Senin, 30 Januari 2017

Mimpi Perpisahan

Suara pintu diketuk membuyarkan lamunanku.
“Masuk,” ucapku dari dalam.
“Non, di bawah ada orang yang ingin bertemu dengan non,” ucap Bi Minah. Aku mengernyitkan dahiku berpikir siapa yang datang. Seseorang ingin menemuiku? Aku lalu memutuskan untuk turun ke bawah dan memeriksanya sendiri. Baru saja aku berjalan di anak tangga pertama, tubuhku langsung kaku. Dia. Untuk apa dia kemari? Bukankah dia sudah puas menghancurkan hidupku. Aku hendak berbalik dan masuk kamar sebelum dia memanggil namaku.
“Dania,” panggilnya lirih yang masih bisa kudengar.

Aku tertegun. Suaranya terdengar putus asa tetapi lembut dan penuh kasih sayang. Setelah lama tidak berjumpa dengannya, ini adalah pertama kalinya dia menyebut namaku. Tak terasa, satu tetes air mata membasahi pipiku. Aku menangis. Hal terakhir yang ingin aku lakukan akhirnya terjadi juga. Satu tetes dua tetes. Lama-lama air mata itu turun semakin deras. Aku tidak bisa memungkiri bahwa aku sangat merindukannya. Tapi, setelah dia meninggalkanku selama bertahun-tahun apakah dia pantas kurindukan. Aku terlantar, hidup tanpa kasih sayang dari Ibuku. Iya. Orang itu adalah Ibuku.

“Dania, mama mohon nak. Jangan benci mama seperti ini, mama tidak sanggup nak mama tidak sanggup. Mama lebih baik mati dari pada harus merasakan kebencianmu,” Nada bicara mama terdengar memilukan di telingaku.
“Maaf, saya tidak mengenal anda. Sebaiknya anda pergi dari sini,” ucapku dengan susah payah. Aku berusaha menahan isakan tangisku. Tapi hal itu sia-sia. Tangisku pecah bersamaan dengan tangis mama. Ruangan ini penuh dengan tangisan memilukan dari aku dan mama. Aku lalu mengusap air mata yang membasahi pipiku dan pergi masuk ke dalam kamar. Aku tidak peduli dengannya. Egoku mengalahkan semuanya. Bukankah dia sendiri yang meninggalkanku, lalu untuk apa dia kembali.

Aku merebahkan tubuhku di atas kasur berukuran queen size. Mataku menatap langit-langit kamar berwarna putih. Aku memikirkan apakah yang aku lakukan ini salah. Sebagian dari diriku berkata bahwa yang kulakukan ini sudah sangat benar. Tapi, sebagian diriku juga mengatakan bahwa yang kulakukan ini salah. Tidak seharusnya aku membenci perempuan yang telah melahirkanku ke dunia ini. Memikirkan hal ini membuatku pusing. Aku memutuskan untuk mendengarkan lagu saja. Kuraih ponselku yang tergeletak di atas nakas. Lagu In The Name of Love milik Charlie Puth terdengar indah di telingaku. Lama-kelamaan mataku semakin berat dan beberapa menit setelahnya aku sudah larut ke dalam alam mimpi.

Pukul 15.00 aku terbangun dari tidurku. Aku lalu bangkit dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi untuk mandi. Tak sampai 15 menit, acara mandiku sudah selesai. Aku memutuskan untuk menggunakan celana jeans di atas lutut dan sweater berwarna biru muda. Aku lalu memasukkan ponselku ke dalam saku celana. Juga tak lupa kubawa earphone. Aku keluar dari kamarku dan turun ke bawah melalui anak tangga. Aku tidak melihat sosok perempuan itu lagi di sini melainkan seorang laki-laki duduk di sofa sedang berbicara dengan Bi Minah. Aku tidak bisa melihat wajahnya karena posisi dia duduk membelakangiku. Aku lalu berdeham kecil dan membuat laki-laki itu menoleh.

“Nah, ini dia non Dania sudah datang. Silakan mengobrol dulu, Bibi ke belakang dulu ya,” pamit Bi Minah padanya.
“Hai,” sapanya ramah
“Mengapa kau ada di sini?” tanyaku bingung tanpa membalas sapaannya.
“Aku hanya berkunjung saja. Memangnya tidak boleh?” jawabnya
“Boleh saja. Lalu untuk urusan apa kau datang kemari?” Dia terlihat gugup saat aku menanyakan hal itu.
“Aku ingin mengajakmu mengelilingi kompleks. Apakah kau mau?” tawarnya padaku. Aku menimang-nimang tawarannya. Kebetulan sekali aku juga ingin mencari udara segar setelah kejadian tadi siang. Berjalan-jalan sendirian akan terasa sangat membosankan. Mungkin tidak ada salahnya aku menerima tawarannya. “Kebetulan, aku juga sedang ingin mencari udara segar. Berjalan sendirian aku rasa akan sangat membosankan, jadi tidak ada salahnya aku menerima tawaranmu,” jawabku menyuarakan pikiranku.

Dia lalu bangkit dan berjalan keluar. Aku mengikutinya di belakang. Tidak lupa aku pamit pada Bi Minah yang sudah aku anggap sebagai ibu kandungku sendiri sebelum keluar dari rumah. Aku dan dia berjalan bersebelahan. Dia tampak kaku berada di sebelahku. Aku mengeluarkan ponselku dan memasangkan earpohone di telingaku yang sebelumnya sudah terhubung dengan ponselku.

“Dania,” panggil Dani. Iya, nama laki-laki itu adalah Dani. Dia adalah mantan pacarku Aku menolehkan kepalaku ke arahnya dan menaikkan sebelah alisku sebagai respon.
“Aku ingin menanyakan sesuatu padamu,” ucapnya serius sambil menatap mataku.
“Silakan,” sahutku. Entah mengapa jantungku berdegup cepat saat dia menatap mataku. Aku akui aku masih menyimpan sedikit perasaan padanya dan belum bisa melupakan dia seutuhnya atau istilah zaman sekarang adalah move on.
“Tadi pagi aku melihat seorang perempuan. Dia mirip sekali dengan dirimu. Saat dia datang, dia terlihat takut dan saat pulang dia menangis. Siapa dia Dania? Mengapa perempuan itu menangis? Pertanyaan Dani membuatku terkejut. Rumahku dan Dani memang berhadapan, jadi ia bisa tahu siapa yang datang ke rumahku.
Menceritakan sedikit beban di pundakku kepada Dani mungkin perlu. Aku berbatuk kecil sebelum bercerita.
“Wanita itu. Wanita yang kau lihat tadi. Dia adalah ibuku. Dia datang lagi setelah belasan tahun menghilang dan menelantarkan diriku. Kenapa dia melakukan ini Dan? Kenapa? Dia datang hanya untuk melihatku, dan aku meninggalkan dia sendirian di ruang tamu setelah aku mengusirnya. Aku tidak bisa memaafkan kesalahannya dulu.,” Tak sadar aku meneteskan air mata. Tetesan air mata itu lalu berubah menjadi sebuah tangisan. Aku menangis untuk yang kedua kalinya dalam sehari.

Tidak diduga, Dani menghapus air mata yang membasahi pipiku. Dia lalu merengkuhku ke dalam pelukannya dan membawaku duduk di sebuah bangku yang tersedia di taman.
“Aku harus apa Dan? Aku harus apa?” ucapku sesenggukan.
“Shut. Sudah jangan menangis lagi,” Ucapan Dani menenangkanku. Aku merasa nyaman berada di dekapannya.
Setelah aku mulai tenang, Dani kembali berbicara “Mungkin ibumu pernah melakukan kesalahan dulu dengan meninggalkanmu sendirian. Tapi bukankah dia sudah berusaha untuk menebus kesalahannya dengan datang menemuimu dan meminta maaf. Menurutku, kau harus melupakan segala kebencianmu. Toh, apa untungnya kau membenci dirinya? Kau harus ingat saat kau berada dalam kandungan ibumu. Dia rela melakukan apa pun untukmu. Menjagamu, membawamu ke mana saja. Dia senang saat dirimu menendang dari dalam perutnya. Sekarang temui dia dan minta maaflah padanya. Itu akan menyelesaikan masalahmu Dan,”
Aku tertegun mendengar ucapan Dani. Dani begitu dewasa dan bijak. Aku beruntung dulu pernah memilikinya. Tiba-tiba ponsel di sakuku berdering. Nama Bi Minah tertera di layar ponsel. Tidak biasanya Bi Minah menelepon seperti ini. Aku lalu berdiri dari duduk

“Halo bi,” sapaku. Terdengar nada gelisah dari seberang telepon.
“Halo Non, ada kabar yang menyedihkan yang harus bibi sampaikan ke non,” jawab bibi.
Tiba-tiba hatiku mendadak cemas. Kabar menyedihkan apa yang akan disampaikan oleh bibi. Terjadi keheningan selama beberapa detik sebelum Bibi kembali bersuara.
“Nyonya non,” ucap bibi sambil menangis
“Mama kenapa bi,” aku berteriak cemas
“Nyonya tertabrak mobil Non. Sekarang kondisinya kritis,”
Deg.
Jantungku serasa berhenti berdetak mendengar kabar dari Bi Minah. Mama kecelakaan? Kritis?
“Bi.. bibi jangan bercanda. Ini tidak lucu bi,” ucapku sambil tertawa getir
“Buat apa bibi bercanda non, nyonya sekarang dirawat di City Hospital,” ucap Bi Minah.
“Ya sudah bi, aku ke sana sekarang,” ucapku sambil berusaha menahan bedanku yang terasa lemas sekali. Aku jatuh terduduk di taman itu.
“Daniaaa,” teriak Dani panik yang mungkin karena melihat aku terjatuh. Terdengar derap langkah dari belakang yang ternyata adalah Dani.
“Ada apa Dan?” tanyanya panik. Aku tidak mampu menjawab pertanyaan. Aku hanya dapat menangis dan itu malah membuat Dani semakin panik.
“Dania, tenang. Semua akan baik-baik saja. Ceritakan semuanya padaku,” ucapan Dani membuat tangisku mulai berhenti sedikit demi sedikit. Aku lalu menceritakan semuanya pada Dani. Dia terlihat kaget namun hal itu tidak berlangsung lama. Dia lalu bangkit dan mengulurkan tangannya padaku.
“Kita ke rumah sakit sekarang,” ucapnya. Aku menerima uluran tangannya dan berjalan bersama menuju ke rumah.

Sesampainya di rumah, aku langsung mengganti celana jeans pendekku menjadi celana jeans panjang. Aku lalu mengambil ponselku yang satu lagi untuk berjaga-jaga karena baterai ponsel yang tadi kubawa saat berjalan bersama Dani tinggal 80%. Aku lalu mengambil kunci mobil yang tergeletak di atas meja belajarku. Setelah memastikan semuanya lengkap, aku turun ke bawah. Aku memberikan kunci mobilku pada Dani. Dia menerimanya dan berjalan keluar dari rumah menuju garasi dengan aku yang berada di belakangnya. Tak lama kemudian, mobil yang kami tumpaki meninggalkan garasi dan berjalan dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit. Selama di perjalanan, aku tak berhenti meremas sabuk di hadapanku. Aku terlalu cemas.

Tidak sampai 1 jam, kami berdua sudah sampai di rumah sakit. Aku turun duluan, sedangkan Dani memarkirkan mobil di basement. Aku langsung menuju ruang IGD karena tadi sebelum berangkat, Bi Minah memberitahu bahwa mama belum bisa dipindahkan ke ruang inap dan masih berada di IGD. Sesampainya di depan ruang IGD, aku duduk di bangku yang sudah disediakan pihak rumah sakit. Aku menunggu dokter yang masih menangani mama. Bangku di sebelahku bergerak tanda ada yang duduk di sebelahku. Aku menolehkan wajahku dan ternyata orang itu adalah Dani. Aku langsung memeluk dirinya. Dani kaget menerima perlakuan seperti ini dariku dan hampir saja ia terjungkal ke belakang. Dia lalu balas memelukku dan mengusap rambutku perlahan sambil terus membisikan bahwa mama akan baik-baik saja.

Dokter yang menangani mama keluar dari ruangan itu dan berjalan ke arah kami.
“Anda, keluarga dari Ibu Dinda?” tanya dokter itu pada kami berdua.
“Iya dok. Saya anaknya. Bagaimana keadaan mama saya dok?” jawab dan tanyaku pada dokter itu.
“Ibu anda mengalami benturan yang sangat keras dan itu membuatnya kehilangan banyak darah. Saat ini persediaan darah golongan AB sedang kosong di bank darah. Kami harus cepat mencari pendonor darah jika tidak, nyawa ibu anda tidak bisa diselamatkan,” Ucapan dokter sukses membuat diriku menutup mulutku dengan tangan. Badanku tiba-tiba terasa lemas. Pandanganku mulai kabur dan hal terakhir yang aku dengar adalah teriakan cemas Dani memanggil namaku.

Kulihat sebuah cahaya. Di mana aku? Apakah aku sudah meninggal? Cahaya tersebut lama-kelamaan semakin mengecil dan menampakan sosok mama.
“Mama,” gumamku. Aku lalu berlari ke arah mama dan memeluknya erat seolah-olah aku tidak akan mempunyai kesempatan untuk memeluk mama.
“Ma, aku minta maaf ya soal tadi pagi. Egoku mengalahkan semuanya. Tapi sekarang aku sadar kalau mama melakukan itu pasti ada alasannya. Apakah mama mau memaafkanku?” ucapku sambil menangis.
Mama mengelus rambutku pelan. Dia lalu menangkup wajahku dan aku bisa melihat sorot mata kelegaan di matanya. “Mama sudah memaafkan kamu nak,”
“Mama janji sama Dania ya kalau mama bakal sembuh supaya kita bisa belanja bersama, bercanda bersama, dan bercerita bersama,” ucapku dengan mata berbinar seperti anak kecil yang baru saja dibelikan es krim oleh orangtuanya. Kulihat, sorot mata mama berubah menjadi sedih. Kenapa ini?
“Hal itu tidak akan pernah terjadi nak. Mama sekarang sudah tidak berada lagi di dunia ini. Mama sudah tenang sekarang nak,” ucapan mama membuatku tidak mengerti.
“Maksud mama?” tanyaku bingung.
“Kamu lihat cahaya di belakangmu?” ucap mama sambil menunjuk ke belakangku.
“Itu adalah panggilan bahwa kini sudah saatnya mama pergi meninggalkan kamu dan dunia ini nak,” lanjut mama diiringi tangisanku yang pecah. Aku tidak percaya ini. Aku baru saja bertemu dan berbaikan dengan mama setelah belasan tahun lamanya kami berpisah dan sekarang? Mama akan pergi selama-lamanya dariku. Tidak. Ini tidak boleh terjadi.
“Tidak. Mama tidak boleh ke mana-mana. Mama harus tetap di dunia ini untuk menjagaku,” ucapku sambil mengeratkan pelukanku pada mama.
“Tidak bisa nak. Ini semua sudah takdir. Mama harus pergi,” ucap mama melepaskan pelukan kami dan berjalan ke arah cahaya itu.
“Ma.. mamaa,” teriakku tadi tidak membuat mama berhenti berjalan. Ketika mama sudah hampir masuk ke dalam cahaya itu, ia berbalik badan
“Selamat tinggal nak. Jaga dirimu baik-baik. Mama akan selalu mengawasimu dari sana. Mama selalu berada di dalam hatimu nak,” ucap mama lalu masuk ke dalam cahaya itu. Cahaya itu lalu menghilang dari pandanganku.

Aku terbangun. Mimpi itu begitu nyata. Apa arti dari semua mimpi tadi? Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Ruang inap. Kenapa aku bisa di sini. Bagaimana keadaan mama?
Pintu terbuka membuatku menampilkan Dani. Dia datang dengan wajah frustasi dan lelah. Ada apa ini?
“Kau sudah sadar rupanya Dan,” Ekspresi wajahnya berubah drastis saat berbicara denganku.
“Dani, mama mana? Bagaimana keadaannya? Apakah dia sudah membaik?” tanyaku beruntun. Tubuhnya terlihat menegang saat aku menanyakan hal ini.
“Dia sudah tenang Dan,” jawab Dani.
“Syukurlah,” ucapku lega.
“Aku ingin menemuinya sekarang Dan,’ lanjutku sambil berdiri dari ranjang rumah sakit. Dani membantuku berdiri dan menuntunku berjalan menuju ruang IGD. Badanku masih lemas, tetapi hal itu tidak kupedulikan. Yang ingin kulakukan sekarang adalah pergi menemui ibu dan memeluknya serta meminta maaf secara langsung kepada mama.
Saat sampai di sana, aku bertemu dengan dokter yang menangani mama.

“Bagaimana keadaan mama saya dok? Apakah dia sudah membaik,” tanyaku pada dokter. Dokter tersebut terlihat sedih.
“Maafkan kami. Kami sudah berusaha sekuat mungkin untuk menyelamatkan ibu anda, tetapi.. tuhan berkehendak lain. Ibu anda tidak bisa tertolong,”
Jleb.
Serasa ada ribuan pisau tajam yang menancap di tubuhku setelah sang dokter menyelesaikan ucapannya. Mama pergi? Mama pergi untuk selama-lamanya. Inikah maksud dari mimpi tadi. Mimpi perpisahanku dengan mama. Aku jatuh terduduk di lantai. Air mata mengalir deras membasahi kedua pipiku. Dani berusaha menenangkan diriku dengan mengelus rambut dan lenganku. Tetapi, usahanya sia-sia. Aku menangis dalam diam. Tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Aku berdiri dari dudukku dengan sisa tenaga yang kumiliki.
“Bolehkah saya menemui mama saya dok?” tanyaku pada dokter tersebut yang dijawab dengan anggukan kepala olehnya. Aku langsung masuk ke dalam ruang IGD dengan memakai baju khusus yang memang disediakan khusus bagi pengunjung yang ingin memasuki ruang IGD. Kulihat mama terbaring kaku di atas ranjang. Aku lalu berjalan mendekatinya dengan Dani di sebelahku. Aku berusaha menahan air mata yang sudah mengumpuk di pelupuk mata dan siap pecah kapan saja. Kupegang wajah mama yang tenang tetapi dingin. Dani di belakang mengelus pundakku seolah-olah memberi kekuatan.
“Mama, aku sudah memaafkanmu sejak dulu ma. Aku menyesal kenapa aku malah mengusirmu tadi pagi bukannya menghabiskan waktu denganmu ma. Kalau boleh memilih, aku lebih baik ikut mama pergi dari mana harus menjalani hidupku seperti ini ma. Tapi, aku tidak akan pernah melakukan hal itu karena aku tahu bahwa kau tidak akan menyukai perbuatan itu,” ucapku sambil menangis dengan senyum yang menghiasi wajahku, lalu pergi dengan berlari dari ruangan itu.

Setelah mengurus semua biaya rumah sakit, aku pulang ke rumah dengan mobil jenazah. Rumah sudah ramai didatangi oleh sanak saudaraku dan juga tetanggaku. Aku lalu turun dari mobil tersebut. Dani menghampiriku dan memeluk diriku. Pelukannya terasa nyaman bagiku. Aku lalu masuk ke dalam rumah. Mama sudah dikafani dan juga dishalati. Aku menyesal karena tidak bisa ikut menyalatinya karena aku sedang datang bulan. Karena sudah malam, kami tidak mungkin menguburkan mama hari ini. Mama akan dikuburkan besok pagi.

Suara alarm membangunkanku dari tidur. Aku tertidur di sofa dengan Dani ada di sofa seberang. Orang-orang menyiapkan keranda yang akan digunakan mama. Aku menatap kegiatan itu dengan pandangan kosong.

Jaga dirimu baik-baik. Mama akan selalu mengawasimu dari sana. Mama selalu berada di dalam hatimu nak.

Ucapan mama saat di dalam mimpi mengiang di telingaku. Aku lalu bangkit dan membangunkan Dani. Laki-laki itu tampak sangat lelah.

Setelah semuanya siap, mama lalu dimasukkan ke dalam keranda. Aku dan saudaraku yang lain saling berpelukan saat mengiringi mama menuju peristirahatan terakhir.


Mama sudah selesai dikuburkan sejak beberapa menit yang lalu, tetapi aku tetap tidak bergeming dari tempat itu. Aku menatap nisan bertuliskan Dinda Syifana Azka binti H. Dino. Lahir: New York, 27 April 1978 Wafat: Jakarta, 14 Agustus 2016.

“Mama yang tenang ya di sana. Dania akan selalu mendoakan mama setiap saat. Dania bakal jaga diri Dania dengan baik ma. Dani juga bakal bimbing Dania kalau Dania berbuat salah,” ucapku tersenyum sambil mengelus nisan mama.

Aku lalu bangkit bersamaan dengan Dani. Kami bergendengan tangan lalu berjalan meninggalkan makam yang masih basah itu. Mulai hari ini semua akan berjalan sebagaimana mestinya. Semua akan jadi baik mulai sekarang.

TAMAT

Cerpen Karangan: Chessa Firdaus Puspitaningrum

Facebook: chessa firdaus puspitaningrum

Share this


0 Comments

Diberdayakan oleh Blogger.

Blogroll

About