Senin, 30 Januari 2017

Gantungan Mimpi Di Negeri Merah Putih

Hanya seorang anak perempuan kecil yang berangan-angan untuk bisa tumbuh menjadi seorang perempuan yang besar. Tak banyak kata yang bisa tuk dikatakan hanya tangisan kecil yang selalu menghantui hati perempuan itu, nisa namanya lengkapnya annisafiah. Betapa besarnya pengorbanan yang dilakukan anak perempuan kecil ini, rela tuk mengorbankan masa kecilnya dengan memikul kayu bakar setiap harinya, dimana seharusnya ia tertawa bersama teman-temannya tapi lain hal dengan anak ini.

“nek nisa mau sekolah dulu” pamit nisa kepada neneknya, nisa tiggal berdua bersama nenek nya di rumah yang bercatkan biru namun telah pudar dimakan usia, tidak luas bak sebuah istana raja hanya tumbukan bata yang berpoleskan semen yang tampak usang. Berawal dari janji akan pulang ketika telah mendapatkan uang yang banyak tuk mengubah nasibnya kedua pasang suami istri ini mengadu nasib ke negeri xxxxxxx, dengan mata yang berbinar binar nek ijah ibu dari ibu nisa rela melepaskan anak beserta menantunya tuk bekerja. Perempuan cantik yang kini telah menua hanya setuju dengan keputusan yang telah diambil oleh kedua insan itu dengan meninggalkan buah hatinya nisa yang dulu masih berusia 3 tahun kecilnya. “nak jangan nakal ya, nurut sama nenek, nanti kalo ibu udah dapat banyak uang, ibu sama bapak akan pulang” mengelus pipi lembut nisa seraya meneteskan air matanya. Kini bocah kecil itu telah tumbuh berusia 11 tahun, 8 tahun sudah nisa tak mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu. Kuatnya bocah ini tak muluk-muluk untuk tenggelam dalam kesedihan, nisa belajar dengan rajin kini ia telah duduk di bangku kelas 6 sd, mimpinya hanyalah untuk bisa menjadi seorang designer terkenal dengan modal kecakapannya dalam memainkan pensil, dia selalu berprestasi di sekolahnya, walaupun dalam keterbatasan ia tak habis akal, dengan semangatnya ia menjadi tukang sapu di sekolahnya, demi membantu sang nenek membayar spp sekolahnya.

Pagi pagi buta ia telah ada di sekolah dengan memegang sapu, ia keliling menyapui kelas satu demi satu, dengan ditemani bapak penjaga sekolah nisa dengan semangatnya menyapu seluruh ruangan di sekolahnya, 300 ribu lah yang ia selalu dapatkan setiap bulannya dan itu pun tak langsung dapat dipegang oleh dirinya, ia hanya mendapat 100 ribu setiap bulan dari hasil sapuan setiap paginya, karena 200 ribu digunakannya untuk membayar sekolah. Sungguh seharusnya pemerintah sedikit melirik dengan bocah bocah pejuang seperti nisa ini, dimana ia termasuk anak yang berprestasi dan juga berlatar belakang tidak mampu harus diperhatikan seperti dibebaskan dari pungutan biaya sekolah apapun, hanya orang pintarlah yang bisa menelaah hal-hal seperti ini, sungguh kejamnya negeriku ini.

Pagi hari seorang nisa dibuka dengan memegang sapu dan dipertengahan hari anak ini harus pergi ke sawah milik tetangganya untuk membersihkan keong yang menjadi hama di lahan sawah milik tetangganya. Satu demi satu keong ia ambil tanpa rasa takut akan lumpur di sawah dan matahari yang dengan teriknya menerpa kulit lembutnya, bocah ini tetap semangat bekerja. Setelah usai bekerja pun nisa hanya diupah 20 ribu dan ia pun memutar otaknya untuk mengolah keong hasil tangkapannya tidak menjadi sia-sia karena biasanya keong ini tidak dibutuhkan oleh pemiliknya atau biasanya dibuang saja, lalu nisa membawa keong hasil tangkapannya ke rumah, sebagian ia jual untuk pakan itik atau bebek, sebagian lagi ia berikan kepada neneknya untuk diolah menjadi 15 tusuk sate keong, tak banyak warga yang menyukai keong, tapi bukan ia jajakan ke warga namun ia bawa pagi harinya untuk dijajakan ke teman-temannya di sekolah. Tak setiap hari ia mendapat panggilan untuk membersihkan sawah, hanya minggu minggu tertentu saja ia mendapatkan panggilan, sungguh malang nasib nisa.

Beda nisa beda pula neneknya, neneknya kini yang telah menua dimana ia seharusnya telah duduk menikmati hari tuanya, ia pun harus turut mencari nafkah demi butiran beras, sama halnya dengan nisa ia harus bekerja seharian di pabrik rumahan milik juraganya sebagai pembuat kerupuk bawak, kerupuk yang diolah dari campuran kulit sapi ataupun kerbau, dan pekerjaan nek ijah pun tak sampai disitu saja, ia harus bekerja kembali ia harus memetik sayuran labu siam, itu pun bukan kebun miliknya, sekali lagi ia tak diupah dengan lembaran rupiah ia hanya diupah dengan beberapa buah labu siam. Entah dari mana mereka berdua bisa bertahan hidup, hanya dengan semangat mereka bisa bertahan hidup di bumi yang penuh dengan pengkhianatan. Mereka berdua sangat bersyukur bisa hidup di negeri yang sangat subur yang sampai ilalang pun bebas tumbuh dimana saja walaupun mereka harus hidup di tanah yang berlambangkan merah putih.

Banyak mimpi yang telah nisa gantungkan di hidupnya, tak ada gambaran hidup yang suram bagi dirinya, ia sangatlah kuat, hatinya yang tegar dengan kesabaran ia menunggu kembali kedatangan kedua orangtuanya, walaupun 8 tahun sudah berlalu tanpa adanya kiriman uang yang telah dijanjikan sebelumnya tak ada rasa benci yang terpaut dalam hatinya, betapa bersihnya hati anak ini. Susu pun dulu ia tak sempat mencicipinya, namun ia tumbuh dengan pengorbanan hidupnya yang tanpa mengeluh, ia sadar betul tak guna untuk berlarut dalam keluhan, ia harus menggantungkan mimpinya dan kelak ia percaya mimpinya kan hilang karena telah digapainya dengan kesuksesan yang berarti.

Cerpen Karangan: Novita Lesa
Facebook: facebook.com/novita.lesa.9

Share this


0 Comments

Diberdayakan oleh Blogger.

Blogroll

About