawaban apapun, selain menangis.
“Kamu punya mulut kan? Ayo jawab aku! Jangan hanya diam saja!” bentaknya lagi.
“Tap… tap… tap…” terdengar suara langkah kaki mendekat. “Cika!” panggilnya kemudian. Sontak kami berdua menoleh ke arah suara itu datang. Ternyata senior yang lain. Aku tak berani lama-lama menatapnya, lantas langsung menundukkan pandanganku. “Kamu urus kelompoknya Gandi saja!” tukas cowok itu.
“Tapi dia gimana?” tunjuk senior yang barusan membentakku. Aku hanya diam saja mendengar obrolan mereka.
“Biar dia jadi urusanku.”
“Baiklah, aku pergi!” sahutnya beranjak pergi.
Sementara senior yang menggantikannya berdiri tepat di hadapanku. Aku masih menundukkan kepala, tak berani menatap wajahnya.
“Hey, siapa namamu?” tanyanya kemudian.
“Hiks… hiks… Jeni…” sahutku terbata-bata. Isak tangis tak dapat kuhentikan.
“Jeni, sekarang angkat dagumu!” suruhnya dengan nada pelan.
“Tidak! Aku nggak mau,” balasku menggeleng dan tetap menundukkan pandanganku.
“Kenapa?”
“Aku takut…”
“Apa yang kamu takutkan?”
“Aku takut dibentak lagi.”
“Aku tidak akan membentakmu. Jadi sekarang angkat dagumu, dan lihatlah siapa yang mengajakmu bicara.”
Aku pun perlahan memberanikan diri untuk mengangkat daguku, dan memandang pria yang tengah berdiri di hadapanku. Tapi rasa takut masih saja menyelimuti hatiku.
“Sekarang gimana? Apa kau juga takut padaku?” tanyanya menatapku. Sorot matanya yang teduh, bersamaan dengan sebuah senyuman tipis meredakan rasa takutku. Ia nampak berbeda sekali dengan senior yang sebelumnya. “Jeni, kenapa kau diam saja? Apa kamu tidak mendengar pertanyanku?” imbuhnya.
“Ahh… iya. Maaf kak… aku masih sedikit takut. Kalau tiba-tiba saja kakak membentakku, seperti kak Cika.”
“Tidak ada yang perlu kamu takutkan, selama kamu tidak melakukan kesalahan,” tukasnya seraya memandangku penuh ketenangan. “Kamu juga harus tau Jeni, kak Cika maupun senior yang lain pasti punya alasan kenapa mereka bersikap begitu,” lanjutnya.
“Tapi apa harus pakai dibentak segala kak?” sergahku.
“Jeni, dengarkan aku. Ketika kamu dibentak, apa yang kamu rasakan?”
“Takut.”
“Benar! Lalu apa yang kamu lakukan untuk melawan rasa takutmu?” aku hanya menggeleng. “Ketika kamu merasa takut, maka kamu harus melakukan sesuatu untuk melawannya bukan?” tukasnya lagi.
“Iya,” sahutku mengangguk pelan.
“Lalu gimana caranya?” tanyanya sembari mendekatkan wajahnya. Sementara aku cuma menggeleng tak mengerti. “Caranya, kau harus menjadikan dirimu lebih kuat. Sehingga kau tidak perlu takut lagi. Dan kau juga harus ingat satu hal! Selama kamu tidak pernah melakukan kesalahan, maka jangan takut.” Mendengar ucapannya membuatku merasa lebih tenang. Rasa takut pun mendadak hilang. Tatapannya yang teduh, membuatku ingin terus menatap matanya.

Semenjak itulah, aku menaruh hati padanya. Dalam benakku selalu penuh dengan bayangan wajahnya, senyum manisnya, juga tatapannya yang menyejukkan. Hari-hariku tak bisa berhenti memikirkannya. Rendy sering muncul dalam khayalanku.
Takdir pun seakan memihakku. Kami kerap dipertemukan dalam beberapa kesempatan. Seperti di kantin, koridor sekolah, perpustakaan, dan lapangan. Beruntung, kak Rendy ternyata tidak melupakanku. Padahal sebelumnya aku sudah merasa cemas, jika ia tak mengingatku.

Aku masih sangat ingat, untuk pertama kalinya kami kembali dipertemukan seminggu usai MOS berakhir.
“Jeni!” serunya saat kami berpapasan di depan kantin.
“Kak Rendy!” balasku tersenyum bahagia karena ia mengingatku.
“Bagaimana kabarmu?”
“Baik kak. Sangat baik malah,” sahutku sembari tersenyum lebar padanya. Aku benar-benar merasa senang bisa bertemu dengannya.
“Kau berada di kelas apa?”
“Kelas 10 IPS 2.”
“Ohh… baguslah! Gimana dengan teman-temanmu? Kau tidak suka menangis lagi bukan?” godanya.
“Kakak Rendy! Jangan begitu donk!” bentakku sedikit kesal.
“Jangan cemberut, kan aku cuma bercanda. Jadi gimana dengan teman barumu?”
“Mereka semua baik kok.”
“Syukurlah…”
“Kakak sendiri di kelas apa?”
“Kenapa? Mau mencariku ya? Tenang saja, nggak perlu nyari. Aku pasti datang ke tempatmu!” celotehnya. Sontak aku dibuat salah tingkah.
“Kakak! Ngomong apa sih?! Kan aku cuma nanya!” sergahku, menutupi rasa maluku.
“Hahaha… kamu lucu sekali ya… aku ada di kelas 11 IPA 3. Kalau butuh apa-apa, kau bisa mencariku disana.”
“Hehehe…” balasku nyengir, dia seakan bisa membaca pikiranku.
“Loh, kok malah ngobrol terus? Bukannya kamu kesini mau makan?” tanyanya kemudian.
“Iya.”
“Ya udah, gih sana makan! Nanti malah kurusan lagi!” ledeknya.
“Kakak ini, sukanya ngledekin mulu!” gerutuku.
“Bercanda Jeni,” ujarnya mengusap kepalaku. Membuatku semakin jatuh hati padanya. “Kalau begitu aku balik duluan.”
“Iya kak,” sahutku terus menatap punggunya hingga menghilang dari pandanganku.

Itulah pertama kalinya kami berdua bisa ngobrol banyak, tanpa rasa canggung. Namun setelahnya aku harus berkutat dengan perasaanku sendiri, yang makin besar padanya. Ya, hari berikutnya kami jadi sering bertemu, namun tak banyak obrolan yang kami bicarakan. Sebab aku sudah gugup lebih dulu, saat berhadapan dengannya.
Walaupun sebetulnya ingin berlama-lama dengannya, tapi nyatanya aku tak sanggup. Nyaliku terlalu ciut, untuk menghadapinya. Ujung-ujungnya aku harus memaksakan diri, untuk lari darinya. Sebelum ia berpamitan pergi lebih dulu.
Sampai naik ke kelas dua pun, nyaliku tetap sama tidak berubah sama sekali. Aku masih tidak berani berdekatan dengannya. Sedangkan cintaku justru semakin besar. Tapi apa dayaku, hanya diam-diam memandang dan memperhatikannya dari kejauhan, itulah yang bisa kulakukan.

Terkadang aku merasa benci dan kesal, kala melihatnya bersama wanita lain. Rasanya ingin sekali mendatanginya, dan mengatakan agar ia tak berdekatan dengan gadis lain. Namun tak ada yang mampu kuperbuat, selain marah dengan diriku sendiri karena tak bisa mendekatinya.

Sudah lebih dari satu setengah tahun aku menyembunyikan perasaanku padanya. Semacam secret admirer, begitulah aku menyebut diriku sendiri. Sebab memang benar aku hanya dapat mengagumi dan diam-diam mencintainya. Tanpa berani mengakui perasaanku padanya.

Fika selalu rewel soal perasaanku. Setiap hari ia tak henti-hentinya mengingatkanku. Agar aku mau mengungkapkan perasaanku pada Rendy. Sebelum cowok itu lulus, dan pergi dari sekolah ini. Tapi mau bagaimana lagi, aku tak berani melakukannya. Entah karena takut cintaku akan bertepuk sebelah tangan, ataukah takut jika sikapnya akan berubah padaku.

Aku sadar, mungkin waktuku akan berlalu sangat cepat. Akan tetapi tak ada yang mampu kulakukan selain diam dan menyembunyikan cintaku padanya. Aku benar-benar takut, sampai-sampai tak memiliki cukup keberanian untuk mengakui perasaanku padanya. Jangankan mengutarakan kebenaran hatiku, berhadapan dengannya saja aku mendadak kelu.
Diam-diam mencintainya, itulah yang bisa kulakukan. Meskipun ia tak pernah mengetahuinya, tak mengapa bagiku. Asalkan aku tetap dapat menikmati keindahannya. Memperhatikan setiap detail langkahnya. Serta melihat senyuman yang mengembang di wajahnya. Begitulah aku secara diam-diam mencintainya.

Cerpen Karangan: Putri Andriyas
Blog / Facebook: Www.putriandriyas.wordpress.com / Putri Andriyas

Share this


0 Comments

Diberdayakan oleh Blogger.

Blogroll

About